Negara N, Pukul 10.33, Universitas Mandiri, kota F.
Kini para mahasiswa berebutan untuk keluar dari kelas karena jam kuliah pada hari itu sudah selesai. Jika mahasiswa lain sudah berebutan keluar seperti orang yang kelaparan. Lain hal nya dengan salah satu mahasiswi yang masih nyaman di tempat duduknya dengan memeriksa catatannya pada hari itu.
Setelah memastikan catatannya sudah lengkap. Dia pun segera menyimpannya di tasnya. Setelah itu masih tetap duduk di tempat duduknya melihat para teman-temannya yang sudah keluar satu persatu.
Azarine Salsabila Husna, dia lah mahasiswi itu. Mahasiswi yang terkenal pendiam dan sangat misterius di kelasnya. Bukan hanya di kelas saja sudah di kenal seangkatan. Seprodi. Bahkan sekampus. Husna, begitu dia di sapa oleh temannya itu memang sangat misterius dan pendiam. Dia jarang bicara. Dia tidak memiliki satu teman dekat pun selama dia kuliah sudah menginjak semester 7 di jurusannya sekarang Manajemen Bisnis.
Husna menutup dirinya dari teman-temannya. Sangat introvert. Tidak ada satu pun yang tahu di mana dia tinggal dan siapa orang tuanya. Dia seperti di kenal hanya dengan namanya saja. Azarine Salsabilla Husna. Selain identitas nama tidak ada lagi yang tahu identitasnya yang lain. Dia sangat misterius. Dia jarang berkumpul dengan teman-teman sekelasnya maupun seangkatan jika itu menurutnya tidak penting sama sekali. Hanya menguras waktu dan tenaganya. Dia lebih memilih pulang dari pada menghabiskan waktunya di tempat yang menurutnya kurang bermanfaat untuknya.
Seperti saat ini contohnya. Teman-teman sekelasnya berencana setelah mata kuliah hari itu berakhir ingin menonton di mall dan merayakan ulang tahun ketua tingkat mereka. Tapi Husna menolak untuk ituku, “Na, setelah dari sini kau akan kemana?” tanya Andita. Andita bisa di kenal teman yang lumayan dekat dengannya sehingga teman-teman kelasnya memintanya untuk membujuk Husna agar ikut merayakan ulang tahun ketua tingkat mereka itu.
Husna menatap teman kelasnya itu lalu berpikir sejenak, “Pulang!” jawaban andalan yang sudah sangat di hafal oleh Andita setiap dia mengajak Husna jika mata kuliah telah berakhir.
“Kamu gak ikut ulang untuk merayakan ulang tahun Gilang? Teman-teman ingin kau ikut loh. Kita akan merayakannya di mall. Kamu ikut yaa. Please!” bujuk Andita.
“Gilang? Apa hari ini ulang tahunnya?” tanya Husna.
Andita mengangguk, “Kan memang setiap awal semester begini kita selalu merayakan ulang tahunnya. Kamu tidak pernah ikut dan ini akan menjadi ulang tahunnya yang kita rayakan bersama. Jadi mau ya ikut hari ini. Please!” ucap Andita.
Husna berpikir lalu dia menggeleng, “Maaf Dita. Aku tidak bisa. Aku harus pulang. Sampaikan permintaan maafku kepada teman-teman lain. Aku tidak bisa. Aku pergi dulu yaa.” Ucap Husna lalu dia segera berdiri meninggalkan Andita sendiri di dalam kelas itu.
Andita hanya bisa menghela nafas kasar sambil melihat punggung Husna yang menghilang di balik pintu. Husna itu memang sangat misterius. Dia saja yang dari awal sudah berkenalan dan menjadi teman Husna tidak pernah berhasil membujuknya keluar atau sekedar jalan bersama. Entah kenapa Husna itu seperti tidak tersentuh. Dia menutup dirinya. Sangat introvert. Itulah kesan yang ada di benak orang-orang selama ini tentang Husna. Tapi tidak dengan Andita, dia yakin Husna bukan orang introvert hanya saja dia melakukan semua itu pasti ada alasannya. Dan hal itu lah yang harus dia ketahui tapi sayang hingga sekarang dia tetap tidak mengetahuinya.
