Fadila Kinanti, wanita cantik berusia 23 tahun yang sudah bersuami. Siang ini wanita itu sedang duduk bersama ke dua teman dekatnya yang di kenalnya saat kuliah.
"Nih, lihat! Suami kamu main gila lagi sama selingkuhannya." Dwi menyodorkan ponselnya pada Fadila yang sedang menampilakn sebuah rekaman cctv.
Fadila mengambil ponsel temannya dan melihat rekama di dalamnya.
"Dimana mereka ini?" Tanya Fadila dengan kening mengkerut.
"Dimana sekarang suami kamu?" Tanya Sinta.
"Pamitnya keluar kota." Fadila melihat rekaman itu dengan hati yang sangat sakit.
Setahun enam bulan sudah ia menjalani pernikahan dengan Febri sang suami. Namun sejak enam bulan belakangan, pria itu berubah pelan-pelan sikapnya.
Bahkan dua bulan terakhir mereka jarang bertemu. Sinta yang awalnya mengetahui perselingkuhan Febri dengan seorang model sekaligus anak orang kaya.
Awalnya Fadila tidak percaya dengan apa yang di katakan oleh Sinta. Tapi setelah temannya itu menunjukkan semua bukti perselingkuhan Febri, barulah Fadila percaya.
Fadila juga sudah melihat langsung bagaimana sang suami menginap di sebuah apartemen mewah bersama selingkuhannya. Dan baru di ketahui oleh Fadila jika apartemen itu adalah pemberian dari suaminya.
Dwi yang anak seorang Jendral tinggi di angkatan. Memberi bantuan untuk penyidikan dan pengawasan apa yang di lakukan oleh Febri. Serta mengumpulkan semua bukti perselingkuhan pria itu.
Sedangkan Sinta si anak pengusaha kaya, dia selalu mendampingi Fadila untuk menguatkan mental temannya. Karena perselingkuhan bukan masalah yang harus di hadapi dnegan emosi.
Sinta menganjurkan Fadila untuk bermain cantik dama memberi pelajaran untuk orang-orang penghianat itu.
"Nah, ini mereka sebenernya lagi di kota ini juga. Mempersiapkan pernikahan yang akan di laksanakan tiga hari lagi." Jelas Dwi seraya menunjukkan rekaman lainnya.
"Apa kamu sudah siap menggungat suami kamu yang brengsek itu?" Tanya Sinta semangat.
Sebagai sahabat, tentu saja Sinta dan Dwi merasa sakit hati melihat Fadila di selingkuhi. Apa lagi perselingkuhan itu ada campur tangan dari ibu mertua Fadila sendiri.
"Entahlah, sebenarnya hatiku sangat sakit dan belum rela rumah tanggaku hancur." Fadila menunduk lesu mengingat nasib rumah tangganya yang di ambang kehancuran.
"Kamu harus kuat, Fadila. Kalau kamu lemah, mereka pasti akan menindas kamu. Dan si pelakor itu bakalan hina kamu habis-habisan." Dwi memegang tangan Fadila, untuk menguatkan.
"Dwi, benar. Tunjukkan power kamu sebagai istri sah. Apa lagi selama ini mertua kamu itu gak pernah suka sama kamu, Fa. Dia bakalan semakin mengolok kamu nantinya." Sinta juga memberi semangat pada Fadila.
"Kamu tahu sendirikan kalau pelakor itu pilihan ibu mertua kamu. Sudah pasti dia yang bakalan di belain sama ibu mertua kamu, termasuk suami kamu juga." Dwi menatap penuh keyakinan pada Fadila.
"Sebagai seorang istri, kamu punya hak untuk mencari keadilan juga. Kalau pun kamu di ceraikan sama suami kamu, setidaknya kamu harus dapatkan kompensasi yang besar." Sinta memberi ide.
"Nah, itu harus. Kalau si pelakor itu di kasih barang-barang mewah sama suami kamu dan ibu mertua kamu. Maka kamu harus bisa dapetkan yang lebih menguntungkan lagi, Fa."
Dwi berbinar setelah ia mendapatkan cara untuk memberi pelajaran pada Febri.
