Siang menjelang di sebuah daerah pedesaan di kaki gunung.
Seorang wanita tua baru saja pulang dari sawah. Dengan keringat bercucuran, dan kaki penuh lumpur bekas menanam padi di sawah tetangga, wanita tua berhijab miring yang nampak sudah sepuh itu lantas berjalan menuju sebuah tempat penampungan air berbentuk kendil besar yang terbuat dari tanah liat. Di bukanya penutup corong kendil yang terbuat dari potongan sendal karet tersebut. Membuat air mengucur dari dalam sana membasahi kaki berlumpur nya. Nenek tua itu lantas membersihkan kedua kakinya.
Setelah selesai, wanita dengan sebuah caping di tangan itu lantas berjalan menuju sebuah rumah yang jauh dari kata mewah. Rumah kecil dengan dinding kayu, dan lantai pelur yang menjadi tempat tinggal nya bersama sang cucu semata wayang.
Wanita tua itu, nenek Ratmi biasa ia disapa, masuk ke dalam rumahnya setelah mengambil sebuah kunci yang ia letakkan di bawah pot bunga. Diletakkannya caping itu di atas meja. Ia lantas menuangkan segelas air dari dalam teko yang berada di meja ruang tamu sederhana tersebut.
Wanita itu lantas meletakkan tubuhnya di atas sofa lusuh itu. Menghembuskan nafas perlahan, mencoba mengistirahatkan tubuh nya yang nampak lelah akibat seharian bekerja di bawah terik matahari sebagai buruh penanam padi di sawah tetangganya.
Saat musim tanam padi seperti ini, memang tenaga sang nenek yang bisa dibilang masih sangat bugar di usianya yang sudah senja itu selalu di cari cari oleh para pemilik sawah. Kerjanya cekatan, dan tidak neko neko membuat para pengguna jasanya selalu puas dengan hasil kerja nenek berusia enam puluh lima tahun itu.
Nenek Ratmi nampak memejamkan matanya sejenak. Tiba tiba....
suara motor nampak berhenti di halaman rumahnya. Membuat wanita tua itupun seketika membuka matanya.
prok....prok....prok....prok.....
Derap langkah kaki bersepatu nampak mendekat ke arahnya. Lalu...
"assalamualaikum....!!!!"
suara yang terdengar sangat riang itu menggema memecah kesunyian.
Seorang gadis cantik dengan balutan seragam SMA yang nampak penuh dengan coretan pilox warna warni muncul dari luar rumah sederhana itu.
"wa alaikum salam..." jawab nenek Ratmi.
"nenek....!!!" ucap gadis cantik itu. Wanita muda itu berlari mendekati sang nenek. Lalu menghamburkan pelukannya dengan raut wajah yang nampak begitu riang.
Nenek Ratmi bingung.
"ini kamu kenapa, Rin? seragam mu kok awut awutan kaya begini?! kamu kenapa?" tanya nenek Ratmi tak paham dengan apa yang terjadi pada cucunya.
Gadis cantik berkulit putih berseragam putih abu abu itu lantas mendongak. Menatap penuh kebanggaan ke arah sang nenek..
"Arini lulus, nek..!" ucap gadis bernama Arini itu sumringah.
"kamu lulus sekolah? la terus kok ini seragam mu di coret coret begini?!" tanya Bu Ratmi lagi.
"ini tandanya Arini lulus. Semua temen temen Arini juga gini buat ngerayain kelulusan kita..!" ucap Arini.
"oalah....! berarti kamu sudah ndak sekolah lagi, Rin?" tanya Nenek Ratmi polos.
Arini menggelengkan kepalanya sambil tersenyum lebar.
"Alhamdulillah...! nilai kamu gimana? bagus bagus semua?" tanya nenek Ratmi.
Arini terdiam sejenak seolah nampak berfikir. Ia kemudian mendongak menatap sang nenek lalu menggeliat sembari tersenyum malu malu.
Nenek Ratmi menatap sang cucu dengan sorot mata penuh selidik. Arini lantas menggelengkan kepalanya membuat sang nenek pun menghela nafas panjang
"yang penting kan lulus, nek. Nilai mah nggak penting..!" ucap Arini malu malu.
"uuuhhh...!" ucap si nenek sambil menoyor dahi Arini pelan.
"aduuhh...!" gerutu Arini ssmbil mengusap usap jidatnya.
