NovelToon NovelToon

Wishing For You

Hope

Terkadang dia berpikir jika hidupnya begitu tidak adil, ayahnya seorang pencandu, ibunya yang tidak pernah menunjukkan kasih sayang kepadanya, dia terpaksa tinggal dengan orang tuanya dan membiayai kedua orang tuanya karena berbagai ancaman. Itulah Hope, gadis muda berusia 19 tahun yang berusaha terlepas dari kedua orang tuanya. Hope mendapatkan beasiswa penuh di Fakultas Kedokteran, bekerja sampingan sebagai pelayan di salah satu restoran. Semua itu terdengar dan terasa tidak adil untuk seorang Hope, tetapi Hope terpaksa menjalani kehidupan seperti ini.

Pukul 06.40 pagi, Hope sedang menunggu bus di halte untuk pergi menuju ke kampusnya. Biasanya Hope menunggu bersama Stevani, yaitu kakak tingkatnya di kampus. Stevani adalah orang selalu membantu Hope saat Hope sedang kesulitan, walaupun banyak berita tidak mengenakkan tentang Stevani tetapi Hope tetap berteman dengan Stevani.

“Apa sudah menunggu lama?” tanya Stevani yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

“Eh, Kak Stevani bikin kaget saja. Enggak aku baru saja datang,” jawab Hope sambil tersenyum kepada Stevani.

Stevani pun mengedarkan pandangannya kepada Hope, itu adalah hal yang biasanya Stevani lakukan pertama kali saat bertemu Hope. Stevani melihat wajah, lengan, kaki, dan badannya Hope. Stevani mencari luka memar yang biasanya terlihat ditubuh Hope. Namun, Stevani sulit melihat dibalik jaket Hope yang begitu panjang.

“Mengapa kamu pakai pakaian begitu panjang? Padahal hari ini tidak dingin,” ucap Stevani dengan nada begitu curiga.

“Perasaan Kakak saja kali, aku merasa dingin kok,” sangkal Hope yang sebenarnya menutupi luka barunya dari Stevani.

“Baiklah, terserah kamu.”

Bus pun datang. Hope bersama Stevani langsung menaiki bus itu. Sepanjang perjalanan Stevani terus melihat kepada Hope, Stevani benar-benar curiga mengapa Hope memakai pakaian panjang di cuaca yang panas seperti ini. Stevani ingin bertanya, tetapi itu bukanlah urusannya dan pasti Hope akan berbohong kepada Stevani.

***

Siang harinya. Hope pergi ke perpustakaan untuk mengerjakan tugasnya bersama Amber. Di lingkungan kampus sendiri Hope tidak memiliki teman selain Amber dan Stevani. Dikarenakan berbeda tingkat dengan Stevani, Hope jarang sekali bertemu Stevani di kampus. Selain itu juga, Stevani tidak menyukai Amber karena Amber adalah gadis yang suka bergosip. Akan tetapi, Stevani tidak pernah melarang Hope berteman dengan Amber. Sebenarnya, Hope juga tidak terlalu menyukai beberapa sifat dari Amber, tetapi Amber begitu baik kepada Hope.

“Hope, apa kamu tahu?” tanya Amber sambil berbisik kepada Hope yang sedang memilih buku.

“Tidak.”

“Tadi itu saat kelasnya pak Damian, pak Damian itu kayak terus melirik ke aku tahu,” ucap Amber dengan percaya diri.

“Itu perasaan kamu saja kali, kamu itu harus ingat pak Damian itu seram, sangar, dan jarang berbicara di luar jam kuliah,” balas Hope yang menjatuhkan harapan Amber yang begitu tinggi.

Hope tidak habis pikir dengan Amber yang menyukai dosen mereka sendiri, yaitu pak Damian. Walaupun Damian masih muda, tampan, dan baru saja mengajar, tetapi tetap saja menurut Hope tidak baik menyukai dosen sendiri. Lagi pula Hope dan Amber mungkin dimata Damian hanya mahasiswi biasa saja, tidak lebih. Maka dari itu Hope selalu mengingatkan Amber agar tidak jatuh hati kepada Damian.

“Ih, kamu itu terlalu realistis, coba kamu sekali-kali berhalusinasi pangeran berkuda akan datang kepada kamu,” ucap Amber yang mulai tidak masuk akal.

“Apaan sih, sadar Amber kita ini hidup di dunia nyata. Enggak ada tuh yang namanya pangeran berkuda,” balas Hope yang emosi dengan sifat kekanak-kanakan Amber.

“Sshht. Kalian tidak tahu ini perpustakaan, ya.” Damian yang tiba-tiba muncul membuat Hope dan Amber terkejut. Amber dan Hope saling pandang satu sama lain karena Damian terlihat begitu menyeramkan. Mereka berdua sudah yakin jika Damian akan memarahi mereka habis-habisan karena bersuara di perpustakaan.

