Tepat satu tahun usia pernikahan ku, tapi tidak seperti pasangan pada umumnya. Pernikahan ku jauh dari kata romantis.
Em, yaa... aku dan suamiku menikah bukan karena cinta, melainkan karena perjodohan. Suamiku adalah pemimpin di salah satu perusahan di Jakarta, yang berusia 25 tahun. Ia di tuntut untuk segera menikah, sedangkan perusahaan keluarga ku sendiri di ambang kehancuran. Entah bagaimana semua bermula. Tiba-tiba ibuku mempertemukan aku dengan nya dan membahas mengenai perjodohan kami.
Jelas aku menolak perjodohan kulot ini, aku masih ingin menikmati masa bebas ku di usia 22 tahun. Menjadi penulis terkenal dan mencapai mimpiku. Tapi demi menyelamatkan perusahaan orang tua ku, aku terpaksa menerima keputusan mereka.
Walaupun tinggal 1 atap dengan status suami istri, tapi nyatanya kami bagaikan 2 asing yang tidak saling mengenal, lebih tepatnya aku yang di asing kan olehnya, suamiku sendiri.
Aku selalu bersikap layaknya seperti seorang istri pada umumnya, membuat sarapan, makan malam, menyiapkan semua yang dia butuhkan, tapi berbanding terbalik dengan nya, dia menganggap ku tidak ada dalam kehidupannya, tidak pernah sekalipun ia menghargai apa yang aku lakukan untuk nya, masakan yang selalu aku buat selalu berakhir di tempat sampah.
Sudah satu tahun kami menikah tapi sikap dinginnya padaku tidak berubah sedikit pun.
Jika di tanya kenapa aku masih bertahan dengan nya, jawaban nya simpel, karena aku mencintai nya.
Ya, cinta, perasaan itu muncul begitu saja, beberapa bulan setelah kami menikah, tapi miris, kenapa hanya aku yang merasakan nya.
"kamu sudah bangun, mari makan, aku sudah siapkan sarapan untukmu"
Tidak ada respon sedikit pun, dia berjalan melewati ku, sudah biasa aku di perlakukan seperti ini, di anggap batu kali olehnya. Hari ini akhir pekan, jadi aku dan suamiku tidak ada kegiatan, ku habiskan hari ku sendiri di rumah dengan mengerjakan novel yang sedang ku sunting. Hanya aku, karena suami ku telah pergi sejak pagi entah kemana. Walaupun sudah menikah aku tetap bekerja di salah satu perusahan penerbitan yang cukup besar.
Aku tidak pernah menuntut hak ku sebagai seorang istri, misalnya uang bulanan. Sudah satu tahun usia pernikahan kami, tidak pernah sekalipun ia memberikan uang padaku, tidak masalah, toh aku juga bekerja.
Jam di dinding sudah menunjukkan hampir pukul 1 siang, makan siang juga sudah tersaji di atas meja, aku menunggunya pulang, tapi tidak kunjung datang, tanpa tersadar aku justru ke tiduran karena menunggunya. Dengan tangan menumpu kepala di atas meja, seperti orang bodoh. Apa sebenarnya yang ku harapkan, dia datang dan duduk makan bersamaku, ahh, berhenti lah mengkhayal.
Makanan yang ku buat harus terbuang sia sia untuk kesekian kalinya, tenaga ,uang, waktu, semuanya terbuang sia-sia. Setelah membereskan makanan di atas meja, aku memilih masuk ke kamar membersihkan diri. Tidak lama pintu apartemen terbuka, itu pasti dia, siapa lagi yang tau sandi apartemen selain dia.
Aku mencoba menahan diri untuk tidak keluar kamar, tapi hati ini tidak bisa di ajak berkerja sama, kaki ku justru melangkah keluar kamar menemuinya.
"kamu sudah pulang, apa kamu lapar, aku akan siapkan makan malam untukmu"
Jangan kan mengucapkan kalimat penolakan jika memang dia tidak mau, menatapku saja dia enggan. Mungkin aku hanya di anggap patung bernyawa olehnya, senyum miris terpatri di wajahku, mungkin dia menyadari itu.
...
