Hanna Jasmine
Seperti biasa, gadis itu kesiangan lagi. Kebiasaan buruk yang belum bisa ia ubah sampai detik ini.
"Oh tidak, Hanna!" Pekiknya sambil bergegas bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi dengan tergesa-gesa. Lalu kembali berbalik untuk mematikan jam wekernya yang masih setia berbunyi, bahkan setelah 30 menit semenjak waktu yang sudah Hanna setel. Yap, ia bahkan tidak bangun walaupun alarm sudah berbunyi 30 menit lamanya.
"Hufftttt..." Hanna mencoba mengatur nafas, sekali lagi memeriksa penampilannya didepan cermin, tampaknya ia sudah siap untuk berangkat. Tidak lupa ia raih ID Card nya, Kartu Pengenal Karyawan yang 3 hari lalu Hanna terima setelah ia dinyatakan lulus seleksi untuk magang di sebuah perusahaan Majalah Fashion.
"Waktunya kita berangkat, let's go!" Ditemani si Pinky, motor matic yang selalu setia menemani dan menjadi saksi perjuangan Hanna menyusuri jalanan untuk bertahan hidup sebatang kara di kota besar ini.
Setelah menerobos beberapa lampu merah, tentu itu bukan hal yang patut di contoh. Namun, Hanna tidak ingin terlambat di hari pertamanya bekerja.
Iiitttttt.... Dubrakkkk !!!
Hanna tidak bisa menghindari sebuah mobil yang berhenti karena lampu merah. Dan kecelakaan itu pun tak dapat terelakkan.
Hanna tersungkur dan terjatuh, untung ada beberapa orang yang langsung membawanya dan si Pinky ke bahu jalan.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya seorang pria yang tiba-tiba menghampiri Hanna.
Hanna yang sedang sibuk menepuk-nepuk celana jeansnya yang sedikit sobek dibagian lutut, mendongakkan wajah dan melihat ke arah sumber suara. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah mobil yang ia tabrak. Dan bisa langsung Hanna pastikan, pria yang berpenampilan rapi dengan setelan jas ini pasti pemilik dari mobil yang baru saja Hanna tabrak.
"Maaf maaf, aku benar-benar tidak sengaja." Sambil berulang kali membungkukkan tubuhnya. Tubuh Hanna masih gemetar, takut dan terkejut karena kecelakaan yang baru saja ia alami.
"Apa kau terluka?" Tanya pria itu, seperti mengkhawatirkan Hanna.
"Tidak! Aku baik-baik saja. Maaf, aku pasti akan ganti rugi." Dengan tergesa-gesa, Hanna keluarkan selembar kertas dan pulpen dari dalam tasnya. "Ini nomor kontak Ku, maaf aku sedang buru-buru." Untuk sekian kalinya Hanna kembali membungkuk dan bergegas menuju motor matic nya.
Sayangnya, disaat yang sangat genting itu, si Pinky justru mogok.
"Ayolah Pinky, kita sudah terlambat." Gumam Hanna seorang diri.
"Kalau tidak keberatan, Aku bisa memberi mu tumpangan." Suara itu kembali mengagetkan Hanna. Hanna pikir Pria itu sudah pergi dari tadi.
"Tidak apa-apa, terimakasih." Dengan senyuman canggungnya. Hanna masih berusaha menghidupkan motornya yang nyatanya hanya sia-sia.
"Tidak perlu takut, aku bukan orang jahat." Pria itu mencoba meyakinkan Hanna. Sebenarnya Hanna bukan takut, Hanna hanya merasa tidak enak. Normalnya orang akan marah-marah ketika mobilnya di tabrak orang lain, bukan justru menawarkan diri seperti yang dilakukan pria ini.
Hanna melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sungguh tidak apa-apa?" Tanya Hanna memastikan. Waktunya hanya tinggal 5 menit untuk sampai di kantor atau ia benar-benar akan terlambat.
Pria itu hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Baiklah...!" Hanna langsung bergegas menuju ke mobil pria itu dengan buru-buru.
Yapp..
Ia melupakan sesuatu.
