NovelToon NovelToon

Penjelajah Ghaib (Perkumpulan Pawang Ghaib)

Bab 1 : Katanya, itu Wong Medi!

Aku tidak sendiri! Bahkan ketika aku merasa sendirian di sini. Rupanya ada saja sesuatu yang mengawasiku. Malam ini hujannya cukup deras, dan aku mendekam di kamarku.

Ibunda bilang padaku bahwa ia akan pulang cukup larut. Ah, itu sudah terbiasa. Lagi pula, keluarga kami sejak dulu berprofesi sebagai perias mayat.

Aku bergumul di dalam selimutku sendiri, sambil membaca lembaran buku yang kubawa. Ini kisah jelek menurutku, kisah tentang setan tanpa kepala yang katanya bergentayangan tiap malam.

Kerupuk kulit yang kunikmati mulai berkurang, sebab kumakan. Suara tetesan air hujan masuk ke dalam kamarku. Aku sudah memberi baskom di area itu, supaya airnya tidak melebar kemana-mana.

Kamar ini remang, pencahayaan rumah kami memang selalu remang saat malam. Lampu kuning sejak dulu sering kami gunakan. Ibunda tidak memperbolehkan aku menggantinya dengan yang cerah.

Katanya penerangan temaram lebih baik. Sebab kerabat yang mati, akan senang datang kemari nantinya. Ya, itulah katanya! Mereka yang berada di kegelapan hampir tiap malam kemari.

Ibunda senang mengkoleksi setan. Aku cukup heran sebagai anaknya di sini. Lagi, sejak bayi aku sudah terbiasa untuk itu. Rasanya mentalku sudah sekuat baja.

Entah itu cuma sekedar lewat dengan bahak tawa khas, beserta rambut yang menjuntai. Atau sekedar mengagetkanku saat menimba di sumur. Sepotong kepala dengan mata hilangnya.

Atau mungkin, beberapa dari mereka berlarian menyusuri tiap area rumahku. Menabrak-nabrak tembok menembusnya, tanpa khawatir tubuhnya remuk dan sakit. Andai saja, aku juga bisa seperti itu mungkin keren juga!

Tiap malam selalu bising! Malam seharusnya tenang, bukan? Namun ini selalu bising. Walaupun aku mencoba menutup kedua telingaku, itu masih tetap terdengar.

Bayangkan, aku mendengar dua suara sekaligus dalam telingaku. Suara mereka, setan tak berakhlak. Lalu suara para manusia, entah itu ibundaku atau mungkin tetangga yang bertamu.

"Hei..."' lirih seorang bocah kecil berambut pirang datang padaku.

Bocah ini, datang lagi. Padahal aku sudah menyuruhnya pergi beberapa kali. Aku diam, fokus pada buku milikku.

"Hei!" ucapnya lagi menyapaku, kali ini kepalanya menyembul dari dalam bukuku.

Sontak aku melempar bukuku ke depan sampai terjatuh. Dan dia malah berada di hadapanku sambil tertawa. Ekspresi wajahku yang terkejut membuatnya senang rupanya. Raut wajahku murka tertuju padanya, hal itu membuatnya menunduk.

"Maaf! Aku hanya ingin berteman! Ini sudah berlangsung cukup lama loh! Dan kamu masih mengacuhkanku!" ucapnya sambil memainkan jari jemarinya.

Sejujurnya, mau dilihat dari sisi manapun. Bocah ini sangat lucu. Tidak ada genangan darah di wajahnya. Namun ciri khas orang mati masih ada di sana. Yaitu, wajahnya pucat pasih, bibirnya membiru, dan ya, kedua matanya menghitam.

Aku paham, ini adalah wujudnya sebelum mati. Setelah mati, biasanya akan sangat menyeramkan. Dia sudah mendekatiku cukup lama, mungkin sudah ada lima tahun dan aku tetap diam.

Dia juga sering bermain dengan Ibundaku. Ibundaku selalu memberinya permen kapas besar. Permen kapas itu akan di taruh tiap Jumat di sudut dapur. Lalu keesokan paginya, permen kapas itu akan dibuang begitu saja. Padahal masih utuh.

Penasaran, aku pernah mencobanya sekali ketika akan membuangnya. Rupanya, permen itu tidak lagi manis. Rasanya hilang, Ibunda mengatakan bahwa inti sari dari permen itu sudah diambil olehnya.