“Dasar anak muda zaman sekarang,” ucap Damian lalu pergi begitu saja. Hope dan Amber pun terkejut karena Damian tidak memarahi mereka, tetapi mereka juga bersyukur.

***

Setelah menyelesaikan jam kuliahnya Hope langsung pergi bekerja, Hope pergi berjalan kaki karena restoran tempat dia bekerja tidak jauh dari kampus. Sesampainya di restoran Hope langsung berganti pakaian dan memakai celemek. Setelah selesai Hope langsung bergegas untuk melakukan perkerjaannya. Setelah 30 menit Hope beristirahat sebentar di belakang, di saat yang bertepatan juga Stevani baru saja datang. Stevani memberikan sebotol air mineral karena melihat Hope yang begitu kelelahan.

“Hari ini pelanggan cukup banyak, jadi kamu tidak bisa bersantai-santai,” ucap Stevani.

“Iya Kak, aku hanya ingin beristirahat sebentar saja. Oh iya, tumben Kakak sudah datang, Kak Stevani tidak membolos kelas lagi, kan?” tanya Hope yang curiga, karena Stevani datang lebih awal satu jam ke restoran.

“Iya aku membolos, tetapi itu tidak penting bulan ini aku butuh uang tambahan. Jika aku mengikuti kelas hari ini aku tidak dapat uang tambahan,” jawab Stevani.

“Kamu juga mungkin sekali-kali harus membolos, lihatlah sekarang masih tengah bulan tetapi kamu sudah kehabisan uang lagi,” ucap Stevani.

“Eh kalau itu aku tidak bisa, nanti beasiswa aku dicabut. Lagian uangku sudah cukup kok sampai gajian berikutnya, Kak Stevani tidak perlu khawatir,” balas Hope sambil tersenyum. Mendengar itu Stevani tidak merespons apa pun dia langsung pergi untuk melakukan perkerjaannya.

Hope pun melanjutkan perkerjaannya karena restoran hari ini begitu penuh. tetapi ada satu hal yang mengganggu Hope, yaitu mengapa Stevani semudah itu membolos kelasnya. Hope hanya khawatir jika Stevani mengulang semester lagi seperti beberapa bulan yang lalu. Namun ini adalah Stevani yang keras kepala, Hope tidak bisa berbuat apa-apa. Hope pun melanjutkan perkerjaannya hingga manajer menyuruh Hope menemuinya di belakang dapur.

Hope mengira dirinya akan terkena masalah atau pelanggan ingin mengomplain tentang sesuatu. Namun, ketika manajernya mengatakan jika ada pelanggan yang ingin berbicara dengan Hope, Hope pun langsung mengumpulkan keberanian untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Betapa terkejutnya Hope saat melihat pelanggan itu adalah Damian, dosennya sendiri. Apakah Damian akan mengkritik Hope juga di tempat kerjanya? Hope tidak tahu, dia hanya berdoa agar tidak masalah.

“Hei, pirang,” ucap Damian, Hope pun langsung melihat kepada dirinya karena yang pirang hanya dia seorang.

“Saya minta maaf jika saya Melakukan kesalahan, kesalahan apa pun itu saya tidak bermaksud dan mungkin itu hanya kelalaian saya saja,” ucap Hope lalu menunduk kepada Damian. Damian hanya melihat itu tertawa kecil, anak itu benar-benar mengira Damian akan mengkritiknya.

“Siapa bilang kamu melakukan kesalahan?” tanya Damian.

“Tidak ada, tetapi saya yakin pasti Bapak ingin protes tentang kinerja saya,” jawab Hope dengan begitu yakin.

“Kamu tidak melakukan kesalahan apa-apa.”

“Lalu, mengapa Bapak ingin bertemu dengan saya?”

“Berhentilah memakai jaket saat di kelas saya itu membuat mata saya sakit, lalu bilang kepada kakak tingkat yang selalu bersama kamu, dia harus ikut kelas saya Minggu ini atau saya keluarkan dia dari kelas saya,” ucap Damian dengan nada yang begitu tajam, lalu tanpa menunggu jawaban Damian langsung pergi.

Sedangkan Hope terlalu terkejut untuk berbicara, bisa-bisanya Damian menegurnya di tempat dia bekerja. Hope merasa tertindas oleh Damian karena Damian mengetahui Hope selalu tidak bisa berkata-kata jika diajak berbicara. Akan tetapi, tidak seperti ini juga jika ingin memberi tahu sesuatu, ditambah ini di luar jam kuliah. Rasanya Hope ingin memarahi Damian. Namun apa daya ketakutannya lebih besar dari rasa marahnya.