Hanna kembali menoleh ke belakang, ternyata pria itu sudah mendorong motor Hanna ke depan salah satu toko disana dan berbicara dengan sang pemilik toko sambil menyodorkan kartu namanya. Lalu kembali menuju ke mobil nya dan tak lupa melempar senyum manisnya ke arah Hanna.
Detik itu, Hanna seakan terhipnotis. 'Apa dia malaikat?'
"Ke..." Tanya si pria menggantung.
"Zillow Group." Sela Hanna cepat bahkan sebelum pria itu sempat menyelesaikan kalimatnya.
Pria itu kembali tersenyum dan mengangguk. Lalu mengemudikan mobilnya dengan santai setelah memasang safety belt. Lutut Hanna tidak bisa berhenti ia gerakkan naik turun, sebenarnya Hanna sangat geram dengan pria itu yang mengemudi sangat santai, sedangkan Hanna sudah terlambat.
"Maaf, apa Anda bisa lebih cepat? Ini hari pertama saya bekerja, dan saya sudah terlambat." Dengan sangat hati-hati, kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Hanna setelah sudah dengan sangat Hanna tahan.
"Kita harus mengutamakan keselamatan." Ucapnya.
"Tentu!" Hanna kembali tersenyum canggung.
*
Mobil itu berhenti tepat di depan pintu masuk Zillow Group.
Saking terburu-burunya Hanna langsung keluar dari mobil dan lupa mengucapkan terima kasih.
Ia berlari masuk kedalam perusahaan yang mulai di padati karyawan.
"Ma.. ma-maaf buk, aku terlambat." Hanna belum sempat mengatur nafasnya. Dan kini, ia sudah berdiri tepat di depan meja manager.
Manager wanita itu melihat ke arah Hanna dari ujung kaki hingga ujung kepala, dengan ekspresi biasa saja. mimik wajahnya datar, sehingga sulit bagi Hanna menebak, dia sedang marah atau tidak.
"Kau terlambat 5 menit di hari pertamamu." Wanita dengan penampilan modis itu bangkit dari balik mejanya sambil melihat jam arlojinya.
Dengan ragu-ragu Hanna ikuti langkah wanita itu yang akhirnya berhenti di sebuah meja kerja.
"Ini meja mu, dan ini berkas yang harus kau koreksi. Lalu serahkan kepada ku."
Wanita dengan wajah datar itu kembali beranjak ke meja kerjanya. Meninggalkan Hanna tanpa beberapa penjelasan yang seharusnya di berikan bukan.
"Huffttt.. Semangat Hanna." Hanna duduk di balik meja kerjanya. Untuk pertama kalinya, tanpa pengalaman kerja sebelumnya. Ia tatap kosong berkas yang tergeletak di hadapannya. "Koreksi?" Hanna buka berkas tersebut, lalu ia bolak balik halaman yang sama sekali tidak ia mengerti itu.
"Apa yang harus aku koreksi?" Gumam Hanna.
Hanna mengalihkan pandangannya ke sekeliling, semuanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Ada beberapa yang ia kenal, mereka juga karyawan magang yang baru diterima sama dengan Hanna. Hanna ingat pernah bertemu mereka saat wawancara. Mereka terlihat sibuk dengan pekerjaannya. "Apa cuma aku yang tidak mengerti dengan apa yang harus aku kerjakan?" Batin Hanna
Dengan linglung dan tanpa arah, Hanna coba buka kembali berkas tersebut dan ia baca dengan teliti sambil mencari referensi di internet.
Dan, ia mulai paham setelah membaca penjelasan di internet. Dengan semangat mulai Hanna kerjakan pekerjaan pertamanya itu.
"Selesai..." Dengan senyuman sumringahnya. Dengan begitu semangat Hanna bangkit dan menyerahkan berkas itu kepada manajer.
"Cepat sekali." Imbuhnya masih dengan ekspresi datar. Dia membaca dengan teliti berkas yang sudah Hanna koreksi tersebut. Terus Hanna perhatikan mimik wajah wanita itu yang masih tetap terlihat datar.
"Apa memang dia tidak memiliki ekspresi." Batin Hanna dalam hati.
"Bagus, kau mengerjakannya dengan susunan yang sangat rapi dan mudah di pahami. Cukup memuaskan untuk pekerjaan pertama mu." Pujinya!