Ya, sudah! Sepertinya dia memang baik. Aku pun duduk bersila menghadapnya. Dia masih tersenyum kepadaku. Rumah milikku tingkat tiga, dan kamarku berada di lantai dua. Sedangkan lantai tiga rumah kami, adalah tempat menaruh pusaka-pusaka.

Di sana ada buyut, buyut yang usianya sudah cukup lama. Tubuh keriput itu sudah mati sangat lama, dan dia masih bersemayam di sana menjadi wong medi. Sebutan bagi para setan dari orang Jawa.

"Kenapa kamu tertawa? Apa yang sedang kamu tertawakan?" tanyaku kepadanya.

Dia hanya menutup kedua mulutnya sambil tetap menahan tawanya.

"Aku senang melihat kamu kaget seperti itu!" ucapnya lagi padaku.

"Sumber energimu, ya?" sindirku padanya.

Lalu dia hanya mengangguk mengulurkan tangannya kepadaku. Aku hanya terpaku menatap itu. Jabat tangan itu tidak berguna rasanya. Sebab kami tidak akan bisa bersentuhan.

"Jabat tanganku! Ayo kita berteman, Rachel!" ucapnya lagi kepadaku.

Aku menjabat tangannya. Benar, bukan? Tangannya tak tergapai, tembus tidak tersentuh.

"Tanganmu hilang! Beli lagi yang bisa kusentuh sana!" jawabku padanya sambil memainkan tanganku diantara tangannya yang tembus ketika kusentuh.

Dia menekuk mukanya, lihatlah bocah ini! Mungkin sebentar lagi dia akan menangis akibat ulahku. Biar saja, aku memang sengaja membuatnya begitu.

"Jahat sekali!" ucapnya sambil menangis.

Ini lucu, bahkan dia sama sekali tak mampu mengeluarkan air mata. Wajahnya jadi menggemaskan di sini. Andai bisa kusentuh, mungkin sudah kubuat habis wajahnya sekarang.

"Baiklah, siapa namamu?" tanyaku kepadanya.

Dia mengangkat kepalanya lalu kembali menemukan bahagianya.

"Aku Barend, Barend Van Deiderick!" jawabnya begitu riang.

Ah, tentu saja! Rupanya dia ini warga Belanda. Itulah mengapa Ibunda sangat menyayanginya. Entah darimana Ibunda mendapatkannya. Apa mungkin dia menjelajahi rumah bekas orang Belanda? Ah sudahlah, itu tidak penting juga!

"Ibunda memungutmu di mana?" tanyaku kepadanya sambil berpikir mencoba menebak-nebak jawabannya.

"Yang jelas bukan di tempat sampahkan?" jawabnya kepadaku sambil masih tersenyum.

"Kamu ini kenapa sangat suka dengan ruangan temaram? Kamu bukan anggota kita, tapi sangat menyukai gelap ya?" tanyanya lagi kepadaku sambil netranya memperhatikan atap rumahku.

Aku hanya membuang kasar nafasnya. Benar juga, aku bukan warga ghaib tapi pawangnya. Kenapa harus ku redupkan seluruh pencahayaan di sini. Mungkin ketika Ibunda pulang, aku akan memprotesnya.

"Orang tua di atas dia selalu diam! Dia tidak pernah mengusir setan negatif di sini ya? Padahal dia pemilik rumah ini!" Barend berkata kepadaku perihal setan negatif.

"Maksudmu buyut?" tanyaku kepadanya mengenai orang tua yang dia maksud.

"Ya,ya,ya! Ada seorang lelaki besar dengan cakar panjang di dapurmu tiap malam. Matanya merah marah, dan taringnya panjang sekali! Padahal di sana Ibundamu memberiku hadiah, tapi aku tidak berani menjangkaunya. Maukah kau membantuku?" tanya Barend kepadaku.

Sudah kuduga akan jadi begini. Itulah mengapa aku menutup lingkup kemampuanku untuk makhluk sepertinya. Sebab mereka pasti akan meminta tolong padaku, dan aku benci itu.

"Tidak!" jawabku singkat lalu menarik selimutku mengacuhkannya.

"Ahhhh... Bantulah aku, aku akan membantumu nanti!" ucapnya sambil melayang terbang ke sampingku mencoba menatapku lagi.

Aku memejamkan kedua mataku. Walaupun begini aku tetap masih tidak bisa tidur. Sial bocah dungu ini memang! Suaranya tidak berhenti, masih saja merengek seperti bayi!