“Jika aku jadi kamu, pasti dosen itu sudah tidak selamat,” ucap Stevani yang sedari tadi melihat dari belakang.

“Sudah, lebih baik aku kembali bekerja. Aku tidak tahan melihat dosen itu lagi,” balas Hope dengan raut wajah yang begitu lesu.

“Itu merupakan salah satu alasan aku tidak pernah mengikuti kelas dosen itu,” ucap Stevani.

***

Malam harinya tepat pukul 11.34 malam, Hope berada di depan rumahnya. Sebelum membuka pintu Hope berdoa terlebih dahulu agar kedua orang tuanya sudah tertidur lelap. Hope pun membuka pintu rumahnya lalu masuk secara perlahan, suasana terlihat begitu gelap. Hope menutup pintu lalu berjalan dengan begitu hati-hati dan berusaha tidak bersuara sama sekali. Saat Hope ingin menaiki tangga tiba-tiba lampu menyala, tanpa Hope sadari ayahnya menunggunya pulang. Hope melihat kepada ayahnya yang sedang duduk di sofa dan tepat di belakang ayahnya ada ibunya.

“mengapa kamu baru pulang?” tanya Emma kepada putrinya.

“Hari ini restoran banyak pelanggan,” jawab Hope.

“Apa kamu lupa?” tanya David kepada Hope.

Hope pun baru teringat jika hari ini dia harus membayar uang judi karena ayahnya kalah dalam permainan, bagaimana Hope bisa melupakan hal itu. David yang mengetahui jika Hope tidak membawa uang yang dia minta, langsung menghampiri Hope. Hope bisa mencium bau minuman keras dari badan ayahnya, tamatlah riwayat Hope kali ini. Tanpa aba-aba David langsung menampar pipi Hope dengan begitu keras hingga membuat Hope terjatuh.

Tidak hanya itu, David menarik lengan Hope agar Hope berdiri tegak lalu menjambak rambut Hope. Hope merintih kesakitan karena jambakan itu begitu kuat sehingga kepala Hope terasa sakit. David pun menyeret Hope untuk pergi ke dapur, David melepaskan Hope sebentar lalu mengambil pisau dapur yang tajam. Tanpa berpikir panjang David mengambil lengan Hope dan menyayat lengan Hope dengan pisau itu. Darah keluar dari lengan Hope dan Hope langsung merintih kesakitan.

“Jika kamu tidak membawa uang itu besok, kamu akan mendapatkan hal yang lebih parah,” ucap David lalu pergi dari rumah, entah ke mana pria itu pergi.

Belum sempat Hope mengumpulkan tenaga untuk bangun, Emma sudah menyiramnya dengan seember air dingin. Seluruh badan Hope basah kuyup dan lukanya terasa perih, rasanya dia ingin menangis tetapi tidak bisa. Emma menyuruh Hope bangun, saat Hope berdiri Emma menarik Hope pergi ke gudang. Emma melempar Hope ke dalam gudang yang gelap, kotor, dan juga dingin. Tanpa berkata apa-apa Emma langsung mengunci pintu gudang dari luar.

Dengan cepat Hope langsung mengambil ponselnya di dalam tas dan menghubungi Stevani. Namun, Stevani tidak mengangkat panggilan dari Hope, dia menolak panggilan itu. Hope langsung meneteskan air mata dan menangis tanpa suara. Hope membaringkan tubuhnya dilantai yang dingin itu lalu berusaha tertidur. Beberapa jam kemudian terdengar suara pintu gudang terbuka, Hope langsung melihat siapa yang datang dan ternyata itu adalah Stevani.

“Kak Stevani,” lirih Hope.

“Sshht. Jangan berisik kamu akan membangun kedua bajingan itu,” ucap Stevani dan Hope langsung mengangguk.

Stevani langsung menyalahkan lampu gudang yang sakelarnya terletak di luar, setelah menyalakan lampu Stevani langsung masuk ke dalam gudang dan menutup pintunya. Stevani mengeluarkan perban dan obat merah dari tasnya lalu mengobati luka di lengan Hope, Hope pun hanya terdiam dan membiarkan Stevani mengobatinya.

“Aku sudah bilang berkali-kali jika kamu harus keluar dari neraka ini,” ucap Stevani.

“Aku tidak bisa, jika aku keluar dan tidak memberikan mereka uang lagi. Mereka akan menyebarkan foto itu dan membuat beasiswa aku dicabut,” balas Hope.

“Baiklah, tetapi mereka makin keterlaluan jika tidak mendapat yang mereka mau.”

“Tenanglah, Kak, setelah lulus kuliah aku bisa lepas dari genggaman mereka dan aku akan mencari cari untuk menghapus foto itu.”