"sekolah itu yang penting juga nilainya, Rin..!" ucap si nenek pada sang cucu yang memang ber IQ standar itu.
"ya udah sih, nek. Yang penting kan Arin udah lulus, nggak sekolah, nggak butuh uang saku, SPP, uang bensin...! dan yang terpenting, Arini bisa cepet cepet cari kerja...! biar nenek nggak perlu capek capek jadi buruh di sawah lagi. Biar Arin ntar yang nanggung semua biaya hidup kita..!" ucap Arini penuh semangat membuat sang nenek tersenyum haru.
Nenek Ratmi menyentuh kedua pipi gadis delapan belas tahun itu.
"yang penting kamu punya masa depan. Kalau kerja yang jujur. Dan satu lagi, ndak usah kerja jauh jauh. Nenek ndak mau ditinggal sendiri...!" ucap nenek Ratmi.
Arini tersenyum manis.
"aku juga nggak mau jauh jauh dari nenek..! ntar siapa yang Arin pijitin tiap malem kalau Arin jauh dari nenek..?!" ucap Arini membuat si nenek makin terharu.
Kedua tangan keriput itu terbuka. Seolah meminta sang cucu kesayangan untuk masuk ke dalam dekapannya.
Arini pun menurut. Ditabrakkan nya tubuh ramping itu tubuh renta nenek Rahmi. Sepasang nenek dan cucu itu lantas saling memeluk, seolah ingin menunjukkan betapa mereka sangat saling menyayangi satu sama lainnya.
"dah, ganti baju sana, terus makan. Nenek mau mandi terus istirahat" ucap nenek Ratmi.
"iya, nek" jawab Arini kemudian bangkit dari segera bergegas menuju kamar nya.
Nenek Ratmi tersenyum menatap sang cucu yang kian hari kian tumbuh semakin dewasa itu.
"andai kamu masih hidup, Wi. Kamu pasti akan bahagia melihat putri yang sekarang. Dia tumbuh menjadi anak yang periang. Wajahnya cantik mirip seperti mu, ndok.." ucap nenek Ratmi seorang diri.
"tenang di sisiNya ya, ngger" ucap sang nenek sambil mengusap setitik air mata yang tanpa sadar menetes di pelupuk matanya.
Sang nenek lantas bangkit. Bergegas menuju kamar mandi rumah sederhana itu untuk membersihkan dirinya sebelum beristirahat.
.
.
.
Sedangkan di dalam ruangan sederhana tanpa daun pintu itu. Sebuah ruangan yang hanya memiliki sehelai tirai lusuh sebagai pembatas antara ruang tamu dengan kamar tidur.
Gadis cantik delapan belas tahun bernama Arini Nindya Putri itu nampak melepaskan tas ranselnya lalu meletakkan nya di atas laci plastik berwarna pink hitam yang berada di pojokan ruangan. Berbaur dengan sajadah, dan seperangkat alat sholat lainnya.
Arini menghembuskan nafas panjang. Netra lentiknya langsung tertuju pada sebuah cermin yang tergantung di dinding kayu itu. Tempat dimana sebuah foto usang tertempel di salah satu sudut atas cermin tersebut.
Arini mendekat. Menghadap kaca yang tak terlalu besar yang kini nampak memantulkan bayangan wajah cantiknya.
"siang, buk..! lagi apa nih..?!" tanya Arini pada foto itu seolah tengah mengajaknya berbicara.
Ya, itu adalah foto Dewi, ibunya yang sudah meninggal bertahun tahun yang lalu saat usianya baru dua bulan.
"buk, tahu nggak. Hari ini aku lulus SMA loh..!" ucap Arini sambil melepas ikat rambut yang bertengger di rambut panjang hitamnya tersebut.
"ya...walaupun nilai aku pas pasan. Nggak tinggi amat, nggak bawa pulang piala. Tapi yang penting kan lulus ya buk ya...! ibuk bangga kan...?! harus bangga dong, buk. Aku kan anak ibuk.." ucap gadis manis yang periang itu.
Arini mulai membuka seragam nya sambil terus berceloteh tak jelas. Di raihnya sebuah kaos pendek dan celana pendek selutut yang menjadi seragam favoritnya jika sedang berada di dalam rumah.