Aku terbangun di jam 3 dini hari, aku sudah terbiasa bangun di jam seperti itu untuk melaksanakan sholat malam, sebelum mulai beribadah, aku biasanya meminum segelas air putih dulu. Ku langkah kan kaki ku menuju dapur, alangkah terkejutnya aku melihat sosok pria yang duduk di atas kursi dengan ramen yang masih mengepul di atas meja. Ku beranikan diri untuk memulai obrolan.
"Kenapa tidak membangunkan ku, kalo kamu lapar aku bisa membuatkan makanan untuk mu"
"Berhenti bersikap layaknya seorang istri di hadapan ku, aku jijik melihat tingkah mu, memuakkan." jawab nya dengan ketus.
Deg
Jijik dia bilang , apa aku begitu menjijikan di matanya. Menangis, aku tidak menangisi ucapannya, kata-kata kasar sudah menjadi makanan sehari hari untukku, aku memang mencintainya, tapi untuk menangisi sikap kasar nya padaku, aku rasa tidak perlu, aku bukan wanita yang melankolis.
Ku ambil segera air dan berlalu meninggalkan nya.
...
Seperti hari hari sebelumnya, aku sudah di sibukkan dengan urusan dapur dan rumah, menyiapkan sarapan untuk ku dan suamiku, walaupun pada akhirnya, hanya aku yang akan makan. Setelah bergulat dengan alat masak, ku sempatkan menjemur pakaian yang sudah lebih dulu ku cuci kemudian bersiap berpakaian untuk bekerja.
Setelah selesai aku duduk di meja makan menunggunya untuk mengajak sarapan bersama, beberapa menit berselang, ku dengar langkah kaki yang terburu buru turun dari tangga, dengan cepat aku menemui nya untuk sekedar menawarkan makan.
"Fahri, aku sudah siapkan sara---"
"Minggir! jangan menghalangi jalanku" aku terdorong beberapa langkah ke belakang hingga membentur tembok, Karena ulahnya.
"Fahri! ada apa, aku hanya menawarkan kamu untuk makan, kamu tidak perlu mendorong ku seperti ini" nada bicaraku mulai meninggi, dia memang selalu dingin dan melontarkan kata kata kasar padaku, tapi baru kali ini tangannya ikut bermain kasar, aku tidak terima dengan sikap nya, orangtuaku saja tidak pernah meninggikan nada bicaranya padaku.
Dia berbalik, menatap ku dengan tatapan tajam mengintimidasi.
"Sudah berapa kali aku bilang, berhenti bersikap seolah kita sepasang suami istri yang normal! BERHENTI PEDULI DENGAN KU, APA KAMU TIDAK MENGERTI JUGA"
"Kita tidak akan bisa hidup normal, kamu tau kan sha. Jadi aku mohon, berhentilah berpura pura seakan kamu bahagia dengan pernikahan palsu ini" lanjutnya, dengan suara memohon, tapi setiap kalimat yang dia ucapkan penuh penekanan.
"Jadi selama ini kamu menganggap pernikahan kita palsu, setelah satu tahun kita hidup bersama, kamu anggap apa ijab Kabul yang kamu ucapkan di hadapan orang tua ku, apa itu juga palsu?"
"Ya! semuanya palsu, aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini, aku membencinya! sudahlah, aku tidak mau merusak mood ku di pagi hari" Dia pergi meninggalkan ku begitu saja setelah semua yang dia ucapkan padaku. Sedangkan aku kembali duduk di meja makan memegang dada yang mulai terasa sesak, sambil sesekali tertawa , lebih tepatnya menertawakan diriku sendiri. Tidak mau berlarut larut, aku memasukkan semua makanan yang ku masak ke dalam kotak bekal dan membawanya ke kantor.
...
"Iya, kenapa mah?"
.....
"Iya, nesha akan pulang akhir pekan nanti, mah!"
"Hem, Nesha juga sangat menyayangi mamah"
Ibu ku menelpon, aku di minta untuk mengunjunginya, sudah lama aku tidak pulang, dia juga memintaku mengajak Fahri, tapi itu tidak mungkin, dia selalu menolak jika ku ajak pergi ke rumah ibu, kali ini pun pasti jawabannya sama.