“Kakak, mengapa tadi menolak panggilan aku? Apa mama Kakak membuat ulah lagi,” tanya Hope.

“Pastinya, tadi dia masuk kantor polisi karena telanjang di publik, tetapi kamu tenang saja semua sudah beres,” jawab Stevani sambil tersenyum tipis.

Stevani pun selesai mengobati luka di lengan Hope, walaupun Stevani yakin jika luka Hope bukan hanya satu. Susah untuk Stevani membuat Hope mengakui di mana saja orang tuanya melukainya. Hope langsung berterima kasih kepada Stevani karena jika tidak ada Stevani mungkin lukanya akan infeksi dan menjadi lebih parah. Hope benar-benar berhutang budi kepada Stevani karena ini sudah ke sekian kali Stevani membantunya.

“Oh ya, mengapa Kak Stevani bisa masuk?” tanya Hope.

“Aku tahu kamu bakal marah karena sebenarnya aku membuat duplikat kunci rumah kamu dan setiap ruangan yang ada di rumah kamu,” jawab Stevani dengan jujur.

“Bagaimana Kakak mendapatkan kuncinya?” tanya Hope sekali lagi.

“Mencurinya, ayolah Hope kamu seperti tidak mengenal aku saja,” jawab Stevani dengan enteng.

“Hati-hati nanti Kakak masuk kantor polisi lagi,” ucap Hope.

“mengapa memang, aku menyukai saat di dalam sel,” canda Stevani.

“Sudahlah lebih baik aku pulang nanti kedua bajingan itu bangun lagi, aku matikan ya lampunya,” ucap Stevani yang bersiap untuk pergi dan membuat keadaan seakan dia tidak pernah datang.

“Iya, selamat tinggal,” balas Hope dan Stevani langsung menutup pintu lalu mematikan lampu gudang.

Hope pun kembali berbaring di lantai yang dingin sambil menahan air matanya. Hope harus bertahan beberapa tahun lagi untuk menghadapi keadaan ini dan Hope harus kuat menjalaninya. Terkadang Hope berpikir untuk kabur, tetapi dia mengingat foto itu dan beasiswanya yang susah dia dapatkan. Menurut Hope ini semua sebanding dengan mimpinya dan kebebasan yang dia nantikan.

Bersambung…….

Damian

Damian, seorang dosen muda yang mengajar di fakultas Kedokteran. Damian berasal dari keluarga yang bisa dibilang cukup kaya raya, ayahnya seorang pebisnis andal, ibunya sudah meninggal sejak usainya 5 tahun tetapi Damian memiliki ibu sambung dan saudara satu ayah. Ibu sambung Damian adalah seorang ibu rumah tangga biasa dan saudaranya adalah seorang pengacara muda yang sukses.

Semua itu terdengar seperti hidup yang sempurna dan bahagia. Namun tidak ada yang tahu apa yang terjadi dibalik kehidupan sempurna itu. Keluarga ayahnya selalu membenci Damian karena ibunya dahulu adalah gadis dari keluarga biasa saja, ayahnya bahkan jarang menganggap Damian ada dan saudaranya yang selalu iri dengannya. Satu-satunya orang yang memedulikan Damian adalah ibu sambungnya, banyak yang tidak percaya saat mendengar itu tetapi itulah kenyataannya.

Di hari Minggu seperti biasa Damian datang ke rumah orang tuanya untuk sarapan bersama, itu adalah tradisi di keluarga Damian. Damian datang bersama sahabatnya Bastian karena Damian tidak mempunyai siapa-siapa lagi untuk diajak. Bastian sahabat Damian semenjak SMA, Bastian memiliki kepribadian yang bertolak belakang dengan Damian hingga membuat banyak orang tidak percaya mereka berteman.

“Aku masih tidak mengerti, mengapa kita harus mendatangi perkumpulan konyol ini,” keluh Bastian yang mengganggu Damian yang sedang memarkir mobilnya.

“Itu sebagai tanda jika aku menghargai mereka,” ucap Damian.

“Ayolah kawan, mereka saja tidak menghargaimu,” balas Bastian dengan nada ketus.

“Berhentilah berbicara aku ingin memarkirkan mobil ini!”

“Baik, tetapi aku hanya berbicara yang sebenarnya.”

Setelah memarkirkan mobil, Damian dan Bastian langsung pergi ke halaman belakang rumah untuk bertemu yang lain. Di halaman belakang sudah ada Dareen saudara Damian, Caitlyn ibu sambungnya Damian, dan tentu saja neneknya Damian. Tidak lupa dengan tamu undangan mereka, yaitu keluarganya Amber. Kedua keluarga itu ingin membahas perjodohan Dareen dan Amber.