"Kalian bener, selama ini ibu mertuaku memang gak pernah suka sama aku. Apa lagi aku belum hamil, dia semakin sering hina aku sesukanya. Pantas saja mereka sering keluar bareng dan jarang pulang. Ternyata memang ada sesuatu yang di sembunyikan."
Mendengar ucapan Fadila, mata Dwi dan Sinta berbinar. Akhirnya sang sahabat mulai berpikiran terbuka kalau selama ini ia sama sekali tak di anggap di rumah mertuanya.
Pada hal segala cara sudah di lakukan oleh Fadila agar sang ibu mertua senang padanya. Namun semua yang di lakukan Fadila selalu saja salah bagi ibu mertuanya.
"Dwi, kamu bisa bantu aku bobol rekaman cctv di rumah mertua aku, kan? Gak mungkin aku minta sama penjaga, karena mereka semua pasti sudah di bungkam oleh suamiku." Fadila melihat Dwi.
"Beres, tenang saja." Dwi mengangkat jempolnya untuk Fadila sebagai tanda siap.
"Sekalian kumpulkan semua berkas perselingkuhan suamiku dan keterlibatan ibu mertuaku. Sinta, tolong bantu aku cari kamera kecil yang bisa di samarkan tanpa ketahuan. Kita bakalan syuting drama nanti." Fadila tersenyum miring.
Ia sudah merasa cukup sakit hati dengan perselingkuhan suaminya dan juga pengabaiannya. Kesetiaan yang selama ini di jaganya.
Nyatanya malah di balas selingkuh oleh suaminya.
"Beres, masalah kamera begituan gampang. Percuma dong aku anak pengusaha barang elektronik terbesar di negara kita kalau gak bisa dapetin tuh barang." Bangga Sinta pada dirinya sendiri.
"Ciah, kumat songongnya." Kekeh Dwi mengejek Sinta yang juga membuat Fadila dan Sinta sendiri ikut terkekeh.
"Aku juga harus menyiapkan sesuatu sebagai hadiah pernikahan mereka. Dan juga sebagai hadiah perceraian tentunya," ucap Fadila.
"Kami selalu mendukungmu kawan. Sebutkan saja butuh apa? Semua ada." Kompak Dwi dan Sinta yang membuat Fadila terharu.
"Kalian bener-bener teman terbaik, untung saja ada kalian berdua. Aku pasti bakalan terus jadi pecundang yang cuma bisa di hina kalau gak ada dukungan dari kalian." Fadila memeluk kedua temannya.
"Kamu berhak bahagia, Fa. Lagian semua perubahan itu ada dalam diri masing-masing orang. Kalau kamu mau berubah jadi lebih baik setelah tahu kebenaran tentang suami kamu, itu bagus." Dwi melepaskan pelukannya dan menatap Fadila.
"Dwi, benar. Gak ada yang namanya pecundang kalau kita yang gak salah tapi di hina. Yang ada pecundang itu seperti suami dan ibu mertua kamu." Geram Sinta.
"Itu sih bukan pecundang, tapi orang-orang kotor." Ralat Dwi.
"Butuh di cuci dong kalau kotor." Canda Fadila.
"Iya, cucinya jangan pakai sabun, sayang sabunnya." Dwi menatap kedua temannya.
"Trus pakai apa cucinya kalau gak sabun?" Tanya Sinta penasaran.
"Pakai kembang tujuh rupa, siapa tahu aja nanti setannya pada keluar." Fadila dan Sinta tertawa mendengar ucapan Dwi.
"Memangnya mereka kesurupan?" Tanya Fadila.
"Iya, memang kesurupan," sahut Dwi.
"Kesurupan pelakor." Kompak Dwi dan Sinta, lalu mereka bertiga tertawa bersama.
Setelah berbincang beberapa saat, kini Dwi dan Sinta berpamitan pulang. Karena mereka berkumpulnya di rumah orang tua Sinta.
"Hati-hati ya, kalian." Sinta melambaikan tangannya pada mobil Dwi yang membawa Fadila juga.