"Yowes! Kamu, ikut aku sekarang!" Murkaku sambil melepas selimutku lalu duduk.

"Terima kasih!" ucapnya girang sambil melayang-layang di udara.

Aku mengambil sesuatu dari dalam laci. Ah ini dia, jimatnya Mbah kung. Pokoknya kalau sudah pakai ini, setan manapun pasti akan takut. Mereka pasti ngacir ketakutan. Jimat itu berupa kalung dengan batu merah delima di tengahnya. Warisan keluargaku.

Jimat sudah dipakai, aku bersama Barend mulai menuruni anak tangga. Hanya ada bunyi suara langkah kakiku di sana. Sunyi memang, tak ada siapapun hanya diriku saja hidup dan bernafas di sini malam ini.

Setibanya kakiku menghadap pintu dapur, aku diam sejenak. Dancuk!. Batinku, gila auranya kelam sekali. Namun, jika tidak di selesaikan sekarang. Bayi setan di belakangku pasti terus nangis.

Pokoknya malam ini harus selesai! Aku ngantuk!. Batinku lagi, lalu memberanikan tanganku membuka pintu dapur itu.

Sepasang mata merah menatapku lekat. Tubuhnya hitam pekat, dipenuhi bulu. Lidahnya menjulur dengan taring-taring di mulutnya. Sosok itu menatap benci ke arahku, hanya ada geraman untuknya dariku. Namun sosok itu tidak berani maju mendekatiku.

Aku merasa seperti jagoan di sini. Keberanian kakiku maju mendekatinya, sekalipun sejujurnya jantungku rasanya mau minggat saja rasanya.

Itu Genderuwo! Wong medi iku sing senengane ganggu wong wedok nak alas, nak! Cah kae ilang-ilangan di singitno Genderuwo!. Ujar satu suara salah satu khodam milikku.

(Itu Genderuwo! Orang mati itu yang suka ganggu perempuan di hutan, nak! Anak itu hilang di sembunyikan Genderuwo!)

Sosok ratu, yang kata Ibunda bersemayam dalam tubuhku. Aku hanya mengangguk saja mengerti. Ketika aku semakin dekat, aumannya juga semakin keras. Namun aku masih tetap maju. Pada akhirnya Genderuwo besar itu menghilang.

"Wah terima kasih, Rachel!" teriak Barend muncul di hadapanku.

Sumpah serapah jelas aku suarakan untuknya. Setan Iki!. Pikirku lalu pergi meninggalkannya sendiri di dapur. Sepertinya dia tidak peduli lagi padaku, sebab permen kapas yang Ibunda berikan sudah aman. Aku yakin, dia pasti sedang menyantapnya sekarang.

Bab 2 : Alam Sebelah

Kalau waktu terus berputar. Artinya akan ada saja perubahan yang terjadi. Bumi, Masa, Bangunan, Manusia mereka akan berubah-ubah seiring waktu berjalan. Mataku sejak tadi menari-nari mencari keberadaan papan petunjuk.

Ojek gila!. Pikirku sambil menatap ke samping.

Jalanan aspal landai, kami lewati bersama sejak tadi. Ojek ini adalah adikku sendiri, Marsya. Kira-kira sudah ada tiga bulan dia berprofesi sebagai gojek. Sengaja memang aku pesan jasanya.

Selain nanti bisa di nego, bisa juga aku omeli dia nanti jika salah jalan. Marsya, dia juga sama bisa melihat hal-hal ghaib sepertiku. Ya, mau gimana? Sesepuh kami sejak dahulu seorang cenayang.

Semacam kepala adat di daerah ini. Banyak sekali ritual yang sering leluhur kami selenggarakan. Masyarakat juga tentunya akan ikut juga. Kami beragama Islam semua sekeluarga.

Tapi ilmu Kejawen masih tetap melekat pada kami sekeluarga. Ilmu ini turun temurun. Dan rata-rata turunan kami memiliki mata batin, peka terhadap hal-hal ghaib.

Sekarang aku dan Marsya dibekali tiga rantang makanan. Ibunda menyuruhku untuk mengantarkan ini ke rumah temannya.

Selain menjadi perias mayat juga yang memandikannya. Beliau juga meladeni request warga desa atau teman dari desa lain, jika ada permintaan dibuatkan makanan. Semacam usaha catering sederhana ala Ibunda.

