Boommm…
Dor…dor…dor…
Boommm…
“Nak, bangun!” suara setengah berbisik itu terdengar di telingaku dan sayup-sayup aku mendengar suara bedil saling bersahutan seperti biasanya yang menandakan sedang terjadi kontak tembak antara pasukan pemberontak dan tentara pemerintah.
“Bangunlah! Kita harus membantu Bapak sekarang!” suaraku hilang dengan rintihan kecil yang terdengar dari luar kamar berdinding papan milikku.
“Siapa itu, Mak?” tanyaku masih mengumpulkan nyawa untuk menghadapi hari esok yang masih menjadi misteri ilahi.
“Ayo, jangan banyak tanya!” aku keluar mengikuti ibuku lalu melihat seorang pria terbaring di kamar bersama seorang pria lainnya sedangkan ayahku? Ayahku sedang memindahkan karung padi satu persatu lalu aku dan ibu ikut membantunya. Setelah karung padi terbuka, ayah membuka sebuah papan dan terlihatlah sebuah lubang yang tidak cukup besar tapi cukup dalam. Aku tahu tempat itu karena aku adalah anak tertua di rumah ini jadi orang tuaku menganggapku sudah besar hingga mampu menyimpan semua rahasia yang mereka lakukan walaupun umurku baru 16 tahun.
“Mak, katakan pada Bang Khalid untuk membawanya ke sini!” ibuku bergegas menyampaikan apa yang ayah perintah sedangkan aku selalu mendapat tugas untuk membuat ramuan yang ayahku pinta.
Aku melirik sekilas pada pria yang sedang dipapah oleh temannya itu. tubuhnya penuh dengan darah, kepala dan tangannya juga terdapat darah. Aku sudah menduga jika mereka lah yang sedang berperang dengan tentara tadi. Setiap kali terjadi peperangan di simpang Keude dan kalau ada yang luka selalu saja mereka ke rumahku. Ayahku memang terkenal sebagai tabib kampung sekaligus dukun urut untuk mereka yang mengalami patah tulang karena kecelakaan atau apa pun penyebabnya. Itu juga yang menjadikanku mengerti tentang tanaman obat-obatan serta cara meraciknya.
“Mak biar Rahmah saja yang ke sini, Mamak tolong bersihin darah di dalam rumah ya!” pinta Ayah lembut dan dengan patuhnya ibuku itu menuruti permintaan Ayah. Lalu aku menyusul ayah untuk turun ke bawah. Kini aku melihat dengan jelas luka-luka yang sedang ayahku bersihkan di tubuh pria itu. Aku membuang muka saat ayahku tanpa sungkan merobek baju pria itu lalu membuka celanaa panjangnya.
“Apa Ayah tidak menganggapku perempuan?” gerutuku dalam hati seraya menatap kamar rahasia milik ayahku.
Ya, ayahku seorang cuak para pemberontak. Itu adalah pekerjaan sampingannya selama beberapa tahun terakhir atau selama aku lahir. Aku pun tidak tahu sejak kapan ayahku menjadi cuak.
“Nak,” aku tersadar saat ayah menyentuh lenganku.
“Bantu Ayah membersihkan darah!”
“Hah! Tapi-“
“Biar saya saja, Teungku.” Aku bernafas lega saat teman si pria itu yang akhirnya membantu. Mungkin hanya dia yang menyadari jika aku seorang wanita yang tidak mungkin merawat pria itu dengan penampilannya yang sudah terbuka seperti saat ini. Jangankan menyentuhnya, melihatnya saja aku tidak sanggup. Aku mengelus dada merasa lega namun detik berikutnya ekor mataku menangkap sebuah senyum kecil yang tersungging dari bibir teman pria itu.
“Ayah, aku naik saja ya! Kan ada Abang itu yang bantu. Lagian sudah sepantasnya sesama laki-laki yang merawat laki-laki.”