Setelah mobil Dwi tidak lagi terlihat, barulah Sinta masuk ke dalam rumah untuk mulai mencarikan apa yang di minta Fadila.
Sedangkan di dalam mobil, Fadila dan Dwi sedang berbincang santai.
"Dwi, memangnya papa kamu gak marah karena selama ini kita pakai anggotanya untuk mengawasi mas Febri?" Tanya Fadila penasaran.
Karena sudah cukup lama mereka menggunakan jasa intelejen dari anggota angkatan bersenjata milik papanya Dwi. Fadila takut mereka akan di tuntut nantinya karena sembarangan menggunakan abdi negara.
"Enggak, santai saja. Papa sudah tahu semua masalah kamu. Dan orang yang kita pakai itu, memang di khususkan untuk menjaga anggota keluarga kami. Kemampuannya gak usah di tanya lagi, semua dia bisa. Dan dia itu juga pengawal pribadiku sendiri. Dia nuruti kita juga atas perintah papa yang mau bantuin kamu ungkap kebenaran," jelas Dwi.
Fadila sangat terharu mendengar ucapan Dwi. Meski ia hanya anak yatim piatu dari panti asuhan yang beruntung bisa kuliah. Dwi dan Sinta tak pernah mempermasalahkan statusnya.
Bahkan kedua orang itu selalu membantu dan mendukung Fadila untuk terus maju dan menjadi lebih baik. Penyesalan terdalam Dwi dan Sinta hanya menyetujui pernikahan Fadila dengan Febri.
Apa lagi mereka menikah setelah Fadila seleaai wisuda. Dan Fadila tak pernah di ijinkan untuk bekerja atau bersosialisasi ke luar rumah. Baru sejak sang ibu mertua dan suaminya jarang pulang, Fadila punya waktu untuk bertemu dengan kedua sahabatnya.
Dan di pertemuan pertama, Fadila sudah mendapatkan kabar tidak enak mengenai suaminya.
Fadila memasuki rumah yang sudah ia tempati selama 1 tahu 6 bulan lamanya. Rumah atas nama dirinya yang di beli Febri sebagai hadiah pernikahan mereka.
"Darimana saja kamu? Suami pulang bukannya di sambut malah di tinggal." Bentakan seseorang membuat Fadila menolehkan kepalanya sumber suara.
"Kapan kamu pulang?" Tanya Fadila santai tanpa takut sedikitpun.
Jika selama beberapa bulan lalu ia diam karena masih menghormati suami dan ibu mertuanya. Kali ini Fadila bertekat akan menjadi wanita kuat yang tidak akan mudah di tindas.
"Di tanya nalah balik nanyak lagi." Sinis ibu mertua Fadila yang bernama Rita.
"Cepat siapkan makanan, aku harus pergi lagi ke kantor karena masih banyak pekerjaan." Febri melangkah naik ke lantai atas menuju kamar mereka.
"Bi! Tolong siapin makanan untuk tuan." Fadila malah menyuruh pekerja rumah mereka.
Langkah kaki Febri terhenti kala mendenagr suara istrinya memerintah orang lain.
"Yang aku suruh itu kamu, bukan bibi." Marah Febri turun kembali.
Sedangkan Fadila melangkah naik ke atas.
"Aku capek, lagian ada bibi kenapa masih nyuruh aku," ucap Fadila.
"Karena istrinya itu kamu, bukan bibi. Dasar istri gak berguna, sia-sia anakku nikahi kamu selama ini." Ibu Rita kembali menyambar di tengah pembicaraan Fadila dan Febri.
Hal ini lah yang belakangan selalu menjadi api dalam rumah tangga Fadila. Ibu Rita yang tak menyukai Fadila selalu mencari cara agar anak dan menantunya tak pernah akur.
"Ibu kok ngomong gitu sih? Selama ini aku selalu berusaha buat jadi menantu yang baik bagi Ibu. Tapi apa yang Ibu kasih sama aku? Gak ada, selain terus ngadu domba aku sama Febri."
Mendengar dirinya di jelek-jelekkan oleh menantunya. Sontak saja ibu Rita tidak terima dan semakin marah.
