NovelToon NovelToon

CEO & Gadis Pelunas Hutang

Bab 1. Awal Kisah

Keadaan genting tengah dihadapi oleh seorang Dodi Kurniawan. Pria paruh baya itu sedang berada di ruangan Dokter, untuk mendapatkan penjelasan atas penyakit yang diderita oleh istrinya.

Penyakit paru-paru, yang sudah bertahun-tahun menggerogoti Isma Yani, sang istri, benar-benar sukar untuk disembuhkan. Dodi telah berusaha semampunya, agar istrinya itu bisa kembali seperti sedia kala, namun semua itu hanyalah angan dan mimpi buruk saja.

Kini, tak ada yang bisa Dodi lakukan, selain pasrah dan meminta pertolongan pada Yang Maha Kuasa. Apapun keputusannya, Dodi hanya berharap yang terbaik, untuk kesembuhan istri tercintanya.

"Nyonya Isma Yani harus segera mendapatkan transplantasi paru-paru, mengingat jika kondisi paru-parunya kini sudah sangat memprihatinkan," tukas sang Dokter.

"Apa? Transplantasi paru, Dok? Kenapa?" Dodi kaget bukan main.

"Paru-Paru Nyonya Isma sudah rusak, dan tak bisa lagi kami jalankan pengobatan alternatif lainnya. Paru-paru yang rusak akan membuat pasien kesulitan bernapas. Tak hanya itu, kekurangan oksigen pada tubuh juga dapat memengaruhi kinerja organ tubuh lainnya. Untuk transplantasi ini, sudah ada paru-paru yang cocok, dengan jenazah yang baru saja meninggal, hanya saja, kami akan melakukannya, jika keluarga sudah menyetujui semuanya, dan menyiapkan uang sebesar tujuh ratus juta, kurang lebihnya." Dokter mengucapkannya dengan penuh kehati-hatian.

"Ha? T-tujuh ratus juta?" Dodi tersentak kaget.

"Untuk itu, kami harap keluarga bisa mengambil keputusan tepat, demi keselamatan Pasien. Kami tunggu keputusannya tiga jam dari sekarang. Semoga keluarga bisa berunding dan menemukan jalan terbaik untuk keselamatan nyawa pasien," ucapan Dokter begitu membuat suasana hati Dodi Kurniawan semakin hancur.

Dodi keluar dari ruangan Dokter dengan wajah yang murung dan terlihat sekali penuh beban. Bagaimana tidak, Dodi benar-benar tercengang dengan biaya yang harus ia keluarkan untuk kesembuhan istrinya.

Jika saja uang yang dibutuhkan hanya sepuluh sampai dua puluh juta, mungin Dodi pun akan memaksakan diri untuk menjual barang-barang ataupun menggadaikan rumahnya. Tetapi untuk tujuh ratus juta? Uang dari mana ia?

Menjual rumahnya saja tak akan cukup untuk membayar biaya transplantasi paru-paru tersebut. Bisnisnya yang hancur, usahanya yang bangkrut, jelas tak akan bisa lagi menjadi andalannya. Dodi sungguh bingung bukan kepalang.

Dodi tak memerhatikan jalan, pikirannya melayang, kosong, entah harus apa yang ia lakukan sekarnag. Membairkan istrinya meninggal? Tak mungkin, dia sangat mencintai istrinya. Tetapi,  uang tujuh ratus juta? Dari mana Dodi mendapatkannya?

Saking Dodi stress bukan kepalang, jalannya tak ia perhatikan sama sekali. Hingga akhirnya, Dodi menabrak seorang wanita, yang tengah berdiri dan menelepon seseorang.

“Aduh,” ponsel wanita itu terjatuh karena ditabrak oleh Dodi.

“Ya ampun, maaf, maafkan saya, sungguh, saya tak melihat Anda berada di situ. Maaf, maaf sekali,” Dodi refleks mengambil ponsel wanita yang terjatuh karena ditabrak olehnya.

“Loh, Dodi?” rupanya wanita tersebut mengenal Dodi.

Dodi pun refleks berdiri, dan langsung menatap wanita tersebut. Kenapa dia bisa tahu namanya? Dodi melihat wanita itu dengan seksama, dan berusaha mengingat-ingat memorinya yang sudah usang.

