Pagi ini di depan universitas Nusantara, tepatnya di depan fakultas ekonomi. Hiyola Anastasya sibuk menghitung lembar lembar uang berwarna biru dengan nominal 50.000.00.
"Wah, lumayanlah." gumamnya tersenyum cerah.
Hidup adalah uang. Untuk hidup perlu uang, makan perlu uang bahkan cinta pun perlu uang.
Begitulah kira-kira motto hidup Hiyola Anastasya, seorang gadis 23 tahun dengan uang tabungan sebesar 25Jt, saat ini berkuliah di Fakultas Ekonomi, jurusan perbankan.
Sudah berusia 23 tahun tapi Hiyola masih duduk di semester dua. Bukan karena bodoh, tapi karena Hiyola harus bekerja agar bisa bersekolah. Berulang kali ia mendaftar lewat jalur beasiswa tapi selalu gagal.
'Mungkin karena tidak memiliki orang dalam.' itulah yang selalu Hiyola pikirkan.
Jadi, untuk memenuhi kebutuhan hidup nya, Hiyola harus mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Hal ini dikarenakan bebannya sebagai tulang punggung keluarga.
Sejak muda, Hiyola telah menjadi tulang punggung keluarga, menghidupi dirinya dan sang adik, Miona Atanasya.
Ayahnya meninggal dalam kecelakaan saat Hiyola berusia 15 tahun dan adik nya yang berusia 10 tahun. Tak sanggup mengurus kedua putri nya, ibu Hiyola dan Miona meninggal kan mereka begitu saja di rumah sederhana, menyisahkan beban yang harus di pikul gadis berusia 15 tahun.
Beban Hiyola bertambah kala dirinya juga harus menghidupi bibi Alya, adik dari ibunya yang di terlantarkan suaminya sendiri karena sang suami lebih memilih wanita yang lebih muda dari nya.
"Mau kau hitung sampai berapa kali pun, uang nya tak akan bertambah."
Hiyola menoleh. Dari kanan, seorang pria berjalan santai ke arah nya. Celana hijau berbahan kain, baju merah bercorak bunga daysi menjadi andalan sang pria berwajah oriental dengan kacamata putih di mata minus nya.
"Daniel...!" sahut Hiyola yang kembali membolak balik lembar uang yang ia rasa berkurang.
Daniel dan Hiyola bersahabat saat tahun pertama Hiyola berkuliah. Hiyola sangat senang bergaul dengan Daniel, karena pria itu tidak seperti kebanyakan orang yang suka bergunjing tentang hidup orang lain.
Tidak seperti pria pada umumnya, Daniel Finzen Atmajaya bukan lah penyuka wanita, ia adalah seorang penyuka sesama jenis.
Adakala nya Hiyola dan Daniel menjadi bahan gunjingan para mahasiswa, karena kedekatan nya. Apalagi karena salah satu pekerjaan sampingan Hiyola yang merupakan karyawan di perusahan Meet me.
Berkat paras cantiknya, Hiyola di terima di perusahaan Meet me.Perusahan yang akhir-akhir ini menjadi tren di masyarakat. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa ini menyediakan jasa sebagai pasangan sewaan. Dimana para karyawan seperti Hiyola akan di sewa selama waktu yang di sepakati antara perusahan, pekerja dan pelanggan. Kebanyakan jasa mereka di gunakan sebagai pacar palsu untuk di kenalkan kepada orang tua pelanggan, tapi lebih banyak jasa mereka di manfaatkan oleh para pendatang baru, yang mana mereka akan berperan sebagai teman kencan sementara, tutor perjalanan atau hanya sekedar teman minum kopi.
Sebenarnya pekerjaan ini hanya untuk wanita dan pria di atas umur 25 tahun, tapi karena sangat membutuhkan uang, Hiyola yang kala itu baru berusia 22 tahun memalsukan umur nya menjadi 26 tahun. Karena nama yang di minta perusahaan hanyalah nama samaran, Hiyola dengan berani mendaftar kan nama nya.
Sebagai karyawan pun semua data yang tercantum di aplikasi hanyalah nama samaran karyawan dan usianya. Dimana hanya setelah ketiga pihak setuju, barulah pelanggan dapat melihat wajah orang yang di sewanya. Oleh karena itu, biasanya penyewa Hiyola adalah pria maupun wanita yang sama yang telah menyewanya lebih dulu.
Namun, karena pekerjaan ini, Hiyola sering kali di gunjing oleh beberapa siswa yang mengenalnya. Padahal jasa nya hanya di gunakan untuk hal itu saja dan tidak lebih tapi, orang-orang seringkali menyamakan nya dengan para wanita PSK.
"Sudah ku bilang, mau kau hitung berapa kali pun, uang mu takan bertambah, Hiyola." ulang Daniel saat ia sudah berdiri di depan gadis cantik berambut sebahu.
"Shuuuttt...." Hiyola meletakkan telunjuk di depan bibir. "Diamlah, Daniel. Kurasa lembarnya bertambah."
Daniel menggelen. Diletakan satu tangan nya ke dahi Hiyola, seakan sedang mengukur suhu tubuhnya.
"Kurasa kau harus segera ke rumah sakit." ejek Daniel.
Hiyola menjulurkan lidah nya tidak peduli. Dia lalu mengambil pulpen dan buku tulis dari dalam tas selempang bahu berwarna coklat yang tergeletak di samping. Mencentang beberapa hal dalam daftar yang sudah di buatnya.
"Daniel? Besok kau punya waktu?"