Memang tidak selalu ada pesanan setiap hari. Tetapi jika ada, keuntungan yang Ibunda raup cukup banyak.

Ini hari Kamis malam Jumat. Kira-kira sudah sekitar dua setengah jam kami beroperasi di jalan setapak ini. Dulu kami pernah diajak kemari oleh Ibunda. Rasa-rasanya perjalanannya tidak sampai selama ini.

Seingatku dulu waktu kami berangkat bersama Almarhum Abah, hanya memakan waktu sekitar satu jam setengah. Tapi ini benar-benar lama.

"Mbak, ini bener, kan?" candaku kepada adikku sebab ini sudah mau petang dan sejak tadi hanya jalan setapak yang kami lewati, tak ada tikungan ataupun gapura.

Tak ada rumah-rumah ataupun warung. Rasanya seperti, cuma kami saja yang hidup di sini.

"Duh, Mbak! Perasaan ya, wis bener kok!" jawabnya kepadaku.

Mataku kembali memperhatikan pepohonan. Langit di atas sana tertutupi pohon-pohon besar. Lembayungnya terlihat tidak terlalu jelas, cahaya samar-samar itu masuk perlahan di antara hutan. Remang pencahayaan di sini. Bahaya jika saat malam datang kita masih di sini.

"Hp?" ucap Marsya lalu berhenti di pinggir jalan.

Dari dalam saku dia mengeluarkan ponselnya. Mengotak-atik layar ponselnya dengan jarinya.

Jam di sana menunjukkan pukul lima sore. Artinya sebentar lagi magrib menjelang, purnama akan datang. Dan gelap akan semakin petang membutakan mata kami.

Bukan kegelapan yang kami takutkan, tetapi sesuatu yang ada di dalam kegelapan itu.

"Duh!" protes Marsya sambil celingukan menatap sekelilingnya.

"Ada apa?" tanyaku kepadanya, sepertinya akan ada berita buruk yang dia lontarkan.

"Sinyale gak ada!" jawabnya padaku.

Ya, jelas saja itu lumrah! Di hutan, bagaimana sinyal bisa ada. Sinyal ponsel akan habis ditambah kita sedang ada di ketinggian. Area desa yang kami tuju letaknya naik lebih ke atas daripada desa kami.

Tanjakan semakin curam. Belantaranya juga semakin rimbun. Suara-suara binatang hutan, tentu saja bersaut-sautan. Sunyi tidak ada siapapun di sana kecuali kita berdua.

"Gimana ini? Lanjutkah, apa pulang?" tanya Marsya padaku.

Aku hanya mampu membuang kasar nafasku. Dalam hati tentu saja aku mengumpat.

Lembayung kutatap dengan kedua mataku, lekat. Di sela-sela kesibukan kami yang tak jelas.

Seorang pria berpeci putih, berbaju kokoh putih, dan bersarung, sambil mengendarai motornya melewati kami. Sontak aku menunjuknya ketika dia sudah melewati kami.

"Sya, itu, ikuti itu! Barangkali ada jalan!" ucapku pada Marsya.

"Oke, oke!" jawabnya, lalu menghidupkan lagi mesin motornya.

Kami berdua berjalan santai mengikuti kecepatan motor Bapak berpeci itu. Anehnya jalanan yang kami ikuti semakin mengecil. Tetapi, jalanannya tetap bagus.

Biasanya apabila kami masuk ke dalam desa pelosok, jalanan bebatuan makadam akan sering kami temui. Tapi, ini tidak. Jalanan ini mulus sama sekali tak berlubang.

Langitnya semakin petang, hanya ada penerangan dari lampu motor kami. Kiri kanan kami pepohonan besar. Dan aku hanya mampu menunduk tidak berani menatap kiri kanan jalan.

Telingaku mulai mengenali tiap suara yang menggema di antara pepohonan itu. Suara mbak Kunti, adalah yang paling nyaring di sana. Bising, seperti konser saja rasanya di sini.

Rimbun sekali, petang, sesekali kedua mataku tak sengaja menangkap sepasang mata merah yang mengintai.

Tidak terasa, rupanya kami sudah mengikuti Bapak berpeci itu cukup jauh dan lama. Aku membuka ponsel milikku, lantas aku terbelalak ketika melihatnya. Di sana tepat pukul delapan malam.

"Tanjakan mbak!" seru Marsya padaku.