“Ya ampun, Helma? Kau Helma? Kau tak apa-apa, Helma?” Dodi kini sudah mulai teringat pada sosok wanita dihadapannya ini.

“Tidak apa-apa, tak usah khawatir. Kau benar Dodi kan? Teman sekolahku dulu? Aku tidak salah menduga kan? Ya ampun, Dodi, sudah puluhan tahun kita tidak bertemu? Dod, kau ingat aku kan?” Helma adalah teman sekolah dasar Dodi dahulu.

Rupanya, Dodi menabrak teman masa kecilnya. Pikirannya benar-benar semrawut, dan Dodi tak bisa berpikir jernih. Hingga ia tak sadar, menabrak orang lain sampai ponselnya terjatuh. Untungnya itu adalah teman masa kecilnya, jadi Dodi tak begitu sungkan untuk meminta maaf. 

“Maaf, maafkan aku. Aku tak sengaja menabrakmu, Helma.” Dodi meminta maaf.

“Tak apa-apa, Dod. Ah, bagaimana jika kita duduk dahulu? Sudah lama sekali kita tak berbincang-bincang.”

“Baik, mari, Hel,” ucap Dodi gugup.

Dodi dan Helma akhirnya duduk bersebelahan di koridor rumah sakit. mereka pun terlibat beberapa obrolan santai dan membicarakan masa lalu mereka bersama. Helma terlihat senang bertemu dengan Dodi, namun Dodi jelas tak memikirkan hal yang sama.

Pikiran Dodi saat ini adalah jelas tentang bagaimana caranya ia bisa membayar biaya operasi besar istrinya. Dodi berpikir, jika helma adalah keturunan keluarga konglomerat. Helma adalah orang terkaya di Negara ini. Dodi yakin, jika Helma pasti memiliki uang sebanyak itu. Akan tetapi, mungkinkah Helma bisa membantu Dodi?

“Helma, bolehkah aku meminta suatu hal padamu?”

“Apa Dod? Katakan saja,”

“Bolehkah aku meminjam uang padamu?”

“Apa? Meminjam uang? Kau butuh uang? Berapa? Biar kuberikan untukmu,” Helma tak berniat meminjamkan uang pada Dodi, Helma malah berniat akan memberikannya.

"T-tujuh ratus juta, Helma. B-bisakah kau meminjamkanku uang sebanyak itu? Aku pasti menggantinya, aku janji. Kau banyak uang, kau pasti tak keberatan kan meminjamkanku uang? Maaf, jika aku lancang. Aku benar-benar sudah kebingungan. Aku tak tahu lagi harus bagaimana," air mata Dodi tiba-tiba mengalir begitu saja. 

"Apa? Tujuh ratus juta? Kau tak salah?"

"Maaf berbicara hal yang tak sopan di saat-saat seperti ini. Tetapi aku sangat membutuhkan uang itu, untuk biaya pengobatan istriku, Helma.”

“Kau kira, aku akan dengan mudahnya memberikanmu uang sebanyak itu, Dodi?”

“Apapun, dengan apapun, aku akan membayarnya, aku janji, aku janji, Helma. Maukah kau membantuku?” Dodi sudah tak ada pilihan lain, selain mempermalukan harga dirinya sendiri.

Helma terdiam. Ia seperti tengah berpikir, apa yang akan dia katakan pada Dodi? Helma menarik napasnya panjang-panjang, dan berharap, jika pertemuan ini memanglah sebuah takdir Tuhan, yang akan memberikan efek simbiosis mutualisme, diantara keduanya.

“Apakah kau memiliki seorang anak perempuan? Yang masih gadis dan siap untuk menikah?” tanya Helma serius.

“Aku memiliki seorang gadis, dia berusia 22 tahun, dan sedang bekerja. Memangnya kenapa, Helma?”

“Akan kuberikan kau uang tujuh ratus juta, asalkan kau biarkan putrimu menikah dengan putraku!” 

Deg. Dodi kaget bukan main. Ini adalah pilihan yang sulit. Mungkinkah Livia mau menikah dengan anak Helma? Seorang wanita kaya raya yang terkenal, kenapa harus meminta putri Dodi yang miskin untuk mau menikah dengannya? Ada apa sebenarnya?