....
Walaupun sudah tau dia akan menolak, tapi tetap saja aku mengajak nya, aku duduk di sebelah nya yang asik dengan ponsel di tangan nya, entah apa yang dia lihat hingga begitu betah memandangi benda pipih itu.
"Fahri, apa kamu ada kegiatan besok?"
"nggak, besok akhir pekan jadi aku tidak kekantor" jawabnya dingin tanpa mengalihkan fokusnya dari layar ponsel.
"Aku juga tau Besok kamu tidak ke kantor itu kan hanya basa basi" batinku menggerutu.
"Apa kamu bisa ikut dengan ku kerumah ibu, ibu meminta kita menemui nya"
"nggak bisa, aku sibuk" jawabnya ketus.
"Cuman sebentar Fahri, kesian ibu, dia ingin kita datang bersama"
"Aku bilang nggak! ya nggak! apa kamu tuli" nada bicaranya mulai meninggi, ia kembali mengalihkan pandangannya pada layar ponsel, setelah memberikan bentakan untuk ku.
Aku juga tidak mau berdebat dengannya lebih jauh lagi, aku pergi meninggalkan nya dan masuk ke kamar, aku mulai merapikan baju yang akan ku bawa untuk ke rumah ibu besok. Aku akan menginap selama 2 hari di sana, Walaupun pergi sendiri aku tetap semangat, aku sudah merindukan keluarga ku, aku hanya perlu membuat alasan jika suamiku tidak bisa ikut karena kesibukan nya di kantor.
Setelah selesai ku rebahkan tubuh lelahku di atas kasur, memandangi setiap inci dari kamar yang sudah aku tepati satu tahun terakhir. Pikiran ku teringat dengan kata kata ibu "jika cinta pertama akan sulit untuk di lupakan".
Aku merasakan apa yang ibu katakan itu benar, sebelum menikah aku tidak pernah menjalin hubungan yang serius dengan pria. Sampai ibu meminta ku menikah dengan Fahri, bisa di bilang aku mulai merasakan perasaan itu dengan nya, yaa, Fahri adalah cinta pertama ku.
Sikap kasarnya, sikap dinginnya, acuh, tidak perduli nya. Sama sekali tidak merubah sedikit pun perasaan ku padanya. Terkadang aku berpikir ingin melupakan nya, ingin membuang rasa ini untuknya tapi itu tidak mudah, hal itu justru membuat ku semakin tersiksa. Aku tidak tau sampai kapan aku akan bertahan dengan cinta sepihak ini. Mungkin suatu hari nanti aku akan lelah dan memilih mengalah, mengorbankan cinta pertama ku, kita liat saja kedepannya hanya waktu yang akan menjawab.
author POV
Suara pintu mengagetkan Nesha yang sedang fokus memikirkan kata kata indah untuk di tuangkan di dalam naskah nya. Suara pintu yang di buka Secara brutal dari luar. Nesha berbalik dengan wajah kagetnya, dia melihat Fahri yang berdiri di ambang pintu menatap tajam ke arahnya.
"Fahri, ada apa?"
"Di mana dasi biru yang kamu cuci kemarin"
"Aku sudah meletakkan nya di dalam laci tempat penyimpanan dasimu" Nesha berjalan mendekati Fahri, dengan kaca mata baca yang masih bertengger di matanya.
"Aku sudah mencari semua nya tapi dasi itu tidak ada, aku tidak mau tau kamu harus temukan dasi itu"
Nesha berjalan melewati Fahri dan masuk kedalam kamar nya, Nesha membuka setiap laci yang ada di kamar Fahri, sampai dia berhasil menemukan dasi yang di carinya. Nesha membawa dasi itu pada Fahri.
"Lain kali mencari nya dengan teliti, dan juga kalo kamu membutuhkan bantuan ku, kamu bisa kan meminta nya dengan baik, kamu hampir merusak pintu kamarku, Fahri "
Fahri merampas dasi dari tangan Nesha dengan kasar.