Hanna tersenyum puas.
"Terimakasih bu." Untuk pujiannya. "Kalau begitu aku permisi." Ujar Hanna. Hanna pun berbalik hendak kembali ke meja kerjanya.
"Tunggu!"
Spontan Hanna langsung kembali menghadap ke arahnya.
"Iya bu." Jawab Hanna sopan.
"Tolong gandakan berkas ini." Wanita itu menunjuk setumpuk berkas yang ada di samping mejanya.
Hanna berjalan mendekat. "Semuanya?" Tanya Hanna memastikan.
"Lantas?" Dia balas bertanya.
"Baik bu, akan aku kerjakan." Hanna meraih berkas yang tumpukkannya hampir setengah meter itu.
Dengan susah payah berjalan menuju... "Dimana ruang penggandaan dokumen?" Tanya Hanna pada diri sendiri.
"Maaf, permisi mau tanya ruang penggandaan dokumen nya dimana ya?" Tanya Hanna akhirnya pada salah seorang karyawan.
"Disana." Sambil menunjuk sudut ruangan.
"Terima kasih.." Hanna sedikit menganggukkan kepalanya, setelahnya ia berjalan ke arah yang di tunjuk karyawan tadi.
Hampir setengah jam Hanna habiskan waktu untuk menggandakan semua berkas tersebut.
Dan kini, berkas-berkas itu menjadi dua kali lipat banyaknya. Hanna kembali membawa berkas itu ke meja kerjanya. Lalu menemui Bu Mirna, managernya.
"Bu, berkasnya sudah selesai saya gandakan." Ujar Hanna, pada Bu Mirna yang tampak sibuk di balik meja kerjanya.
Tanpa menjawab, wanita itu bangkit lalu memeriksa hasil pekerjaan Hanna.
"Apa kau tidak menyusunnya seperti semula?" Tanyanya dengan nada sedikit meninggi.
"Apa aku harus menyusunnya seperti semula?" Otak Hanna berputar. "Maaf bu, tadi..."
"Saya tidak butuh alasan, susun kembali seperti semula." Bentaknya tanpa mau mendengarkan penjelasan sedikitpun.
"Oh tidakkk!" Pekik Hanna dalam hati ketika melihat berkas yang bertumpuk di meja kerjanya.
TO BE CONTINUED>>>
"Biar ku bantu." Ucap salah seorang gadis yang tiba-tiba saja menghampiri Hanna.
Hanna menoleh ke arah sumber suara. "Terima kasih." Ucap Hanna dengan sungguh-sungguh, pada gadis baik hati yang mau membantu Hanna dengan suka rela.
"Kau karyawan magang juga?" Tanya Hanna yang mencoba memecahkan keheningan di antara mereka berdua.
"Iya." Jawabnya singkat di iringi senyuman manisnya.
Lalu suasana kembali hening. "Sepertinya dia gadis yang pendiam." Batin Hanna, dengan tatapan yang terus tertuju ke arah gadis baik hati itu.
"Kau di departemen apa?" Tanya Hanna basa basi.
"Sudah selesai. Aku permisi." Bukannya menjawab pertanyaan Hanna, gadis itu justru langsung pergi setelah membantu Hanna.
Hanna melihat sekeliling dan ternyata sebagian karyawan sudah pulang, termasuk Bu Mirna.
Hanna melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 17.25. "Kenapa waktu berlalu begitu cepat." Hanna membereskan meja kerjanya setelah itu juga bergegas untuk pulang.
Hanna melihat sekeliling, mencari gadis tadi yang membantunya. Dan sepertinya dia juga sudah pulang. Tak Hanna dapati gadis itu di ruangan ini.
***
Hanna langsung bergegas ke tempat kejadian kecelakaan tadi pagi. Dimana motor matic nya dititipkan, untung saja toko itu masih buka.
"Maaf pak, mau tanya kira-kira bengkel jauh nggak ya dari sini?" Tanya Hanna, pada bapak bertubuh gembrot yang sedang membaca koran di depan tokonya itu.
"Oh jauh, kalaupun kau kesana sekarang pasti tidak akan sempat juga, pasti bengkelnya sudah tutup." Jawab Bapak tersebut, sambil melipat korannya.