Pertanyaan Hiyola membuat Daniel mengerutkan keningnya. Memangnya selama ini siapa yang selalu punya waktu dan siapa yang tak pernah punya waktu?
"Apa kau bertanya pada ku sekarang?"
Hiyola memutar mata jengah. "Memang nya siapa lagi, Daniela?"
Daniel tersenyum, ia sangat suka jika Hiyola memanggil nya seperti itu.
"Tentu saja. Aku selalu punya waktu luang. Kau kira aku itu kau? Yang setiap waktu adalah uang."
"Ck, kau ini. Aku sedang serius sekarang." kesal Hiyola melemparkan pulpen di tangan nya kepada Daniel.
"Baiklah, baiklah..." Daniel mengangkat kedua jari nya, piece. Berpura-pura melihat jadwal.
"Karena Rendi baru memutuskan ku kemarin, aku punya waktu luang besok."
"Rendi memutuskan mu? Kenapa tak kau katakan pada ku? Apa dia punya pacar baru?"
Daniel merengut. "Kau bilang, kau hanya menerima kisah yang berkaitan dengan uang." Ada nada sindiran di sana.
Hiyola menghembuskan nafas pelan dengan senyuman kikuk.
"Jadi bagaimana? Mau menemani ku tidak?"
"Baiklah. Memangnya ada acara apa? Kau kan kikir. Tak mungkin kau akan mentraktir ku. Apa kau akan mengenalkan ku pada salah satu pelanggan pria mu?"
Lagi lagi Hiyola memutar bola matanya.
"Jangan harap." ujarnya.
"Baiklah, jadi ?"
"Besok ulang tahun Miona."
"Ha...? Benarkah? Apa besok itu tanggal 23?"
Hiyola mengangguk. "Yup. Karena itu aku sudah mengosongkan jadwal ku."
Daniel menepuk jidat. "Astaga bagaimana aku bisa lupa? Baiklah, besok aku akan pergi sekaligus membeli hadiah untuk Miona. Eh, tapi kau tak bekerja besok kan?"
Hiyola menggeleng. "Tentu saja aku bekerja. Setelah kuliah jam tujuh besok, aku harus ke rumah Nyonya Maya, menjaga anak nya. Setelah itu sekitar jam 11, aku punya pelanggan dari aplikasi selama dua jam, lalu aku sudah berjanji mengganti kak Rita menjaga perpustakaan, dia ada janji dengan pacarnya. Nah, baru setelah itu aku akan menghubungi mu."
Daniel menarik nafas karena sesak mendengar jadwal Hiyola. "Ini yang kau bilang mengosongkan jadwal?" sarkas nya.
Hiyola memainkan kedua alisnya lucu. "Kau tahu kan, setiap waktu adalah uang untuk ku." Merentangkan tangan nya, merenggangkan seluruh tulang-tulang di tubuh yang terasa kaku.
"Kau ini, kapan kau akan berhenti bekerja keras begini? Apa tak ada keinginan untuk bersenang-senang sedikit? Luangkan lah waktu untuk hidup mu juga." ucap Daniel menasehati.
Hiyona mendesah pelan, kepalanya terangkat menatap langit yang tampak sangat cerah. "Kau tidak bisa melakukan semua yang kau inginkan dalam hidup. Orang-orang sepeti ku hanya akan merasa rugi jika sedikit saja meluangkan waktu untuk bersenang-senang."
"Setidak nya lakukanlah sekali saja."
Masih menatap langit, Hiyola tersenyum getir, "Inilah sebabnya aku tak boleh mengeluh pada orang kaya."
Daniel tersenyum, ia mengikuti Hiyola menatap langit. "Karena itu, Ku harap kau akan bertemu dengan seorang pria kaya."
"Amin...!!!" teriak Hiyola kelewat bersemangat.
"Ckckck, kukira hanya pria kayalah yang bisa menyelamatkan mu." sindir Daniel.
"Karena itu, ku minta kau untuk menikahi ku!" goda Hiyola.
Daniel sontak beringsut mundur dengan ekspresi ngeri. "Aku normal ya."
Hiyola menjitak kepala Daniel, "Kau tak normal bambang."
"Ya, dan kau ja lang" Balas Daniel tak mau kalah, dengan kerlingan mata nakal, di iringi tawa puas.
"Enak saja..." satu pukulan mendarat di lengan Daniel. Kebiasaan Hiyola jika tertawa.
Sudah jadi hal biasa bagi mereka berdua, untuk menggunakan kata kasar. Karena jika kalian sudah sangat dekat, maka kata kasar akan berada di antara persahabatan kalian.
"Jangan lupa menghubungi ku besok." peringat Daniel yang saat ini sudah duduk anteng di dalam mobil nya, Sama hal nya dengan Hiyola sudah bersiap diatas Hope, motor Vino berwarna biru kesayangan nya.
Hiyola memberi jempol, "Oke..." ujarnya sedikit berteriak karena pengaruh helm di kepala.
"Kami duluan, nona Hiyo." pamit pak Rafi, supir pribadi Daniel.
"Iya pak."
Mobil melesat pergi. Saat hendak menyalakan Hope, tiba-tiba ponsel Hiyola berdering. Di rogoh ponsel dari dalam tas yang ia gantung di depan.
Mata Hiyola langsung berbinar, begitu membaca pesan bernilai uang, sebuah job dari langganan nya. Hiyola berfikir sejenak, masih ada waktu sebelum pekerjaan di kafe. Jadi ia akan mengambil job 150 ribu yang baru saja muncul di ponselnya.
Dengan senyum sumringah, Hiyola menyalakan motornya gembira. "Uang... Uang..." senandung nya sambil menjalankan Hope, si motor.
