Bismillahirrahmanirrahim..
Kisah ini diangkat dari kisah nyata, namun sebagian adegan dan peristiwa author kembangkan sendiri untuk memperkaya cerita. Jadi tidak murni dari kisah nyata tersebut. Insyaallah kisah ini bisa diambil hikmahnya bagi kita yang sudah berumah tangga. Selamat membaca ya sobat readers...! Semoga suka ya... Mohon dukungannya...! Terimakasih... Syukran Jazakumullah Khairan Katsiran.. 🙏🤗🥰
***
Pagi ini, Anas sedang bersiap-siap untuk menghadiri pernikahan putri pertama bahkan putri satu-satunya dari sahabatnya Martias. Karena anak Martias hanya sepasang. Namun Anas yang bernama lengkap, Muhammad Anas Saputra itu tidak hanya sebagai tamu undangan spesial dari sahabatnya namun ia adalah seorang penghulu yang bekerja di Kantor Urusan Agama (KUA) di kecamatan tempat tinggal mereka, yang sekaligus hari ini bertugas dalam memandu dan mencatat proses pernikahan putri dari sahabatnya itu. Sedangkan yang akan menikahkan mereka nanti adalah Martias selaku ayah kandung mempelai wanita sendiri.
Pikiran Anas melayang pada kehidupan rumah tangganya sendiri.
"Aku adalah seseorang yang sering memberi nasehat bagi pasangan yang akan menikah, namun aku sendiri gagal dalam pernikahanku" Napas Anas tercekat, ia mencoba menarik napasnya pelan semakin dalam kemudian ia hembuskan.
Bayangan setahun lalu muncul kembali dibenak Anas dimana Aina mantan istrinya meminta cerai padanya.
Flashback On
Waktu itu, hari sudah menunjukkan pukul 9 malam. Aina dengan gelisah mondar mandir menunggu kedatangan Anas suaminya didalam kamar di sebuah rumah Minimalis yang mereka bangun bersama setelah menikah. Aina terlihat beberapa kali menarik napas dalam, namun tetap tak mampu menghilangkan kegugupannya.
"Aku dari awal memang tak mencintai mu mas, karena cintaku sudah tertanam kuat di hati seorang pria yang pernah mengisi hatiku dulu. Namun aku memang egois tetap menerima perjodohan itu, walau hatiku keras menolaknya." Gumam Aina sambil menarik dalam napasnya kembali.
Aina mendengar suara kendaraan mobil suaminya memasuki perkarangan rumah.
"Mmmmh, hhhffft, aku harus berani mengutarakannya padanya." Aina keluar menyambut kedatangan suaminya seperti biasanya.
Sebenarnya Aina adalah istri yang baik, hanya saja ia tak sanggup bila memendam rasa itu lebih lama lagi. Apalagi ia sampai sekarang belum bisa melahirkan keturunan buat suaminya dan mertuanya.
Keputusan untuk berpisah semakin kuat ketika Ridho kembali menemui nya sebulan yang lalu dan Ridho terus memepet Aina agar Aina bisa kembali padanya. Aina yg masih mencintai Ridho membuat imannya goyah antara bertahan bersama Anas atau malah kembali pada Ridho, walau Ridho pernah membuatnya sakit hati karena pengkhianatan Ridho yg lebih memilih Rania daripadanya saat itu.
Setelah menyambut suaminya, Aina segera mengambil minum untuk Anas, Anas duduk di meja makan sambil menikmati segelas air yang disodorkan istrinya dan tak lupa mengucapkan terimakasih pada Aina sebelumnya.
Walau tingkah dan sikap Aina sedikit tampak aneh dimata Anas, tapi Anas tak menaruh curiga sedikitpun. Ia memang sedikit lelah setelah pekerjaannya yang agak banyak hari ini sehingga membuat dirinya sedikit pulang terlambat dari biasanya.
"Mas.." Ucap Aina sedikit gugup berniat mengutarakan isi hatinya.
"Iya, mas minta maaf ya, kalau mas pulang terlambat membuat adek gelisah dalam menunggu." Ucap Anas dengan nada bersalah.
"Iya mas nggak apa, tapi bukan itu yang membuat adek gelisah mas."
