NovelToon NovelToon

Love Affair

PART 1

Raya seorang gadis yang menjalani hidupnya seorang diri. Di usianya yang ke 25 tahun, Raya masih tidak ingin memiliki hubungan terikat dengan lelaki manapun.

Semua itu Raya lakukan karena dirinya merasa tidak pernah bertemu dengan pria yang bisa menggoyahkan hatinya. Bukan tidak pernah mencoba, Raya sudah berkencan dengan beberapa pria dari teman sekampusnya dan pria yang dia pilih secara acak di sosial media. Tetapi, dari sekian kalinya Raya masih tidak mendapatkan alasan untuk dirinya tetap bertahan dalam hubungan seperti itu.

Walaupun Raya lebih senang dengan kesendirian, bukan berarti Raya anti sosial. Raya juga mengikuti organisasi di kampusnya. Walaupun ada beberapa orang menilai dirinya apatis dan tidak mau bergaul dengan orang lain. Mungkin karena Raya lebih senang menghabiskan waktu luangnya untuk dirinya sendiri.

Hari ini tepat pukul 10.45, Raya menyelesaikan sidang akhir tesisnya. Ya, hari ini Raya resmi mendapat gelar baru di namanya. Saat keluar dari ruang sidang, Raya sudah di sambut dengan euforia para mahasiswa yang juga sudah menyelesaikan sidang.

Ada seorang pria yang mengenakan seragam abdi negara menanti kekasihnya dengan wajah penuh harap, ada pula yang sedang menghubungi keluarganya menyampaikan berita bahagia itu dan ada juga yang sedang sibuk memesan pakaian seragam dengan kedua orang tuanya.

Raya melangkah meninggalkan semua itu. Bukan berarti Raya tidak suka jika ada orang di sekitarnya yang bahagia. Raya hanya merasakan sesak di dada yang tidak bisa dia ungkapkan.

Setelah sampai di apartemen. Raya merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Menatap langit-langit kamarnya. Raya mencoba untuk memejamkan matanya dan menarik napas secara perlahan, mencoba berdamai dengan perasaannya yang sedang kelam.

Apakah saat ini aku harus bahagia atau sedih?

Pertanyaan itu terus muncul di benaknya. Jujur saja jika bukan karena dorongan dari Tante dan Pamannya mungkin Raya tidak akan pernah menyelesaikan studinya. Dua orang itu walaupun tidak memiliki hubungan darah dengannya tetapi saat ini hanya mereka yang peduli padanya.

Ponsel Raya berdering, sontak Raya membuka matanya dan mengumpulkan kembali kesadarannya. Sudah ada lima pesan dan tiga panggilan tidak terjawab dari sahabatnya.

Raya memilih untuk mengabaikannya. Ternyata Raya sudah tertidur tiga jam lamanya.

Raya beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil handuk untuk segera menyegarkan tubuhnya. Ketika itu juga bel berbunyi. Raya segera membuka pintu apartemennya saat mengetahui siapa yang datang dari cctv.

"Kebiasaan kamu, Raya. Pulang gak kasih kabar," ucap wanita itu seraya menutup pintu.

"Memangnya kamu mau ikut aku pulang?" tanya Raya seraya duduk di sofa ruang tamunya.

"Iya, buat apa juga aku sendirian di kampus."

"Aku pikir kamu sedang sibuk seperti anak-anak yang lain."

"Mereka juga tidak akan datang, Raya. Jadi untuk apa aku mempersiapkan acara wisuda nanti."

"Kenapa?" tanya Raya

"Jangan pura-pura tidak tahu. Udah jangan bahas itu lagi makin emosi kan aku jadinya."

Raya tertawa saat. melihat ekspresi sahabatnya itu yang memang mulai terlihat kesal.

Intan adalah sahabat Raya satu-satunya. Kedua orang tua Intan sudah bercerai dan masing-masing sudah mempunyai keluarga baru. Hal itulah membuat Intan tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya sejak di bangku sekolah menengah pertama. Tinggal dengan Ayah dan Ibu sambungnya di penuhi dengan konflik setiap harinya.

"Raya, kamu mau ngga kita pindah ke kota Subi?" tanya Intan

Raya mengerutkan dahinya, menatap Intan penuh tanya.

"Aku serius. Kamu lihat kan di sini kita sudah cukup banyak mengalami hal yang tidak menyenangkan."

"Tapi kota ini juga banyak menyimpan kenangan indah bagiku," ucap Raya lirih

"Tapi kenangan pahit yang masih kamu ingat. Aku tahu itu, terutama kenangan bersama Mama mu yang selalu menghantui kamu, Raya."