Saat dalam perjalanan menuju tempat kerja, tiba-tiba ponsel Hiyola berbunyi lagi. Dalam hati senadung kebahagian kembali muncul di benaknya.
"Apa uang lagi?"
Matanya mulai jeli melihat kendaraan lewat kaca spion, lalu menyalakan lampu sen. Setelah di rasa aman, barulah ia mulai menepi.
Tanpa melihat nama pemanggil, Hiyola segera menjawab dengan tak sabar.
"Halo..."
Tidak ada jawaban, namun suara isakan dari seberang sana membuat Hiyola spontan menjauhkan ponsel dari telinga nya, lalu dengan mengernyit membaca nama yang tertera di sana.
"Miona?"
Buru-buru Hiyola kembali merapatkan ponsel ke telinga nya. Mendengar suara isakan Miona, nafas Hiyola jadi tidak beraturan, perasaan nya tak enak.
"Apa yang terjadi Miona?"
***
Waktu berjalan terasa sangat lama. Hiyola tidak henti-henti nya berjalan mondar mandir. Pikiran nya tak menentu antara sang bibi dan hal lebih buruk yang mungkin terjadi.
Dokter keluar dari ruangan UGD dengan tergesa-gesa. Dipanggilnya keluarga dari ibu Alya.
"Kami Dok." jawab Hiyola cepat menghampiri sang dokter. Tangan nya berekeringat, nafasnya memburu. Sementara dari belakang Miona mengekori.
"Kalian keluarga nya? Apakah tidak ada orang dewasa? Di mana ayah kalian?" tanya sang dokter dengan wajah mengerut.
Hiyola menggeleng. "Kami ini ponakan nya dokter. Bibi Alya telah berpisah dengan suami nya."
Mendengar jawaban Hiyola, dokter tampak berpikir sejenak. "Baiklah. Begini, bibi kalian mengalami pendarahan hebat di otaknya. Kami butuh tanganan cepat untuk segera membuat surat rujukan ke rumah sakit B karena alat yang kurang memadai.
Operasi harus segera di laksanakan karena saat ini ibu Alya hanya bertahan dengan bantuan alat, itu pun tidak akan lama jika tidak ada penanganan lebih lanjut."
Hiyola tidak paham apa sebnarnya yang ingin di utarakan Dokter kepada mereka karena wajah dokter tampak sangat ragu-ragu.
"Jadi, apa masudnya dok?"
Dokter menarik nafas lembut. "Jadi, agar ibu Alya bisa segera di tangani, kalian harus membayar biaya orperasi."
"sebesar 158 juta."
***
Seorang wanita tergesa gesa keluar dari sebuah ruangan, berlari kebingungan menghampiri beberapa wanita bergaun Dusty pink, yang tengah duduk berbincang, di koridor gedung.
"Semuanya maaf, saya rasa, Nona Kimberly menghilang." lapor nya.
Mendengar nya, seorang wanita menghentikan tawa, wajahnya tampak dingin. Wanita paru baya yang elegan itu mulai melepaskan diri dari beberapa wanita yang ada di sana lalu berjalan pelan menghampiri si wanita MUA.
Plaakkk...
Semua orang melihat tak percaya. Satu tamparan mendarat di pipi wanita MUA.
"Omong kosong!" hardik wanita yang bernama Violeta. Di tariknya tangan MUA tanpa menghiraukan beberapa wanita lain yang mulai bergunjing ria.
"Apa yang kau lakukan? Kau pikir ini lelucon?"
Violeta menyalakan ponsel dan menghubungi seseorang di sana. Wanita 54 tahun itu mulai meremas pelipis nya.
Tak lama, seorang pria bersetelan jas masuk.
"Anda memanggil saya, nyonya?"
"Hubungi anak buah mu, Petra. Kimberly menghilang."
Terkejut, Pria yang di sapa petra itu segera memberi perintah lewat Earpiece. "Tutup semua pintu. Pastikan kalian menemukan Nona Kimberly."
"Petra, suamiku tak boleh tahu hal ini sebelum kita pastikan keberadaan Kimberly. Terutama, pastikan putra ku tak tahu mengenai hal ini."
Petra mengangguk paham, menunduk hormat kemudian pamit keluar dari ruangan. Selesai dengan petra, Violeta kembali mendekati wanita MUA tadi. Diambilnya beberapa lembar uang seratusan, lalu menyerahkan nya kepada wanita MUA.
"Jangan sampai berita ini tersebar ke luar. Paham?"
Wanita MUA itu mengangguk setelah mengambil uang pemberian Violeta.
"Paham, Bu."
Calon pengantin wanita dari putra seorang CEO melarikan diri dari pelaminan. Jika, media mengeluarkan berita ini maka hancurlah reputasi yang di telah di bangun keluarga Kohler, pemilik perusahaan Meet me. Memikirkannya saja berhasil membuat Violetaa ketakutan setengah mati.
***
Para undangan mulai merasa curiga ketika melihat bagaimana para pria berjas hitam berlari menutupi semua gerbang pintu akses gedung.
Mereka mulai menebak-nebak apa yang sedang terjadi. Namun ternyata bukan hanya undangan, sang mempelai pria dengan mata keabuan nya juga ikut menyaksikan apa yang terjadi.
Roberth Mesac Kohler, sang calon mempelai pria dengan latar belakang putra sulung Clodio Alexander Kohler; CEO PT.Meet Me; seorang pria berdarah Jerman dan Violeta Vania, seorang wanita pribumi. Roberth sendiri juga direktur PT. Meet me.