Ayah yang sedang membakar ujung pisau besi di tangannya tiba-tiba berhenti lalu menatapku lekat. “Nak, saat kita menolong orang maka jangan pikirkan yang lain. Sama seperti saat kamu ke rumah sakit, belum tentu dokter wanita yang akan merawatmu, bukan?”
Gleg…
Aku menelan ludah dengan susah. Perkataan ayah membuatku malu sendiri akhirnya aku memlih pergi dari sana. Aku melihat ibu sedang memasak makanan di dapur. Setiap kali aku melihat ibu aku merasa ibuku adalah wanita paling sabar di dunia ini. Tanpa diminta oleh ayah, ibu selalu tahu apa yang dibutuhkan oleh suaminya. Seperti saat ini, ibuku sedang memasak nasi dan aku yakin pasti tidak lama lagi ayahku akan memintanya seperti yang sudah-sudah.
“Nak, jangan diam saja! Tiup kayunya biar tidak berasap.” Aku mengangguk lalu mengipas kayu tumpukan kayu tersebut supaya tidak berasap.
“Kalau tentara melihat rumah kita mengepul asap tengah malam begini pasti mereka curiga dan akan mendatangi rumah kita. Kamu paham kan?” Aku mengangguk malas.
“Kenapa tidak menunggu besok saja, Mak?”
“Kita harus memuliakan tamu, Nak.”
“Mana ada tamu datang tengah malam begini?” gerutuku.
“Diam dan lakukan saja apa yang Mamak pinta!” suara tegas itu muncul juga walaupun dalam level rendah tapi aku tahu ibuku sedang tidak ingin didebat. Ibu memasak nasi sedangkan ikan masih ada sisa tadi malam dan hanya dipanaskan saja. Ibu juga membuat kopi untuk ayah dan tamunya. Kalau sudah begini sudah dipastikan jika sampai subuh ayah akan berada di sana untuk memantau keadaan pria itu.
“Mak,” panggilku setelah ibu kembali dari kamar rahasia itu. Saat ini aku ikut tidur di kamar ibu bersama adik bungsu laki-lakiku bernama Fajar. Sedangkan adik perempuanku bernama Raudhah kutinggalkan tidur sendirian.
“Tidur, Nak!”
“Mamak kenal siapa mereka?”
“Tidurlah! Kamu sudah tahu sendiri jawabannya.” Jawab ibuku lalu beliau langsung menutup matanya mengabaikanku yang masih terjaga.
Kami memang tidak pernah bertanya siapa pria yang selalu datang silih berganti ke rumah dalam keadaan terluka. Ada yang tertembak, cedera dan ada juga yang tangan dan kaki serta kejantanannya membesar tiba-tiba tanpa sebab. Kalau menurut ayahku, mereka menginjak kuburan keramat atau kencing di sarang setan hingga membuat kejantanannya besar tiba-tiba.
Berbagai macam sosok yang datang ke rumahku tapi aku tidak pernah mendengar ayah menyebut nama mereka atau sekedar berbincang lama dengan mereka. Ayah selalu menyuruh mereka pergi setelah sembuh. Entah apa maksudnya, aku juga tidak memahami pemikiran ayahku itu. Hanya satu yang pasti, mereka adalah para pemberontak yang paling dicari di seluruh negeri dan ayahku pasti tidak mau tentara-tentara itu datang lalu menghancurkan rumah kami karena menyembunyikan para pemberontak negara.
Aku memilih memejamkan mata sampai terlelap hingga entah berapa lama aku tertidur hingga terdengar suara derap langkah kaki di luar luar rumah. Mataku dan ibu langsung terbuka.
“Buka pintunya!”
Brakkk…
Pintu kami yang terbuat dari papan itu pun terbuka setelah ditendang dengan mudah oleh para tentara dari luar. Aku hendak mengikuti ibu tapi aku melihat ayah mengikuti langkah ibu dari belakang dan menggelang kepalanya padaku sekilas. Aku paham lalu kembali ke kamar dan membungkus diriku dengan selimut kembali.