"Saat kita pindah ke kota Subi, apa rencana mu?" tanya Raya kepada Intan

"Gimana kalau kita buka cafe? Ya, modalnya memang cukup besar tapi aku yakin kalau buat kamu jumlah seperti itu tidak ada artinya." Intan tertawa terbahak

"Jadi semua biaya dari aku? Terus kamu jadi bosnya?" Raya tersenyum sinis pada Intan.

"Aku punya tabungan tapi nominalnya tidak banyak. Punya sahabat kaya kenapa tidak di manfaatkan," celetuk Intan seraya di sambut kembali dengan tawa.

"Aku menyesal buka pintu tadi." Kemudian, Raya bangkit dari sofa dan menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya.

"Raya, aku serius. Gimana kalau 40:60?"

"No!" Raya menjawab dengan tegas

"Ok, 50:50 plus semua aku yang atur kamu atasanku?" Intan menempelkan telinganya di pintu kamar mandi Raya menanti jawaban.

"Raya?" panggil Intan

Raya membuka pintu kamar mandi dan sontak saja hampir saja Intan terjatuh terjerembab.

"Ok, deal." Raya mengulurkan tangannya pada Intan.

"Deal." Intan menyambut kesepakatan itu dengan senang hati.

"Satu lagi masalah keuangan aku yang pegang," ucap Raya lalu menutup kembali pintu kamar mandinya.

"Ok! Kamu bersiap besok kita akan ke sana untuk survei lokasi," teriak Intan agar terdengar oleh Raya.

Raya kembali membuka pintu kamar mandinya. Menjulurkan kepalanya di pintu.

"Besok? Kamu bercanda!"

"Iya besok, lebih cepat lebih baik kan. Tenang aku akan mengurus semuanya jadi besok kamu tinggal mempersiapkan perlengkapan kamu dan kita pergi."

"Terserah kamu, deh." Raya menyerah karena jika sahabatnya itu sudah memiliki rencana tidak akan bisa di cegah.

Intan berpamitan kembali ke rumahnya untuk mengambil perlengkapannya dan kembali ke apartemen Raya, agar lebih gampang mereka pergi bersama esok harinya.

Intan memang terkesan terburu-buru untuk memulai bisnis ini. Tapi, Raya memahaminya tidak lama lagi sahabatnya itu berencana untuk menikah jadi wajar saja dia ingin segera mewujudkan keinginannya.

Ada satu hal yang membuat Raya berat hati untuk pindah ke kota Subi. Di kota itu ada seorang pria yang tidak ingin Raya temui, bukan karena pria itu pernah melakukan kejahatan padanya tapi karena Raya takut pada perasaannya yang akan menjadi petaka.

...🌟🌟🌟...

Setelah semua perencanaan selesai Raya dan Intan sesegera mungkin ke kota Subi untuk menjalankan bisnis mereka.

Bisa di katakan mereka sedang melarikan diri dari semua hal yang memuakkan. Bahkan ini bukan seperti bisnis melainkan keinginan untuk kabur dari tempat mereka di lahir kan dan begitu banyak kenangan yang penuh dengan dilema.

Semua persiapan mereka lakukan tidak sampai satu bulan. Beberapa teman Raya dan Intan juga memperingatkan agar tidak tergesa-gesa dalam berbisnis. Namun, kenyataannya hanya mereka berdua yang tahu. Ini yang terbaik untuk kami berdua, jawaban itu yang terus mereka ucapkan saat bertemu dengan orang yang menyayangkan keputusan itu.

Pukul 15.30 Raya menginjakkan kakinya di kota Subi. Raya sudah di jemput seseorang yang memang di tugaskan oleh tantenya untuk mengantar Raya ke rumahnya.

Sambutan hangat Raya terima dari seorang wanita bernama Tessa yang merupakan adik dari Mamanya.

Mendengar Raya akan mulai tinggal di Subi Tessa meminta Raya untuk tinggal bersamanya. Sebenarnya Raya ingin menolak permintaan tantenya tetapi itu terkesan tidak sopan.

Raya menerima permintaan Tessa. Saat - saat sulit mulai Raya rasakan saat harus bertemu dengan Bayu setiap harinya. Dialah pria yang selama ini berusaha dia hindari. Tinggal bersama mereka maka Raya harus berusaha menahan dan memendam perasaannya setiap menatap Bayu. Raya juga berusaha bersikap biasa saja kepada Bayu agar tidak ada yang curiga bahwa Raya mencintai Bayu. Alasannya sangat jelas, Bayu adalah suami Tessa.