Hanna mulai gelisah, bingung dengan apa yang harus ia lakukan. "Gimana caranya aku bawa pulang Pinky?" Gumam Hanna yang sepertinya terdengar oleh sang pemilik toko.
"Titip disini saja dulu, besok saja bawa ke bengkelnya. Kalau malam ini memang tidak akan sempat lagi." Usul si bapak pemilik toko.
"Boleh aku titip disini motornya pak?" Hanna memastikan.
"Boleh." Jawabnya lengkap dengan anggukan kepala.
"Terimakasih banyak ya pak." Hanna sangat berterimakasih dengan kebaikan si bapak. "Yaudah besok aku ambil motor nya ya pak, sekali lagi terimakasih." Lanjut Hanna.
***
Dan dengan sangat terpaksa, Hanna harus pulang menggunakan taxi. Dan biaya taxi nya sangat menguras isi dompet Hanna. Hanna sampai dirumah dengan rasa lelah yang luar biasa. Padahal pekerjaannya sepele, tapi membuat Hanna bisa begitu kelelahan. Mungkin karena jarak kantor dengan tempat tinggalnya cukup jauh, sehingga menempuh perjalanan itu saja sudah sangat menguras tenaga Hanna.
Ahh...
Hanna melupakan sesuatu, kecelakaan tadi pagi. Hanna bangkit dari tempat tidur, dan memeriksa lututnya yang terasa nyeri sedari tadi pagi.
Ternyata lukanya cukup dalam, pantas saja rasa sakitnya cukup mengganggu. Padahal jelas jelas celana dibagian lututnya berdarah, bisa bisanya Hanna tak menyadari itu.
"Kasian sekali kau Hanna, semuanya harus kau lakukan seorang diri." Hanna bangkit lalu mengambil kotak P3K, mengobati lukanya sambil bersenandung. Tidak ada waktu baginya untuk meratapi nasib dan bersedih.
Hanna terlelap beberapa saat kemudian.
***
Pagi yang cerah, yap. Hanna bisa merasakan sinar matahari yang menyinari wajahnya yang masih terlelap.
"SH*T!" Hanna langsung bergegas ke kamar mandi. Tidak perlu di jelaskan, bukan! Hanna terlambat lagi. Seperti biasa!
Menunggu Bus adalah hal yang paling membosankan. Berulang kali ia melirik jam di pergelangan tangannya dengan gelisah.
"Aku tidak boleh terlambat lagi hari ini." Hanna membatin, namun tak ada yang bisa ia lakukan untuk itu. Tanpa si pinky Hanna tidak bisa berbuat apa-apa. Mau tidak mau, suka tidak suka, Hanna tetap harus menunggu.
"Perlu tumpangan?" Tanya seseorang akhirnya.
Hanna menoleh dengan cepat.
"Pria kemarin!" Sambil menunjuk ke arahnya dengan suara yang cukup lantang. Spontan beberapa orang yang berada di halte langsung menoleh ke Hanna dengan serentak.
Dan itu berhasil membuat pria itu tertawa pelan melihat tingkah konyol Hanna, yang akhirnya Hanna sesali.
"Apa boleh?" Hanna memastikan.
"Tentu!" Si pria mengangguk sambil menunjukkan senyuman terbaiknya.
*
Perjalan menuju perusahaan cukup hening, keduanya hanya diam seribu bahasa.
"Terimakasih" Ucap Hanna pada pria itu, setelah dia mengantarnya tepat di depan kantor. Hanna langsung bergegas, masuk kedalam kantor dengan tergesa-gesa.
Hanna melempar senyum ke arah Bu Mirna yang kini sedang melirik ke arahnya karena kegaduhan yang Hanna timbulkan. "Huffttt... Untung tidak terlambat." Hanna duduk sambil bersandar dan mengatur nafasnya.
"Hanna." Panggil Bu Mirna seketika.
"Iya bu." Dengan gesit Hanna langsung bangkit dari balik meja kerjanya. Hanna padahal baru saja duduk dan belum sempat mengatur nafasnya.
"Tolong keruang HRD dan minta berkas yang saya suruh siapkan kemarin." Pintanya.