“Benci mengatakan ini, tetapi lihatlah betapa pencitraan semua ini,” bisik Bastian.

“Eh, Damian dan Bastian sudah datang. Ayo duduk sini,” panggil Caitlyn yang menyuruh mereka berdua untuk bergabung.

“ Di mana ayah?” tanya Damian.

“Dia bentar lagi datang, kamu tidak usah khawatir,” jawab Caitlyn.

“Untuk apa khawatir, aku yakin pasti ayahmu tidak akan memperhatikan sama sekali,” celetuk Bastian, sontak Damian langsung menatap tajam kepada sahabatnya itu. Bastian pun baru mengingat jika dia harus mengontrol mulutnya saat bertemu dengan keluarga Damian karena bisa dibilang keluarga Damian begitu sensitif.

“Hahaha, kamu bisa saja bercandanya Bastian,” ucap Caitlyn yang berusaha mencairkan suasana karena semua orang memandang Bastian dengan begitu tajam.

Tak lama kemudian Liam datang dan semua orang langsung duduk di kursi masing-masing. Semua pun mulai menyantap makanan mereka dan Liam bersama orang tuanya Amber membahas tentang bisnis dan perjodohan Dareen dan Amber, sedangkan Damian hanya diam saja dan Bastian sibuk menyantap makanannya. Suasana terasa begitu canggung untuk Damian, entah mengapa rasanya Damian ingin segera keluar dari rumah ini.

“Sebelum kita semua selesai, mari bersulang untuk Dareen yang berhasil memenangkan kasusnya,” ucap Helen yang mengangkat gelasnya. Mendengar itu semua orang langsung mengangkat gelas mereka dan bersulang termasuk Damian dan Bastian. Semua orang mulai memuji Dareen yang begitu hebat dan memberikan selamat.

“Perkerjaan kamu sungguh berjasa untuk masyarakat, berbeda dengan Damian yang mengajar anak-anak berandalan,” ucap Helen yang menyindir Damian, Damian yang mendengar itu hanya bisa terdiam. Memang anak-anak di fakultasnya banyak yang bergaul dengan cukup bebas, tetapi setidaknya mereka masih ingin belajar.

“Ah, Mama tidak boleh bilang seperti itu. Damian sudah berusaha sebaik mungkin,” bela Caitlyn.

“Iya menurut aku Kak Damian itu hebat,” ucap Amber.

“Menurut Ayah, kamu harusnya mencari pekerjaan yang lebih baik daripada mengajar seperti itu,” ucap Liam.

“Permisi, saya harus ke toilet,” balas Damian yang langsung bangun dari duduknya dan pergi masuk ke dalam rumah diikuti oleh Bastian.

Setelah beberapa saat Damian tak kunjung kembali juga, Caitlyn memutuskan untuk menyusul anak itu. Caitlyn khawatir jika Damian sakit hati mendengar itu semua, Caitlyn tidak habis pikir dengan mertua dan suaminya yang terus mengkritik Damian, sedangkan Dareen yang melihat Caitlyn pergi langsung berpikir jika Caitlyn ingin menemui Damian. Menurut Dareen, Caitlyn terlalu menyayangi Damian hingga melupakan anak kandungnya. Di dalam rumah Caitlyn melihat Damian dan Bastian sedang berbincang di dapur, ditambah Bastian yang memakan buah-buahan di dapur.

“Apa yang kalian berdua lakukan di sini?” tanya Caitlyn.

“Jika boleh jujur Tante, lebih baik kami di sini daripada di sana,” ucap Bastian sambil menunjuk ke halaman belakang.

“Bastian, bisa kamu tinggalkan kami berdua,” pinta Caitlyn dan Bastian langsung pergi dari dapur. Caitlyn pun menatap putranya yang penuh dengan rasa kecewa, seperti dugaan Caitlyn, Damian merasa kecewa dengan omongan mertua dan suaminya. Raut wajah Damian sudah mengatakan itu semua dan Caitlyn tidak perlu bertanya lagi.

“Aku tahu kamu merasa kecewa oleh ucapan nenek dan ayah kamu, jadi diambil hati, ya. Aku tahu pekerjaan kamu sama mulianya dengan perkerjaan Dareen,” ucap Caitlyn dan Damian langsung tersenyum tipis.

“Terima kasih Tante, Tante harusnya tidak merasa bersalah karena omongan mereka. Lagi pula aku sudah terbiasa mendengar itu,” balas Damian.

“Baik, jika kamu ada masalah cerita saja kepada Tante ya jangan dipendam sendiri.”