Dodi masih merenungkan ucapan Helma bahkan sampai di rumahnya. Setelah ia bertemu dengan Livia, wajahnya mulai gelisah dan bingung harus bagaimana mengatakannya. Livia adalah anak pertamanya, yang turut membantu biaya rumah sakit ibunya.

“Livia,” ucap Dodi terbata-bata.

“Iya, Ayah, kenapa? Bagaimana kondisi Ibu sekarang? Maaf, aku belum bisa pergi menengok Ibu, toko selalu ramai, aku selalu kewalahan, hingga akhirnya lelah sekali,” keluh Livia.

“Ibu harus transplantasi paru-paru, dan Dokter berkata, biayanya hampir mencapai tujuh ratus juta. Apa kau mau menolong Ibu?” tanya Dodi to the point.

“APA? Tujuh ratus juta? Ya ampun, Ayah, kenapa mahal sekali? Itu tak salah? Apakah tak ada keringanan atau cara lain?”

Dodi menggeleng, “Tak ada, tak ada cara lain. Hanya itu satu-satunya.  Jika kau bersedia mendengarkan permintaan Ayah, maka Ibu bisa selamat, dan pasti bisa menjalani operasi transplantasi paru-paru,” ujar Dodi.

Permintaan apa, Ayah? Apa maksudmu? Aku sungguh tak mengerti?”

“Menikahlah dengan anak lelaki teman Papa, dia mau membantu Ibu, asalkan kau mau menikah dengan putranya, Livia. Kau mau kan menolong Ibu? Agar Ibu bisa segera sembuh lagi?”

“HA? Menikah? AYAH! Apa kau menjualku? Kau menjualku untuk menikah dengan orang yang bahkan tak aku kenal sama sekali?” Livia benar-benar kaget, satu sisi ia khawatir dengan kondisi ibunya yang memprihatinkan, satu sisi ia kaget dan tak percaya, jika ayahnya akan menjualnya, demi uang untuk kesembuhan ibunya.

"Livia, bukankah kau ingin Ibu kembali seperti sedia kala?"

“Kenapa hidup ini begitu tak adil, Tuhan?” batin Livia, air matanya tak bisa tertahankan lagi, Livia benar-benar syok bukan main.

Bab 2. Pilihan yang Sulit

Livia menolak keras perjodohan itu. Ia terdiam di sudut kamar sembari menangis tiada henti. Perasaannya berkecamuk, hatinya hancur berkeping-keping mendengar perjodohan yang diucapkan sang Ayah.

Apakah Livia memang seorang wanita yang layak diperjualbelikan seperti ini? Apakah hal ini adil baginya? Tentu saja tidak!

Ini bukan zaman Siti Nurbaya, di mana perjodohan lazim dilakukan, dan wanita tak bisa berontak sedikitpun. Sekarang sudah merdeka, wanita berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri.

Tetapi kenapa? Kenapa Livia tak bisa seperti itu? Kenapa Livia mendapat pilihan yang sesulit ini dalam hidupnya? Sebenarnya Livia juga sadar, permintaan ayahnya itu jelas karena sebuah keterpaksaan.

Ibunya tengah sakit keras, dan membutuhkan biaya banyak untuk transplantasi paru. Ayahnya memiliki uang darimana? Apalagi ratusan juta, yang tak akan mungkin bisa dimiliki dalam hitungan jam.

Akan tetapi, masa depan Livia yang jadi taruhannya, jika ia terpaksa harus menikah dengan orang yang sama sekali tak dicintainya.

"Livia, buka pintunya, Nak. Ayah ingin bicara denganmu! Ayah mohon, buka pintunya, dan maafkan Ayah atas permintaan itu. Livia …" Dodi berusaha untuk merayu Livia.

Livia menghela napas panjangnya, ia berjalan mendekati pintu, dan membuka pintu kamarnya, agar ayahnya bisa masuk. Livia berusaha tegar menghadapi kenyataan, dan mencoba memberanikan diri untuk berbicara dengan ayahnya.

"Livia, kau marah padaku? Maafkan Ayah, maafkan Ayah yang menumpahkan semua beban ini padamu. Ayah tak bermaksud menjualmu, hanya saja, Ayah tak memiliki pilihan lain selain menikahkanmu dengan anak teman Ayah. Sungguh, semua ini hanya demi kesembuhan Ibu, Ayah sudah tak tahu lagi harus berbuat apa. Sekali lagi, maafkan Ayah, Livia …" Dodi duduk disamping ranjang Livia.