Semenjak kedatangan Raya mereka sering menghabiskan waktu bersama. Menceritakan kesibukan masing-masing atau sekedar menonton film.

Randra adalah putra Bayu dan Tessa. Anak adopsi lebih tepatnya yang berusia 27 tahun terpaut dua tahun dengan Raya. Randra sangat menyayangi Raya seperti adik kandungnya.

Randra memilih untuk tinggal terpisah dari kedua orang tuannya. Beberapa kali saat libur atau saat ada hal penting seperti ini Randra mengunjungi Bayu dan Tessa.

Mereka menghabiskan waktu sambil memakan-makanan ringan dan mengingat masa kecil Raya dan Randra.

“Ray, waktu aku video call kamu ada cewek cantik di samping mu itu siapa?” tanya Randra

“Udah deh gak usah genit itu sahabat aku dan gak untuk kamu, kak”

“Kenalin dong.”

"Jangan mimpi!"

Randra mengacak-acak rambut Raya dengan gemas. Raya pun berbalik melakukan perlawanan.

“Ternyata kalian sering video call. Kenapa kamu gak pernah hubungin Tante sama Om, Ray?” tanya tante Tessa

“Iya, Tante. Kak Randra yang sering telpon aku duluan.”

“Tante seneng sekali kamu mau tinggal di sini, jadi Randra bisa sering pulang. Kalau gak ada kamu alasannya di sini sepi makanya dia gak betah kalau di rumah.”

“Raya rasa itu cuma alasan Kak Randra aja, Tan. Padahal emang suka kelayapan dan cari mangsa.”

Mereka tertawa terbahak mendengar perkataan Raya. Memang benar Randra terkenal suka berganti-ganti pasangan. Hubungannya pun tak bertahan lama bahkan ada yang hanya beberapa hari saja.

Randra melihat jam di tangannya sudah menunjukan pukul sebelas malam. Dia pun pamit untuk kembali ke apartemennya karena pagi-pagi sekali ada meeting di kantor. Tessa juga memilih untuk kembali ke kamar untuk beristirahat karena sudah lelah seharian dengan mengurusi butiknya.

Kini hanya ada Raya dan Bayu yang duduk di sofa taman belakang rumah. Raya mulai gugup karena hanya ada mereka berdua saat ini.

“Gimana cafe kamu, Ray?" tanya Bayu

"Sepertinya beberapa hari lagi sudah siap renovasinya, Om."

"Baguslah kalau begitu." Bayu tersenyum tulus pada Raya

Raya tersenyum berusaha bersikap biasa saja dihadapan Bayu. Sesungguhnya hatinya kini sedang bergejolak melihat senyuman dari Bayu.

"Asal kamu tidak lupa dengan tugas dan kewajiban kamu nantinya ketika sudah sukses."

"Iya, Om. Raya tidak akan pernah lupa dengan kebaikan Om dan Tante selama ini."

"Bukan itu maksud saya."

Raya menatap Bayu dengan bingung. Raya merasa sudah memberikan jawaban yang tepat tapi sepertinya bukan itu yang di inginkan Bayu.

"Hanya saja terkadang wanita lupa akan dua hal itu."

Wanita? Tugas? Kewajiban?

Raya semakin bingung. Dia ingin bertanya lebih jelas pada Bayu tetapi Raya ragu fan memilih untuk diam dan hanya mengangguk setuju.

"Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman karena ucapan saya. Semoga saja kamu tidak seperti itu."

"Om bisa menasehati Raya, jika Raya melakukan kesalahan."

"Saya terkadang hanya kecewa dengan Tessa. Dulu dia wanita yang hangat dan penuh cinta. Namun, ketika dia di sibukkan dengan pekerjaannya kami bagaikan dua orang asing."

Raya mencoba untuk tenang mendengar ucapan Bayu. Ini sebuah curahan hati dari seorang suami yang kesepian. Seharusnya Raya segera masuk ke dalam rumah beberapa menit lalu agar semua ini tidak terjadi.

“Tante sejak dulu memang sudah mandiri, Om. Kalau tidak kerja pasti Tante merasa ada yang kurang.”

Sial!

Raya mengumpat dirinya sendiri yang malah menanggapi ucapan Bayu.

Bayu menghela nafasnya “Tapi tanpa dia bekerja pun saya sudah memberikan semuanya untuk dia. Apapun yang dia inginkan selalu saya berikan.”

“Bukanya tante selalu ada untuk, Om? Mungkin Tante kerja bukan hanya untuk uang, jika kita melakukan hal yang kita sukai tentu ada kebahagian tersendiri.”