"Apa maksud kamu ngomong gitu, hah? Kamu punya bukti gak nuduh aku ngadu domba kamu sama Febri? Selama ini kamu memang gak pernah suka sama aku, itu yang buat aku gak betah di rumah dan sering tinggal di rumah ayah kamu Febri." Pandangan ibu Rita beralih pada anaknya.
Febri mendekati Fadila dan menarik kasar rambut istri yang dulu di cintainya. Tapi entah kenapa ia merasa akhir-akhir ini ia selalu bersikap kasar pada Fadila.
Meski hati kecilnya sering sakit dan menentang tindakannya. Namun logikanya bermain saat sang ibu mulai menghasutnya yang negitu mempercayai sang ibu.
"Sekali lagi kamu berbicara kasar pada ibu, siap-siap untuk hukumanmu." Febri menghempaskan kepala Fadila dari cengramannya.
Dengan posisi mereka yang berada si tangga, sontak saja membuat Fadila oleng dan jatuh. Untung saja tangannya masih mampu meraih pegangan tangga, jadi tubuhnya tidak terguling sampai lantai bawah.
"Menyesal aku menikahimu," ucap Febri melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga.
Sedangkan Fadila membiarkan sikap kasar Febri padanya karena ia butuh bukti kalau suaminya bersikap kasar padanya.
Ibu Rita yang merasa menang karena ucapannya di percaya oleh sang anak tersenyum.
"Lihatkan! Febri itu lebih sayang padaku dari pada kamu istri yang gak berguna. Siap-siap saja tersingkir dari rumah ini dan menjadi gelandangan." Ibu Rita tersenyum miring menatap Fadila lalu pergi.
Gadial diam di tangga sembari menatap kepergian ibu mertuanya. Lalu ia menatap ke atas tangga di mana suaminya tadi pergi.
"Kita lihat saja siapa yang akan tertawa dan menang nanti," ucap Fadila.
Fadila yakin kalau Dwi pasti sudah mulai menghubungi orang-orangnya untuk mulai membobol cctv di rumah mewah itu. Cctv yang hanya sebagai hiasan saja di rumah itu.
Karena Fadila baru tahu kalau ternyata ibu Rita selalu meminta keamanan rumah menghapus video ketika ia memarahi Fadila. Ibu Rita juga tak segan membayar lebih pada keamanan rumah demi aksinya itu.
Fadila mengetahui hal kejam itu saat ia tak sengaja mendengar pembicaraan kedua keamanan rumahnya yang sedang lewat. Fadila yang kebetulan lewat dari dapur mendengar bagaimana kedua orang keamanan itu berbicara tentang apa yang di lakukan ibu Rita di ruangan mereka.
"Tunggu saja pembalasanku," gumam Fadila pelan.
Wanita itu berjalan naik ke atas menuju kamarnya. Ketika membuka pintu, Fadila mendapati suaminya baru seleaai berpakaian.
"Mau kemana lagi kamu?" Tanya Fadila menatap penampilan suaminya dari atas hingga bawah.
"Bukan urusan kamu," ketus Febri.
"Rasanya akhir-akhir ini kamu sering lembur, ya? Bahkan jarang pulang dan sering keluar kota. Apa di perusahaan itu gak ada karyawan lain sampe harus kamu yang bekerja keras sendirian?" Tanya Fadila memancing reaksi suaminya.
"Tentu saja perusahaan punya banyak karyawan handal. Hanya saja aku ini yang paling kompeten dari yang lain. Jadi atasan menyuruhku untuk lebih bekerja keras." Febri menjawab sembari membenahi penampilannya.
"Tapi kita jadi jarang bertemu dan gak punya banyak waktu untuk bersama. Bahkan sekarang lun kamu sudah akan pergi lagi." Fadila mencoba meratu suaminya dengan kalimat manjanya.
Bahkan wanita itu tak segan-segan memeluk Febri yang masih berstatus suaminya.
Febri memejamkan kedua matanya menikmati pelukan hangat yang sangat di rindukannya. Perasaannya seakan menghangat bersama pelukan itu.