“Memang si pemilik julukan mahasiswi misterius.” Ujar Ratna tiba-tiba. Dia juga teman Andita teman Husna juga.
“Sudahlah, ayo kita jalan Dita. Kita bisa ketinggalan perayaan ulang tahun Gilang.” Ujar Ratna kemudian lalu dia segera mengajak Andita keluar. Akhirnya kedua gadis itu pun keluar dari kelas dan menuju parkiran untuk mengambil kendaraan mereka. Mereka juga melihat Husna yang baru saja melajukan sepeda motornya meninggalkan gedung kelas mereka itu.
Andita dan Ratna yang melihat itu hanya menghela nafas, “Mengajak Husna untuk ke pesta itu adalah pekerjaan yang sangat berat di lakukan. Sudah aku katakan kepada teman-teman untuk tidak usah memaksanya ikut tapi mereka tetap bersikeras memintamu membujuknya. Lihat kan hasilnya. Semuanya sia-sia. Memang si introvert kelas akut.” Cibir Ratna.
“Jangan begitu Ra, kita gak tahu alasan dia sebenarnya bersikap begitu.” Ujar Andita.
“Kenapa juga kita harus tahu alasannya. Aku yakin kenapa dia tidak pernah ikut kita jalan-jalan atau acara perayaan apapun karena mungkin dia kere. Lihatlah motornya hanya vespa dan pakaian yang dia gunakan sama sekali tidak modis. Gamis saja dan selalu gamis. Memang definisi gadis kere.” Ujar Ratna.
Andita hanya bisa menghela nafas mendengar ucapan Ratna itu. Dia bisa memakluminya. Ratna itu adalah teman yang memiliki kesabaran setitip tisu dan memiliki mulut yang cenderung tajam.
“Sudahlah. Lebih baik kita ke mall saja.” ajak Andita tidak ingin memperpanjang pembahasan terkait Husna temannya yang paling misterius.
***
Azarine Salsabila Husna adalah seorang gadis cantik dengan mata ambernya dan tinggi 164 cm dengan berat badan yang sangat ideal. Dia sangat cantik tapi menutupinya dengan pakaian panjangnya. Gamis kesayangannya.
Kini Husna sudah tiba di kediamannya berlantai tiga yang berada di kawasan elit. Dia segera menyapa bodyguard yang membukakan pintu gerbang untuknya lalu dia segera memarkirkan vespanya di garasi rumahnya itu.
Dia segera masuk ke rumahnya dan tersenyum melihat abi dan uminya yang berada di ruang keluarga. Dia segera berjalan mendekati kedua orang tuanya dan menyalami keduanya dengan penuh hormat.
“Duduk nak!” ucap umi Balqis.
Husna pun segera menurut. Dia duduk di hadapan abi dan uminya itu.
“Bagaimana kuliahnya?” tanya abi Syarif
“Alhamdulillah baik bi. Semuanya aman. Dosen kami tadi hanya mengatakan jadwal KKN lalu juga menjelaskan cara menentukan judul proposal penelitian yang akan kami ambil.” Jelas Husna.
Abi Syarif pun mengangguk, “Lalu kapan nak kau akan memberikan jawaban untuk anak kyai yang sudah melamarmu. Keluarga mereka sudah berulang kali menanyakan kepastiannya. Jika kau setuju maka abi akan meminta mereka untuk segera datang ke rumah untuk mengkhitbahmu.” Abi Syarif mengatakan itu dengan sungguh-sungguh.
“Jangan langsung menjawabnya. Kau pikirkanlah dengan baik. Ini sudah lamaran yang ke 10. Jika kau menolaknya lagi maka abi tidak tahu harus memberikan alasan apa kepada mereka. Jadi pikirkan dengan baik dan berikan alasan yang bisa abi terima ketika kau menolak.” Ujar abi Syarif lalu dia segera berdiri dan meninggalkan ruang keluarga itu segera menuju kamar. Meninggalkan istri dan putrinya itu.
Putri yang dia miliki setelah melalui proses panjang bersama sang istri. Putri yang mereka miliki saat usia pernikahan mereka 12 tahun. Putri yang menjadi hadiah anniversary pernikahan yang ke 12 tahun. Putri yang di miliki setelah melakui ikhtiar yang panjang.