"oh iya, buk. Aku juga udah ngelamar kerja loh, buk. Udah semingguan sih. Niatnya biar ntar kalau udah lulus nggak perlu nunggu lama lama lagi buat dapet kerja..! eh, sampai sekarang belum ada panggilan dari tempat aku ngelamar itu..!" ucap Arini lagi sambil kini mulai mengganti pakaian nya.
"doain ya, buk. Biar anak ibuk yang cantik jelita pujaan umat manusia ini bisa secepatnya di terima kerja di tempat aku ngelamar itu. Biar bisa bantuin nenek. Biar nenek nggak perlu capek capek lagi jadi buruh di sawah tetangga" ucap Arini sambil kini mulai mengikat rambutnya.
"Masha Allah...! ternyata aku emang bener bener cantik kayak ibuk...!"
"lihat deh, buk. Mirip kan kita..?" ucap Arini sambil mendekatkan wajahnya pada foto sang ibu yang tertempel di cermin itu.
Arini tersenyum menatap cermin. Lalu menoleh ke arah foto sang ibu. Sebuah senyuman tipis namun terlihat sendu terlihat disana.
"andai aku masih bisa meluk ibuk..." ucap Arini lagi pada foto itu.
Gadis itu tersenyum sendu. Mencoba untuk menghilangkan kesedihannya tiap kali mengingat kisah hidupnya yang kelam. Yang sejak kecil tak pernah bertemu dengan ayah dan ibunya.
Ya, Arini adalah anak piatu yang ditinggal mati oleh ibunya saat usianya masih menginjak dua bulan. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat langsung wajah ayah dan ibu kandungnya. Kecuali hanya melalui foto sang ibu di kala remaja yang kini tengah ia ajak bicara itu. Sejak kecil ia tinggal bersama nenek nya di gubuk sederhana ini.
Arini adalah anak yang lahir tanpa ayah. Ibunya dulu bekerja menjadi seorang pembantu rumah tangga di ibu kota. Kala itu ibunda Arini, Dewi namanya, masih berusia dua puluh lima tahun. Parasnya cantik, tingkah lakunya sopan dan polos.
Belum genap setahun Dewi bekerja di ibukota. Dewi pulang kembali ke kampung halaman dalam kondisi sudah berbadan dua. Ia mengaku di hamili oleh anak dari majikannya kala itu yang usianya masih di bawah dirinya.
Dewi hamil tanpa suami. Menjadi sebuah aib di keluarga nenek Ratmi dan sang suami kala itu. Wanita itu dipandang sebelah mata. Keluarga itu di asingkan, hingga akhirnya Dewi meregang nyawa dua bulan setelah kelahiran Arini.
Bahkan hingga saat ini sebagian warga desa pun masih memandang sebelah mata gadis yang bisa dikatakan kembang desa itu. Parasnya yang cantik, kulit putih, dan tubuhnya ramping, namun sayang, ia selalu di anggap sebagai anak haram karena terlahir dari sebuah perzinahan.
Sebuah beban yang harus Arini pikul sebagai seorang anak yang sebenarnya tak tahu apa apa perihal masa lalu kedua orang tuanya.
Arini adalah anak yang periang dan ceria. Hobinya bermusik, menyanyi dan bela diri. Ya, meskipun ilmu bela dirinya tak begitu mumpuni, tapi cukuplah untuk sekedar membekali diri agar terhindar dari orang orang yang berniat jahat.
Arini juga dikenal sedikit tomboy. Teman teman sebayanya kebanyakan laki laki. Membuat mental pria dalam diri Arini berkembang cukup subur.
Untuk masalah akademik, ia tak jago jago amat. Standar lah. Tak terlalu pintar, tapi tidak juga bodoh. Masih di tengah tengah.
...
Arini mengikat rambutnya lagi dengan asal. Wanita itu lantas keluar dari kamarnya. Menuju dapur untuk makan. Ia merasa sangat lapar setelah konvoi kelulusan yang ia lakukan bersama teman temannya.
.
.
.
.
.
Visual 1👇
Ini hanya sesuai dengan imajinasi author. Yang merasa kurang cocok bisa di skip ya....
Arini Nindya Putri👇
Diego Calvin Hernandez👇
Samuel (Sam)👇
Fajar Dirgantara👇
...****************...
Selamat pagi...
Aku punya yang baru....
selamat datang di novel terbaru author amatir yang masih miskin ilmu ini.
Seperti biasa ini novel selingan dulu ya.😁
akan up efektif kalau satu novel on going lainnya udah tamat....