Kepalaku yang menunduk terangkat ketika mendengar seruannya. Benar, itu tanjakan.

Apa jalannya sudah berubah?. pikirku sambil menatap ke depan.

Ketika motor kami naik semakin tinggi menanjak ke atas, lalu turun kembali menemui jalan landai. Motor kami, mati saat itu juga beserta lampunya.

Dancuk!. Umpatku dalam hati. Bisa-bisanya motor ini mati dalam keadaan ini. Baik aku dan Marsya, kami berdua sama-sama syok.

Benar-benar gelap tidak ada apapun di sini. Hanya suara binatang-binatang kecil seperti jangkrik, burung hantu dan sebagainya.

Aku yang panik sontak menyalakan lampu flash ponsel, mengarahkannya ke arah depan. Takutnya, nanti ada mobil lewat lalu tidak menyadari keberadaan kami. Jujur saja, kami takut ditabrak!

"Kok mogok?" seru Marsya geram, dia turun dari motornya begitupun dengan aku.

Aku bersimpuh menatap ke arah motornya yang bermasalah. Memberi penerangan di sana untuk mencoba mencari masalahnya.

Benar-benar motor kurang ajar!. Pikirku, mengumpat lagi.

"Mbak, ini udah gak bener mbak! Panggil Nyai, Mbak!" perintah Marsya kepadaku.

Benar, apa yang dia katakan. Kenapa sejak tadi aku tidak memikirkan itu?

Di sana aku mulai memejamkan kedua mataku, mencoba memanggil Nyai. Sosok ratu yang menjaga keluarga kami. Tapi, nempelnya dia hanya padaku. Aku tidak begitu tau dan paham darimana asal muncul dia.

Nyai!. Batinku, aku memanggilnya hingga tiga kali. Tidak biasanya sosok itu serewel ini. Biasanya panggilan pertama saja dia pasti langsung datang.

Oke, ini sudah di luar nalar. Resiko memang menghantar makanan sore melewati hutan. Ditambah, aku dan adikku adalah manusia paham ghaib. Mereka pasti mengincar kami.

"Ora teko wonge!!!" pekik diriku murka kali ini.

Lalu Marsya menunjuk ke arah belakang tubuhku. Dengan mata yang membulat, mimik muka yang membeku ketakutan. Aku yang penasaran pun menoleh.

Opo-opoan iku!. Batinku, bulu kudukku berdiri seketika. Meriang rasanya aku di sana.

Kira-kira jaraknya sekitar sepuluh langkah dari tempat kami berdiri. Di antara gelapnya malam itu.

Berdiri satu sosok nenek tua, berpakaian compang camping. Surainya yang putih berantakan. Pandangannya tertuju ke bawah tidak melihat ke arah kami.

Aku menelan ludah seketika, lalu berbalik perlahan. Sosok nenek tua itu tidak bergerak, dia disana hanya berdiri mematung.

"Baca doa!" ucapku kepada Marsya ketika aku berbalik ke arah Marsya.

Bacaan doa kami ulangi beberapa kali. Kira-kira sekitar tujuh kali kami merapal ayat kursi beserta kalimat syahadat. Akhir bacaan ke tujuh kami, menyalakan lagi lampu motor beserta mesinnya seketika, ajaib bukan?

Betapa senang dan leganya kami saat itu. Baik aku dan Marsya, kami langsung naik lagi ke atas motor lalu tancap gas dari sana.

Beberapa detik pergi dari sana, aku yang penasaran pun menoleh ke belakang. Mencoba mencari sosok nenek tua tak berakhlak yang muncul di antara kegelapan itu. Tepat ketika mataku menatap area itu, nenek itu menghilang.

Pikirkan, bagaimana nenek bongkok itu bisa berbalik menaiki tanjakan itu secara cepat. Dia bukan Spiderman, yang memiliki kemampuan super merayap memanjat dinding.

"Wong medi mbak?" tanya Marsya padaku.

"Hu'um, udah biasa itu! Sekarang gimana kita pulangnya ini?" setelah menjawab pertanyaan Marsya, aku kembali bertanya padanya.

"Lah mbak yang punya, Nyai! Kemana dia, kondisi genting begini gak datang?" tanya Marsya lagi padaku dengan nada kesal.

Perjalanan semakin panjang rasanya tanpa ujung. Bensin kami mulai menipis, dan aku mulai was-was.