“Naak!”
“Naak!”
Husna menghentikan ucapan uminya, “Aku tahu apa yang akan umi katakan. Aku tahu. Maafkan aku umi yang tidak bisa menjadi putri yang kalian banggakan. Aku selalu menentang keputusan kalian. Tapi apa aku salah menolak pernikahan di usiaku yang baru 21 tahun. Aku masih muda Mi. Masih banyak cita-cita yang ingin aku gapai.” Ujar Husna.
“Nak, jika memang itu alasanmu menunda pernikahan karena kau ingin meraih cita-citamu maka itu bukan menjadi alasan nak. Banyak kok yang di luaran sana walaupun sudah menikah tetap saja meraih mimpi mereka. Tetap kuliah. Kami bisa memberikan syarat kepada calon suamimu nanti bahwa kau masih ingin kuliah setelah menikah. Tidak ada yang melarangmu untuk menghentikan kuliah atau pun menghentikan mimpimu. Kami bangga dengan semua pencapaianmu selama ini. Kami bangga putri yang kami miliki sangat hebat. Tapi nak umur abi dan umi sudah sepuh. Yah bisa di katakan begitu. Kami sudah 60 lebih dan hanya kau satu-satunya anak yang kami miliki. Kami tidak ingin saat kami pergi di panggil Allah masih meninggalkan kau sendiri tanpa penjaga.” Umi Balqis mengelus tangan putrinya itu lembut.
“Umii, jangan mengatakan itu. Aku berdoa setiap malam bahwa abi dan umi akan berumur panjang. Aku mohon umi jangan paksa aku untuk menikah. Pernikahan adalah hal yang sakral. Aku takut jika aku terburu-buru menikah maka aku akan mengecewakan kalian. Sungguh umi aku belum siap jika harus menikah secepat ini. Aku mohon umi tolong jelaskan kepad abi. Aku sangat menyayangi kalian. Hanya kalian yang aku punya. Tapi maaf jika harus menikah secepat ini.” ujar Husna merebahkan kepalanya di pangkuan uminya itu.
Umi Balqis pun mengusap lembut kepala putrinya yang di tutupi hijab lebar itu, “Umi mengerti kekhawatiranmu nak. Tapi umi dan abi yakin kau sudah siap untuk menikah. Nak, umi tahu ini berat untukmu tapi kami juga sudah tidak sanggup menolak lamaran untukmu lagi nak. Mereka sudah memilihmu jadi istri putra mereka yang baru saja kembali dari Mesir. Kau pikirkanlah dengan baik. Umi mau menemani abimu dulu.” Ujar Umi Balqis berdiri.
Husna pun menarik nafas kasar melihat punggung uminya itu yang menghilang di balik pintu. Husna segera berdiri dan meninggalkan ruang keluarga itu. Dia segera naik menuju lantai dua di mana kamarnya berada.
Dia segera membuka kamarnya dan merebahkan tubuhnya di ranjang empuknya. Kamarnya ini adalah ruangan ternyamannya. Kamarnya adalah saksi semua keluh kesahnya. Dia menangis dan tertawa kamarnya ini adalah saksinya. Jika kamarnya dan seisinya itu bisa bicara mungkin mereka akan melaporkan apa yang dia lakukan di kamarnya itu kepada orang lain karena sudah tidak sanggup memori mereka menyimpan terlalu banyak rahasianya.
“Huh, Aku masih muda. Kenapa harus menikah secepat itu. Aku tahu abi dan umi melakukan ini demi kebaikanku. Mereka khawatir dan tidak ingin aku di tinggalkan sendiri. Tapi sungguh aku baik-baik saja. Aku menyayangi mereka. Tapi kenapa harus memaksaku menikah di usia ini.” ujar Husna frutasi.
Setiap dia kembali ke rumah pasti selalu saja pembahasan lamaran itu selalu menjadi topiknya. Lamaran itu mulai datang sejak usianya menginjak 19 tahun dan hingga kini. Lamaran itu selalu bergantian setiap bulannya. Jika lamaran satu di tolak maka akan datang lagi lamaran lainnya. Tidak pernah membuatnya tenang.