Yuk, kasih dukungan dulu🥰
...****************...
Malam menjelang,
Di dalam salah satu bilik kamar di rumah sederhana berdinding kayu itu. Gadis berparas cantik itu nampak memainkan gitarnya. Mendendangkan suara merdunya memecah keheningan rumah sederhana yang nampak sepi itu.
Sang nenek tengah duduk di ruang tamu. Memperbaiki salah satu bajunya yang koyak disalah satu bagian nya menggunakan jarum dan benang miliknya. Televisi di rumah mereka sudah lama mati. Sehingga satu satunya hiburan si nenek di kala berada di rumah pun kini sudah tidak ada.
Nenek Ratmi tersenyum mendengarkan suara merdu cucu nya itu. Suara Arini memang bagus. Ia pernah beberapa kali mengikuti lomba menyanyi di sekolahnya. Salah satu bakat yang bisa ia banggakan dalam hidupnya.
Arini yang sudah lelah melantunkan beberapa lagu itu nampak keluar dari bilik kamarnya.
"udah malem, Rin. Motormu masukin.." ucap Nenek Ratmi.
"iya, nek..." ucap Arini.
Gadis cantik berambut panjang dengan kaos putih dan celana pendek biru dongker itu pun keluar rumah. Dirasakannya hawa dingin menusuk tulang. Air langit nampak turun membasahi bumi. Dibarengi dengan semilir angin yang berhembus serta suara petir yang sesekali terdengar. Arini meraih motor maticnya. Menuntun kendaraan roda dua yang beberapa tahun lalu ia beli menggunakan uang yang dikirimkan ayah kandungnya di kota.
Ya, walau pun tak pernah sekalipun menemui Arini, namun sang ayah dan diketahui bernama tuan Calvin itu tak sepenuhnya lepas tanggung jawab pada putri kandungnya itu. Beberapa bulan sekali sang ayah selalu mengirimkan uang pada Arini, melalui rekening bank milik salah satu tetangganya. Lantaran dulu saat Dewi meninggal, tuan Calvin yang dulu sudah memiliki kekasih itu memang sempat datang dan mengunjungi putri kecilnya yang kala itu masih berusia dua bulan. Tuan Calvin yang memiliki darah bule itu lantas meminta bantuan salah satu tetangga Arini, agar sudi menjadi perantara antara ia dan Arini jika suatu saat ia ingin memberikan nafkahnya pada darah dagingnya tersebut.
Motor sudah masuk ke dalam rumah. Arini menutup pintu rumah itu lalu menguncinya dari dalam.
Gadis cantik itu lantas duduk di atas sofa lusuh disana. Ia kembali membuka ponselnya. Harap harap ada pesan masuk dari sebuah cafe tempatnya melamar kerja beberapa hari yang lalu.
"belum ada kabar dari tempat kerjamu, ndok?" tanya nenek Ratmi.
"belum, nek" ucap Arini sambil memasang mode cemberut.
"ya udah, ndak usah sedih. Kalau rejeki pasti juga ndak akan kemana. Selama belum dapet kerja, kamu dirumah dulu. Belajar masak yang enak..!" ucap nenek Ratmi pada sang cucu yang memang tak bisa memasak itu.
"ih, apa sih nek?" ucap Arini sambil nyengir geli.
"lho, perempuan itu harus bisa masak. Biar nanti kalau kamu udah punya suami, suami mu nggak jajan di luar..!" ucap nenek Ratmi.
"ya kalau suaminya Arin jajan, Arin ya ikut jajan..! kok repot..!" ucap Arini santai.
"huuhh...! kamu itu kalau dibilangin..!" ucap nenek sembari menoyor kepala cucu kesayangan nya itu.
Keduanya pun terkekeh.
"Rin..." ucap si nenek.
"iya, nek"
"bapakmu belum kirim uang lagi?" tanya nenek Ratmi.
Arini tersenyum.
"pak Yanto belum ngasih kabar ke Arini, nek. Pasti belum sih. Soalnya kalau kirim kan pak Yanto pasti ngabarin Arin..." ucap Arini.
"kok tumben. Sudah enam bulan lebih bapakmu ndak kirim uang. Biasanya paling lama tiga sampai empat bulan sekali dia ngirimin kamu uang." ucap si nenek.
Arini hanya tersenyum lembut.