Di tengah kepanikan kami atas speedometer bensin yang hampir sekarat.

Dari jauh terlihat, sebuah mobil di samping kanan jalan berhenti. Mobil itu berasap, kami semakin mendekati mobil itu.

Ah, ini kecohan!. Pikirku,sambil menatap seorang pria yang melambaikan tangan ke arah kami. Setan kelas kakap ini, di belakang mobil itu aku melihat sepasang kaki besar menjulang ke atas.

Tentu saja, aku tidak berani menatap ke atas. Sebab aku tau, energi sekelas ini adalah punya mereka para setan kelas tinggi. Mungkin dia semacam penguasa belantara ini.

Marsya sudah tau itu, jelas kami tidak berhenti. Sekalipun laki-laki itu meminta bantuan kami untuk berhenti. Dia pikir kami siapa tidak tau tipu muslihatnya.

Motor semakin menjauh dari area itu, lalu aku kembali menengok ke belakang. Benar, mobil itu menghilang tanpa jejak! Pikirkan, siapakah yang memindahkannya? Tentu saja itu bukan aktivitas manusia, bukan?

"Selagi bensin masih ada, tancap gas terus jangan berhenti!" ucapku berbisik pada Marsya.

Adikku itu cuma mengangguk-angguk saja menurutiku. Sampai akhirnya kami menemukan satu titik terang di depan. Sebuah lampu kuning, sepertinya ada kemajuan.

Sebelum kami sampai ke sana. Cahaya dari belakang menyorot kami. Cahaya itu dari lampu mobil yang terus mengklakson kami berulang kali. Aku menoleh ke belakang, seorang lelaki melambaikan tangannya, kepalanya menyembul dari jendela mobil mencoba menyapa kami.

"Mbak, mau kemana?" tanya lelaki itu padaku.

"Kami mau ke jalan raya pak!" jawabku padanya.

Lelaki itu menyalip kami, lalu mensejajarkan mobilnya dengan motor kami. Dari jendela mobil yang masih terbuka dia berkata,

"Mau ke jalan raya kenapa lewat sini mbak? Ini jalan ke tebing, lurus terus ini nanti air terjun. Sudah gak ke pakai, air terjun kering. Mau terjun bebaskah mbak ke sana?" ujar lelaki itu sambil terkekeh.

Mendengar itu baik aku dan Marsya sontak terkejut. Lalu mobil itu berhenti dan tentu saja kami juga ikut berhenti. Lelaki itu menyuruh kami mengikutinya.

Sepertinya tidak ada cara lain untuk keluar dari sini. Di tambah tidak ada orang yang bisa kami tanyai. Di situ aku memutuskan untuk mengikuti mobil lelaki itu.

Sekitar setengah jam berjalan, hembusan angin segar menerpa wajah kami. Kami keluar dari dalam gelapnya belantara itu. Kesunyian itu sekejap berubah ramai dengan suara-suara motor.

Ketika lelaki itu keluar dari dalam mobil, wajah tuanya yang kami temui di dalam hutan tadi berubah. Menjadi satu wajah yang kami kenali. Ah ini dia, sepuh, saudara jauh kami.

Dia tidak tua, hanya saja ilmu perihal ghaib. Dia lebih tau daripada kami. Itulah kenapa dia disebut sepuh oleh para saudaraku.

Sepertinya aku tau kenapa dia sampai kemari, Ibunda pasti menyuruhnya.

"Pawang Ghaib kok kejebak ke alam sebelah! Gak bisa keluar sendiri lagi!" sindirnya padaku.

"Di luar ilmu kami ini!" jawab Marsya meladeni apa yang sepuh katakan.

"Yok, cari makan yok! Aku cape'!" ucapku mengalihkan pembicaraan.

Dia terkekeh mendengar ucapanku. Tepat di sebelah kiri kami adalah warung makan, dia pun menyuruh kami untuk makan lebih dulu sebelum pulang.

Bab 3 : Sepuh dan Mediasi

Kira-kira sudah ada sekitar seminggu setelah kejadian di mana Aku dan Marsya tersesat dalam dimensi sebelah.

Sejak saat itu ternyata Ibunda tercinta kami. Nyonya Gautama terhormat, sengaja mengundang sepuh kemari. Sepuh ini umurnya sekitar 26 tahun, lebih tua dari aku lima tahun.