Terlahir dengaan darah campuran membuat Roberth menjadi pria tampan yang banyak di kagumi wanita, walaupun sikapnya kadang datar dan kaku, bagi beberapa wanita hal itulah yang menjadi daya tarik seorang Roberth.
Meskipun begitu tak banyak yang tahu, Roberth adalah tipe pria yang baik, ia adalah tipe pria yang hanya mencintai satu wanita yaitu Kimberly Robeca.
Pertemuannya dengan Kimberly, seorang gadis cantik yang juga seorang blasteran inggris-Indonesia, di mulai saat mereka berusia 17 tahun. Kunjungan bisnis ke inggris antara Clodio, ayah Roberth dengan ayah Kimberly menghasilkan cinta diantara putra dan putri mereka.
Seiring waktu kedekatan itu membuahkan hasil, keduanya mulai dekat dan memutuskan untuk menjalin hubungan saat Kimberly memutuskan untuk ikut ibunya ke Indonesia untuk melanjutkan studi. Sejak saat itu keduanya mulai serius pada hubungan mereka. Dimulai dari Roberth yang ikut pindah ke Indonesia, hingga berkuliah di kampus yang sama dengan Kimberly yang kala itu mengambil jurusan modeling sementara Roberth mengambil kuliah bisnis sampai keputusan untuk menikah di usia mereka yang ke 28 tahun, membuat kehidupan seorang Roberth tampak sempurna, hingga akhirnya hal yang di takutinya terjadi.
Roberth mulai mengerutkan keningnya melihat apa yang terjadi. Entah mengapa tiba-tiba atmosfer disekitar mulai memanas. Tangan kanannya mulai memijat pelipis. Pikiran akan perbedaan pendapat dengan Kimberly beberapa hari lalu mulai menghantui.
Wanita yang Roberth cintai hampir 12 tahun itu sempat berdebat soal melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Yang mana Kimberly masih ingin melajang dan melanjutkan karir modelingnya, sementara Roberth ingin segera meresmikan hubungan mereka.
Merasa Frustasi, Roberth memutuskan melangkah keluar, dengan setelan tuksedo ia mulai menarik dasi melonggar, akibat sesak yang dirasakan. Tak lupa ia mengambil ponsel kemudian menutup pintu.
“Tuan muda Roberth.”
Roberth menoleh, Petra baru saja keluar dari Lift dan berjalan ke arahnya dengan wajah tegang. Perasaan Roberth mulai tidak enak. Dengan sedikit gugup Petra yang adalah sekretaris pribadi Roberth, mulai mengutarakan maksudnya.
“Nyonya Violeta melarang tapi, saya rasa anda harus tahu ini.”
Roberth meremas pelipisnya dengan mata terpejam. “Apakah Kimberly menghilang?” tebak Roberth tepat sasaran.
“Bagaimana anda tahu?” Pikir petra seseorang memeberitahu bosnya.
“Aku sudah menduga nya.” Balas Roberth.
Seperti dugaan ia tidak menyangka Kimberly benar-benar melakukan nya. Wanita itu sungguh lebih memilih karir di banding hubungan mereka.
“Ah… harusnya dia katakan saja!” gumam Roberth dengan suara rendah. Ia merasa bersalah karena sudah memaksakan kehendaknya tanpa peduli keputusan sang kekaasih.
Petra menatap Bos nya, sedikit tidak percaya, ia jelas tahu saat ini Roberth benar-benar marah, tapi bagaimana bisa reaksi pria yang di tinggal saat hari pernikahan malah se’kaku ini, walaupun memang kepribadian nya, tapi apakah Roberth tidak punya ekpsresi lain selain bersikap datar-datar saja?
“Jadi apa yang harus kita lakukan Tuan muda,”
Roberth tampak berpikir dengan mata terpejam, hingga matanya terbuka. “Batalkan saja.”
“What? No, Honey!”
Baik Roberth maupun petra sama-sama menoleh. Itu Violeta yang baru saja keluar dari lift.
Wanita cantik dengan tubuh proporsional yang agak lebih berisi dari biasanya , berjalan tergesa-gesa menghampiri putranya, kemudian menatap Petra yang saat ini berusaha menghindari kontak mata, seolah berkata, ‘Apa kata ku soal, jangan memberi tahu Roberth?’
“Apa yang kau lakukan di sini, mom?”
“Ayolah putraku, kau tidak bersungguh-sungguh soal ‘Membatalkan pernikahan kan?” cemas Violeta tak menghiraukan pertanyaan Roberth.
“Aku serius, Mom.” Tak ada sedikitpun keraguan. Roberth sudah memutuskan, dan keputusan itu mmbuat Violeta hampir jatuh pingsan.
“Kau tak memikirkan nasib keluarga kita, Roberth? Apa bagimu yang terpenting hanyalah Kimberly? Oh, yang benar saja!” ujar Violeta, membuang wajah nya tak habis pikir.
Mendengar komentar sang ibu, Roberth jadi ingin tertawa, sedikit gila pikirnya jika ia harus benar-benar berdiri di altar tanpa seorang pengantin wanita.
“Lalu apakah aku harus mencari seorang wanita dengan nama Kimberly kemudian berpura-pura bahagia dan membawanya ke altar? Yang benar saja!.” Sarkas nya tak percaya. Namun, seperti nya Violeta memang sungguh memikirkan ide itu.
“Kenapa tidak?Lagi pula hubungan mu dan Kimberly kan rahasia, tidak ada yang tahu seperti apa wajah Kim, mereka hanya tahu nama nya saja, Rob.” Jawaban Violeta spontan membuat Roberth maupun Petra tersedak.