Namun tiba-tiba ia melepaskan pelukan Fadila begitu saja. Febri teringat akan selingkuhannya yang merupakan anak pemilik perusahaan tempat ia bekerja.
Wanita yang di kenalkan sang ibu padanya yang ternyata anak atasannya. Dan tiga hari lagi mereka akan menikah. Ia tidak boleh merusak kebahagiaan sang ibu yang begitu senang dengan pernikahannya yang kedua ini.
Tapi Febri tak ingin membahas masalah pernikahan keduanya dengan Fadila. Bagaimanapun juga ia tidak ingin kehilangan Fadila.
Juga ingin membahagiakan ibunya dengan pernikahan keduanya. Dengan wanita pilihan ibunya.
"Kamu kenapa? Kok melamun? Kamu sudah gak cinta lagi sama aku?" Fadila memasang wajah sedihnya menatap Febri yang nampak serba salah.
"Eh, bukan begitu. Aku hanya sedang buru-buru, harus segera kembali ke kantor." Alibi Febri sembari menjauh dari istrinya dan berjalan keluar kamar.
Setelah pintu tertutup rapat, Fadila menuju balkon dan melihat mobil suaminya keluar dari lingkungan rumah.
"Pergilah selagi kamu mampu, setelah semuanya selesai. Aku yang akan pergi dari hidupmu." Fadila masuk kembali ke dalam kamarnya.
Wanita itu membuka lemari pakaian mereka dan mendapati brangkas tempat mereka menyimpan semua dokumen penting. Untung saja kode kunci pintu brangkasnya masih sama, tanggal peenikahan mereka.
Fadila mengambil semua dokumen di dalamnya yang merupakan surat rumah dan mobil serta beberapa bangunan apartemen yang di sewakan.
Rumah dan mobil atas nama Fadila, sedangkan apartemen atas nama Febri. Fadila tersenyum miring melihat semua berjas itu.
Bahkan di brangkas itu ada semua perhiasannya yang di berikan Febri. Bahkan peehiasan yang merupakan mahar pernikahan juga ada di sana.
Febri meminta Fadila menyimpan semua peehiasannya karena sang ibu yang terus ribut membahas perhiasan yang di miliki Fadila.
"Semua milikku akan ku ambil kembali, penjara cinta yang kamu ciptakan untukku akan ku tinggalkan. Kamu akan tahu apa akibat dari menghianati cinta tulusku, Febri." Geram Fadila mencengkram ujung kotak brangkas.
Fadila baru selesai makan malam seorang diri saat ponselnya berbunyi. Panggilan video daei Dwi dan Sinta.
Fadila langsung menuju kamarnya lalu mengangkat panggilan telpon itu.
"Halo, calon janda." Dwi tersenyum menatap Fadila yang cemberut.
Sedangkan Dwi dan Sinta sudah tertawa.
"Bagaimana dengan yang aku minta tolong pada kalian?" Tanya Fadila.
"Semua selesai, kamu tinggal katakan rencananya. Kami akan segera eksekusi secepatnya." Semangat Sinta.
"Aku berencana untu jual rumah sama mobil atas namaku. Juga tiga apartemen yang atas nama Febri, aku harus bisa membalikkan nama kepemilikannya atas namaku," ucap Fadila.
"Trus, mau kamu apakan apartemennya kalau sudah jadi milik kamu?" Dwi penasaran di angguki Sinta.
"Mau aku jual semuanya. Aku mau cari tempat baru dan mulai semuanya lagi. Aku mau mulai usahaku sendiri." Fadila mengepalkan satu tangannya tanda ia siap maju.
"Ini Fadila sahabat kami yang dulu selalu siap maju apapun kondisinya. Fadila yang selalu semangat dan pantang menyerah." Sinta menatap Fadila berbinar senang.
"Kami pasti bantu kamu untuk bisa jadi pengusaha yang sukses. Kami siap jadi asisten pendamping sampai kamu berjaya." Dwi tak kalah senangnya dari Sinta.
"Tapi siapa pengacara yang harus ku pakai untuk membantu? Aku butuh pengacara untuk memuluskan semua urusan surat-surat itu." Bingung Fadila.