“Ada yang datang ke sini?”
“Tidak ada, Pak!” jawab ayahku tegas.
Seseorang menyuruh tentara lain untuk masuk ke kamar dengan kode tangan. Mereka masuk tanpa izin lalu memasuki kamarku dan menarik selimutku hingga membuatku terkejut. Aku ketakutan melihat pria berbaju loreng dan memegang bedil yang langsung mengacung padaku. Mereka sangat banyak dan sangat menakutkan. Wajah mereka dicat hitam hingga tidak menampakkan kulit aslinya. Aku beringsut memeluk Fajar yang masih terlelap. Satu dari mereka membuka paksa lemari dan mengobrak-abrik pakaian orang tuaku.
“Aaaaa….” Suara jeritan Raudah di kamar sebelah mengagetkanku.
“Makkkk, Ayahhh….” Dia memanggil orangtuaku seraya menangis.
Dia pasti terkejut dan ketakutan terjaga seorang diri lalu banyak bedil mengarah padanya seperti yang terjadi padaku.
“Pang Sagoe terluka dan jejaknya mengarah ke sini. Hanya kamu yang dikenal sebagai dukun patah di kampung ini. Sekarang katakan di mana kamu menyembunyikannya!!!”
***
Hai, aku hadir bersama Bang Teuku Muhammad Ilham...jangan lupa beri komentar, like dan beri rating untukku ya...
Bug…
“Bangggg…”
Ayahku dipukul dengan gagang senjata hingga tersungkur ke lantai tanah. Ibu menjerit melihat itu dan langsung terduduk lemas seraya menangis memeluk ayahku.
“Kami tidak menyembunyikan siapa-siapa, Pak. Saya hanya dukun patah. Kalau mereka terluka karena terkena peluru, mereka pasti tidak akan ke rumah saya karena saya tidak bisa menyembuhkannya. Saya bukan dokter!” ucap ayahku terbata-bata. Kami dikumpulkan bersama ayah dan ibu di ruang depan.
“Periksa lagi!” teriaknya lalu para tentara itu menusuk-nusuk karung padi kami dengan pisau hingga padi itu berurai tumpah ke atas tanah.
“Kalian habis memasak apa pagi-pagi buta, heh?”
“Sa-saya memang cepat memasak karena nanti akan membantu Ayah anak-anak mencari daun obat.” Jawab ibuku.
Aku tidak menyangka jika ibuku sangat lihai berbohong. Keluarga kami seperti buah simalakama. Jika kami memberitahukan mereka tentang para pemberontak maka kami hanya akan selamat dari para tentara tapi rekan-rekan para pemberontak itu pasti akan menangkap kami karena dianggap berkhianat walaupun itu tidak mungkin karena ayahku sangat mendukung perjuangan para pemberontak untuk mendapat keadilan yang aku sendiri belum mengerti dengan jelas.
“Jangan coba-coba membohongi kami! Kalian pikir kami bodoh?”
Brakkk…
Selanjutnya adalah kehancuran dari benda-benda apa saja yang ada di dekat mereka. “Kalian tahu, gara-gara para pemberontak itu, kami kehilangan banyak teman. Apa kalian pikir kami tidak punya keluarga di Jawa sana?”
Brakkk…
Kini aku mulai menyadari jika sikap mereka ini karena temannya ada yang terluka atau meninggal akibat diserang para pemberontak. Tapi yang menjadi pertanyaan dalam benakku adalah apa salahnya perabotan rumahku yang sederhana ini? Kenapa perabotan itu yang harus menanggung akibatnya? Ah, aku tidak suka sama para tentara itu. Mereka bersenjata tapi hanya berani sama benda mati. Kenapa tidak dicari saja para pemberontak itu ke hutan? Kenapa harus ke rumahku? Lalu apa benar yang aku dengar tadi jika pria yang sedang sekarat itu Pang Sagoe?