“Are you kidding, mom?”
Mata Roberth membesar, kali ini ibunya memang sudah kelewat konyol. Bagaiman mungkin ia menikahi seorang wanita tanpa mengenal nya?
“Ya, mommy rasa kita harus mencobanya, Roberth.”
Kali ini suasana telah berubah. Tampaknya percakapan ini memang serius. Lagi-lagi Roberth melonggarkan dasi nya. Wajahnya kembali kaku dan serius, nafasnya pun tidak senormal saat ia mengetahui Kimberly menghilang.
“Berhenti membuat lelucon, mom! Petra, sebaiknya kau pergi dan batalkan pernikahan ini sebelum aku sendiri yang melakukan nya.”
Mendengar perintah bos nya, mau tak mau petra harus mengambil langkah pergi. Namun mendengar kalimat menakutkan itu, Violeta semakin menguras pikiran nya. Nasib perusahaan benar-bnar brada di ujung tanduk. Ia pikir harus membujuk Roberth agar mau menerima saran nya.
“Petra,wait.” Violeta menahan petra agar sekretaris putranya itu tidak melangkah ke mana pun. “Apa kau tak akan berubah pikiran?” sambung Violeta untuk Roberth.
“Pikirkan tentang nasib prusahaan, Roberth. Apa kau bahkan tidak memikirkan Daddy mu di jerman sana? Bagaimana jika ia tahu hal ini. Sakitnya akan semakin bertambah parah. Dan bagaiman dengan mommy mu ini? Pikirmu teman-teman mommy akan_”
“What about me, mom?” Tanya Roberth dengan sangsi. Terlihat edikit kekecewaan di mata keabuannya.
Violeta tampak berpikir. Ia harus mengeluarkan jurus andalan yang sering ia gunakan untuk embujuk sang putra.
“Dengarkan Mommy, Roberth. Masalah ini bukan lagi mengenai dirimu. Masalah ini mengenai kita. Pikirkan ini, jika pernikahan mu batal, pengaruhnya akan sangat besar untuk perusahan. Meskipun posisimu saat ini adalah seorang direktur, dan daddy sangat menyayangi mu melebihi putra istri pertama nya, tidak menutup kemungkinan daddy mu akan memberikan perusahan padanya. Dan jika itu terjadi, bagaimana nasib mommy nanti, semua orang akan menghina mommy seperti saat dudlu, apa kau bahkan tak memikirkan hal ini?“ tutur Violeta sudah biasa.
Memang Violeta adalah Istri kedua dari Clodio. Pria itu sebenarnya memiliki istri saat dirinya dan Violeta dekat hingga akhirnya menceraikan Helena istri pertamanya, dan menikahi Violeta. Semakin serakah, Violeta bahkan ingin mendapatkan semuanya termasuk perusahaan sang suami. Oleh sebab itu Violeta berusaha lebih unggul, dimulai dari menyekolahkan sang putra di sekolah Internasional, bahkan mendekati Ibu Kimberly dan sengaja menyuruh Roberth untuk menemani sang ayah saat kunjungan ke inggris agar Roberth dapat bertemu dengan Kimberly, salah satu aset berharga yang kini telah hilang.
“Kau tahu seperti apa Mommy dulu.” Ujar Violeta lagi mengiba.
Mendengar penuturan Violeta, Roberth mulai melunak. Kini ia sadar bahwa semua orang memang egois. Walaupun mencintai Kimberly dengan tulus, tidak dapat di pungkiri, Roberth pun menginginkan perusahaan untuk mewujudkan impian Violeta, sang ibu. Apalagi Roberth tahu betul apa yang dahulu di lalui Violeta saat harus menjaga dirinya yang berusia 7 tahun tanpa sang suami yang mana kala itu belum mau menceraikan istri pertamanya. Walau dengan sadar tahu apa yang di lakukan ibunya itu salah, Roberth masih ingin berdiri di sisi wanita itu dan mendukungnya.
“Baiklah.” Keputusan Roberth berhasil memunculkan binar di mata Violeta. Wanita itu menatap sang putra penuh harap.
“Jadi kau akan tetap melanjutkan pernikahan nya?”
Roberth merengut, bukan maksudnya untuk menyetujui permintaan sang ibu dengan menikahi wanita mana saja. Maksudnya adalah mencari solusi lain.
“Bukan itu maksud ku, mom. Renacana itu tak masuk akal. Siapa wanita gila yang akan menerima lamaran di hari pertama kami bertemu? Aku tak akan menikahi wanita gila, mom. Maksud ku kita harus mencari cara lain.”
Violeta tampak berpikir. Ia kira putranya ini cerdas, tak di sangka ia masih saja kolot. Tentu saja tidak akan ada wanita normal yang mau menikah hanya dalam rentang beberapa jam setelah pertemuan. Tapi bagi wanita gila, terutama wanita yang gila uang, bukan tidak mungkin.
“Tak ada cara lain, Roberth. Pernikahan ini harus tetap terjadi. Lagi pula orang-orang tidak akan percaya jika kita memberi alasan. Mereka sudah curiga, terutama karena wanita MUA tadi.”
“Tapi, mom bagaimana_”
“Berjanjilah satu hal, Roberth,” potong Violeta. Diangkatnya tangan sang putra kemudian ia letakan di atas kepala nya sendiri.
“Berjanjilah Kau akan melanjutkan pernikahan ini.”
Tampak ragu-ragu, Roberth masih belum bisa menyetujui keputusan konyol yang di buat sang ibu. Ia masih belum bisa membayangkan menikah dengan wanita selain Kimberly. Seumur hidupnya ia tak pernah terpikirkan akan kekonyolan ini.