“Pastinya, memang aku ingin bercerita kepada siapa lagi yang ingin mendengar ceritaku hanya Tante saja.” Mendengar itu Caitlyn langsung memeluk Damian, Caitlyn merasa kasihan dengan Damian yang terus dikucilkan oleh keluarganya sendiri terutama ayahnya. Caitlyn pun melepaskan pelukan dan menyuruh Damian untuk pulang karena untuk apa Damian ada di sini jika hanya untuk dikucilkan.

***

Keesokan harinya. Damian sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus, sedangkan Bastian masih bersantai di ruang televisi dengan pakaian tidurnya. Sebelum berangkat Damian mengecek barang-barangnya agar tidak ada satu pun yang tertinggal, saat merapikan barang Damian tidak sengaja menjatuhkan makalah seseorang. Damian pun melihat makalah itu, makalah milik Hope. Damian membawa pulang makalah itu karena itu membuat Damian tertarik, bukan dengan isinya. Namun dengan kertas makalah itu yang lecek seperti bekas terkena air.

Selama sebulan mengajar, Damian terus memperhatikan Hope karena dia merasa ada yang tidak beres dari Hope. Setiap hari Hope memakai jaket atau baju lengan panjang walaupun cuacanya panas, awalnya Damian melihat itu biasa saja hingga suatu hari Damian melihat memar di leher Hope. Memang Damian tidak melihat jelas memar itu karena tertutup oleh rambut Hope, tetapi Damian yakin jika itu adalah luka memar bekas pukulan seseorang.

“Apa kau masih mencari tahu tentang gadis itu?” tanya Bastian yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Damian.

“Iya, aku masih merasa curiga dengan gadis itu. Aku sudah mencari tahu tentang keluarganya dan yang aku temukan adalah hal mengerikan. Ayahnya pernah ditangkap karena menggunakan obat-obatan terlarang dan ibunya adalah penipu,” ucap Damian.

“Itu semua terdengar tidak mungkin, lihatlah gadis itu mempunyai beasiswa penuh di fakultas Kedokteran, itu adalah hal yang cukup sulit. Jadi terdengar tidak mungkin jika keluarga gadis itu yang seperti kamu bilang,” balas Bastian.

“Ya. Akan tetapi, itu semua bukti. Ini semua karena Amber yang membuatku penasaran.”

Awalnya Damian menganggap Hope seperti mahasiswi biasa saja hingga suatu hari Damian melihat Amber yang selalu bersama dengan Hope. Awalnya Damian masih menganggap itu normal, tetapi suatu hari Damian melihat Amber yang membicarakan hal buruk tentang Hope kepada mahasiswi kampus. Damian mencari tahu dan benar saja Hope tidak memiliki teman, lalu mahasiswi kampus membicarakan hal buruk tentang Hope.

Memang jika dilihat dari segala sisi Hope lebih menarik daripada Amber, Amber hanya menang dengan anak dari keluarga terhormat dan kaya raya, sedangkan Hope menang dengan kepintarannya dan sikap yang ramah, tetapi itu tidak mungkin menjadi alasan untuk Amber membicarakan hal buruk tentang Hope. Awalnya Damian berpikir seperti itu. Namun, makin lama Damian memperhatikan Amber makin terlihat cemburu dan ingin lebih unggul dari Hope. Amber mengetahui jika Damian memperhatikan Hope saat kelasnya, maka dari itu Amber mengatakan pada Hope jika Damian memerhatikannya.

“Apa kau tahu ini bukan urusanmu?” tanya Bastian.

“Tentu saja aku tahu, aku tidak sebodoh itu. Akan tetapi, tetap saja gadis itu terlihat aneh dan aku merasa kasihan kepadanya lihatlah perlakuan Amber, bahkan gadis itu tidak menyadarinya,” ucap Damian dengan nada tinggi.

Bastian menepuk pundak Damian lalu berkata. “Aku rasa kamu tidak mau gadis itu merasakan yang kamu rasakan, sikap Amber sama saja seperti Dareen.”

“Ya, bisa dibilang seperti itu, maka dari itu kamu harus membantu menyelidiki.”

“Baik. Lalu, apa aku bisa mengencani teman gadis itu?”

“kau tidak akan mengencani siapa pun, apalagi mahasiswi di fakultasku.”

Bastian pun langsung memasang wajah cemberut padahal Bastian ingin mengencani Stevani, menurut Bastian Stevani adalah gadis yang cantik dan pemberani. Bastian mengingat saat mereka pertama kali bertemu, Stevani memarahi Bastian karena parkir sembarangan di kampus. Detik itu juga Bastian langsung jatuh hati kepada Stevani dan ingin mengencaninya, tetapi tidak tahu bagaimana.

“Sudahlah, aku ingin berangkat,” ucap Damian langsung menyingkirkan tangan Bastian dari pundaknya.

Bersambung…..