Antara takut dan senang, aku malah tidak fokus dengan sosok pang sagoe. “Hei, kamu! Kenapa kamu tersenyum? Apa kamu sedang menertawai kami?” seorang tentara hendak melayangkan tangannya padaku tapi seseorang dari mereka langsung menarik pria itu.
“Dan, dia seorang wanita.”
“Dia menertawai kita.” Seorang dari mereka langsung menyeret pria yang dipanggil ‘Dan’ itu lalu mereka keluar dari rumahku.
Adik-adikku kelihatan sangat takut melihat mereka tapi aku? Aku tidak takut sama sekali hanya saja aku tidak suka melihat mereka apalagi tentara yang sudah merusak perabotan rumahku.
“Ayo salat subuh dulu!” ajak ayah lalu dengan didampingi oleh ayah, kami pergi ke sumur untuk mengambil air wudu.
Keesokan harinya…
Beberapa tentara masih berjaga di berbagai sudut kampung kami. Aku mengikuti ayah pergi ke bukit tempat kami mencari dedaunan untuk obat-obatan yang sering ayah gunakan saat mengobati pasiennya.
Letak bukit tidak seberapa jauh dari rumah. Hanya perlu sepuluh menit dengan berjalan kaki. Sesampai di pos kaki bukit, keranjang yang ayah bawakan diobrak-abrik oleh mereka untuk memeriksa apakah ayah membawa senjata atau tidak. Sama seperti ayah, aku juga tidak luput dari pemeriksaan mereka.
“Assalamualaikum.” Ucapku dan ayah serentak ketika kami pulang dari bukit.
“Walaikumsalam.” Ibu langsung menghampiri kami lalu mengambil keranjang bawaan kami dan memasukkannya ke dalam. Aku tersenyum melihat ibu begitu takzim memuliakan ayah bahkan saat anak-anaknya sudah tumbuh besar.
“Ayah mau mandi atau makan terlebih dulu?” tanya ibu membawa segelas air putih. Sementara aku? Aku melongos pergi untuk mengambil sendiri air di dapur.
“Bagaimana dengan mereka?” tanya ibu pada ayah setengah berbisik tapi masih tertangkap oleh telingaku.
“Terlalu bahaya kalau Ayah turun sekarang. Apalagi para tentara masih gencar melakukan pemeriksaan di berbagai sudut kampung.” Aku hanya bisa menghela nafas saat mendengar perkataan ayah. Konflik ini semakin lama bukannya semakin mereda tapi semakin menjadi. Semenjak aku sadar dengan keadaan dan mengerti akan situasi. Konflik ini sudah berlangsung dan setiap kali aku bertanya pada ayah. Kapan konflik ini akan berakhir?
Ayah selalu menjawab, “Sebatang rokok lagi?”
Hari berganti hari tapi konflik itu belum juga usai. Para tentara telah pergi dari kampungku setelah memeriksa dan ternyata orang yang mereka cari memang tidak ditemukan. Ayah sendiri selalu turun ke kamar bawah tanah di waktu tertentu untuk memeriksa pria itu. Entah bagaimana keadaan pria itu setelah seminggu berada di bawah sana.
Aku sendiri tidak peduli lagi karena telah kembali ke duniaku yaitu bergabung dengan teman-temanku ke sawah. Aku ikut beberapa teman dan ibu-ibu di kampungku untuk menanam padi. Kami dibayar ketika sore saat jam pulang tiba. Hanya ini pekerjaan yang bisa aku kerjakan karena pendidikan kami selaku orang kampung tidaklah tinggi. Paling tinggi adalah lulus sekolah dasar lalu kalau beruntung akan cepat dilamar dan kalau tidak ya tinggal menunggu giliran.