“Berjanjilah padaku, Roberth!” tekan Violeta.
Wanita itu mulai kewalahan dan kelelahan. Namun tinggal sedikit lagi, dan ia harus meyakinkan Roberth seperti keahlian nya.
“Dengarkan! Pernikahan mu ini hanya akan berjalan selama setahun untuk menghindari kecurigaan. Setelah itu, kau bebas melakukan apa pun, bahkan kau bisa kembali mengejar Kimberly.”
Walaupun Kimberly lah penyebab semua kekacauan ini, Violeta masih tetap ingin agar suatu hari Roberth benar-benar menikahinya, lagi pula satu tahun bukanlah waktu yang lama.
“Tapi bagaimana dengan wanita yang akan ku nikahi ini?” Kira-kira pertanyaan ini juga yang saat ini terbesit di benak Petra yang dari tadi berdiri menyaksikan perdebatan konyol antara sang bos dan nyonya Violeta.
“Untuk wanita itu, serahkan saja pada Mommy. Mommy dan petra yang akan mengurusnya. Kau tinggal menyusun syarat-syarat, dan bertemu dengan nya.” Tutur Violeta jelas.
Tak ada pilihan lain, Roberth hanya bisa mengurut pelipisnya seraya mangut-mangut setuju. Lagi-lagi karena Violet lah ia melakukan hal ini.
Kemudian sekali lagi Violeta mengangkat tangan Roberth untuk bersumpah padanya.
“Baiklah aku berjanji.”
***
Hiyola berjalan luntang lantung. Tidak ada niat untuk bekerja karena semua nya sia-sia saja. Rasanya seperti akan mati, tapi di paksa bernafas. Sepanjang jalan yang ia lalui terasa hampa. Semua nya terasa kosong.
Berkali-kali beberapa pengendara mobil bahkan motor, menegurnya karena membawa kendaraan dalam keadaan melamun, tapi tak di hiraukan. Dirinya seperti tak lagi punya tujuan hidup. Semua yang telah ia rencanakan hancur berantakan.
Pikiran akan kondisi sang bibi menghantuinya, tapi yang lebih dari itu adalah uang 158 jt yang entah dari mana akan ia dapatkan, semakin membuat nya bimbang.
Memikirkan uang sebanyak itu di gunakan untuk biaya operasi sang bibi membuat batin Hiyola bergejolak.
‘Apakah lebih baik untuk bibinya mati saja?’
Pertanyaan jahat itu sungguh terbesit di benak Hiyola. Di satu sisi ia menyalahkan dirinya yang kala itu menerima sang bibi untuk tinggal bersama mereka tapi, di sisi lain, dirinya pun merasa kasihan pada sang bibi.
Kenangan di tinggal eleh orang tersayang membuat Hiyola menerima nya tanpa berpikir panjang. Bukan nya jahat, hanya saja ia sudah tak sanggup menerima penderitaan orang lain lagi, sementara penderitaan nya sendiri tidak bisa ia tangani.
Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Matahari begitu terik menyinari bumi, namun Hiyola masih betah mengendarai motornya, tanpa menghiraukan teriknya panas yang semakin membakar kulit.
Sepanjang perjalanan Hiyola terus memikirkan cara cepat agar ia bisa mendapatkan pinjaman, namun tidak ada satupun yang terlintas. Dia sudah pengalaman meminjam uang di rentenir, dan ia takakan mengulangi hal bodoh yang hampir merenggut rumah nya kala itu. Dirinya juga tak mungkin meminjam uang pada Daniel, mengingat baru beberapa hari lalu pria itu curhat tentang saham keluarganya yang anjlok, bahkan rumah mereka yang hampir saja di sita bank, jadi satu-satu nya pilihan yang ada hanya suami bibi Alya. Pria itu harus bertanggung Jawab atas semua hal yang Hiyola derita selama ini.
***
Hope berhenti tepat di depan rumah berdinding setengah beton dan setengah papan, dengan halaman yang cukup luas. Di depan rumah terdapat beberapa pohon cabai yang tumbuh subur.
Dengan sedikit ragu-ragu, Hiyola akhirnya memantapkan hatinya untuk mengetuk pintu.
Pintu di ketuk, terdengar suara sahutan dari dalam rumah. Jantung Hiyola semakin berpacu tatkala seorang gadis yang tampak lebih muda dari nya membuka pintu.
Hiyola menatap wanita itu dari kepala sampai kaki. Tidak mungkin paman nya itu menikahi wanita semuda ini? Mungkin saja gadis ini putri dari wanita yang paman nya nikahi.
“Maaf, ada perlu apa?”
“Saya mencari paman Haris.”
Gadis di depan nya memicing. Aura tidak suka begitu terpancar dari wajah muda nya.
“Untuk apa kamu mencari mas Haris?”
Glek…
Hiyola menelan salivanya.
Mendengar jawaban gadis itu, sontak mata Hiyola membulat sempurna, gadis muda ini memanggil sang paman dengan sebutan mas?
Jadi, paman nya itu benar-benar menikahi wanita semuda ini? Mengetahui kenyataan di tambah balasan dongkol gadis ini, hati Hiyola semakin dongkol. Sepertinya gadis ini tidak tahu saat ini Hiyola sangat ingin menelan orang hidup-hidup.
“Maaf, urusan saya dengan paman Haris, saya tidak ada urusan dengan anda,” Balas Hiyola tak kalah ketus.