"Baik bu," Jawab Hanna, dan tanpa menunggu lama, ia langsung bergegas menuju ruang HRD, sesampainya disana semua orang tampak begitu sibuk.
"Aku harus temui siapa yaa?" Hanna mulai mencari sosok yang mungkin akan gampang di ajak bicara."Itu dia!" Dengan ekspresi sumringah, Hanna melangkah mendekati meja salah seorang karyawan wanita.
"Maaf permisi" Ucap Hanna pada gadis yang dari wajahnya saja sudah terlihat ramah.
"Iya." Jawabnya ramah. Benarkan tebakan Hanna, gadis ini pasti ramah.
"Aku diminta bu Mirna untuk mengambil berkas yang beliau suruh siapkan kemarin." Ujar Hanna.
"Baik, tunggu sebentar." Balas si gadis. Gadis berkaca mata itu pun bangkit dari duduknya.
"Dia lebih ramah dari dugaanku." Gumam Hanna, sambil tersenyum seorang diri ditempat ia berdiri.
Setelah menunggu beberapa saat.
"Ini berkas yang diminta Bu Mirna." Imbuh Gadis tadi sambil menyodorkan berkas tersebut.
"Terima kasih." Tak lupa Hanna melempar senyuman terbaiknya. Hanna tak ingin kalah ramah di banding si gadis kaca mata.
"Anak baru ya?" Ucap gadis itu beberapa saat kemudian.
Hanna kembali menoleh ke arahnya. "Iya, ini hari kedua." Jawab Hanna, sambil menganggukkan kepalanya.
"Semangat..!" Gadis itu mengepal kedua tangannya.
"Terima kasih, semangat..!" Hanna membalas persis seperti yang dia lakukan, lalu keduanya terkekeh bersama.
Dan benar saja, berkat ucapannya itu, Hanna menjadi lebih bersemangat.
***
Sedangkan di tempat yang berbeda.
Rey Reivandra, pewaris Zillow Group. Sedang begitu sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan sang kekasih.
"Sayang, aku suka yang ini." Sambil menunjuk ke salah satu cincin berlian yang terpampang cantik di toko perhiasan itu.
"Em boleh, aku juga suka yang itu." Jawab Rey singkat.
"Tolong ambilkan yang ini." Perintah gadis berwajah tegas itu.
"Baik" Karyawan itu pun mengambil cincin yang dimaksud oleh gadis itu.
Tapi sayangnya, cincin itu terlalu kecil untuk jari manisnya. Dia tidak menyerah, gadis itu terus memaksa agar cincin itu masuk sepenuhnya kedalam jari manis miliknya tak perduli dengan rasa sakit yang ditimbulkan.
"Itu kekecilan, jangan dipaksa." Ujar Rey.
"Tapi aku maunya yang ini, sayang." Rengeknya manja.
"Kalau kami pesan dengan ukuran yang lebih besar, kira-kira bisa sampai berapa lama siapnya?" Tanya Rey pada karyawan yang sedang melayani mereka tersebut.
"Kalau dengan model persis seperti ini, bisa sampai satu bulan." Jelas si karywan toko.
"Lama sekali sayang, tidak bisa. Pernikahan kita saja tinggal dua minggu lagi."
"Yaudah kamu pilih yang lain aja, jangan yang ini." Usul Rey pada kekasihnya yang super manja itu.
"Tidak! Aku pokoknya mau yang ini. Aku bisa diet, biar cincinnya bisa muat ke jari ku." Kekeh gadis itu.
Myesa, gadis manja yang sudah menjalin hubungan dengan Rey hampir 2 tahun itu memang memiliki kepribadian yang sedikit unik.
Dia akan memaksa memiliki apapun yang dia inginkan.
Contohnya, pernikahan yang akan di jalaninya ini.
Pernikahannya dengan Rey mendapat tentangan dari keluarga Rey. Yaa, keluarga tidak suka dan tidak menyetujui hubungan Rey dengan Myesa. Menurut keluarga Rey, Myesa hanya gadis manja yang hanya akan menyusahkan Rey pada akhirnya.