"kapan ya, nek, kira kira aku bisa ketemu bapak?" tanya Arini sembari menatap nanar ke depan.
Nenek Ratmi menoleh.
"semoga Allah mengizinkan" ucap wanita tua itu kemudian.
"amin..." jawab Arini.
Kedua wanita beda usia itu pun tersenyum. Tiba tiba.....
.
.
teeek.....
.
.
Lampu padam.
"yah, mati lampu, nek" ucap Arini.
"ambil lilin di laci dekat tv itu, Rin. Kayaknya masih ada satu" ucap si nenek.
"iya, nek" jawab Arini.
Wanita bertubuh ramping itupun lantas menyalakan senter ponselnya. Menggunakan nya sebagai penerang dan berjalan menuju lemari televisi yang berada di ruangan itu. Di bukanya laci, lalu diraihnya sebuah lilin yang tinggal separo itu beserta sebuah korek yang berada di sampingnya.
Lilin pun dinyalakan.
"udah, nenek tidur gih. Jahitnya dilanjut besok lagi. Ini udah malem. Mati lampu pula.." ucap Arini.
"iya, ini nenek juga udah selesai" ucap si nenek kemudian bangkit dan mengembalikan kotak benang dan jarum di tangan nya itu ke dalam sebuah laci di lemari televisi.
Arini menyerahkan lilin di tangannya itu pada nenek nya.
"kamu?" tanya si nenek.
"aku suka gelap gelapan, nek" ucap Arini sambil tersenyum. Sang nenek pun hanya terkekeh.
Kedua wanita beda usia itupun berpisah. Arini dengan lampu senter ponselnya masuk ke dalam bilik kamarnya. Sedangkan si nenek dengan lilin di tangannya pun masuk ke biliknya sendiri, meletakkan lilin di atas meja di samping ranjang lalu merebahkan tubuhnya di kasur kapuk sederhana itu.
Wanita itu pun bergegas untuk tidur.
...****************...
01:00 dini hari,
hujan perlahan mulai mereda. Namun hembusan angin kian kencang saja. Menerpa dedaunan dan pepohonan rimbun di sekitar rumah Arini, menimbulkan suara suara yang cukup mengusik telinga bagi sesiapapun yang berada di sekitarnya.
Sebuah lilin masih menyala. Api di atasnya nampak terombang ambing tertiup angin yang menembus masuk di sela sela lubang udara rumah berdinding kayu itu.
Nenek Ratmi masih terlelap di kamarnya. Begitu juga Arini yang memilih tidur sambil mengenakan headset dan memutar sebuah lagu agar tak mendengar suara seram dari dedaunan yang bergesekan itu.
Seekor tikus lakn*t melintas. Mengendus segala yang ia lewati. Gerakannya lincah. Berlarian ke sana kemari bak seorang bocah yang tengah bermain main di tengah gelapnya malam.
taaaaakkkk......
si tikus menjatuhkan lilin yang sudah tak panjang lagi itu. Si lilin jatuh terguling, tergeletak tepat di depan pintu yang hanya ditutupi selembar kain gorden lusuh itu.
Hembusan angin kembali bergerak cukup kasar. Si gorden pun ikut bergerak. Gerakannya yang lembut berhasil menyentuh ujung api di atas lilin. Ujung bawah kain itu pun perlahan mulai terbakar. Api mulai menjalar dari kecil perlahan mulai membesar membakar hampir seluruh gorden.
Dari gorden, api merambat naik ke dinding kayu rumah itu. Sebuah elemen yang pastinya akan sangat mudah terbakar jika terkena api.
Api makin besar, asap pun mulai mengepul. Nenek Ratmi yang masih terlelap pun mulai merasakan hawa panas. Wanita itu perlahan membuka matanya. Hingga.....
.
.
.
"astaghfirullah haladzim....!!" pekik nenek Ratmi kaget.
Suasana mencekam. Api berkobar dengan sangat besar nya. Nenek Ratmi sesak...! Ia terperangkap dalam kamar nya sendiri.
"Rin...!! Arini...!! uhuukkk....uhuukk...!!"
Nenek Ratmi terbatuk batuk. Di sentuhnya dada yang mulai terasa berat untuk bernafas itu. Matanya mulai terasa pedih. Pasokan oksigen seolah makin menipis. Bilik kamar itu kini mulai di penuhi asap akibat rumah yang mulai terbakar.