"Kenapa harus aku? Kenapa aku yang kau jadikan tumbal? Ayah, tak berpikirkah masa depanku akan seperti apa nantinya? Jika aku menikah, dengan pria yang sama sekali tak aku cintai, akankah aku bahagia, ha? Tidak, Ayah! Hal itu hanya menyiksaku, dan menyakiti batinku! Dan lagi, mungkinkah dia akan mencintaiku dan menyayangiku? Belum tentu! Bagaimana jika aku hanya dijadikan sampah dan diinjak-injak olehnya? Aarrgghh, aku benar-benar membencimu!" Livia meneriaki Dodi begitu kerasnya.

Dodi terdiam. Ucapan Livia benar-benar membuatnya tertampar. Jika Dodi memaksakan diri, tentu saja hal ini akan semakin membuat Livia tersiksa. Ucapan putrinya itu memang benar, tak salah sedikitpun.

Hanya saja, kembali lagi pada keterpaksaan dan tak ada lagi jalan lain, selain menjual Livia pada Helma, demi keselamatan istrinya. Jika sudah seperti ini, Dodi harus bagaimana? Haruskah Dodi biarkan istrinya demi kebahagiaan Livia? Ataukah … biarkan masa depan Livia hancur, asalkan istrinya dapat disembuhkan?

Dodi melihat jam tangan yang melingkar di lengannya. Sudah pukul empat sore, itu berarti, hanya tinggal satu jam lagi, waktu yang diberikan pihak Rumah sakit padanya.  

Keadaan darurat ibunya Livia sudah tak bisa ditunda lagi. Semua ini bukan semata karena uang ratusan saja, namun juga karena keadaan Isma yang memang sudah tak bisa dibiarkan lagi.

"Baiklah, maafkan Ayah Livia. Ayah tak seharusnya memaksamu, dan mengorbankanmu demi kesembuhan Ibu. Ayah harusnya bekerja keras sendiri, untuk menyelamatkan Ibu. Ayah pergi dulu, ya. Waktu Ayah hanya tersisa satu jam lagi, untuk bisa menyelamatkan ibumu. Semoga, dalam waktu satu jam, Ayah bisa mendapatkan uang untuk biaya pengobatan Ibu. Akan tetapi, Maafkan Ayah, jika nanti, Ayah tak mendapatkannya, maka Ayah pasrah dengan keadaan Ibu. Namun doakan saja yang terbaik, semoga secepatnya Ayah bisa mendapatkan uang tersebut,"

Livia sedih mendengar penjelasan ayahnya. Ia jadi merasa bersalah, karena telah menolak permintaan ayahnya. Bagaimana jika Dodi tak mendapatkan uang itu? Bukankah nyawa ibunya yang akan menjasi taruhannya?

Uang tujuh ratus juta bukanlah uang yang sedikit. Livia jelas tahu, itu adalah nominal yang banyak, dan tak mungkin Dodi akan menemukannya dalam waktu satu jam.

Haruskah Livia menyerahkan diri? Hanya dia yang bisa menolong ibunya dengan cepat. Livia berpikir keras, jika ia menolak permintaan itu, betapa egoisnya dirinya. Tak mau berkorban demi keselamatan ibunya.

Tetapi …, jika Livia mengorbankan dirinya, mungkinkah ia akan bahagia tinggal bersama orang asing yang nantinya akan ia sebut sebagai suami?

"Ayah, jangan pergi!"

Dodi pun menoleh, "Kenapa, Livia?"

"B-Baiklah, a-aku, aku akan menuruti permintaan Ayah, untuk menikah dengan anak temanmu. Aku pasrah, aku melakukan semua ini demi Ibu, demi kesembuhan Ibu, agar Ibu tak merasakan sakit lagi," ucap Livia, diikuti oleh rintikan air matanya, yang tak sanggup ia tahan sama sekali.

"A-apa? Alhamdulillah, puji syukur terima kasih ya Allah. Kau telah menggerakkan hati anakku. Livia, terima kasih banyak atas keikhlasanmu, maafkan Ayah yang harus mengorbankanmu demi kesembuhan Ibu …" Dodi kaget, benar-benar tak menyangka, akhirnya Livia luluh dan mau mendengarkan permintaannyaa.