Setelah menjadi pewaris Zillow Group, Rey pasti menjadi sangat sibuk. Yang Rey butuhkan adalah gadis mandiri dan tangguh. Yang dapat membantu meringankan kepenatan Rey, bukan justru menambah beban bagi Rey.
Namun cinta sudah membutakan seorang Rey.
Myesa melakukan segala cara agar Rey mau menikah dengannya.
TO BE CONTINUED>>>
Hari itu, tiba-tiba saja Myesa meminta Rey untuk menikah dengannya.
Flashback On
"Ayo kita menikah" Kalimat itu tiba-tiba saja terucap dari mulut Myesa.
"Nikah?" Rey, bertanya untuk memastikan walau sebenarnya sudah dengan jelas mendengar kalimat itu.
"Iya, menikah!" Ulang Myesa.
Rey tersenyum miring mendengar kalimat itu. Dia sama sekali belum memiliki rencana untuk menikah.
"Kenapa? Kau tidak mau menikah denganku?" Myesa langsung memasang wajah cemberut nya.
"Bukan begitu sayang." Rey yang menyadari mimik wajah Myesa berubah langsung mendekat dan memeluk gadis kesayangannya itu.
"Lalu?"
"Aku hanya belum siap, aku bahkan belum kepikiran untuk menikah." Rey mencoba untuk meredakan ambekan Myesa.
"Berarti kau tidak serius denganku?" Myesa tentu saja tidak menyerah begitu saja.
"Tentu saja aku serius, tapi-" Ucap Rey terputus.
"Tapi apa? Kau banyak alasan. Kalau tidak mau, bilang saja!" Myesa semakin merajuk.
Air mata buayanya mulai beraksi. Membuat Rey sedikit panik, dia tidak mau kalau kekasihnya itu sampai marah.
"Iya iya, kita menikah. Tapi tidak sekarang!" Akhirnya, Rey menyerah. Ia tidak ingin berdebat.
"Terus kapan?" Myesa meminta kepastian.
"Satu atau dua tahun lagi." Ujar Rey asal.
Mendengar kalimat itu, Myesa kembali memalingkan wajahnya. "Aku mau secepatnya!"
"Sayang please! Aku baru saja jadi CEO di perusahaan. Banyak sekali pekerjaan yang harus aku selesaikan dalam waktu dekat ini." Rey memohon pengertian dari kekasihnya itu, walau tampak sia-sia.
"Kau terlalu banyak alasan. Kau sama saja dengan laki-laki lainya, tidak pernah serius." Pungkas Myesa dengan penuh penekanan.
"Aku serius, Mye" Rey mulai sedikit emosi karena disama-samakan dengan lelaki lain. Itu hal yang paling tidak ia suka.
"Buktikan! Buktikan kalau kau memang serius Rey! Bulan depan kita menikah!" Tantang Myesa.
"Oke!" Sarkas Rey, ia mulai terpancing.
*
Namun tidak semudah itu. Keluarga Rey langsung menentang keputusan Rey tersebut.
Myesa kembali berulah.
Bukankah dia akan melakukan segala cara agar apa yang dia inginkan terwujud.
Myesa mengancam akan bunuh diri jika Rey tidak menikahinya. Rey sampai memohon-mohon kepada keluarganya. Dan pada akhirnya, dengan sangat terpaksa. Keluarga Rey memberikan restu.
Flashback Off
"Yasudah, kami ambil yang ini saja." Rey menyerah, dia kembali mengalah untuk kesekian kalinya.
Wajah Myesa langsung sumringah kegirangan menerima kotak cincin pernikahannya.
*
Hanna, benar-benar bekerja keras untuk mendapatkan posisi karyawan tetap. Melakukan apapun yang diperintahkan oleh seniornya.
"Hanna kopi!" Teriak salah seorang senior
"Baik!" Hanna langsung bergegas dengan cepat. Menuju Caffe di seberang perusahaan.
Hanna sudah sangat hafal dengan pesanan apa-apa saja yang dibutuhkan senior-seniornya itu.
Karena ini bukanlah kali pertama.
Kalimat "Hanna kopi!" Sudah seperti kode tersendiri.
Dengan tangan yang dipenuhi kopi dan beberapa makanan membuat Hanna kesulitan sendiri. "Permisi! Permisi!" Sambil menyusuri keramaian.