Bayu tersenyum menatap Raya. “Kamu ada benarnya juga. Pemikiran kamu semakin dewasa dan tambah cantik.”

Raya salah tingkah mendapat pujian dari Bayu. Terlebih lagi tatapan Bayu membuat hatinya tak karuan.

“Aku wanita, Om. Pasti cantik dong.” Raya tersenyum malu-malu.

Bayu tersenyum mendengar jawaban Raya.

“Apa kamu baik - baik saja setelah Mama kamu tidak ada?" tanya Bayu

“Bukan hal yang mudah. Bahkan Raya masih bingung harus bahagia atau bersedih saat mengenangnya.”

"Semua berjalan seperti semestinya, bukan? Saya ikut senang jika kamu bisa mengatasinya."

Beberapa saat kemudian Raya memilih untuk masuk ke kamarnya. Raya merasa tidak pantas jika terlalu lama mengobrol hanya berdua dengan Bayu larut malam begini.

Lagi pula Raya mulai merasa tidak nyaman saat Bayu membahas tentang Mamanya. Seperti luka lama yang kembali tergores.

Sudah cukup dirinya di pusingkan dengan perasaan cinta yang gila saja jangan sampai masa lalunya kembali terbayang - bayang. Tekat yang kuat untuk melupakan semuanya bisa sia - sia.

PART 2

Setelah mendapat telepon dari sahabatnya Raya bergegas untuk mandi dan bersiap-siap untuk ke Cafe. Sekitar satu jam kemudian Raya bergegas untuk sarapan. Di sana sudah ada Tessa yang sedang mengarahkan para pembantu rumah tangga untuk menyusun sarapan.

Bayu datang dengan pakaian rapi dan formalnya. Raya memilih duduk di samping Tantenya.

“Tante, mau ke butik?”

“Biasa Ray, kalau awal bulan gini Tante sibuk karena banyak barang masuk sama meeting sama klien baru.”

“Bukannya tiap hari kamu sibuk, pergi pagi pulang malam,” ucap Bayu sambil meminum kopi hangatnya

Tessa menatap wajah Bayu. Di sana terpancar rasa tidak terima Tessa atas protes yang di lontarkan Bayu. Baginya ini bukan waktu tepat untuk berdebat saat di meja makan dan lagi ditambah ada Raya yang bisa saja merasa tidak nyaman dengan pertengkaran mereka.

Raya menyadari itu atmosfir ruangan mulai berubah. Terlihat mereka saling menahan di untuk tidak melanjutkan percakapan. Raya memilih untuk mengacuhkan dan bersikap biasa saja.

Tessa segera mungkin menghabiskan sarapannya lalu pergi tanpa berpamitan pada Bayu.

“Raya, kamu mau ke Cafe pagi ini?” tanya Bayu

Raya mengangguk seraya menelan roti di mulutnya “Iya, Om."

“Saya mau ke kantor, nanti sekalian saja.”

“Tidak perlu, Om. Raya sudah order taksi online dan sepertinya sebentar lagi akan datang."

“Ya sudah, saya pergi dulu ya."

Bayu pergi meninggalkan Raya yang masih menghabiskan sarapannya. Sebenarnya Raya belum memesan taksi online. Dia tidak ingin suasana hatinya bergejolak lagi saat satu mobil dengan Bayu. Pagi tadi Raya cukup terkejut saat melihat Bayu sedang berenang dengan hanya mengenakan celana boxer. Sungguh pemandangan pagi yang menyejukkan mata. Pria berusia kepala empat tapi masih terlihat sangat gagah dan mempesona.

Sepertinya Raya harus berterima kasih pada Tessa karena memberi dia kamar yang bisa langsung menghadap kolam dengan pepohonan hijau, bunga-bunga cantik dan pemandangan Bayu yang sedang berenang tentunya.

Drrrtt...Drrrt...Drrt...

Suara getaran ponsel Raya menyadarkannya dari lamunan kotornya.

“Kamu dimana sih Ray, sudah jam berapa ini kamu belum ke Cafe juga?”

“Iya...iya aku sudah di jalan.”

“Ya sudah, jangan siang - siang nanti kamu kena macet.”

Raya memutuskan sambungan telpon dari Intan dan bergegas untuk pergi ke Cafe. Sahabatnya itu menelpon di waktu yang tidak tepat gumamnya.

Setelah sampai di Cafe Raya dan Intan segera mengecek laporan keuangan dan meeting bersama para karyawannya untuk memastikan semuanya sesuai dengan apa yang telah di rencanakan.