"Lalu, ada gerangan apa yang membuat adek mas ini gelisah seperti ini?" Sahut Anas lembut sambil berdiri memegang dagu istri nya lembut yang sedari tadi berdiri disampingnya. Anas memang selalu berlaku lembut pada Aina, tak pernah menyakiti hatinya walau berulang kali Aina bicara dengan nada keras karena emosi namun Anas tetap berlaku lembut padanya.
"Aku ingin kita pisah saja mas." Ucap Aina lantang.
Anas seakan berat menarik napasnya, memang keinginan Aina untuk pisah tidak sekali dua kali ia utarakan semenjak beberapa tahun yang lalu, dengan alasan ia merasa nggak enak hati karena tak kunjung hamil, apalagi ia selalu sedih bila melihat ibunya Anas yang sepertinya memang sudah sangat mengharapkan hadirnya cucu dari pernikahan anak laki-laki satu-satunya.
"Masalah anak lagi? Mas kan sudah tegaskan berulang kali, kalau mas tidak mempermasalahkannya."
"Tapi ibu mas.." Nada suara Aina kembali meninggi.
"Kenapa dengan ibu? Bukannya ibu juga tak mempermasalahkannya." Sahut Anas masih dengan sikap lembutnya.
"Tapi aku tak tega mas melihat ibu..." Ucap Aina dengan nada sedikit melunak
"Aina... Mau beberapa kali lagi mas harus mengulangnya bahwa kami tak mempermasalahkannya... Sekarang Tatap mata mas Aina." Ucap Anas yang sudah mulai merasa jenuh dengan permintaan Aina yang meminta pisah untuk kesekian kalinya.
Aina tak mampu menatap mata Anas.
"Aina tatap mata mas! Apa ada kebohongan dimata mas? Atau barangkali Aina sendiri menyembunyikan sesuatu dari mas?"
Aina gelagapan menghadapi pertanyaan Anas, dia tak berani berkata jujur, dan selama ini ia memang benar-benar menyimpan erat perasaannya pada Ridho, ia tak pernah sama sekali menceritakan pada suaminya bahwa ia masih sangat mencintai mantan kekasihnya dahulu. Namun dimata suaminya, Aina adalah istri yang baik yang selalu melayaninya sebagaimana mestinya seorang istri yg sholehah.
"Aku, aku..." Ucap Aina terbata-bata.
Anas dengan sabar menunggu jawaban apa yang akan disampaikan istrinya tanpa menyela sedikitpun.
"Aku, aku... Aku selama ini tak pernah mencintaimu mas, karena cintaku hanya pada Ridho cinta pertamaku."
Lutut Anas serasa lemas mendengar ungkapan perasaan Aina, ia kembali duduk di kursi meja makan. Sambil memijit pelipisnya yang terasa berkedut. Sedangkan Aina langsung memasuki kamar dan menguncinya dari dalam.
"Astaghfirullahal'adzim, maafkan aku ya Rabb, aku ingin mempertahankan rumah tanggaku, namun jika itu yang menjadi alasan istriku untuk pisah aku ikhlas ya Rabb, karena cinta memang tak bisa dipaksakan. Untuk apa mempertahankan sesuatu yang tak bisa kita miliki sepenuhnya. Hatinya masih terpaut pada pria lain. Jika itu yang membuatnya bisa lepas dari kesalahan ini, aku ikhlaskan ya Rabb, aku kembalikan ia pada orang tuanya." Ucap Anas lirih berharap Allah mengampuni dosanya dan meridhoi keputusannya.
Flashback Off
Anas melihat bayangan dirinya dari pantulan kaca, lalu ia merapikan jas yang biasa ia pakai serta kembali merapikan rambut yang sudah memanjang. Memang semenjak perpisahan itu Anas seakan lupa akan penampilannya sendiri. Diusianya yang 35 tahun namun dengan penampilan seperti sekarang Anas bisa dikatakan lebih tua dari usianya.
"Sudah seperti seusia bang Martias saja aku ini, padahal usia kita beda 15 tahun" Gumam Anas sambil tersenyum tipis.
Anas dan Martias tetap bisa bersahabat walau beda usia mereka yang cukup jauh, dikarenakan dulu mereka pernah bertemu di suatu tempat lokasi training di luar kota selama seminggu, mereka yg sama-sama berasal dari daerah yang sama membuat mereka mudah akrab dengan sendirinya.
Martias adalah seseorang yang berkerja dibawah naungan Kementerian Agama juga seperti Anas namun berbeda kecamatan. Sedangkan sekarang Martias sedang sibuk mengurus surat pensiun walau umurnya masih bisa melanjutkan masa dinasnya beberapa tahun lagi namun ia sudah bertekad untuk pensiun lebih awal.