.

.

Kediaman keluarga besar Sadewa Grup ….

Helma dan Roni telah berunding, karena Helma telah mendapat kabar dari Dodi perihal persetujuan putrinya. Helma pun meminta sang anak sulung, Revan, untuk hadir makan malam bersama.

Mengingat, ada hal penting yang harus Helma sampaikan pada Revan. Perihal pernikahannya dengan anak Dodi, tentu saja Revan harus segera mengetahui kabar mengejutkan ini.

"Revan, sesuai keputusan Mama dan Papa, kami akan segera menikahkanmu dengan wanita pilihan Mama. Semua ini kami lakukan, karena kami lihat kamu sama sekali tak tertarik pada seorang wanita. Ini adalah jalan terbaik, agar tak ada lagi orang yang membicarakan dirimu, jika kau menyukai sesama jenis. Mama harap, kau bisa bekerja sama dengan pernikahan ini, Van. Ini semua demi kebaikan dirimu dan perusahaan. Semoga kamu bisa mengerti maksud Mama ini," ujar Helma begitu hati-hati.

"Apa? Menikah? Kalian gila, ha? Kenapa harus memutuskannya tanpa berunding dulu padaku? Tidak, tidak! Aku tak mau menikah dengan siapapun! Aku sungguh tak tertarik dengan pernikahan! Jika kalian terus memaksa, maka aku lebih baik pergi dari rumah ini!" ancam Revan.

"Silakan, silakan kau pergi dari rumah ini, Revan! Karena aku tak butuh seorang anak yang mempermalukan keluarga! Aku masih memiliki Anggita, dan Anggata, yang mampu meneruskan perusahaan besarku! Aku akan memilih Anggata untuk menggantikanmu, jika kau ingin pergi dari rumah ini! Tinggal kau katakan saja, kapan kau akan pergi, dan menyerahkan perusahaan itu!" Roni rupanya lebih kejam daripada Helma, ia sama sekali tak peduli dengan hati dan perasaan Revan.

"Apa? Sialan! Jadi kalian memang ingin membuangku, ha? Keluarga ini memang gila! Aku memiliki kedua orang tua yang sangat picik! Aarrgghhh, kurang ajar!" Revan mengacak-acak rambutnya, seraya meninggalkan meja makan, dan beranjak menuju kamar pribadinya.

Sekretaris pribadi Revan pun segera menyusul Revan, dan akan berusaha merayunya, agar Revan mau mendengarkan permintaan kedua orang tuanya. 

"Semoga Revan akan luluh jika Sendi yang menasehatinya, Pah. Semua ini demi kebaikannya, dan Mama hanya ingin, nama baik Revan kembali bersih dengan pernikahan ini," ujar Helma.

"Ancaman perusahaan selalu membuatnya takut, Ma. Tenang saja, dia pasti mau menerima pernikahan ini," Roni begitu yakin, karena ancaman perusahaan adalah ancaman terbaik yang akan membuat Revan takluk.

Akankah Revan mau menerima pernikahan ini?

Bab 3. Hari H

Sebuah pernikahan mewah tengah digelar hari ini. Hiasan dan dekorasi yang luar biasa terlihat indah dari sudut-sudut manapun. Ini adalah pernikahan yang luar biasa dari keluarga Sadewa.

Karangan bunga suka cita berjejer indah, penuh memenuhi sekeliling hotel. Pintu masuk yang ditata secantik mungkin, dekorasi pelaminan dan meja tamu sangatlah elegan. Perpaduan warna antara rose gold, dan cream memenuhi seluruh ruangan yang menjadi saksi bisu pernikahan antara Revan dan Livia.

Semuanya sangatlah indah. Hiasan, lampu-lampu, bunga hidup dan aksesoris penunjang lainnya, membuat ruangan resepsi ini terlihat sangat mewah. Sadewa Grup benar-benar membuat pernikahan luar biasa untuk anak semata wayang mereka.

Helma mengusung konsep mewah dan elegan di acara pernikahan Revan. Terlihat dari gaun mewahnya, hingga konsep dekorasi yang menawan. Dekorasi acara yang bernuansa rose gold ini, didukung dengan tata cahaya yang memberi kesan megah.