“Mungkin dari kalian ada yang mau kasih masukan untuk kemajuan Cafe kita?” Raya mempersilahkan para karyawannya untuk memberikan pendapat.

“Kecuali kenaikan gaji,” tambah Intan

Beberapa dari mereka tersenyum dengan pernyataan Intan yang spontan. Intan sudah membaca keinginan merek terlebih dulu.

“Sepertinya kita sedikit renovasi Cafenya supaya Instagram Able.”

“Iya benar juga, Bu. Saat ini kebanyakan pelanggan kita itu anak-anak remaja yang masih hobi selfi-selfi gitu.”

“Boleh juga ide kamu, tapi kita harus cari referensi dulu. Kalau kalian ada ide bisa langsung kasih tahu saya atau Intan dan kalau ide kalian bagus, naik gaji akan saya pertimbangkan.”

Para karyawan senang mendengar berita baik ini. Tentunya mereka segera mencari ide dan akan segera melaporkan hasilnya pada Raya dan Intan.

“Kamu yang benar saja, Ray! Naik gaji? Kamu tahu gak Cafe kita baru aja berkembang kalau keuntungannya kita buat naikin gaji karyawan kita bisa rugi."

Wajar jika Intan tidak setuju dengan keputusan Raya. Cafe mereka memang baru naik dan banyak yang harus direnovasi untuk kemajuan Cafe.  Bukan berarti Intan tidak peduli dengan kesejahteraan karyawannya.

“Tenang saja, Tan. Khusus untuk kenaikan gaji aku yang nambahin pakai uang pribadiku."

“Ini yang aku gak suka, kamu sering banget pakai uang pribadi untuk keperluan Cafe."

“Jika gaji mereka kita naikan otomatis kinerjanya juga semakin bagus.”

“Ya udah, terserah kamu tapi ini yang terakhir kamu begini. Bahkan Cafe kita baru beberapa bulan buka kamu sudah dengan gampangnya naikin gaji.”

"Ya sudah, kamu berarti tidak perlu naik gaji kan?"

"Kenapa begitu? Aku juga termasuk karyawan kamu, Raya."

"Hmm... kamu saja tidak menolak di naikan gajinya."

Hari semakin siang dan Cafe semakin ramai. Benar adanya para pengunjung di Cafe mereka didominasi pelajar dan mahasiswa karena memang tempatnya tidak jauh dari salah satu kampus ternama.

...🌟🌟🌟...

Saat pukul 23:30 Raya kembali ke rumah. Raya melihat ke sekeliling pelataran rumah. Mobil Tessa tidak ada. Sepertinya memang Tantenya belum pulang. Memang apa yang di kerjakan di butiknya hingga malam begini.

Saat akan naik tangga Raya melihat Bayu sedang duduk di taman belakang. Raya memutuskan untuk menghampiri Bayu.

“Om,” panggil Raya

Bayu tersentak saat mengetahui keberadaan Raya. Bayu tersenyum ke arahnya dan mempersilahkan Raya untuk duduk.

"Maaf Raya jadi mengganggu Om melamun."

"Kamu ini bisa saja, Raya. Saya, tidak melamun." Bayu membantah pernyataan Raya.

"Jelas Om tidak tahu kapan aku datang."

Bayu kembali tersenyum ke arah Raya dan menatap bola matanya dalam. Raya menjadi salah tingkah dan gugup seketika.

"Tan... Tante...belum pulang, Om?" Raya mencoba mengalihkan perhatian Bayu.

Bayu tersenyum dan menuangkan wine ke dalam gelasnya yang sudah kosong. “Belum Ray, dia akan pulang jika dia ingin.”

"Pasti Tante sangat sibuk sampai tidak bisa kembali ke rumah tepat waktu. Apalagi butik Tante sudah memiliki cabang yang lumayan banyak."

"Itu tidak menjadikan alasan dia bisa pulang dan pergi sesuka hatinya. Dia punya keluarga dan kewajiban seorang istri. Saya tidak masalah jika dia ingin jadi wanita karir dan pebisnis, hanya saja ada beberapa hal yang memang harus dia tinggalkan."

"Apakah Om sudah berusaha mengatakan apa yang sebenarnya Om mau dari Tante?"

Bayu menghela napas, terdiam sejenak. "Sudah berulang kali tapi hanya berujung pertengkaran dan dia tidak kembali ke rumah beberapa hari."

Raya mengangguk mengerti. Sepertinya Raya sudah salah memilih topik obrolan, bisa saja mereka sedang bertengkar sejak pagi tadi.