Teman sebayaku rata-rata sudah memiliki satu bahkan dua anak di usia enam belas tahun sementara aku? Bukannya tidak ada yang meminangku tapi ayah selalu berasalan jika aku masih terlalu muda untuk menikah. Sudah enam kali ayah menolak pinangan orang yang datang dari berbagai kampung dengan latar belakang berbeda pula. Ada yang petani, pedagang, pemilik pabrik batu bata, tukang, nelayan hingga yang terakhir adalah anak imam masjid kampung sebelah. Dia seorang pemuda yang baru pulang dari pesantren dan sudah menjadi sutad tapi tetap ditolak oleh ayahku. Entah apa yang mendasarinya hingga menolak pria lulusan pesantren yang sudah terjamin agamanya dan pasti bisa membimbingku menuju surga ilahi.
Apakah ayah bertanya padaku saat menolak mereka? Tidak! Ayah tidak pernah meminta pendapatku, lalu setelah mereka pulang, aku baru diberitahu jika yang datang itu berniat melamarku dan saat kutanya apa ayah menerimanya? Tidak!
Aku juga tidak bertanya kenapa dan ayah juga tidak mengatakan apa-apa setelah itu. Sungguh aneh bukan? Tapi inilah kenyataannya. Jika ditanya apakah aku mau menikah maka jawabannya adalah gedikan bahu. Aku sendiri bingung dengan hatiku. Teman-temanku mengatakan jika mereka menikahi orang yang mereka cintai. Lalu aku pun bertanya pada mereka, cinta itu seperti apa? Kenapa bisa langsung jatuh cinta padahal baru bertemu? Itu cinta atau ingin? Ingin bersamanya, ingin dekat-dekat dengannya, ingin selalu berdua dengannya. Aku mempertanyakan itu pada mereka tapi apa yang aku dapat setelah itu?
“Rahmah, kita memang tidak sekolah tinggi-tinggi dan tinggal di kampung. Tapi kita tidak boleh sebodoh itu. Masak cinta saja kamu tidak tahu.” Sahut salah satu teman.
“Makanya Rahmah, kamu segera menikah supaya tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya.” Sahut yang lain.
“Ayahmu sudah menolah lebih dari tiga orang, Mah. Kata orang tua-tua, kalau menolak lamaran lebih dari tiga kali maka setelahnya akan susah jodoh.” Timpal yang lain lagi.
“Tidak betul itu, buktinya Ayah Rahmah sudah menolak enam orang. Jadi aku tidak percaya itu!”
“Setuju!!!” ucapku.
***
Kita sudah bertegang ria di CUT jadi kali ini aku ingin bermanis-manis dengan PANG SAGOE.... SO...happy reading....jangan lupa berikan bintang dan subscribe....favoritkan....TERIMA KASIH...
Para tentara mendirikan pos pemeriksaan di ujung kampung. Aku bersama teman-teman menjalani hari seperti biasa. Setiap pagi pergi ke sawah lalu menjelang zuhur kami kembali dan akan melanjutkan setelah zuhur hingga waktu asar tiba. Begitulah rutinitasku selama ini dan tidak ada gangguan sedikitpun sampai pos tentara ada di sana selama beberapa hari ini.
Beberapa temanku yang masih lajang mulai terlihat berbeda setiap kami ke sawah, “Kalian kenapa lain beberapa hari ini?” tanyaku saat kami hendak ke sawah.
“Lain kenapa, Mah?” Tanya Kulsum.
“Iya, Mah. Lain apa maksudmu?” timpal Masyitah.
“Kalian terlihat lebih bersih dan pakai lipstik ya?”
“Oh ini buat melindungi bibir, Mah. Biar tidak kering.” Sahut Salbiah. Rahmah menganggukkan kepala seolah mengerti tapi dalam hatinya masih bertanya-tanya tentang perubahan ketiga teman lajangnya itu.
“Eh, kalian tahu kalau Abang-abang tentara itu masih mencari Pang Sagoe?” tanya Salbiah membuat Rahmah mendadak berhenti lalu menatap teman-temannya.