"Arin...!!" ucapnya lagi memanggil manggil sang cucu namun tidak ada sahutan.
Sedangkan di dalam kamarnya, Arini masih terlelap dengan headset yang menutupi lubang telinganya. Alunan musik semi rock mengalun cukup keras membuat wanita itu tak bisa mendengar jeritan sang nenek yang meminta tolong.
Wanita itu mulai merasakan suhu udara yang panas. Membuat tidurnya yang nyenyak kini berubah jadi tak tenang.
Arini mengubah posisi tidurnya. Di rasakan nya suhu udara di bilik kamar itu berubah menjadi panas.
Arini membuka matanya...
Lalu.....
"astaghfirullah haladzim...!" ucap Arini sembari dengan cepat bangkit dari posisi tidurnya. Api sudah berkobar di mana mana. Kamarnya penuh dengan asap. Suara teriakan terdengar dari luar.
Arini meraih kain asal. Di tutupnya hidungnya dengan kain itu lalu dengan cepat keluar dari kamarnya.
"nenek...!!!" pekik Arini. memanggil manggil sang nenek. Kamar neneknya sudah tak berbentuk. Dinding dinding kayunya nampak sudah roboh. Arini menangis ketakutan di antara kobaran api yang makin membesar.
"neek...!!! nenek dimana?!! neneeeekkk.....!!!"
Arini menjerit sejadi jadinya. Dinding dinding kayu berjatuhan. Wanita itu bergerak kesana kemari menghindari reruntuhan kayu. Arini makin sesak. Matanya kian pedih. Wanita itu kebingungan mencari jalan keluar.
"toloong...!!" ucapnya sambil menangis.
braaaaaakkkk.....
Pintu di dobrak. Dua orang laki laki paruh baya masuk ke dalam rumah itu. Di dekatinya Arini yang nampak mulai lemah. Tubuhnya penuh keringat dan air mata.
"Arin...!!!" ucap salah seorang pria itu, Pak Yanto namanya.
"pak, nenek mana..?" tanya Arini menangis.
"udah, kamu keluar dulu..!"
"nggak mau..! nenek mana?!"
"keluar dulu, ndok..! nanti kita cari nenek...!"
"neneeeekkk....!!"
Arini yang menangis terisak isak itu pun di papah keluar rumah. Menerobos kobaran api yang kian lama kian membesar. Para warga sudah berkumpul di depan rumah itu menyaksikan rumah sederhana yang terbakar.
Arini lemas. Istri pak Yanto, bu Yati namanya, mendekap tubuh Arini yang lemah. Gadis itu ambruk, terduduk di tanah dengan kain hijab di tangan yang tadi ia bawa..
"neeeekkk....!! nenek...!!!" tangis Arini tak terbendung menatap kobaran api yang makin membesar. Para warga sibuk memadamkan api itu dengan peralatan seadanya. Hingga.....
braaaaaakkkk.....!!!
Rumah kayu itu roboh. Ambruk rata dengan tanah. Hangus termakan api yang membara.
"NENEEEEEEEKKKKKKK....!!! HWAAAAAAAHAAAHAAA........!!!! NEEEEEKKKK.....!!!"
Arini berteriak. Menjerit sekencang kencangnya. Neneknya masih berada di dalam sana. Ia tertimbun reruntuhan rumah itu. Arini tak terkendali. Ia menangis meraung raung bak orang kesetanan. Ingin rasanya ia berlari ke tengah kobaran api itu. Menembusnya dan menyelamatkan sang nenek yang menderita di sana.
Tolonglah, wanita itu satu satunya keluarga nya. Satu satunya miliknya. Satu satunya keluarga yang ia punya. Ia tak mau hidup di dunia ini sendirian.
Arini menangis tak terbendung. Tangisan dari anak yang di tinggal mati ibunya sejak bayi, tidak pernah tahu sosok ayahnya, dan kini di tinggal mati neneknya tepat di hadapan matanya.
Tuhan, tolonglah. Kasihan anak ini. Ia tak punya siapa siapa lagi di dunia ini...🥺
Arini perlahan nampak lemas. Tangisannya melemah. Perlahan mata itu terpejam. Dan....
"Rin..! ndok, bangun...! Arini...!!" ucap bu Yati sambil menepuk nepuk pipi Arini yang kini nampak memejamkan matanya.