"Assalamualaikum Nas..." Terdengar ucapan salam dari balik pintu kamar Anas yang seketika membuyarkan lamunan Anas.
"Wa'alaimussalam bu, ibu masuk aja nggak dikunci kok."
Pintu pun terbuka, ibu Anas memperhatikan putra satu-satunya dengan memasang raut wajah yang dibuat semanis mungkin. Walau masih ada rasa iba dan kecewa dihatinya, namun ibu Anas berusaha tegar dan ia akan selalu menjadi tempat pulang terbaik bagi anaknya, tempat anaknya kembali mengharapkan belaian kasih sayang dan do'a ibunya dengan harapan agar tetap kuat dalam menjalani ujian demi ujian kehidupan. Ibu Anas mendekati Anas yang masih berdiri didepan kaca.
"Nas, kamu kan sudah satu tahun berpisah, apa kamu nggak ada niat untuk mencari pasangan hidup kembali nak?" Ucap sang Ibu sambil menyambut tangan Anas yang ingin menyalaminya. Sebuah kebiasaan baik yang diajarkan ibunya sedari kecil seakan tak pernah hilang dari Anas apabila ia akan melangkah kaki keluar rumah atau disaat bertemu kembali dengan ibunya.
Anas mencium tangan Ibunya dengan lembut, "Bu, insyaallah jika Allah memang mentakdirkan nanti Anas mendapatkan jodoh Anas kembali, Anas akan ikhlas bu, siapapun nanti orangnya yang penting Ibu mengenalnya dengan baik."
"Insyaallah nak, ibu berharap Allah akan mendatangkan jodoh untukmu sebelum ibu menutup mata ini, ibu memang berharap bisa punya cucu secepatnya, namun ibu akan lebih tenang pergi apabila kamu sudah ada yang menemani hidupmu kembali."
"Sssht, ibu nggak boleh berbicara seperti itu ya... Anas do'akan Allah selalu beri keberkahan umur untuk ibu, sehingga ibu selalu bahagia melihat anak ibu ini, karena kebahagiaan ibu dan Ayah adalah yang utama bagi Anas sekarang." Anas pun mengecup kening ibunya.
"Bu, Anas berangkat dulu ya, salam buat Ayah ya bu..." Tak lupa Anas menitipkan salam untuk Ayahnya yang tidak sedang berada di rumah. Melainkan sibuk di kebun mengisi hari-hari agar tetap bermakna dimasa tuanya.
"Ya nak, hati-hati..."
"Insyaallah bu.." Anas keluar kamar disusul ibunya dan ketika sudah sampai didalam mobil Anas melambaikan tangannya dan disambut dengan senyuman hangat oleh ibunya yang mengantar Anas sampai teras rumah.
"Bismillahirrahmanirrahim" Anas melihat arlojinya sebentar, hari sudah menunjukkan pukul 08.40.
Anas mulai melajukan mobilnya, hinga sampai di rumah Martias tepat waktu sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.
"Jangan buat seseorang mencintaimu jika kamu tak siap tuk berikan hatimu. Cinta tak berbalas itu menyakitkan." (Tausiyah Cinta)
Di rumah Martias, semua keluarga kedua mempelai, kerabat dan tetangga yang diundang sudah tampak memenuhi ruangan tamu yang menyatu dengan ruangan tengah yang cukup luas.
"Pak, Buk, Penghulunya sudah datang." Seorang kerabat laki-laki tampak baru masuk dan memberi tahu bahwasanya Anas selaku penghulu sudah sampai di depan rumah.
Pak Martias langsung berdiri berniat menyambut tamu agung, sahabat sekaligus orang yg akan memandu dan mencatat proses pernikahan putri pertamanya.
Anas masuk mengucapkan salam, dan hampir semua yang hadir serentak menjawab salam dan merasa lega karena yang sangat ditunggu kehadirannya sudah datang. Martias langsung menjabat tangan Anas lalu berpelukan. Kemudian mempersilahkan Anas duduk ditempat yang sudah disediakan.