“Ya Allah ingin rasanya aku mengeluh padamu. Aku tidak sanggup dengan semua ini. Aku ingin berteriak dan mengatakan bahwa aku tidak sanggup. Aku ingin menyerah saja. Tapi aku sadar bahwa ini adalah ujian dan takdirmu padaku. Aku lahir menjadi putri abi dan umi sebagai pengobat kerinduan mereka. Aku juga tahu apa tanggung jawabku sebagai putri tunggal mereka. Aku akan bertanggung jawab atas takdirku. Namun kenapa ujian menikah ini datang secepat ini. Aku belum menginginkannya. Setidaknya datangkan setelah aku lulus. Mungkin aku akan mempertimbangkannya yaa Allah. Walaupun aku ingin kuliah S2.”
“Husna, apa yang kau lakukan. Kau mencoba tawar menawar dengan penciptamu. Dasar bodoh!” ucap Husna memukul keningnya.
Husna pun bangkit dari ranjangnya dan menuju meja belajarnya lalu mengambil sebuah album dari laci mejanya itu dan mulai menuliskan keluh kesahnya di sana. Yah buku harian adalah temannya.
Husna, bukan tidak ingin berteman atau bersosialisasi dengan teman-temannya hanya saja menurutnya hal itu akan menguras tenaganya yang bisa dia luangkan untuk hal lain yang lebih bermanfaat. Husna dia selalu mengisi waktu luangnya menjadi penulis novel. Banyak novelnya yang sudah di terbitkan dan laku terjual. Banyak peminat untuk tulisannya itu. Dia mendapatkan pundi-pundi uang dari hasil menulisnya. Dia menabung hasil kerjanya itu karena semua kebutuhannya di penuhi oleh umi dan abinya. Bahkan apa yang di berikan oleh abi dan uminya itu sangat berlebihan untuknya dan selalu tersisa banyak.
Namun kenapa dia masih tetap menjalani hobinya sebagai penulis novel. Bukan karena tidak punya uang tapi karena di sana dia bisa menemukan dunianya sendiri. Dia bisa menjadi sutradara bagi tokoh novelnya. Dia bisa berteman dengan teman-teman pembacanya dan berinteraksi dengan mereka tanpa harus terlihat perfect. Dia bisa menjadi dirinya sendiri walaupun dengan identitas sebagai penulis. Husna merahasiakan dirinya dan memiliki nama pena sendiri.
“Terima kasih untuk hari ini temanku. Terima kasih sudah mendengarkan keluh kesahku hari ini. Aku menyayangimu.” Ujar Husna menyudahi tulisan di buku hariannya itu.
Setelah itu Husna melihat jam dan masih setengah jam lagi waktu sholat. Dia pun meraih laptopnya dan mulai menulis novelnya ke 12-nya yang bercerita seorang pengagum rahasia.
***
Di sisi lain, di sebuah kediaman yang berlantai satu. Ada seorang gadis yang saat ini bercerita dengan abangnya.
“Bang, penulis novel favoritku akan merilis buku barunya bulan depan. Aku harus mendapatkannya.” Ujar Zahra pada kakak laki-lakinya saat ini sibuk menata buku-bukunya.
“Apa novel karna Langit Senja lagi?” tanya Azzam tanpa menatap adiknya itu.
Zahra mengangguk, “Yah, dia adalah penulis favoritku. Aku ingin bertemu dengannya. Dia pasti sangat cantik.” Azzam segera memandang adiknya itu.
“Emang dia seorang gadis?” tanya Azzam.
Zahra mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu, “Zahra tak tahu tapi Zahra yakin dia pasti seorang perempuan. Pasti dia sangat cantik. Zahra akan meminta kepada Allah agar mempertemukan Zahra dengannya.” ucap Zahra.
“Apakah tidak ada yang tahu dia gadis atau pria?” tanya Azzam.
Zahra menggeleng, “Yah penulis favoritku itu sangat misterius. Aku sudah tergabung dalam grupnya tapi tidak ada yang tahu dia itu gadis atau pria. Tapi sekali lagi Zahra katakan dia pasti seorang gadis yang sangat cantik karena tulisannya itu sangat indah. Sudah ahh Zahra ke kamar dulu mau ikutan PO bukunya. Jangan lupa ya bang bulan depan.” Ucap Zahra segera berlari ke kamarnya.