Gadis itu pingsan. Membuat Bu Yati yang memangku nya pun panik. Dengan segera para warga pun membantu wanita paruh baya itu. Mengangkat tubuh Arini dan membawanya ke rumah sakit terdekat guna mendapatkan pertolongan.
...----------------...
Selamat siang,
up 11:25
yuk, dukungan dulu 🥰🥰😘
...----------------...
Pagi menjelang siang,
di sebuah tempat pemakaman umum di desa itu. Seorang gadis cantik menangis tersedu sedu. Memeluk batu nisan sebuah makam baru bertuliskan nama Ratmi disana.
Gadis cantik dengan pakaian serba hitam itu terlihat begitu rapuh. Satu satunya keluarga yang ia miliki kini telah pergi selama lamanya.
Ya...nenek Ratmi ditemukan tewas terpanggang pagi tadi. Jasadnya ditemukan dikamar tertimbun reruntuhan dinding kayu yang sudah menjadi arang.
Arini benar benar hancur. Ia sudah tak punya siapa siapa lagi di dunia ini. Satu satunya orang yang ia sayangi kini sudah pergi selama lamanya. Harta bendanya hangus tak bersisa. Arini hidup sebatang kara tanpa adanya sosok keluarga dan rumah tinggal.
Arini masih memeluk batu nisan itu. Bu Yati sang tetangga nampak menenangkan gadis malang tersebut. Mengusap usap punggung nya agar lebih tenang. Para pelayat hampir semua sudah pulang, tapi sejak tadi Arini seolah enggan beranjak dari tempat itu.
Tak jauh dari makam yang masih basah itu, seorang pria nampak sibuk dengan ponselnya. Berusaha menghubungi sebuah nomor ponsel yang ia ketahui adalah nomor ponsel dari ayah kandung Arini, tuan Calvin.
Nomor itu sudah sangat lama ia simpan. Tuan Calvin sengaja memberikan nomornya pada Pak Yanto selaku orang yang di percayai tuan Calvin untuk memantau perkembangan Arini.
Tuan Calvin tak sepenuhnya melepas kan tanggung jawabnya atas Arini. Namun statusnya sebagai orang terpandang yang sudah memiliki calon istri kala Arini di tinggal mati ibunya, membuat tuan Calvin tak bisa membawa Arini ikut dengannya.
Tuan Calvin memang sangat jarang menghubungi Pak Yanto. Pun sebaliknya. Tuan Calvin biasanya mengirim uang untuk Arini tiga hingga empat bulan sekali dalam jumlah yang cukup untuk membiayai sekolah dan kehidupan sehari hari Arini.
Tapi sudah enam bulan ini tuan Calvin tak ada kabar. Ia tak pernah mengirim uang bulanan lagi untuk putrinya. Dan kini saat Pak Yanto ingin mengabarkan perihal kondisi yang di alami Arini saat ini, tuan Calvin justru tak bisa dihubungi. Entah kemana laki laki itu..! Padahal saat ini Arini tengah rapuh. Ia butuh sosok ayahnya. Gadis malang itu sudah tak punya siapa siapa di desa ini.
Pak Yanto menghela nafas panjang.
"hmmm...! kemana bapakmu ini, Rin..?! kasihan kamu, nak" gumam pak Yanto sambil menggelengkan kepalanya samar.
Merasa menghubungi tuan Calvin tak membuahkan hasil, pak Yanto memilih untuk menemui Arini. Mendekati gadis rapuh yang masih sibuk meratapi kepergian nenek tercinta nya itu.
Pak Yanto duduk di samping Arini. Di usapnya lembut pundak gadis cantik itu guna memenangkan hati sang anak malang.
"nak, kita pulang yuk. Ini sudah sore. Sebentar lagi hujan.." ucap Pak Yanto.
Arini menoleh, menatap ke arah pria dengan rambut yang nampak sudah beruban sebagian itu.
"aku mau pulang kemana, pak? rumah aja Arin nggak punya. Hiks..." ucap Arini menangis.
"kamu tinggal saja di rumah bapak. Ya..." ucap Pak Yanto.
"tapi, pak......"
"sudah. Yang penting hari ini kamu punya tempat untuk berteduh" ucap pak Yanto.
Bu Yati hanya diam. Ia nampak melirik sekilas ke arah suaminya seolah ingin mengatakan sesuatu.
Arini mengusap lelehan air matanya.