Sang Gadis tampak tidak suka, ia ingin membalas ucapan Hiyola namun kalah cepat dari paman Haris yang entah baru dari mana.
“Hiyola?”
Hiyola berbalik, dari depan pintu pagar, pria yang hampir 18 tahun ia kenal sebagai suami Bibi nya, berjalan mendekat.
“Ada urusan apa kamu kemari?”
“Aku perlu uang untuk biaya operasi bibi.”
“Operasi? Memangnya masalah apa lagi yang bibi mu itu timbulkan?”
Hiyola mengernyit, sama sekali tidak ada raut kesedihan ataupun khawatir di wajah sang paman yang menurut Hiyola jelek, tapi malah mendapatkan seorang gadis muda.
“Bibi kecelakaan dan harus segera di tangani. Kami butuh 158 juta untuk biaya rujukan sekaligus biaya operasi nya.”
Bukan nya menjawab, Haris spontan tertawa, tawa mengejek yang sangat Hiyola benci.
"Karena itu aku berpisah dngan nya. Wanita itu pembawa sial."
Bagaimana bisa bibinya hidup dengan pria sebrengsek ini?
“tertawalah sepuas paman, lalu berikan uang nya. Aku tak punya uang sebanyak itu!”
“Kau kira kami punya uang? Sepeser pun tak akan ku berikan.” Kali ini jawaban berasal dari belakang. Istri muda paman menyela. “Katakan pada Alya untuk lebih baik mati saja.”
Tangan Hiyola mengepal, ingin rasa nya ia menampar bocah bermulut besar ini, tapi dirinya tidak punya waktu. Lagi pula di lihat dari kondisi rumah yang semakin tak terurus, Hiyola memang tak punya harapan dengan berlama-lama di sini.
Dengan senyum menyindir, Hiyola langsung berjalan melewati paman dan istri barunya nya membuat pria itu tampak kesal.
“Apa maksudmu tersenyum seperti itu?”
“Oh tidak.” Hiyola memasang helm nya, sambil memutar motor. “Aku hanya bersyukur bibi Alya memilih meninggalkan mu, paman,” Sambung nya seraya menjalankan motor kemudian melesat pergi, tak mengacuhkan teriakan dan makian dari sang paman dan istri muda nya.
Sepanjang perjalanan Hiyola mengutuki kebodohan nya karena sempat berpikir untuk meminta pertanggung jawaban paman yang bahkan menelantarkan sang bibi hanya demi perempuan bau kencur.
“Arghhh… aku berjuang setengah mati, bahkan hampir mati untuk berada di detik ini tapi semuanya kembali lagi ke awal.”
Walaupun sempat terjeda tadi, stress Hiyola kembali lagi, kali ini dengan kadar yang lebih besar. Sepertinya Tuhan memang sudah meninggalkan nya. Saat tengah memikirkan rencana berikut nya, tiba-tiba ponsel Hiyola berbunyi. Panggilan dari perusahaan tempat nya bekerja.
Perasaan Hiyola jadi tak enak. Baru kali ini prusahan menelpon nya. Apa mungkin ada masalah? Apa mungkin Perusahaan tahu mengenai pemalsuan umurnya? Bagaimana jika mereka meminta ganti rugi untuk semua uang yang ia terima?
Pikiran-pikiran buruk kembali menghantui Hiyola. Sepanjang perjalanan Hiyola semakin takut. Jantungnya berdegup tak karuan, tangan dingin nya di penuhi keringat, sementara nafasnya mulai tidak teratur.
“Apa yang harus ku lakukan?”
***
Hiyola duduk dengan posisi sedikit tidak nyaman. Berkali kali ia menggosok kedua telapak tangan pada celana berbahan kain, untuk menghilang kan keringat yang semakin banyak bercucuran. Matanya bahkan terus melirik ke arah pintu kaca, sambil menunggu dengan tidak sabar.
Dalam hati Hiyola bersumpah, jika hal buruk yang ia pikirkan tadi benar-benar terjadi, maka dia akan langsung melompat lewat jendela kaca yang tepat berada di kanan nya.
Sudah lewat lima menit Hiyola menunggu, namun tak ada seorang pun yang datang. Jantungnya semakin berdegup kencang, rupanya mereka ingin ia jantungan baru mereka akan datang.
Lama memandangi ruangan dengan beberapa furniture mewah, tiba-tiba pintu kaca itu terbuka.
Seoang wanita cantik dan elegan berjalan masuk lebih dulu, di ikuti seorang pria berjas hitam. Wanita itu duduk di depan Hiyola, di batasi meja. Sementara pria bertubuh kekar, berjas hitam tadi berdiri tegap di belakangnya.
“Kamu Kimberly?” Tanya sang wanita.
“O..? Eh…?” Hiyola gelagapan. Tak tahu harus menjawab apa. Dia baru kembali sadar saat wanita itu mengernyitkan alisnya.
“Ah, iya. Saya Kimberly.” Jawab Hiyola terburu-buru. Ia baru sadar Kimberly adalah nama samara yang ia gunakan sat melamar dan juga nama samara yang ia gunakan di aplikasi Meet me.
“Perkenalkan, saya Violeta. Istri dari CEO perusahan ini.”
Mata Hiyola membelalak. Ia spontan berdiri lalu membungkuk hormat. “Salam kenal nyonya Violeta.” Ucapnya lantang.
Violeta sama sekali tidak bergeming. “Kita langsung ke inti saja. Kau bisa ber’akting?” Menyerah kan beberapa lembar kertas.
Berkas kini berada di tangan Hiyola. Berkas itu menunjukkan maksud dari pertemuan saat ini. Walau sempat merasa senang karena apa yang Hiyola pikirkan itu tidak terjadi, kecemasan itu masih tetap ada.