"Ini rumah ku, dan kamar yang kau tempati itu adalah milikku, kau hanya menumpang dan menjadi benalu di dalam hidupku"
"aku istrimu, Fakhri "
"Istri katamu? iya! istri di atas kertas"
Nesha sudah tidak sanggup lagi jika harus berdebat lebih jauh, Nesha memilih pergi meninggalkan Fahri yang sedang tersulit emosi.
"Terserah kamu saja, aku lelah"
Dan begitulah malam lelah yang harus di lalui Nesha dengan pertengkaran yang tidak ada habisnya.
"Assalamualaikum ayah ibu, Nesha pulang" teriakku setelah turun dari mobil.
"Putri ibu sudah datang, ibu sangat merindukanmu sayang" ibu memeluk ku yang begitu ia rindukan.
"ayah juga sangat merindukanmu"
"sayang, kamu datang sendiri? di mana suami mu?" tanya ibu saat tau aku datang sendiri, ibu juga mencari-cari sosok lain seharusnya ikut bersama ku.
"mas Fahri lagi banyak kerjaan bu, aku nggak bisa memaksa nya kesian dia "ucapku mencoba menyakinkan orangtuaku. Semoga saja berhasil.
"Iya, ayah paham dia pasti sibuk, lain kali mungkin dia bisa datang" aku hanya tersenyum miris, mengingat sudah berapa kali aku berbohong mengenai dirinya pada orangtuaku.
"Ayo masuk nak, kamu pasti lelah, apalagi kamu mengendarai mobil sendiri, ibu sudah siapkan makanan kesukaan mu"
Mendengar itu aku langsung merangkul bahu ibuku, dan masuk kedalam rumah, tida sabar memakan makanan ibu yang sudah lama ku rindukan.
"ibu, abang jadi kesini kan, aku rindu kanaya"
"Iyaa, abang mu akan kesini "
Ku rebahkan tubuh lelahku di atas ranjang, menatap langit langit kamar, pikiranku tertuju pada seseorang yang bahkan tidak menganggap ku ada. Ingin sekali menelpon nya sekedar menanyakan apa dia sudah makan, tapi aku masih mempunyai akal sehat, lebih baik ku habiskan waktu 2 hari ku untuk bersenang senang.
Karena terlalu lelah aku tertidur hingga langit yang awalnya cerah kini berubah menjadi gelap. Ibuku datang membangun kan ku untuk makan, dan sekarang aku sudah ada di meja makan. Kami masih menunggu Abang ku dan keluarga nya yang juga datang, aku sangat merindukan keponakan kecilku, sudah lama aku tidak bertemu dengannya.
Kami keluar setelah mendengar bunyi bel rumah, itu pasti abang ku.
"Abang" ku peluk erat dia, setelah itu Kaka ipar ku dan tidak lupa putri kecil mereka.
"Tante Nesha rindu banget sama Kanaya"
"Aya juga merindukan tante Nesha"
"hey, apa kamu mau bikin abang mu ini pingsan berdiri di luar" ucap Abang ku yang berlebihan.
"Abang berlebihan, lebay tau nggak sih!"
"masuk Han " ucapku pada kaka ipar ku, di balasannya dengan senyum manis untukku. Aku memanggil nya dengan menyebut namanya, karena kami seumuran. Abang ku sering memukul ku karena itu, katanya tidak sopan, walaupun kami seumuran tapi Hana tetap lah Kaka ipar ku, katanya.
"Nesha mulut mu itu memang mau abang lakban, yaa. Kamu memanggil Kaka ipar mu dengan namanya"
"Kami kan seumuran, toh istrimu tidak keberatan, iyakan Hana?" aku mencari pembenaran dengan bertanya pada Hana dengan sesekali mengangguk-anggukkan kepala memberikan isyarat padanya, ipar ku yang baik akhirnya membalas dengan anggukan kepala juga.
"Anak ini, kalian mau bertengkar hingga besok, kalian tidak lihat Hana dari tadi sudah berdiri kelelahan" ucapan ayahku menghentikan pertengkaran konyol kami. Tampa menunggu, aku menggandeng tangan Kanaya menuju meja makan di ikuti anggota keluarga yang lain.