Mempelai pria yang bernama Febrian Alfiano yang kerap disapa Alfian tampak semakin tegang saat Anas Sang Penghulu mendekati tempat duduknya tepat di samping calon Bapak Mertua yang duduk berhadapan dengannya. Ia masih teringat jelas saat ia dengan putri Pak Martias yang ketika itu berada di Kantor Urusan Agama (KUA) 2 minggu yang lalu diwawancarai dan Anas lah yang memberikan nasehat panjang lebar mengenai persiapan sebagai calon pengantin.
Nasehat-nasehat itu berisikan sebagai rambu-rambu yang mesti dipedomani oleh catin (calon pengantin) dalam menempuh hidup berumah tangga. Hal itu dilakukan untuk menjaga keutuhan dan kelanggengan rumah tangga dan untuk membatasi dan mengurangi angka perceraian.
Yang pertama adalah dengan meniatkan menikah karena Allah untuk beribadah kepada-Nya. Kedua, melaksanakan kewajiban kepada-Nya dengan tidak meninggalkan sholat lima waktu. Ketiga, paham akan apa saja kewajiban sebagai suami atau istri karena dengan begitu secara tidak langsung mereka sudah menerima haknya masing-masing. Keempat, jauhi larangan-larangan dalam pernikahan seperti tidak meniatkan nikahnya sementara, tidak menyamakan pasangan dengan orang tua mereka, tidak melanggar sumpah dan mereka tidak saling tuduh berselingkuh. Kemudian yang kelima, laksanakan kewajiban terhadap anak jika nanti dikaruniai anak. Seperti mengazankan diwaktu lahirnya, memberikan nama yang terbaik, memberikan makanan yang halal lagi baik, memberikan pendidikan terutama pendidikan agama dan menikahkan mereka apabila sudah sampai umurnya.
"Bismillahirrahmanirrahim, bagaimana Alfian apa saudara sudah siap? Atau apa perlu saya mengulang beberapa nasehat lagi?" Ucap Anas tegas namun seperti berusaha menutupi kegugupannya.
Entah kenapa semenjak pertemuan pertamanya dahulu di kantor KUA, perasaan dan desiran aneh itu seperti mengalir begitu saja. Anas memang sebelumnya belum mengenal anak-anaknya Martias. Namun ia sekarang tahu bahwa gadis yang datang ke kantornya dulu bersama pemuda didepannya ini adalah putri sahabatnya sendiri.
Anas mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Tak biasanya ia seperti ini, sudah ratusan pasangan yang ia hadiri dan memandu acara pernikahan mereka. Namun baru kali ini ada perasaan tak ikhlas muncul di hati Anas.
"Tidak pak, nasehat-nasehat bapak masih terekam jelas dibenak saya." Ucapan tegas Alfian membuat Anas harus mengucapkan istighfar berulang kali dalam hatinya. Agar hatinya kembali tenang.
"Masyaallah, baik pak Martias, kalau begitu kita mulai acaranya." Ucap Anas secara formal kepada sahabatnya Martias yang biasanya ia panggil dengan sebutan bang Martias itu.
Sedangkan mempelai wanita masih berada didalam kamar pengantin, dengan jantung yang terasa terpompa lebih cepat dapat mendengar jelas apa yang berlangsung diluar kamarnya.
Acara pernikahan pun dimulai, Hani pun mendengar jelas suara Alfian mengucapkan ijab kabul dengan lantang hingga terdengar sahutan suara berkata Sah. Hani sampai menitikkan air matanya sambil berdo'a lirih pada Rabbnya. "Ya Allah, Alhamdulillah segala puji hanya untukmu. Hamba sekarang sudah sah menjadi milik Alfian, ridhoi rumah tangga kami, bantu bimbing hamba agar bisa menjadi istri yg Sholehah, Aamiin."
Terdengar suara pintu terbuka, Hani terkesiap karena ia melihat Tantenya masuk. "Han, udah waktunya keluar." Ucap Tante Hani sambil tersenyum lalu membimbing Hani keluar kamar.
Semua proses berjalan dengan lancar, dan selanjutnya diikuti dengan acara resepsi pernikahan yang dihadiri oleh tamu undangan. Dan saat ini adalah pertemuan kedua Anas bertemu dengan Hani putri sahabatnya. Perasaan dan desiran aneh itu muncul kembali ketika Anas tak sengaja menatap mata Hani. Namun ia langsung menampiknya, karena ia tahu ini adalah sebuah kesalahan.
Pernikahan yang lancar namun siapa yang menyangka pasangan yang sudah sah menjadi suami istri tersebut sebelumnya sangat sulit mendapatkan restu dari keluarga Martias.