Hanna semakin mempercepat langkahnya ketika pintu lift hampir saja tertutup.
"Tunggu!" Hanna langsung masuk kedalam lift dan hampir saja menumpahkan semua kopinya. Untung saja seseorang didalam lift langsung memegangnya.
"Kau!" Hanna terbelalak dengan mata yang membulat sepenuhnya.
Pria itu tersenyum. "Biar ku bantu!" Pria itu membantu Hanna memegang beberapa kopi yang memenuhi tangan Hanna.
"Ternyata kau bekerja disini juga?" Dengan logat cerianya. Ya, begitulah Hanna. Gadis itu terlihat selalu ceria disetiap waktu.
Dan pria yang kini menjadi lawan bicara Hanna itu, adalah pria yang mobilnya di tabrak oleh Hanna tempo hari.
"Iya." Pria itu memberi jawaban diiringi dengan tawa kecilnya, lalu menunduk melihat ke arah bawaan Hanna yang super banyak.
"Kenapa tidak kau katakan kalau ternyata kau juga magang disini!" Sambil menepuk pundak pria tersebut.
Pria itu kembali tertawa canggung, dan kali ini ia tidak lagi memberikan jawaban.
"Hanna.." Sambil menyodorkan tangannya, Hanna berinisiatif untuk memperkenalkan dirinya pada pria yang cukup baik itu, menurutnya! Bagaimana tidak, pria itu bahkan tidak pernah sekalipun menghubungi Hanna untuk minta ganti rugi.
"Raffael! Panggil saja Rafa!" Pria itu membalas jabatan tangan Hanna.
"Baiklah." Hanna tersenyum. Lalu kembali menoleh ke arah Rafa. "Oh ya, terimakasih. Kau bahkan tidak meminta ganti rugi atas kecelakaan waktu itu."
"Aku bahkan sudah lupa dengan kejadian itu."
Mendengar kalimat itu, senyum lega jelas terpancar di wajah cantik Hanna.
"Tapi-" Raffael melanjutkan kalimatnya. "Bagaimana kalau sekarang aku berubah pikiran!"
Seketika ekpresi Hanna langsung berubah tegang.
"Ta-tapi." Ucap Hanna mulai terbata. Raut wajah Hanna pucat pasi. Dia tahu, biaya ganti rugi itu pasti mahal.
Kalimat yang tempo hari keluar dari mulutnya, yang mengatakan dia akan ganti rugi. Itu hanya kalimat yang spontan keluar dari mulutnya karena panik.
"Temani aku makan siang." Imbuh Rafa yang menyadari ketegangan Hanna.
"Hah... Ha ha ha! Tentu, makan siang? Baik, kapan?" Sambil tertawa canggung, ia tidak menyangka ganti rugi yang dimaksud Raffael hanya makan siang.
"Setiap hari!" Lanjut Raffael.
"What? You kidding me?" Hanna kembali dibuat terkejut.
"Of course not, I'm serious!"
Hanna terdiam untuk beberapa saat.
Ting!
Pintu lift terbuka.
"Aku sudah sudah sampai di departement ku. Terimakasih untuk bantuannya." Hanna tersenyum canggung, lalu meraih kopi yang berada ditangan Raffael lalu langsung bergegas keluar dari lift tanpa memberi kepastian pada Raffael tentang ajakan makan siangnya itu.
Setelah membagikan pesanan seniornya. Hanna terduduk termenung dibalik meja kerjanya.
"Apa aku terima saja ajakan pria itu ya! Tidak.. tidak.. tidak..! Bagaimana kalau ternyata dia bukan pria baik-baik. Bagaimana kalau ternyata dia punya maksud lain. Tapi! Mulai dari hari kecelakaan itu, dia selalu menolong ku. Tidak mungkin kalau dia orang jahat. Lagi pula, dia lumayan tampan. Dari tampangnya saja, jelas dia orang baik. Yang ada juga, dia yang rugi makan siang bersamaku."
Hanna terkekeh seorang diri. Membayangkan, kalau dia makan siang bersama Rafa dan orang-orang akan berkata. "Mereka sama sekali tidak cocok!"
Grtt... Grtt...