“Pang Sagoe?” tanya Rahmah setengah berbisik.
“Iya. Aku dengar sendiri dari Abang tentara yang tugas di pos dekat rumahku. Mereka yakin kalau saat ini Pang Sagoe tengah terluka saat pertempuran malam itu.” Salbiah kembali menambahkan.
“Para tentara itu mengikuti jejak darah sampai ke kampung kita makanya mereka mendirikan pos di kampung kita untuk menangkap Pang Sagoe.”
“Kalau memang Pang Sagoe terluka dan lari ke kampung kita, hanya rumah kamu tempat satu-satunya yang bisa dia datangi. Kamu yakin dia tidak ke rumahmu, Mah?” selidik Salbiah.
“Ya tidak lah! Aku sendiri yang akan mengusirnya kalau dia ke rumahku. Kalian tahu perabot rumahku habis hancur gara-gara amukan para tentara. Sampai kapanpun aku tidak akan memaafkan para tentara yang sudah menghancurkan perabotan rumahku. Aku sumpahi rumah tangga mereka akan hancur seperti perabotanku yang hancur.” Ucapan Rahmah membuat Kulsum, Masyitah dan Salbiah saling lirik.
“Ayo! Tidak usah membicarakan urusan mereka. Yang penting bagi kita saat ini adalah ke sawah cari duit. Biar itu menjadi urusan mereka, kita urus diri kita sendiri.” Rahmah melangkah lebih dulu diikuti teman-temannya.
Sudah lebih dari seminggu para tentara rutin berpatroli. Bahkan sesekali mereka singgah di rumahku walaupun tidak ada yang peduli karena ibu dan ayahku tidak menyukai mereka termasuk aku dan adik-adikku. Setelah mereka mengejutkan kami malam itu, mereka masih berharap diperlakukan ramah oleh kami? Jangan harap!
Aku memandang mereka dengan sorot mata penuh kebencian. “Dek, jual telor bebek?” tanya seorang tentara padaku yang sedang memberikan pakan bebek.
“Tidak!”
“Abang beli boleh?”
“Tidak!”
“Kenapa?”
“Untuk makan sendiri.”
“Itu kan banyak, Abang beli lima saja, boleh?”
“Tidak! Kami makan banyak.” Bukannya marah dengan jawabanku, tentara itu malah terkekeh.
“Kamu lucu juga ya. Siapa namamu? Nama Abang, Heru.”
“Tidak tanya!”
“Cantik-cantik jutek, nanti susah jodoh.”
“Jodoh urusan Allah.”
“Tapi saya mau jadi jodoh kamu.”
“Saya tidak mau.” Tentara itu malah terkekeh.
“Kenapa? Apa saya kurang ganteng?”
“Iya!”
“Wah, baru kamu yang bilang saya begitu. Saya jadi bertanya-tanya, kalau saya kurang ganteng lalu siapa yang menurutmu ganteng?”
“Seseorang yang ada di hati saya.”
“Siapa orangnya?”
Aku tidak lagi menjawab. Pria berbaju loreng ini membuatku mual dengan suaranya. Aku pergi meninggalkan kandang bebek lalu masuk ke dalam. Aku merebus telur-telur bebek itu lalu kutinggalkan di dapur.
Ayah dan ibu sedang membuat ramuan obat lalu mereka memanggilku. “Tolong bubuhkan ini di lengan, dada dan betisnya ya!” aku mengangguk paham.
Lalu aku masuk ke kamarku bersama ibu. Ibu membantu menggeser tempat tidur lalu aku turun ke ruang bawah tanah melalui lubang baru yang dibuat oleh ayah di bawah tempat tidurku. Seorang pria tengah terbaring menyamping karena luka bagian punggung, dan lengan sebelah kanannya membuat ia tidak bisa tidur terlentang.