"Sudah larut malam, sebaiknya kamu istirahat." Bayu beranjak dari duduknya dan mengambil berkas yang dia letakkan di meja.

"Iya, Om."

Kini tinggal Raya seorang diri. Dia mengambil botol wine milik Bayu dan duduk di tepi kolam renang. Meneguknya minuman itu beberapa kali.

"Dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Mungkin tidak mengapa jika aku hadir untuk memberinya sedikit kesenangan." Raya tersenyum miring.

"Aku semakin memikirkan ini semakin membuat hati ku bergejolak."

Raya kembali tertawa, merasa dirinya sudah mulai tidak waras. Keinginan macam apa yang dia bayangkan.

"Aku mabuk atau aku memang sekarang menjadi gila?"

Setelah menghabiskan minuman alkohol itu Raya segera memasuki kamarnya. Setelah mandi Raya berbaring di ranjangnya menatap langit-langit kamarnya. Kepalanya terasa sangat berat pengaruh dari minuman beralkohol tadi.

"Om Bayu pasti sudah mencampurnya dengan minuman lain. Sehingga efeknya sangat kuat." Raya memegang kepalanya dengan kedua tangannya.

Beberapa menit kemudian Raya terlelap dalam tidurnya. Terjun dalam dunia mimpinya.

Kedua orang tua Raya sudah tiada. Saat Raya berusia 5 tahun Papanya meninggal karena sebuah kecelakaan sedangkan Mamanya berubah menjadi temperamental. Sering menggunakan kekerasan untuk mendidik Raya. Bukan mendidik tapi lebih tepatnya melampiaskan semua kekesalannya pada Raya. Apapun yang di lakukan Raya selalu salah di mata Mamanya.

Bagi sang ibu Raya adalah penyebab kematian suaminya. Kecelakaan itu terjadi saat Raya meminta untuk diantar ke taman hiburan. Saat itu kondisi Papanya memang sedang tidak sehat karena kelelahan setelah pulang dari luar kota.

Namun, saat itu Raya masih sangat kecil tidak bisa menerima penolakan dari Sang Papa. Raya merajuk dan tidak ingin bicara dengan Papanya. Ungkapan sebuah kerinduan dan rasa ingin terus bersama itu yang Raya inginkan waktu.

Jika saja waktu bisa kembali. Raya tidak akan memaksa Papanya untuk membawanya ke Taman Hiburan dan tidak akan pernah.

'Seharusnya kamu yang mati anak sial'

Itulah yang selalu diucapkan Mamanya pada Raya. Raya memang bukan anak kandung sama halnya dengan Diky. Raya adalah anak adopsi.

Penganiayaan itu terus berlanjut sampai Raya memasuki sekolah menengah pertama. Raya mengurus segala kebutuhan dan keperluannya sehari-hari sendirian. Semua pembantu dirumahnya memilih untuk pergi karena mereka tidak sanggup dengan perlakuan Mamanya yang semakin tak terkendali.

Walaupun begitu Raya tetap mencintai Mamanya dan terus mencoba bersabar. Tidak boleh melakukan kesalahan apapun agar Mamanya tidak memukulinya. Setidaknya itu yang tertanam di otak Raya saat itu.

Untuk kebutuhan finansial setiap bulan pengacara almarhum Papanya memberikan pada Raya. Saat usianya 17 tahun semua warisan akan jatuh ke tangan Raya itulah yang tertulis di surat wasiat Papanya.

Mungkin itulah yang semakin memperburuk keadaan dan rasa benci Mamanya pada Raya semakin besar.

Raya akan menutupi semua perlakuan kasar yang diterima dari ibunya karena dia tidak ingin polisi memenjarakan ibunya. Bagi Raya itu tindakan tidak tahu terima kasih pada orang yang sudah mengadopsinya.

Setelah acara kelulusan Raya dari sekolah menengah atas dan bertepatan di ulang tahunya yang ke 17. Raya mendapatkan kejutan yang sampai kapan pun tidak akan pernah dia lupakan selama hidupnya.

Ya, hadiah ulang tahun terakhir diberikan ibu angkatnya untuk Raya. Mamanya ditemukan gantung diri di kamar Raya. Butuh bertahun-tahun Raya menyembuhkan traumanya karena terus menyalahkan dirinya sendiri atas kematian kedua orang tuanya.

Ditambah lagi surat wasiat yang di tinggalkan Mamanya yang mengungkapkan bahwa sampai akhir pun tetap tertanam di hati wanita yang selama ini menjadi Mamanya.