Kain putih tipis dipasang sebagai backdrop. Dilapisi tirai lampu kecil di luarnya. Dekorasi pelaminan dihiasi flower wreath besar dengan rangka lengkung. Hiasan standing lamp berbentuk bunga mekar juga menghiasi dekorasi utama. Serta, dekorasi bunga yang didominasi warna putih memberi kesan elegan pada resepsi pernikahan ini.

"Saya terima nikah dan kawinnya, Livia Aninda, Binti Dodi Kurniawan, dengan mas kawin, perhiasan emas yang tertera, dibayar tunai,"

Pernikahan ini akhirnya resmi dilakukan. Saat akad telah berbicara, maka semua keadaan berubah. Kini, Livia Aninda resmi menjadi bagian dari keluarga Sadewa.

Revan dan Livia telah disatukan dalam ikatan suci sebuah pernikahan. Walau diantara keduanya, tak ada satu pun yang menginginkan pernikahan ini. Pernikahan ini, jelas sebuah keterpaksaan bagi Revan dan Livia.

Revan tak ingin perusahaannya jatuh ke tangan adiknya, dan Livia juga tak ingin, ibunya meninggal karena dirinya tak mau berkorban. Tak ada yang mudah dalam pernikahan mereka. Konflik batin bergejolak, namun mereka senantiasa tetap ramah tamah dalam menerima tamu undangan.

"Kau puas bisa melakukan pernikahan ini? Iya? Dasar wanita tak tahu diri. Wanita sepertimu, hanya memikirkan uang, tanpa sedikitpun menjaga martabat dan harga dirimu!" bisik Revan, kala mereka tak mendapati tamu yang datang menyapa.

"Aku tidak serendah itu! Aku tidak seperti apa yang kau pikirkan! Kau tidak tahu masalah apa yang aku alami! Jangan asal bicara, jika kau tak tahu yang sebenarnya," Livia berusaha membela diri.

"Sekali murahan, tetaplah murahan!" pekik Revan.

Livia pasrah, Livia mencoba tak peduli dengan berbagai macam umpatan yang dikatakan Revan padanya. Livia sudah tahu, tak akan mudah menjalani pernikahan ini, karena sosok Revan, bukanlah pria yang bisa mencintainya.

Acara pernikahan ini adalah malapetaka bagi Livia. Ibaratnya, Livia harus masuk ke jurang yang sangat dalam, dan entah bagaimana dirinya bisa keluar dari jurang ini nantinya.

"Tuhan, hanya Kau yang bisa menolongku dari cobaan ini. Hanya Kau yang bisa melindungiku dari kepedihan ini. Jika memang ini sudah jalannya, kumohon kuatkan aku, kumohon buat hatiku sekuat baja, agar aku tak mudah sakit hati menjalani hidup bersamanya. Aku lelah, namun aku pasrah, aku akan terus menjalani semua ini, namun kumohon, kuatkan aku, kuatkan hatiku menjalaninya …" batin Livia dalam hati.

Menikahnya Revan dengan Livia, adalah sebuah bukti, demi membuktikan, jika CEO Sadewa Grup bukanlah seorang pria penyuka sesama jenis, seperti berita yang telah beredar sebelumnya.

Pernah beredar foto Revan, yang tengah berduaan dengan seorang pria bule, tanpa mengenakan busana apapun. Hal ini semakin membuat reputasi Revan hancur di mata para pebisnis lainnya. 

Bukan hanya itu saja, Revan juga dijauhi oleh para wanita. Beberapa wanita keturunan konglomerat, yang akan dijodohkan dengan Revan, mundur begitu saja, ketika mengetahui jika Revan adalah pria yang tak menyukai wanita.

Revan tak mengakui hal itu. Revan hanya berkata, jika pria itu adalah sahabatnya dari luar negeri. Namun demikian, gosip sudah menyebar luas, dan Revan sama sekali tak peduli dengan hal tersebut.

Yang kelimpungan justru Helma dan Roni, mereka benar-benar tak bisa menerima gosip miring yang menimpa anaknya. Karena itulah, terjadilah pernikahan ini. Pernikahan paksa yang dilakukan untuk menutupi aib CEO Sadewa Grup yang mengegerkan.

.

.

Selesai acara resepsi, semua kembali pada rutinitasnya masing-masing. Begitu pula Livia dan Revan, mereka terpaksa berada di satu hotel yang sama, karena status mereka kini adalah sebagai sepasang suami istri.