Flashback On
Hanifah Putri yang akrab disapa Hani adalah putri pertama dan putri satu-satunya dari dua bersaudara dari pasangan suami-istri, Bapak Martias dan Ibu Mala Sari. Hani sudah berusia 24 tahun.
Hani pun sudah mempunyai pekerjaan tetap yaitu sebagai salah satu Pegawai Negeri Sipil disebuah rumah sakit di Ibukota semenjak satu tahun yang lalu.
Pertemuannya dengan Alfian pertama kalinya disebuah kantin di kampus saat Hani masih kuliah di tingkat pertama. Jurusan mereka berbeda namun masih satu kampus yang sama.
Pertemuan demi pertemuan ternyata tak bisa dielakkan, mereka ternyata sama-sama saling menyukai, walau Hani tahu sifat Alfian yang egois dan gampang marah, namun Hani seperti seorang ibu yang mengerti akan sifat anaknya. Hani begitu sabar menghadapi sikap Alfian yang kadang masih belum mandiri. Kekurangan Alfian tersebut seolah tertutup dengan rasa cinta yang besar yang ia miliki untuk Alfian.
Dan tepat disaat ia diangkat menjadi salah satu pegawai negeri di sebuah rumah sakit di Ibukota, Hani seolah siap untuk melanjutkan hubungan mereka kejenjang pernikahan walaupun Alfian masih belum mendapatkan pekerjaan.
"Kamu yakin nak akan menikah dengan Alfian?" Ucap Bu Mala, ibunya Hani di saat mereka telah menyelesaikan makan malam diruang makan yang menyatu dengan dapur bagian belakang rumah mereka. Tadi siang Alfian memang datang ke rumah mereka demi meminta restu agar ia bisa menikah dengan Hani.
"Iya ma, insyaallah Hani yakin ma?" Ucap Hani sambil menunduk, ia tak berani menatap wajah Pak Martias papanya yang duduk tepat di depannya di samping mamanya.
Tampak Ibu Mala menghela napasnya berat. Ia dengan suaminya Martias ketika pertama kali mengetahui Hani punya hubungan spesial dengan Alfian sempat shock, karena Ibu Mala sangat mengenal keluarga Alfian. Dan merekapun sudah berdiskusi bersama sanak saudara, memang kebanyakan dari mereka tak menyetujui hubungan Hani dengan Alfian. Mereka seolah mengenal betul bagaimana karakter Alfian dam keluarganya. Adik laki-laki Ibu Mala atau Paman Hani sempat memberi tahu keberatannya menerima Alfian pada Hani.
Begitu juga dengan Pak Martias yang jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaan nya saat Alfian pernah datang kerumahnya pertama kalinya.
Namun Hani tetap bersikeras dan yakin akan pilihannya. Sehingga tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi, merekapun terpaksa merestui. Karena tak baik menghalangi niat seseorang yang sudah saling suka dan sudah berniat untuk menikah. Demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan terjadi dan mereka bisa segera terikat dengan hubungan yang halal dari segi Agama dan sah dimata Agama. Karena betapa banyak pasangan yang nekad menikah secara siri dikarenakan hanya tak mendapatkan restu dari orang tua. Walau dalam islam nikah siri diperbolehkan, tetapi tetap harus memenuhi syarat dan rukunnya seperti adanya 2 orang saksi yang adil, serta adanya Ijab dan Kabul. Tapi jika pernikahan siri itu dilakukan tanpa adanya wali nikah maka pernikahan tersebut tidak sah dalam agama.
Pak Martias mendengar jawaban dari anak perempuan satu-satunya itu langsung berdiri dari duduknya.
Hani yang melihat papanya berdiri, ia langsung menghampiri papanya lalu
bersimpuh sambil memegang kedua tangan papanya, ia berucap dengan suara yang bergetar karena menahan tangis.
"Pa, tolong restui Hani sama Alfian pa... Hani janji apapun nanti terjadi dalam rumah tangga Hani, Hani tak akan mengeluh pada Papa dan Mama, tolong Hani pa, Hani sangat mencintai Alfian." Tangis Hani pun pecah.
Pak Martias tak tega melihat anak perempuan satu-satunya yang sangat ia sayangi dan ia jaga sebaik-baiknya selama ini, menangis bersimpuh dihadapannya. Ia hanya bisa mengangguk pelan dan senyuman yang terbit di wajah putrinya cukup membuat ia akhirnya berlapang dada menerima Alfian sebagai calon menantunya.