‘Kau sudah menguasai semuanya sekarang, jangan harap kau bisa mengambil nyawaku juga. Lihat baik-baik jasadku ini adalah hadiah untukmu sampai kapan pun aku akan terus membencimu anak sial’

Polisi memutuskan kematiannya ibunya murni kasus bunuh diri karena gangguan mental yang dialaminya. Namun Raya masih terus menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi kepada kedua orang tuanya.

Mungkin mereka semua bisa dengan mengambil kesimpulan seperti itu tapi Raya punya rahasia tersendiri atas kasus itu, walaupun dirinya masih di selimuti keraguan.

PART 3

Raya pagi ini menghabiskan sarapannya sendiri tanpa ditemani Tessa dan Bayu. Tessa akan keluar kota selama beberapa hari karena harus meninjau cabang bisnisnya yang baru saja di resmikan.

Saat hendak bangkit dari meja makan ponsel Raya berdering. Raya mencari ponselnya yang sudah dia letakan di tasnya.

“Om Bayu, ada apa?"

“Kamu masih di rumah?”

“Iya, Om. Raya masih di rumah sebentar lagi berangkat ke Cafe.”

“Saya sudah di depan. Saya antar kamu ke Cafe.”

“Tapi om...” Bayu segera mengakhiri panggilan telpon secara sepihak sebelum Raya selesai berbicara.

Beberapa menit kemudian terdengar suara deru mobil Bayu didepan rumah. Raya berjalan cepat menghampiri Bayu.

“Masuk.” Bayu meminta Raya segera masuk ke dalam mobilnya.

"Om, bukannya sudah berangkat ke kantor ya?"

"Belum. Tadi ada pekerjaan masih di sekitar sini."

“Om sebenarnya tidak perlu jemput Raya, biasanya juga Raya naik taksi.”

“Tidak masalah, masih banyak untuk sekedar mengantar kamu ke Cafe arahnya juga searah dengan kantor. Lagi pula saya gak rela kalau kamu naik taksi terus.”

“Kenapa, Om?” tanya Raya sambil memasang sabuk pengaman

“Kamu udah cantik begini, menang banyak supirnya.”

“Om jangan buat Raya jadi percaya diri berlebihan.”

"Ini bukan pujian tapi kenyataanya seperti itu." Bayu tertawa sedangkan Raya tengah sibuk menyembunyikan pipinya yang semakin memerah karena malu.

Ini pertama kalinya Bayu tertawa lepas di hadapan Raya. Ada rasa senang bercampur bangga saat orang yang selalu terlihat pendiam dan dingin melepaskan tawanya begitu saja.

Bahkan ini pertama kalinya Raya merasa bahagia saat di tengah ke ramaian kota.

"Kamu pasti pusing sekali karena belum terbiasa dengan kemacetan seperti ini. Pemandangan biasa di kota besar."

Raya hanya mengangguk menyetujui pernyataan Bayu. Tidak ada orang yang senang dengan kemacetan tentunya tapi hari ini Raya berterima kasih dengan kepadatan kendaraan semakin lama semakin bagus, batin Raya.

“Kamu sering mimpi buruk ya?” tanya Bayu menoleh kearah Raya sesaat lalu kembali fokus ke jalan yang mulai berangsur longgar.

"Mmm...tidak, Om. Raya tidak pernah mimpi buruk. Rumah Om nyaman dan aman mana mungkin Raya mimpi buruk.”

“Raya, kalau kamu ada masalah jangan sungkan untuk cerita kepada saya atau Tessa, anggap kami seperti orang tua kamu sendiri.”

Raya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih atas perhatian yang diberikan Bayu padanya.

Mengganggap om Bayu seperti orang tua sendiri?

‘Aku sudah mencoba tapi tidak bisa, aku mencintai mu om’ Batin Raya

Semakin Raya mencoba untuk bersikap biasa saja. Perasaannya pada Bayu semakin menggila. Apakah dirinya butuh ke Psikiater lagi untuk memeriksakan kejiwaannya.

Tunggu !

Darimana Bayu bisa menanyakan hal seperti itu pada Raya. Memang benar Raya sering mengalami mimpi buruk dan tadi malam juga. Mungkinkah diam-diam Bayu masuk ke kamar Raya.

‘Tidak mungkin, untuk apa om Bayu melakukan itu’

Raya membuang pikirannya jauh-jauh soal itu.

...🌟🌟🌟...

Pukul 7 malam Raya sudah pulang. Raya memilih pulang cepat karena hari ini Cafe tidak begitu ramai. Raya menghabiskan waktunya dengan menonton film dan bermain video game. Waktu berjalan dengan begitu cepat tanpa terasa hari akan berganti.