"udah, yuk, kita pulang" ucap pak Yanto.
Arini pun hanya mengangguk. Mau tak mau ia pun ikut. Ia sama sekali tak punya keluarga, harta benda ataupun tempat berteduh. Gadis cantik itupun kemudian bangkit mengikuti langkah laki laki itu untuk pulang ke rumahnya.
...****************...
Sepuluh menit berjalan kaki, mereka sampai di kediaman Pak Yanto.
Sebuah rumah petak kecil dan sederhana dengan tiga kamar tidur, satu dapur dan satu kamar mandi berada di sana.
"assalamualaikum...." ucap Pak Yanto,
"wa alaikum salam...." jawab lima anak pak Yanto yang masih kecil kecil.
Anak pertamanya berusia lima belas tahun, kelas tiga SMP. Yang kedua masih berusia tiga belas tahun kelas satu SMP. Anak ketiga sepuluh tahun kelas empat SD, anak ke empat tujuh tahun kelas satu SD. Sedangkan anak kelima masih berumur tiga tahun.
Arini menelan ludahnya kasar. Anak anak itu menatap polos ke arah para manusia dewasa yang baru saja datang itu. Anak pak Yanto cukup banyak. Sedangkan pak Yanto sendiri pekerjaan nya hanya serabutan. Kadang ngojek, kuli bangunan, dan sebagainya yang penting menghasilkan uang. Sedangkan Bu Yati adalah seorang tukang cuci di desanya. Ia menawarkan jasa mencuci dan menyetrika baju baju tetangga. Terkadang juga bersih bersih. Serabutan, yang penting ada uang yang didapat.
Arini menunduk. Ia jadi tak enak hati untuk menumpang hidup bersama pak Yanto. Bukan apa apa. Ia hanya takut merepotkan keluarga ini. Kehidupan mereka sudah sulit. Jika ditambah Arini yang ikut tinggal disana, pasti akan makin sulit lagi. Tapi jika tidak tinggal bersama keluarga ini. Harus dimana lagi ia tinggal??
Arini masuk ke dalam rumah itu mengikuti pak Yanto dan Bu Yati.
"Rin, nanti, kamu tidur sama Rani, ya. Kamu tinggal di sini saja dulu. Ya, nak" ucap Pak Yanto.
Arini menunduk, mengangguk samar.
"Pak, kamar kita kan udah di pakai buat 3 orang. Kalau ketambahan sama kak Arin kan jadi tambah sempit" ucap Rani polos.
"huusss....!" ucap Pak Yanto pelan dengan mata melotot seolah melarang Rani berucap demikian.
Arini menunduk. Ia makin tak enak hati.
"eemm....Rin, kamu istirahat dulu, ya. Kalau lapar, ads makanan di dapur. Tadi ibunya anak anak sudah masak.." ucap Pak Yanto.
Arini hanya mengangguk lesu.
"ya sudah, kamu istirahat. Bapak mau ganti baju, mau ngojek dulu" ucap Pak Yanto lagi.
"iya, pak. Makasih..." ucap Arini lagi.
Pak Yanto pun hanya mengangguk. Ia lantas masuk ke dalam ruangan di rumah itu yang merupakan kamar pribadinya, yang ia tempati bersama istri dan anak keempat serta kelimanya.
Arini nampak diam. Anak-anak pak Yanto terlihat menatap ke arahnya.
"kak Arin kalau mau tidur tidur aja di kamar aku" ucap Rani ramah
Arini hanya mengangguk sambil tersenyum. Rani lantas mendekati gadis sebatang kara itu. Ia menggandeng tangan Arini untuk masuk ke dalam kamarnya.
ceklekkk
pintu terbuka.
Arini terdiam. Kamar berukuran dua kali dua meter itu nampak berantakan. Kasurnya lusuh, selimut usang, berserakan tak terlipat berbaur dengan bantal-bantal lusuh serta berapa boneka dan mainan yang bentuknya sudah tidak bagus lagi.
Arini diam lagi. Ruangan se sempit ini di huni oleh 3 anak pak Yanto. Dan akan ditambah lagi dengan dirinya..
Ya Tuhan...! Ia merasa makin tak enak dengan keluarga ini. Apa mungkin ia akan betah tinggal di rumah ini??
...----------------...
Selamat siang....
up 10:42
yuk, dukungan dulu 🥰😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!