I Knew Your Secret

Siang harinya. Damian melihat Hope bersama Stevani sedang berbicara di kantin kampus. Damian memperhatikan Hope yang masih saja mengenakkan jaket, wajah Hope juga terlihat pucat. Itu membuat Damian makin curiga padahal Damian tidak ingin mencampuri urusan Hope. Damian berusaha mendengarkan percakapan Hope dan Stevani dari jauh, tetapi mereka berdua berbicara cukup kecil. Damian ingin menghampiri dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan, tetapi tidak bisa karena orang-orang akan heboh jika melihat Damian di kantin.

“Terima kasih ya Kak, sudah memberikan perkerjaan sampingan Kakak hari ini,” ucap Hope.

“Sudahlah tidak usah dipikirkan yang penting kamu bisa membayar perbuatan ayah kamu dan tidak dianiaya lagi,” balas Stevani.

Tak lama kemudian, Amber datang menghampiri Hope dan itu membuat Stevani kesal. Amber terlalu heboh saat bercerita dan mengusir Stevani agar dia bisa bercerita pada Hope. Namun, kali ini Stevani tidak pergi, Stevani ingin tahu apa yang dibicarakan Amber hingga begitu heboh. Awalnya Amber menolak Stevani berada di antara dia dan Hope, tetapi Hope bilang hanya kali ini.

Amber pun mulai bercerita dan betapa terkejutnya Stevani mendengar Amber menyukai seorang dosen. Amber hanya menggunakan inisial saat bercerita, tetapi Stevani mengetahui siapa yang dimaksud, yaitu Damian dosen muda itu. Rasanya Stevani ingin muntah mendengarkan cerita Amber, bagaimana Hope bisa tahan mendengarkan cerita itu.

“Sudah aku bilang kamu itu jangan berharap, kita itu tidak pantas menyukai dosen sendiri,” ucap Hope.

“Iya, kamu berbicara seakan kamu hidup di dunia dongeng dan semua menyukai kamu lalu ingin menikahi kamu. Sadarlah tuan putri,” sindir Stevani.

“Diam ya! Aku tidak pernah meminta saran kamu,” balas Amber.

“Aku hanya berpendapat, sejak kapan aku bilang itu saran,” ucap Stevani.

“Sudah, jangan bertengkar,” ucap Hope yang berusaha melerai mereka.

Setelah berbicara seperti itu, tiba-tiba suasana kantin yang berisik menjadi sunyi. Ternyata Damian datang ke kantin kampus, itu membuat semua orang terdiam. Perasaan Hope pun tidak enak karena Damian berjalan menuju arahnya, Hope takut jika dia membuat kesalahan. Stevani yang melihat itu langsung melirik tajam kepada Amber, Stevani mengira jika Damian ingin bertemu Amber.

“Kamu yang berambut pirang,” ucap Damian yang berada di depan Hope.

“Apa saya Pak?” tanya Hope dengan begitu polos.

“Memang siapa lagi di sini yang pirang,” ucap Damian dengan nada tinggi.

“Kamu ikut ke ruangan saya sekarang juga.” Damian pun langsung pergi dari hadapan Hope dan berharap Hope mengikutinya.

***

Setelah dari kantin, Hope langsung pergi ke kantor Damian. Dada Hope berpacu kencang, karena dia takut melakukan kesalahan. Sekarang Hope sedang berdiri di depan kantor Damian dan tidak berani masuk ataupun mengetuk pintunya. Hope benar-benar takut jika dia terlibat masalah dan pihak kampus akan mengambil beasiswanya, ditambah Damian adalah anak pemilik yayasan kampus ini. Tamatlah riwayat Hope jika dia terkena masalah dari seorang Damian. Tiba-tiba pintu kantor terbuka dan itu membuat Hope terkejut.

“mengapa kamu hanya berdiri di situ? ayo masuk,” ucap Damian menyuruh Hope masuk ke dalam kantornya. Hope pun langsung masuk ke dalam dengan dada masih berpacu kencang, Hope benar-benar berpikir dirinya dalam masalah besar. Padahal Hope belum mendengar sepatah kata pun dari Damian, Hope hanya mendapatkan perintah itu saja.

Damian pun melihat kepada Hope yang terlihat aneh, Hope menutup matanya dan menyatukan tangannya seakan sedang berdoa. Damian juga bisa melihat wajah Hope yang berkeringat, Damian pun memanggil Hope, tetapi Hope tidak mendengarnya. Akhirnya Damian menepuk pundak Hope agar Hope tersadar. Namun, bukannya membuka matanya Hope malah berteriak seakan ketakutan.

“mengapa kamu berteriak?” tanya Damian yang curiga.