“Jadi maksud anda, saya akan di bayar untuk menikahi putra anda?” Tanya Hiyola sedikit tidak percaya. Bukankah hal ini sama saja dengan membelinya?
“Maaf nyonya. Tapi saya tidak bisa.” Balas Hiyola. Ia tidak ingin hal konyol ini semakin larut. Dengan langkah cepat Hiyola segera berdiri, tidak lupa membungkuk hormat. “Saya anggap kita tidak pernah bertemu.” Ucapnya lagi, lantang.
Tangan Hiyola sudah hampir menyentuh ganggang pintu, namun kalimat yang baru keluar dari mulut Violeta menghentikan langkahnya.
“Kamu pikir saya tidak tahu mengenai kecurangan mu saat mendaftar di perusahan ini, Hiyola?”
Akhirnya apa yang Hiyola takutkan terjadi. Ia mengepalkan kedua tangan nya, dan dengan langkah berat kembali mendapati Violet.
“Anda mengancam saya, sekarang?”
Violeta mengedikkan bahunya. “Jika di telinga mu terdengar seperti itu, maka benar.”
Hiyola mencengkram rambut, frustasi. Entah masalah apa lagi yang harus ia hadapi.
“Duduk dan kita akan mulai membahasnya.”
Dengan kesal, Hiyola akhirnya duduk menuruti perintah Violeta. Dirinya benar-benar sudah terjebak. Tidak ada jalan untuk lari. Habis lah sudah dirinya di sini.
“Petra,” Violeta mulai membuka sesi negosiasi. Petra mengeluarkan beberapa lembar foto, lalu memberikannya untuk Hiyola.
Dengan ekspresi tidak suka, Hiyola mengambil dan betapa terkejutnya dia, saat melihat lembar foto yang semuanya adalah gambar diri nya. Bahkan foto saat di rumah paman nya tadi juga ada. Pantas saja tadi Hiyola merasa seperti ada yang mengikuti.
“Apa maksud semua ini?”
“Kami tahu saat ini kamu sedang membutuhkan uang untuk operasi bibi mu. Oleh karena itu kami memberikan penawaran ini.” Tutur Petra. Menyerahkan selembar cek dengan nominal 200 juta dan diletakkan di atas meja tepat di depan Hiyola.
“Jika anda setuju menikahi tuan muda, maka dua ratus juta itu akan menjadi milik anda.”
Mata Hiyola membelalak. Walaupun ia cinta uang, bukan berarti dirinya bisa di beli begitu saja.
“Kenapa harus saya?” suara Hiyola semakin meninggi. Sudah tidak ada harapan lagi.
“Karena nama di aplikasi anda adalah Kimberly.” Sahut Petra.
Sejak awal Hiyola memang tidak ingin menggunakan nya, tapi karena kata Miona, nama Kimberly itu keren, Hiyola pun hanya menurut saja.
“Apa tidak ada pilihan lain?” tanya Hiyola dengan wajah memelas.
“Tidak ada! Jika anda menolak, Anda harus mengganti rugi semua uang yang telah di berikan perusahan.” balas Petra, kali ini sedikit ketus membuat nyali Hiyola semakin ciut.
“Pilihan ada di tangan mu.” ujar Violeta meletakkan kertas dan pena di atas meja di hadapan Hiyola.
“Lagi pula kau tidak perlu khawatir, pernikahan ini hanya akan berjalan selama setahun, setelah itu kau boleh pergi.”
Hiyola terkesiap. Ia tidak tahu jika pernikahan ini hanya akan berjalan selama setahun. Kalau di pikir-pikir, ia tidak akan mungkin mengumpulkan dua ratus juta hanya dalam setahun. Uang yang ia kumpulkan selama kurang lebih 6 tahun bahkan tidak sampai setengah tawaran mereka.
Hiyola mengernyit, tampak berpikir keras. Untuk pertama kalinya ia dilema antara uang dan harga diri. Meski pun cinta uang, selama ini Hiyola tidak pernah merendahkan harga dirinya.
Berkali-kali tawaran untuk menjadi wanita malam datang menghampiri, tapi selalu ia tolak. Meskipun sedikit berbeda, artinya tetap sama dengan menjual diri. Tapi, jika ia menerima tawaran ini, hidup mereka akan baik-baik saja. Miona bisa sekolah dengan baik, makan nya juga pasti baik. Sang bibi juga bisa di operasi, dan dirinya tidak perlu mengkhawatirkan uang ganti rugi. Semua masalah mereka akan selesai hanya dengan membubuhkan tanda tangan nya.
“Argh…” gerutunya. Lagi dan lagi, ia harus mengorbankan dirinya demi orang lain. Seperti nya memang sudah taka da pilihan lain. Hanya ini satu satunya cara menyelamatkan hidup Miona, Bibi Alya dan juga diri nya.
Sementara di seberang meja, Violeta semakin greget. Dia harus melakukan keahlian nya untuk mendapatkan Hiyola. Lagi pula menurutnya, Hiyola juga tidak buruk. Dia cantik dan tubuhnya tak kalah bagus dari Kimberly. Ingin mempercepat negosiasi, Violeta dengan satu gerakan cepat mencoba memancing dengan cara menarik kertas, tapi rupanya Hiyola telah memutuskan.
“Baiklah saya setuju.” Jawaban lantang Hiyola membuat Violeta menyunggingkan senyum puas.
“Baiklah. Sekarang juga, kau akan menikah.”
“Apa…?”
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!