Flashback Off
"Akan ada yang menetap bersamamu, dan juga ada yang sementara, agar kamu mendapatkan pelajaran darinya, ataupun hanya sebagai pemanis yang menusuk dalam cerita kehidupanmu." (Tausiyah Cinta)
Hari sudah sore, kebetulan setelah selesai urusannya di rumah Martias, Anas langsung menuju lokasi kedua melanjutkan tugasnya sebagai Penghulu. Hari ini ada tiga pasangan pengantin yang menikah. Sehingga Anas baru bisa pulang setelah melakukan sholat Ashar di Mesjid dekat rumah pengantin yang ketiga. Anas selalu berusaha melakukan kewajibannya sebagai hamba-Nya dengan melaksanakan Sholat lima waktu tepat waktu dengan berjamaah di Mesjid atau Mushalla dimana pun posisinya yang terdekat saat itu.
Diperjalanan pulang Anas tak sengaja melihat ke arah Barbershop, yang kebetulan lagi sepi pengunjung. Ia jadi ingin mampir walau tempat itu bukan tempat langganan biasanya.
"Mumpung masih hari Jum'at" gumam Anas dalam hati ketika memasuki Barbershop tersebut. Anas seakan takut akan kehilangan pahala sunnah apabila ia memotong rambutnya dilain hari. Walaupun beberapa pendapat lain mengatakan memotong rambut tidak mesti di hari tertentu melainkan tergantung kebutuhan.
Setelah hampir satu jam, Anas pun tersenyum melihat hasil kerja sang Barber. "Alhamdulillah, akhirnya bisa kelihatan muda lagi saya ya bang." Ucap Anas pada sang Barber.
"Alhamdulillah pak, eh bang, abangnya juga cakep." Ucap sang barber sambil malu-malu, ia yang tadinya menyapa Anas dengan panggilan bapak namun setelah melihat hasil karyanya, ia pun terkagum sendiri, ternyata pelanggannya masih muda dan tampan.
***
Minggu pertama pernikahan dilalui Hani dengan manis, seperti layaknya pengantin baru yang lagi candu-candunya merasakan kenikmatan dunia yang dikaruniakan oleh Sang Pemberi kehidupan bagi pasangan yang sudah halal. Walau Alfian suaminya jarang terlibat komunikasi dengan orang tuanya namun Hani mencoba mengerti mungkin Alfian butuh waktu agar bisa dekat dengan orang tuanya, apalagi Hani tahu Papanya Hani masih agak canggung bila berhadapan dengan Alfian.
Alfian pun akan keluar kamar apabila Mama dan Papa Hani sudah berangkat kerja. Mama Hani masih aktif mengajar di sebuah sekolah Menengah Pertama sedangkan Papa Hani sedang menikmati masa tahun akhir dinasnya karena tepat tahun depan di bulan kelahirannya, Papa Hani akan mengakhiri masa dinasnya alias pensiun.
Apabila tiba waktu makan, Alfian sering minta dibawakan makanannya kedalam kamar, sedangkan Hani kembali makan bersama kedua orang tuanya. Sebenarnya Hani jadi dilema antara menimbang perasaan orang tuanya atau patuh pada suaminya. Tapi sepertinya Alfian tidak mempermasalahkan Hani mau makan dimana, yang penting ia makan didalam kamar. Alfian seperti menghindari kontak fisik dengan Papa dan Mama Hani.
Hani memang sedikit merasa risih dengan sikap dan prilaku suaminya yang seolah tidak mau berusaha mengambil hati orang tuanya.
Dan ujian pertama dalam rumah tangga merekapun terjadi disaat Hani sudah masuk kerja, karena masa cuti nikahnya sudah habis.
"Bang, bang Alfian bangun bang, Hani mau bicara sebentar bang." Ucap Hani sambil mengguncang pelan pundak suaminya. Ia yang sudah siap untuk berangkat kerja mencoba membangunkan Alfian yang sengaja mengulang tidurnya kembali setelah meminta haknya kembali sebagai suami setelah subuh tadi. Hani sengaja berangkat lebih awal karena jarak dari rumahnya ke Ibukota cukup memakan waktu perjalanan selama satu jam bila macet.