“I– itu saya hanya takut saya terlibat masalah,” jawab Hope sambil menyingkirkan tangan Damian dari pundak. Sebenarnya Hope teringat saat ayahnya berteriak kepadanya, dia takut Damian akan berteriak seperti ayahnya. Akan tetapi, ternyata itu hanya pikiran buruk Hope, mungkin Hope terlalu berlebihan.

“Tenanglah, saya pastikan beasiswa kamu aman,” ucap Damian.

“Lalu, mengapa Bapak memanggil saya?” tanya Hope.

“Aku hanya ingin berbicara tentang makalah yang kamu buat, materi yang kamu buat cukup bagus. Akan tetapi, kertas makalahnya seperti kertas basah lalu dikeringkan, bisa kamu berikan alasannya,” ucap Damian yang berusaha menginterogasi Hope tanpa Hope menyadari itu karena Damian tidak mau membuat Hope takut.

“I– itu, makalahnya tak sengaja basah dan waktu pengumpulannya sudah sangat mepet, jadi saya tidak sempat memfotokopi kertasnya,” dusta Hope. Padahal ibunya yang merusakan makalah itu dan saat itu Hope tidak memiliki uang sama sekali untuk mengganti yang baru. Tentu saja, Hope tidak bisa menceritakan semua itu kepada Damian.

“Kamu berbohong, tingkah laku kamu menunjukkan semuanya. Jadi bisakah kamu jawab jujur atau saya mengurangi nilai kamu,” ucap Damian.

“Sekalian buka jaket kamu.”

“ Apa maksud Bapak, ya?” tanya Hope yang mulai merasa tidak enak.

“Saya ingin melihat lengan kamu, itu saja. Lagi pula kamu memakai kaus di dalam jaket itu,” ucap Damian. Hope langsung merasa panik, tentu saja jika dia membuka jaketnya Damian akan melihat luka-lukanya. Akan tetapi, Hope berada disituasi yang mengintimidasi, bukan situasinya yang mengintimidasi tetapi Damian yang menyeramkan.

Hope pun membuka jaketnya perlahan hingga menunjukkan lengannya, saat melihat lengannya Hope betapa terkejutnya Damian. Banyak sekali luka-luka yang berada di lengan Hope dan masih ada luka baru yang diperban, melihat itu membuat Damian tidak bisa berkata-kata, sedangkan Hope hanya menutup matanya dan berdoa tidak terjadi hal buruk apa pun.

“Lengan kamu, mengapa bisa seperti itu?” tanya Damian yang tidak sanggup melihat lengan itu.

“Itu bukan urusan Bapak, saya akan membenarkan makalah itu setelah selesai kelas dan akan menyerahkan kepada Bapak hari ini juga,” ucap Hope lalu memakai jaketnya kembali dan segera berlari untuk keluar dari kantor Damian.

“Siapa bilang kamu boleh pergi?” ucap Damian yang membuat Hope tertahan untuk pergi.

“Kemarilah saya akan membenarkan perban itu, perban itu salah dan bisa menyebabkan infeksi.”

Damian langsung menarik lengan Hope dan menyuruh Hope duduk di kursi, Damian mengambil kontak P3K miliknya. Damian meminta Hope membuka jaketnya agar lebih mudah mengobatinya dan Hope hanya menuruti perkataan Damian. Damian pun membuka perban itu dan melihat luka Hope, luka itu terlihat masih baru. Luka itu adalah luka sayatan pisau yang disengaja, Damian berusaha mengendalikan pikiran negatifnya dan berfokus mengobati luka itu. Damian mengobati luka Hope dengan begitu lembut, itu membuat rasa takut Hope berkurang.

Walau rasa takutnya berkurang, Hope tetap waspada kepada Damian karena Damian melihat semua luka di lengannya. Pasti Damian akan bertanya macam-macam dan memandang Hope dengan sebelah mata. Damian pun selesai mengobati luka Hope dan langsung menyuruh Hope mengenakan jaketnya kembali. Damian merapikan kembali kotak P3K-nya dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Tolong jangan bilang siapa-siapa,” ucap Hope dengan nada lemah.

“Mengapa? Apa ada seseorang yang mencelakai kamu?” tanya Damian.

“Pak Damian tidak perlu tahu, lebih baik saya pergi sekarang karena kelas saya akan mulai sebentar lagi.”

“Tunggu, pulang kelas temui saya di tempat parkir kampus.”

“Saya tidak bisa, nanti saya bekerja dan pulang larut malam.” Tanpa berkata apa pun lagi Hope langsung pergi dari kantor Damian, meninggalkan Damian yang masih terkejut dengan luka di lengan Hope. Bahkan saat mengobati Hope seluruh badan Damian merinding dan mulutnya tidak bisa berkata-kata.

Bersambung…..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!