Raya berusaha untuk memejamkan matanya dan tidur. Tetapi tidak berhasil. Dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri mencari posisi yang nyaman dan bisa mengantarnya ke dunia mimpi. Asalkan jangan mimpi buruk itu lagi yang datang.

Raya menyerah. Raya beranjak dari ranjangnya dan mencari-cari obat penenang nya yang biasa dia letakkan di laci meja riasnya.

“Sial! Kenapa aku sampai lupa membelinya siang tadi.”

Raya kembali ke tempat tidurnya dan berusaha untuk tidur secara alami tanpa obat. Raya memejamkan matanya berusaha untuk tidak memikirkan apapun yang bisa menggagalkan rencanannya untuk tidur.

Tiba-tiba terdengar suara pintu kamarnya terbuka. Raya membuka matanya dan berusaha untuk tidak bergerak apa lagi membalikkan tubuhnya dan melihat siapa yang datang.

Bagaimana jika itu perampok? atau siapa saja yang berniat buruk?

Raya semakin ketakutan saat ia mendengar suara langkah kaki itu mendekatinya.

“Aaaaaaggghhhh...” Raya berteriak sekuat mungkin saat tangan orang tak dikenal itu meraba pahanya perlahan.

Secepat kilat tangan kekar itu membungkam mulut Raya. Raya berusaha melepaskan cengkraman pria itu namun tidak bisa.

“Ssssstttt... Raya tenang ini saya.”

Raya menoleh kearah suara itu. “Om! Sedang apa di kamar Raya?”

Belum sempat Bayu menjawab pertanyaan Raya. Pintu kamar Raya diketuk oleh beberapa orang. Sepertinya para maid mendengar teriakan Raya dan panik.

“Nona ada apa? Tolong buka pintunya." Seorang pelayan wanita menggedor pintu kamar Raya

“Katakan kamu hanya mimpi buruk dan minta mereka pergi.” Bayu berbisik ditelinga Raya

“Aaa...aku hanya mimpi buruk. Pergilah aku baik-baik saja,” ucap Raya

“Apakah Nona Raya ingin minum?” tanya pelayan itu lagi

“Ti..Tidak. Kembalilah istirahat aku tidak apa-apa.”

“Baiklah saya akan pergi jika ada perlu sesuatu anda bisa memanggil saya.”

Setelah pelayan itu pergi Raya kembali fokus ke Bayu yang berbaring di sampingnya.

“Om lebih baik sekarang keluar,” ucap Raya seraya menarik selimutnya dan berbaring membelakangi Bayu

“Aku ingin tidur disini,” jawab Bayu santai

“Om sudah gila ya, gimana kalau ada yang melihat Om disini!”

“Aku sudah memastikan tidak ada yang melihat waktu aku masuk ke kamarmu, Raya.”

Sadar akan perubahan sikap Bayu padanya. Raya segera menjauh dari Bayu dan memilih untuk beranjak dari tempat tidur. Namun Bayu segera menarik Raya ke pelukannya.

“Om lepasin, jangan kurang ajar ya!”

“Aku mengangumi mu, Raya.”

Bayu menarik tubuh Raya dan menindihnya. Bayu menyusur leher Raya inci demi inci.

“Om mabuk ya?!” Raya memang mencium bau alkohol dari tubuh Bayu.

Raya terus berontak untuk melepaskan diri dari pelukan Bayu. Tetapi bayu semakin menggila menjelajahi tubuh Raya.

“Aku tidak mabuk sayang, aku sangat sadar dan  aku sangat menginginkan tubuhmu malam ini."

“Jangan! Aku tidak ingin mengkhianati tante Tessa. Om sadar tante Tessa itu sudah aku anggap seperti ibuku sendiri."

“Kalian tidak ada hubungan darah jadi tidak ada yang salah jika aku menginginkanmu.”

Bulir-bulir air mata Raya menetes di pipinya. Memang benar dia mencintai Bayu dan ingin memilikinya tapi saat ini dia belum siap untuk menerima semua konsekuensi yang harus dia hadapi.

Raya terus berusaha menjauhkan tubuhnya dari Bayu namun semua itu sia-sia. Raya semakin tenggelam dengan permainan Bayu. Bayu menjelajahi seluruh tubuh Raya. Menjilat, menghisap meremas kadang dia menggigit gemas bagian sensitif Raya yang membuatnya menggelinjang tak karuan.

Malam itu mereka habiskan untuk memuaskan hasrat masing-masing. Rasa cinta dan napsu sudah tidak bisa mereka bedakan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!