"Apaan sih Han? Masih ngantuk nih..." Ucap Alfian berat dan sedikit emosi karena tidurnya terganggu.
"Hani mau berangkat kerja bang.."
"Ya udah pergi aja sana kerjanya, apa susahnya sih."
"Tapi Hani mau ngomong sesuatu dulu sama abang."
"Ngomong apaan sih?"
"Itu bang, untuk sarapannya sudah Hani siapkan di meja makan, abang ambil dan makan sendiri saja nanti ya."
"Eh, tunggu dulu, apa katamu?" Sahut Alfian membuat Hani sedikit kaget.
"Abang makannya nanti di meja makan saja, Hani merasa nggak enak sama Mama dan Papa kalau abang makannya terus dibawain ke dalam kamar."
"Eh apa maksudmu, nggak enak sama Mama Papa, haaa?" Alfian mencengkeram dagu Hani dengan kuat.
"Lepasin bang, maaf... maksud Hani abang coba sesekali bergabung di meja makan dan ngobrol-ngobrol sama Mama dan Papa." Ucap Hani memelas agar Alfian bisa segera melepas cengkraman tangannya.
"Nggak mau, pokoknya kamu harus bawain sarapan abang kesini, oya sekalian tinggalin uang buat ongkos dan jajan abang hari ini, abang mau ke rumah ibu." Ucap Alfian penuh penekanan, ia tahu kedua mertuanya akan berangkat kerja sekitar satu jam lagi karena jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh dari rumah. Sedangkan ia merasa perutnya sudah keroncongan akibat aktivitas semalaman sang pengantin baru yang seolah masih tiada lelahnya.
"Bang, Hani bukannya nggak mau ngasih uang buat abang, tapi apa abang nggak berniat melamar pekerjaan lagi?" Ucap Hani hati-hati. Ia tahu Alfian dulu berjanji setelah menikah ia akan mencoba mencari pekerjaan lagi. Setelah selama ini, ia belum mendapatkan pekerjaan yang cocok. Setelah satu minggu menikah, Hani tak melihat niat Alfian sedikit pun untuk mencari tahu akan lowongan pekerjaan untuk dirinya.
"Udah, pergi sana, cerewet amat sih jadi orang." Bentak Alfian pada Hani sambil mendorong tubuh Hani, beruntung Hani tidak sampai jatuh dan ia cepat tersadar agar tidak mengeluarkan suara jeritan karena kaget. Hani takut Mama dan Papanya mendengar dan akan salah paham. Masih beruntung jarak kamar Hani dengan orang tuanya berjauhan.
"Eh tunggu, jangan lupa tu uang dan makanannya taruh di situ tuh!" Seru Alfian sambil menunjuk meja kecil yang ada dikamar mereka, seperti biasanya Hani menaruh makanan untuk Alfian disana.
"Astaghfirullah, ya Allah, apakah ini ujian buat hamba..? Aku harus bersabar dengan sikap bang Alfian, semoga sikapnya nanti bisa berubah." Hani hanya mampu bermunajat dalam hatinya, lalu ia keluar kamar dengan raut wajah yang dibuat seceria mungkin. Ia khawatir orang tuanya menaruh curiga bila melihat wajah muram anaknya.
"Han, suamimu masih belum bangun ya?" Sapa Bu Mala mengagetkan Hani ketika Hani sedang fokus menyiapkan sarapan untuk Alfian yang akan ia bawa masuk kedalam kamar. Hani pun hanya menjawab dengan gelengan kepalanya sambil memaksakan diri untuk tersenyum.
"Trus itu sampai kapan suamimu makan didalam kamar terus Han?" Tanya Bu Mala kembali dengan wajah agak kesal.
"Maafin bang Alfian ya ma, nanti Hani akan coba mengajak bang Alfian lagi agar mau makan bersama dengan Mama dan Papa." Ucap Hani dengan nada memelas berharap Mamanya mengerti akan sikap suaminya.
"Permisi ya ma, Hani kedalam dulu." Hani mencoba menarik napasnya dalam. Ia tahu Mamanya pasti marah dengan sikap suaminya. Apalagi dulu mama sudah melarang Hani untuk melanjutkan hubungannya dengan Alfian. Sekarang Hani harus siap menanggung semua resiko atas pilihannya sendiri.
***
"Pilihlah Lelaki yang baik agamanya, jika marah tidak menghina, bila cinta akan memuliakan." (Tausiyah Cinta)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!