Di umurku yang ke 21 ini Ibunda memintaku dan Marsya ikut bergabung bersama dengan Sepuh. Katanya ini semacam ekspedisi mengarungi tempat ke tempat.

Jika Marsya memanggilnya Sepuh maka aku sejak dulu memanggilnya Cak Andika, atau Cak Dika. Dia ini anak dari Paman, Ibundaku. Dulu Paman sempat tinggal di sini beberapa tahun.

Cak Dika dan Aku teman sepermainan juga dulu. Kami sering main di lapangan besar belakang kuburan. Hawa di sana syahdu, enak sekali dibuat santai.

Terakhir sebelum dia pindah ke Banyuwangi, aku dan dia masih sempat main bola di lapangan. Waktu itu bahkan hampir magrib. Mitosnya lapangan itu angker. Sebab ada Wit Weringin besar yang letaknya berada di tengah kuburan.

Almarhum Abah dulu mengingatkan pada kami berdua untuk selalu pulang sebelum magrib dari tempat itu. Karena saat itu kami masih kecil, ya kami nikmati permainan itu sampai adzan magrib.

Tendangan terakhir dari Cak Dika tidak bisa kutahan. Bola kami masuk ke area kuburan. Umurku saat itu enam tahun dan Cak Dika sebelas tahun.

Aku dan Cacak sempat bertengkar di sana, menyuruh satu sama lain untuk masuk ke dalam dan mengambil bola itu.

Langitnya semakin gelap. Tak ada penerangan memang di sana. Hanya ada lampu minyak yang menyala di tengah pohon besar itu. Lampu itu tidak ada yang memegang. Dia melayang di sana di antara kegelapan.

Bola kami yang masuk tepat berada di bawah lampu minyak itu. Aku dan Cak Dika cuma mampu melihat sambil diam kami bisu seketika saat itu.

"Wes ora usah diambil, Cak!" ucapku kepada Cak Dika atau Sepuh.

Cak Dika menggelengkan kepalanya menanggapi itu. Sebab itu bola dari Almarhum Ibundanya, itulah kenapa dia enggan pulang tanpa bola itu.

Aku melihat ke atas sebentar, langitnya semakin gelap dan lagi ada kilatan petir sejak tadi menyambar-nyambar.

"Ayo pulang, Cak!" ucapku sambil menarik tangannya memintanya agar ikut bersamaku.

Tapi Cak Dika menepis tanganku kasar. Kami berdua berteriak satu sama lain. Memakai satu sama lain tak ingin kalah. Wajar saja, saat itu kami masih anak-anak.

"Kalau mau pulang, pulang saja sendiri!" ucap Cak Dika dengan nada kesalnya.

Matanya mulai berkaca-kaca sambil menatapku. Dia yang menghadapku saat itu tidak sadar. Bahwa tepat di balik tubuhnya. Dari atas pohon beringin itu, wujud nenek-nenek mulai tergambar jelas.

Dari atas dedaunan yang mekar malam itu. Perlahan rambut putih panjang menjuntai kebawah. Rambut itu begitu panjang, padahal jarak antara dedaunan atas dan latar bawah bebatuan. Tempat dimana pohon itu berdiri kokoh cukup jauh.

Rambut semacam apa sepanjang itu tiba-tiba turun memanjang menjuntai menyentuh bebatuan. Aku hanya mampu membulatkan kedua mataku, terpaku. Menatap lekat ke arah satu tangan dengan cakar panjang yang mulai turun ke bawah.

Satu tangan lagi turun, rambut itu putih, itu uban dan sampai saat ini aku masih ingat jelas penampakan itu. Ketika tubuhnya perlahan nampak aku sadar itu bukan manusia.

Sosok nenek tua dengan pakaian putih menatap kami. Matanya memerah dengan taring-taring panjang. Liurnya menetes-netes, dia menatap kami benci.

Sosok nenek sialan itu merangkak kebawah hingga sampai di atas batu beringin tepat di depan bola milik kami.

Tubuh bongkoknya itu berjalan ke arah kami. Sontak tangan kananku hanya mampu menunjuk-nunjuk ke belakang menyuruh Cak Dika menoleh, sekedar melihat ancaman yang sedang datang ke arah kami.

Ketika Cak Dika menoleh, soalnya dia malah berteriak lalu berlari pergi meninggalkan aku yang masih terpaku. Sumpah demi apapun, aku tidak bisa bergerak.