"Oh masalah itu, tenang aja. Nanti aku bicarakan sama papiku, supaya kita bisa pakai pengacara keluargaku." Usul Sinta di acungi jempol oleh Dwi.
"Cerdas," puji Fadila dan Dwi bersamaan.
"Kalau gitu sekalian nanti aku tunjukin surat-surat lain yang harus di tanda tangani sama Febri. Biar di cek lagi sama pak Pengacara itu."
"Surat apa?" Tanya Dwi di angguki Sinta.
"Nanti juga kalian tahu, yang pasti besok kalian harus temenin aku jual semua perhiasan sama rumah ini."
"Beres, besok kami datang tepat waktu," ucap Dwi dan Sinta bersamaan.
Percakapan ketiganya berakhir setelah jam menunjukkan pukul 11 malam.
Fadila berebahkan tubuhnya di kasur seorang diri. Kasur yang biasanya di tempati bersama sang suami, kini hanya tinggal dirinya sendirian.
Fadila yakin kalau saat ini suami dan ibu mertuanya sedang sibuk mempersiapkan pernikahan. Wanita itu juga yakin kalau kedua orang itu tidak akan kembali selama beberapa hari kedepan.
Terlebih lagi suaminya yang pasti akan pergi berbulan madu.
Pagi hari ...
Fadila bangun cepat pagi ini dan langsung mengemasi pakiaannya. Karena pakaian yang di miliki Fadila tidak banyak, jadi satu kopee besar sudah cukup untuk memuat semua pakaian wanita itu.
Satu tas selempang yang agak besar milik Fadila berisi perhiasan dan surat-surat penting.
Setelah semua selesai, wanita itu turun dari lantai atas membawa sendiri koper dan tas selempangnya.
"Nona, mau kemana?" Tanya bibi yang bekerja di sana.
"Aku mau ke luar kota sama temen," sahut Fadila.
Setelah meletakkan kopernya di ruang keluarga, Fadila menuju meja makan untuk sarapan.
"Non, temennya dateng." Bibi memberi tahu Fadila.
"Minta mereka tunggu di ruang keluarga dulu, Bi."
"Baik, Non."
Fadila mempercepat makannya dan segera mendekati temannya yang ternyata sedang di tanya oleh bibi.
"Kalau saya boleh tahu, kemana Non mau pergi? Kenapa Nona Fadila membawa koper besar?" Kening Fadila mengkerut mendengar pertanyaan itu.
"Apa urusannya dengan kamu, Bi? Bukannya tadi aku sudah bilang akan pergi ke undangan teman di luar kota." Sentak Fadila pada wanita tua itu.
Bibi kaget mendengar suara Fadila berada di belakangnya.
"Eh, maaf Non. Saya hanya ingin tahu saja." Wanita tua itu menunduk takut.
"Kamu di pekerjakan di sini untuk bersih-bersih, bukan untuk mengurusi masalah pribadi orang lain." Tegas Fadila pada pekerjanya.
"Maafkan saya, Non."
"Ya sudah, pergi ke belakang sana."
Bibi langsung pergi kebelakang menyelesaikan pekerjaannya. Ia tidak menyangka kalau istri tuannya bisa bersikap tegas dan berwibawa.
Setelah bibi pergi, Fadila langsung menyeret kopernya bersama kedua temannya keluar rumah.
Mobil milik Dwi melaju meninggalkan rumah mewah milik Fadila.
"Kurang ajar banget tuh orang tadi, asisten rumah tangga saja sudah merasa diri nyonya." Gerutu Sinta.
"Kalau itu pekerja di rumahku, sudah ku pecat tanpa pesangon," geram Dwi pula.
"Aku yakin nya sih, bibi tadi pasti mata-mata Febri atau ibu mertuaku." Sinta dan Dwi mengangguk setuju dengan ucapan Fadila.
"Sudah pasti itu, kalau gak mana mungkin dia berani kurang ajar begitu." Suntuk Dwi kala mengingat pekerja di rumah Fadila.
"Kita mau kemana dulu nih?" Tanya Sinta menatap Fadila yang duduk di kursi belakang.