Dering ponselnya, mengagetkan Hanna dari lamunannya, ia mengernyitkan keningnya ketika melihat nomor tidak dikenal tertera di layar benda pipih itu.
"Hallo!" Hanna menerima panggilan itu dengan ragu-ragu.
"Bagaimana? Setuju?"
"Maksudnya?" Tanya Hanna bingung. "Maaf ini siapa ya?" Lanjut Hanna.
"Raffael!"
Hanna terbelalak. "Dari mana kau dapat nomorku?"
"Kau sendiri yang memberikannya, dihari kecelakaan itu." Diiringi kekehan pelannya.
Hanna menepuk jidatnya.
"Aku masih menunggu jawabanmu!" Lanjut Raffael.
"Oke, aku setuju." Jawab Hanna, tanpa berfikir lagi.
"Good!"
"Tapi!"
"Iya..."
"Selamanya itu berapa lama ya?" Hanna meminta kepastian yang benar-benar pasti.
"I don't know, kita lihat saja nanti. Sampai kapan kita akan bertahan." Ocehan itu sedikit membingungkan Hanna.
Hanna tertawa geli, kalimat itu seperti seakan-akan mereka sedang menjalin hubungan saja.
"Save nomorku ya. Nanti akan aku hubungi kalau sudah waktunya makan siang."
"Oke!"
Rafa mengakhiri panggilan itu.
Hanna menatap ponselnya bingung, baru kali ini dia bertemu dengan orang yang aneh seperti Rafa.
"Bagaimana Rey? Semuanya sudah beres?" Tanya Mama Lalita, mamanya Rey.
Rey yang baru saja pulang, menghampiri Mama Lalita yang sedang duduk diruang tamu.
"Hampir Ma, sudah 80%." Jawab Rey sambil ikut duduk bersama Mamanya di ruang tamu.
"Kau yakin, kau tidak akan menyesal?" Tanya Mama Lalita, seakan masih meragukan keputusan anaknya itu.
"Rey yakin Ma, terimakasih karena Mama sudah membujuk Papa. Terimakasih juga karena Mama akhirnya mau terima Myesa." Lanjut Rey, wajahnya tampak tak semangat sedikit pun.
"Tidak Rey! Mama belum merestui hubungan kalian. Ingat, pernikahan ini terjadi karena kau begitu ingin menikahi gadis itu. Sampai buat perangai segala macam. Bukan karena Mama dan Papa terima dia, Belum!" Mama Lalita menekankan.
Mama Lalita bangkit dari duduknya, Meninggalkan Rey seorang diri disana.
Rey menarik napas dalam. Hubungannya dengan orang tuanya terasa renggang karena hanya ingin mengikuti keinginan Myesa.
"Ini semua demi kau, Myesa!" Gumam Rey. Setelahnya ia bangkit dari duduknya, lalu memilih untuk masuk kedalam kamar. Pernikahan yang akan dilakukannya bukan membuat dia bahagia, melainkan gundah dan tertekan.
"Rey sudah pulang?" Tanya Papa Surya pada istrinya yang baru saja masuk kedalam kamar dengan ekspresi sedihnya.
"Sudah." Jawab Mama Lalita seadanya.
"Ehemm...." Papa Surya berdehem lalu kembali melanjutkan aktivitasnya membaca koran.
"Sampai kapan kau akan seperti ini? Dia anak kita satu-satunya, Pa." Mama Lalita mengecewakan sikap suaminya yang memilih untuk mendiami Rey. Walaupun Papa Surya membiarkan Rey menikah dengan gadis itu, tapi dia memutuskan untuk memberikan sedikit jera kepada Rey.
"Aku hanya ingin membuat dia sadar, kalau pilihannya itu salah." Pungkas Papa Surya, membenarkan apa yang sedang ia lakukan terhadap putranya.
"Percuma, Pa!" Mama Lalita menunduk, menahan tangisnya. "Disaat dia sadar, semuanya sudah terlambat." Lanjutnya dengan lirih.
Papa Surya hanya terdiam mendengar kalimat itu. Tapi mereka tak punya kuasa untuk terlalu menentang keinginan anak mereka satu-satunya itu.
TO BE CONTINUED>>>
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!