Kedua mataku bahkan tidak bisa tertutup. Kedua bola mata itu seakan sengaja dipaksa terbelalak menatap sosok setan jompo di hadapanku ini.

Dia tidak berjalan kakinya melayang tak tersentuh tanah. Bahak tawanya kencang sekali. Mentalku di sini benar-benar di uji. Sepertinya aku tidak akan selamat malam ini.

Kalaupun aku selamat nanti, maka kejadian ini akan selalu kuingat sampai mati nanti. Tubuh sosok seram ini perlahan mulai menyatu masuk ke dalam jari kelingking tangan kananku.

Area tubuh bagian kananku seketika membeku. Peredaran darah di sana sekejap berhenti. Tubuh bagian kananku bergetar dan mataku masih enggan terpejam. Aku sampai heran rasanya, kenapa aku tidak pingsan saja saat itu.

Wong tuek, jompo sialan!. Umpat Ratu dari dalam tubuhku mengambil alih diriku.

(Orang tua, jompo sialan!)

Saat itu beruntung sekali jimat itu kubawa. Jika tidak mungkin aku sudah Modar saat itu juga. Perwujudan sosok berwibawa itu datang masuk dalam tubuhku. Sosok tua bertaring itu seketika mundur. Dia menatap ke arahku masih dengan kedua mata merahnya.

Terusno ganggu cah Iki nek koe segan! Wani nyekel cah Iki, entek koe nak tanganku!. Ucap Nyai.

(Terusin ganggu anak ini kalau kamu berani! Berani nyentuh anak ini, habis kamu di tanganku!)

Sosok tua bertaring itu seketika ciut. Dia sungkem tepat di depan tubuhku. Bersamaan dengan itu Cacak dan Abah datang lagi menjemputku.

Aku tidak akan tau kejadian itu jika Nyai tidak memperlihatkannya kepadaku. Sejak saat itu, tiap aku ingat perihal itu. Dan tiap kali aku melihat Cak Dika di sini. Tanganku gatal ingin bertumbuk saja dengannya.

Sebab yang aku kesalkan adalah, ketika dia lari meninggalkan aku sendiri di sana. Sudah, hanya itu! Dan sekarang Cak Dika sedang membujukku untuk ikut bersamanya menjelajah. Oh tidak, aku tidak mau merasakan hal sama terulang lagi!

Goblok, kalau aku menyetujui permintaannya di sini. Saat ini Cacak, Aku dan Marsya sedang duduk di ruang tamu. Di sana juga ada Ibunda, dia sedang menikmati makanannya sambil menatap kami bertiga.

"Sudah nduk, ikuti saja Cacakmu ini!" ujar Ibunda kepadaku.

Serangan jantung aku rasanya.

"Aku gak mau! Ibunda menyuruhku bunuh diri?" tanyaku kepada Ibunda.

Beliau hanya menutup camilannya lalu menatapku kali ini. Namun di sana dia hanya tersenyum sambil memandangiku.

"Abah loh selalu sama kamu! Kamu dijaga banyak orang, Nyai, Abah, Buyut pun jaga kamu! Kamu ini salah satu turunan kami yang istimewa sama seperti Cacak Andika!" jelas Ibunda.

"Wong dia yo penakut kok!" potongku pada Ibunda.

"Ora, lah aku bisa itu keluarin kamu dari alam sebelah seminggu lalu! Sudah, ikut aja Rachel!" ucap Cak Dika berusaha membela diri.

Marsya berdiri setelah Cak Dika mengatakan itu. Aku dan Ibunda juga Cak Dika jelas menatapnya sekarang.

"Aku ikut cak!" ucap Marsya sambil mengangkat tangan kanannya ke atas dengan muka cerianya.

Sekutuku semudah itu dikelabui Cacak. Sepertinya aku kekurangan voting di sini. Pada akhirnya aku kembali menerima paksaan mereka.

Hal ghaib yang berusaha aku hindari, justru semakin dekat merengkuhku. Sepertinya ini memang sudah takdir keluarga Gautama.

Cacak mengeluarkan tujuan ekspedisi pertamanya. Dia bilang ada seseorang yang butuh bantuannya di Banyuwangi. Dan letak tempatnya singgah berada tepat dekat dengan Alas Purwo.

Situs hutan terangker dari jaman kerajaan, hingga saat ini. Tujuan eksplorasi pertama kami akan di mulai catatan pertamanya di Alas Purwo.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!