"Kita jual perhiasan dulu, habis itu temenin aku cari tempat tinggal yang sesuai." Fadila melihat kedua temannya di depan.
"Rumah sama mobilnya gak sekalian di jual?" Tanya Dwi heran.
"Ntar aja, cari rumah sewa untukku dulu, besok baru kita jual rumah sama mobilnya," kata Fadila.
"Sekalian saja, Fa. Nanti kita jual di perusahaan proferti kenalan aku. Nanti kita minta waktu dua hari sama mereka, kalau mobil kita gadaikan saja." Sinta memberi saran pada yang lainnya.
"Ok lah, kita selesaikan sekarang saja," putus Fadila.
Mereka menuju sebuah toko perhiasan yanh ada di salah satu mall besar di kota.
"Permisi, Mbak. Saya mau menjual perhiasan," ucap Fadila.
"Baik, Mbak. Boleh saya lihat barangnya dan juga surat-suratnya?" Pinta si penjaga toko.
Fadila membuka tas selempang lusuhnya dan mengeluarkan kotak perhiasannya.
Sebentar ya, Mbak. Saya akan memeriksa perhiasannya lebih dulu, sekaligus menyiapkan uangnya." Fadila mengangguk seraya tersenyum kecil.
Sinta yang melihat betapa mudahnya Fadila menjual perhiasannya langsung bertanya.
"Kok gampang banget sih kamu jualnya?"
"Karena dulu belinya juga di sini, dan sejak ibu mertua tinggal di rumah kami. Aku gak di ijinin pakai satupun perhiasanku," jelas Fadila.
"Pantas masih kelihatan baru begitu," sahut Dwi di angguki Fadila dan Sinta.
Beberapa saat kemudian, pegawai toko muncul dan memanggil Fadila. Dwi dan Sinta mengikuti teman mereka masuk ke dalam.
"Ini uangnya, Mbak. Karena perhiasan milik Mbak masih bagus dan tidak ada kecacatan, kami membayarnya dengan harga yang beda sedikit dengan harga awal." Pegawai toko menjelaskan.
"Gak masalah, Mbak." Fadila tersenyum pada wanita di depannya.
Setelah menghitung jumlah uangnya dan semua prosesnya selesai. Ketiga sahabat itu pergi meninggalkan toko perhiasan.
"Fa, kamu tinggal di rumah aku aja, ya? Aku sepeian di rumah sendirian." Dwi menatap Fadila.
"Yang lain pada kemana memangnya?" Tanya Sinta.
"Papa sama mama tinggal di rumah dinas, kalau abangku jangan di tanya lagi. Sudah pasti dia sibuk tugas ke sana sini." Dwi menghembuskan napasnya lelah.
Ternyata memiliki keluarga yang berpangkat membuatnya sering kesepian. Waktu yang di miliki untuk bisa kumpul bersama juga tidak banyak.
"Aku ikut dong, masa Fadila doang. Aku juga kesepian di rumah," gerutu Sinta.
"Ya sudah, kita tinggal bareng saja di rumahku. Nanti aku kasih tahu papa sama mamaku, kalau kita sekarang tinggal bersama." Dwi mengangkat satu tangannya tanda bersorak.
Sontak saja Fadila dan Dwi juga mengangkat tangan mereka ikut bersorak tanpa suara. Karena sedang di tempat umum, tak mungkin mereka bersorak senang. Yang ada malah akan jadi bahan tontonan.
"Tas kamu kok kucel gini sih, Fa? Memangnya gak ada tas lain?" Sinta menatap Fadila heran.
Biasnaya temannya ini membawa tas selempang kecil. Tapi sekarang membawa tas selempang lumayan besar dan biasa saja.
"Namanya juga bawa barang berharga, Ta. Untuk jaga-jaga harus bawa tas jelek, kan gak akan ada orang yang nyangka kalau tas jelek ini isinya milyaran." Fadila tersenyum kecil menatap Sinta.
"Iya juga, ya." Kompak Sinta dan Dwi.
Mereka terus bercanda di dalam mobil yang melaju menuju tempat selanjutnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!