Azzam pun diam lalu memandang sebuah buku, “Langit Senja? Siapa dia?”
Husna menghabiskan waktu siang nya itu di kamar nya. Dia tidak keluar sama sekali. Abi Syarif dan Umi Balqis pun tidak mempermasalahkan nya karena memang putri mereka itu selalu begitu. Jika justru mereka datang menganggu dia pasti akan marah dan kesal. Kamar nya adalah ruangan ternyaman untuk nya.
“Mi, apa dia tidak setuju untuk menikah lagi?” tanya Abi Syarif yang saat ini mereka sedang duduk di ruang keluarga sambil melihat tangga ke lantai dua.
Umi Balqis menggeleng, “Bukan begitu Bi. Dia belum mengungkapkan jawaban nya. Kita akan memberi nya waktu. Umi yakin dia pasti akan memikirkan yang terbaik.” Ujar Umi Balqis.
Abi Syarif yang mendengar jawaban sang istri atas pertanyaan nya menutup mata nya lalu menghela nafas, “Sudahlah dia pasti menolak nya. Abi sudah hafal sifat nya. Mi, jika saja dia punya saudara lain kita mungkin tidak akan sekhawatir ini saat akan meninggalkan nya sendiri. Dia juga gak akan mungkin jauh dari kita. Dia semakin tertutup dengan kita. Dia menjauh dari kita. Aku semakin tidak mengerti putriku.” Abi Syarif mengatakan itu dengan air mata yang sudah membasahi pelupuk mata nya.
Jika di serahkan kepada Abi Syarif dan Umi Balqis, mereka juga belum ingin putri mereka itu menikah. Tapi mereka seolah berperang dengan waktu yang bisa kapan saja mengambil mereka dari dunia ini. Mereka tidak ingin meninggalkan putri mereka itu sendiri sehingga mereka ingin menikahkan nya.
Namun sayang sudah lamaran yang ke 10 ini datang Abi Syarif sudah bisa menebak bahwa putri mereka itu akan menolak kembali. Dia sudah menyiapkan alasan yang pas agar bisa menolak lamaran kali ini karena lamaran kali ini datang dari seorang Kyai besar pemilik pondok pesantren. Entah kenapa Kyai terkenal itu ingin menjodohkan putra nya dengan Husna. Abi Syarif tidak mengerti alasan apa yang menyebabkan lamaran itu datang kepada putri nya yang notebene bukan putri yang tinggal di pondok.
Dia memang memakai gamis dan hijab panjang dalam keseharian nya dan juga memiliki bekal ilmu agama yang cukup. Tapi untuk menjadi istri penerus pondok sepertinya Husna masih jauh itu.
“Bi, jangan terlalu di pikirkan.” ujar Umi Balqis melihat kening suami nya itu berkerut tanda bahwa saat ini suami nya itu sangat berpikir keras. Abi Syarif pun menyetujui ucapan istri nya itu dan dia segera mengambil obat yang di sediakan istri nya. Abi Syarif dan Umi Balqis memang sering check up ke dokter untuk penyakit memang rentan terjadi di usia senja mereka itu.
***
Di kamar nya, Husna baru saja menyelesaikan beberapa part novel nya yang sudah mulai masuk ke pusat konflik itu. Sudah hampir ******* cerita. Dia menghentikannya sebentar lalu segera mandi karena itu sudah sore.
Selepas mandi saat dia sedang mengganti pakaian ponsel nya berdering tanda ada panggilan yang masuk.
Husna pun terburu-buru memasang gamis nya dan masih membungkus rambut nya dengan sebuah handuk karena rambut nya masih basah habis keramas.
Husna melihat siapa yang menelpon nya itu dan dia kaget karena nama Gilang yang terlihat di sana. Gilang ketua tingkat nya. Husna pun segera menekan ikon berwarna hijau.
“Halo, Assalamu’alaikum Husna. Ini aku Gilang. Maaf sudah mengganggumu.” Ucap suara lembut Gilang terdengar dari ponsel Husna.
“Wa’alaikumsalam, tidak masalah Gilang. Ada apa menghubungiku?” tanya Husna.