Tak ada cara yang bisa mereka lakukan, untuk terlepas dari jeratan pernikahan paksa ini. Siapa yang bisa menerima pernikahan ini dengan mudah? Keduanya sama sekali tak mengharapkannya.

"Kau tahu, bagi kebanyakan pasangan yang telah menikah, mereka semua menantikan malam ini, bukan? Malam di mana akan menjadi malam yang indah, yang disebut sebagai malam pertama. Bukan begitu? Aku tahu, kau juga sangat mengharapkannya, iyakan? Kau menginginkan aku menyentuhmu, agar kau bisa hamil anakku, lalu kau bisa meraup semua hartaku! Benar begitu? Hahaha, picik sekali otak kotormu itu! Cuih, jangan harap! Jangan harap aku akan menyentuhmu, sekalipun kini status kita adalah suami istri. Aku sama sekali tak menganggap pernikahan ini! Aku hanya berpikir, jika ini adalah mimpi buruk, dan akan berakhir ketika aku bangun nantinya! Camkan itu, wanita uang!" sindir Revan mati-matian pada Livia.

Livia menghela napas panjangnya. Livia berdoa dalam hatinya, berusaha untuk bisa mengendalikan dan mengontrol emosinya. Berusaha untuk tetap tenang menghadapi Revan, dan sebisa mungkin, Livia tetap sabar menghadapi sifat kerasnya.

"Maaf, aku tak sedikitpun berharap kau menyentuhku. Bukan hanya dirimu yang terpaksa melakukan pernikahan ini, aku pun terpaksa mau menikah denganmu. Aku hanya berharap, jika semua ini akan berakhir secepatnya."

"Kau pikir, aku akan melepaskanmu begitu saja? Oh tentu tidak! Orang tuaku sudah membayar mahal atas pernikahan ini! Lalu, kau bisa pergi dengan seenak jidatmu? Iya? Belum waktunya, sayang. Aku harus memanfaatkanmu dulu, sebelum aku menendangmu jauh-jauh," Revan tertawa puas.

"Apa maksudmu?" Livia sedikit emosi.

"Kau adalah mainanku yang baru. Jika Papa dan Mama memberikanmu padaku, maka aku harus memanfaatkannya dengan baik! Kau berstatus sebagai istriku, bukan? Kau jelas harus melayaniku sebagaimana mestinya! Kau harus menuruti semua keinginanku. Bukankah uang tujuh ratus juta itu sangat banyak? Kau tak sadar, jika kau berhutang budi padaku?"

Livia lagi-lagi terdesak dengan kata hutang budi. Sakit, memang sakit. Ingin rasanya melakukan perlawanan, tapi Livia akan kesulitan, karena ia hanyalah orang miskin, yang meminta pertolongan pada keluarga Revan.

"Baik, maafkan aku atas ucapanku yang kurang sopan padamu. Aku hanya sedikit kesal, atas beberapa ucapan kasarmu. Aku akan melakukan tugasku sebagai istrimu, katakan saja apa yang ingin kau lakukan, maka aku akan berusaha melakukannya," Livia akhirnya sadar, ia berusaha mengalah, dan tak terus keras kepala menghadapi Revan.

"Aku tak menganggapmu sebagai istriku, sama sekali tidak! Jika kau akan melayaniku, itu bagus! Karena kau tak boleh keras kepala di sini! Aku yang memiliki kuasa atas dirimu! Kau, keadaanmu di sini tak ayal dan tak lain hanya seperti seorang pembantu. Apakah kau bersedia menjadi pembantuku? Pembantu pribadiku, maksudku," Revan tertawa puas, tawanya begitu menggelegar, ia sengaja terus menghina Livia, agar Livia marah.

"Baiklah, apapun itu. Aku akan menuruti semua keinginanmu. Semua ini, semata karena balas budi yang harus aku lakukan atas kebaikanmu, dan juga keluargamu." Livia menundukkan kepalanya.

Livia pasrah, benar-benar pasrah. Ia tak boleh keras kepala di rumah ini. Livia sadar, jika dirinya harus membalas budi kebaikan keluarga Sadewa padanya. Termasuk, harus dihina dan dicaci maki oleh Revan. Anggap saja, jika hinaan itu adalah bagian dari balas budi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!