Sudah beberapa hari ini aku ditugaskan ayah untuk merawat pria itu karena temannya sudah pergi menjauh dari kampung begitu tahu para tentara akan mendirikan pos di sana. Selama itu pula, aku yang bertugas merawat pria itu karena ayah tidak mau ada yang curiga bila tidak melihatnya. Makanya, ayah sering tidur di pondok depan rumah untuk menghilangkan kecurigaan para tentara yang sering melewati rumahku.
“Bang, tidur ya? Aku mau menaruh obat baru.” Ucapku dengan suara kecil.
Pria itu membuka matanya. Seperti biasa, aku membantunya duduk lalu aku langsung mengerjakan pekerjaanku. “Teman Abang itu tidak setia. Kenapa dia meninggalkan Abang sendiri di sini?” ucapku santai seraya membersihkan obat yang sudah kering.
“Kamu mengatainya karena menyukainya?” Aku langsung menatap pria itu.
“Aku mengatainya karena dia pantas dikatai. Katanya sahabat tapi pergi saat sahabatnya sakit begini.”
“Abang yang memintanya pergi. Akan berbahaya untuknya yang masih sehat kalau sempat tertangkap. Kalau saya tertangkap, dia harus tetap selamat untuk melanjutkan perjuangan kami.”
“Nama Abang siapa?”
“Ck, kenapa tiba-tiba tanya nama saya? Apa kamu tidak takut kalau tahu siapa saya?”
“Memangnya Abang siapa? Aku hanya takut sama malaikat maut yang datang tiba-tiba menjemputku tanpa sempat mengucap.”
“Nama Abang, Ilham. Lengkapnya Teuku Muhammad Ilham. Ada lagi yang ingin kamu tahu?”
“Abang benar-benar Pang Sagoe?”
“Kalau iya, kenapa? Apa kamu takut?”
“Ya tidak apa-apa. Mau Pang Sagoe, mau Pang-Pang, tidak ada pengaruhnya buatku.”
“Pintar sekali bicaramu. Berapa umurmu?”
“Kenapa tanya-tanya umur? Mau Abang lamar ya? Aku sudah siap untuk dilamar.” Pria itu mengacak gemas rambut hitam milikku. Jangan tanya bagaimana hatiku saat ini. Jantungku berdetak kencang seakan pasokan darah di tubuhku berkurang. Kakiku terasa lemas apalagi melihat pria itu tersenyum ke arahku.
“Kenapa diam? Apa sudah siap?”
“Eh,” aku tersadar ketika dia memanggilku seraya menyentuh lenganku sekilas.
“Kamu memikirkan apa? Takut setelah tahu kamu bicara sama siapa?”
Bibirku mengerucut seraya mendelik ke arah pria dengan sifat percaya diri setinggi itu. “Untuk apa aku takut sama Abang? Aku tekan sekali begini Abang sudah kesakitan.” Benar saja, raut wajah Ilham langsung berubah saat aku dengan isengnya menekan luka di dadanya.
Aku terkejut saat tangannya menarik tanganku lalu tubuhku langsung menabrak tubuhnya yang polos itu. Tatapan matanya menghujam jantungku hingga membuatku langsung menunduk. Aku tidak sanggup menatap matanya, aku kesulitan mengatur nafas saat ini.
“Apa kamu menyukai sahabat Abang?”
“Tidak!” jawabku mantap. Tidak tahukan pria ini jika aku menyukainya. Dirinya lah yang aku sukai bukan temannya.
“Baguslah. Sekarang selesaikan tugasmu!” dia melepas tanganku tanpa kejelasan dari tindakannya yang sudah membuatku panas dingin.
“Kenapa kamu ketus sama tentara tadi? Bukannya setiap gadis menyukai mereka?”
“Itu mereka bukan aku.”
“Kenapa kamu tidak meyukai mereka?”
“Karena aku sudah menyukai orang lain.”
“Oh ya. Siapa?”
***
LIKE...KOMEN...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!