“Aku sudah dengar dari Andita bahwa kau menolak untuk datang merayakan ulang tahunku di mall. Apakah itu benar?” tanya Gilang.
Husna mengangguk tapi kemudian dia sadar bahwa Gilang tidak bisa melihat anggukan nya, “Iya, benar Gilang. Maaf yaa aku tidak bisa. Tapi aku ucapkan selamat ulang tahun untukmu.” Ujar Husna mulai tidak nyaman bicara.
“Husna, tidak bisakah kau datang. Aku tidak menerima ucapan ulang tahunmu ini. Kau bisa mengucapkan nya secara langsung padaku. Ini adalah perayaan ulang tahunku yang terakhir bersama teman-teman semua. Kau tidak pernah datang. Jadi bisakah kau datang untuk pertama dan terakhir kali nya untukku. Anggap saja kau seperti memberi hadiah untukku. Please, Husna.” Mohon Gilang dari seberang.
Husna terdiam mendengar permintaan ketua tingkat nya itu. Ketua tingkat yang selalu bersikap baik pada nya, “Ma--”
“Please! Aku mohon Husna. Sekali ini saja. Jika kau tidak nyaman di mall, kita bisa memindahkan nya di tempat yang kau suka. Katakan saja!” potong Gilang.
Husna menarik nafas panjang, “Emm, baiklah. Aku akan datang. Gak usah mengubah tempatnya. Di sana saja.” ujar Husna akhirnya.
“Beneran yaa Husna. Aku menunggumu.” Gilang senang mendengar jawaban Husna itu.
“Iya!” jawab Husna pendek. Lalu tidak lama sambungan telepon itu pun terputus.
Begitu sambungan panggilan itu terputus. Husna pun melihat gamis yang dia pakai apa sudah cocok untuk datang ke perayaan ulang tahun atau tidak, “Aku pakai gamis hitam saja.” ujar Husna memutuskan untuk mengganti gamis nya.
Kini Husna sudah mengganti pakaian nya dengan gamis berwarna hitam dan hijab pashmina panjang berwarna coksu. Lalu dia mengambil tas ponsel nya dan menyimpan beberapa uang di sana dan satu atm milik.
“Aku bawa ponsel yang mana ya?” tanya Husna pada diri melihat empat ponsel di hadapan nya. Ponsel dengan merek buah yang di gigit setengah keluaran terbaru juga ada di meja nya. Ponsel yang baru dua minggu itu di beli oleh Abi nya sebagai hadiah untuk nya.
Lalu tiga ponsel lain nya yang juga tidak kalah mewah, “Aku bawa ponsel ini saja.” ujar Husna memilih ponsel yang berasal dari Negara para idol.
Setelah itu dia meraih sepatu berwarna coksu hadiah dari umi nya. Setelah itu di bercermin dan setelah memastikan bahwa penampilan nya sudah sempurna. Dia pun keluar kamar dan tersenyum melihat kedua orang tuanya yang berada di ruang keluarga.
“Mau pergi kemana nak? Sudah cantik begini?” tanya Umi Balqis tersenyum ke arah putrinya itu.
“Mau ke mall Mi. Ada teman Husna yang ulang tahun. Bisa gak Mi, Bi?” izin Husna.
Umi Balqis menatap suaminya lalu menatap kembali putrinya itu dan tersenyum, “Tentu saja bisa nak. Tapi pulangnya jangan malam.” Pesan umi Balqis.
Husna pun mengangguk lalu menatap abinya yang dia saja, “Pakai mobil saja. Lebih terjamin.” Ucap Abi Syarif datar.
“Tapi--”
“Gak usah menolah nak. Abimu ingin yang terbaik untukmu. Pakai mobil saja yaa. Biar supir yang mengantarmu.” Potong Umi Balqis.
Husna pun akhirnya menurut saja. Dia sudah cukup sadar diri selalu menolak keputusan orang tuanya itu.
Umi Balqis pun segera meminta supir yang memang di pekerjakan untuk jadi supir putrinya itu dan meminta segera mengantar Husna ke mall. Husna pun berpamitan kepada abi dan uminya lalu dia pun segera naik mobil dna menuju mall.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!