"Sha, suami kamu sesibuk apa sih, sampai nggak bisa meluangkan sedikit waktunya untuk kerumah ibu ayah" aku mengacuhkan pertanyaan Nathan.
"Sesibuk apa dia hingga tidak bisa meluangkan waktu sebentar" Abang ku mengulang lagi pertanyaannya.
"Entah" jawab ku simpel, dan melanjutkan makan ku.
"Dia bersikap baik kan padamu?"
"Yaa, aku sudah hidup bersama nya 1 tahun, jika dia bersikap buruk padaku mana mau aku bertahan dengannya selama ini" lagi-lagi aku berbohong karena nya, entah berapa banyak kebohongan lagi untuk menyembunyikan keadaan rumah tangga kami yang tidak normal.
"Kalo dia macam macam sama kamu, bilang sama abang, abang akan memberi nya pelajaran" aku hanya mengangguk mengiyakan ucapan Nathan, andai ku beritahu dia, jika kemarin aku di dorong hingga membentur dinding, sudah ku pastikan Fahri akan habis di tangan Nathan. Walaupun kami sering bertengkar, abang ku tidak akan membiarkan aku terluka. Dia akan menjagaku dan menuruti semua keinginanku.
....
Selesai makan, kami berkumpul di ruang tamu untuk menonton film bersama, aku dan Kanaya sibuk bermain, hingga tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kami semua masuk ke dalam kamar masing masing. Sudah satu jam aku berusaha tidur tapi mata ini tidak bisa di ajak kompromi, bukan tanpa alasan aku tidak bisa tidur, aku masih memikirkannya, pria yang sudah berani mengusik pikiran ku, siapa lagi kalo bukan suamiku tercinta, yang tidak mencintai ku tentunya.
Aku tidak tahan lagi, ini sungguh menyiksa, ku ambil ponselku dan mencoba menelpon nya tapi ponselnya berada di panggilan lain, dengan siapa dia menelpon di jam segini, aku mencoba menelpon nya kembali setelah beberapa menit menunggu, tapi tidak ada Jawaban, ok sekarang ku kirimkan pesan singkat padanya.
"Aku pulang besok sore"
Tidak ada Jawaban seperti dugaan ku, tapi rasanya aku lega sudah menghubungi nya, dan akhirnya aku bisa tidur dengan nyenyak.
Aku duduk bersama ibuku di halaman rumah kami, dulu aku sering membantu ibu merawat bunga-bunga kesayangannya, aku duduk dengan menyandarkan kepala ku di bahu ibu, sesekali ibu mengusap lembut kepala ku.
"ibu, Nesha nggak mau pulang ke Jakarta, Nesha mau tinggal dengan ibu dan ayah saja"
"Kamu kok ngomong gitu, sayang. kamu kan sudah punya suami, masa tega ninggalin dia sendiri"
"Mungkin dia tidak akan masalah bu, kalo Nesha bilang ijin untuk tinggal dengan ayah sama ibu"
"Kenapa sayang? kenapa kamu mau tinggal bersama ibu?"
"nggak papa, Nesha cuman ingin tinggal saja bersama kalian"
"kamu tega bikin suam kamu merasa sendiri, kesian dia. Siapa yang akan menyambut nya saat lelah, siapa yang akan membuatkan makanan untuknya"
Aku tidak menjawab lagi ucapan ibuku, aku memilih bungkam, takutnya jika aku banyak bicara, aku akan membicara hal yang tidak ku inginkan, aku memilih memeluk erat tubuh ibuku, mencari kehangatan yang selama ini aku rindukan.
....
Jam 4 sore, kembali ke Jakarta, aku mampir sebentar ke restoran untuk mengisi perut. Aku duduk di kursi paling ujung yang menghadap langsung ke jalan. Ku tatap samar-samar seseorang yang duduk tidak jauh dari kursiku, aku mencoba memastikan jika aku tidak salah orang.
"Zidan?" dia berbalik. Benar, aku tidak salah orang, dia Zidan teman Abang ku, dia sering datang kerumah bersama Nathan. Semenjak menikah, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya, aku sangat cemburu padanya karena kulitnya yang jauh lebih putih dariku.
Dia tersenyum dan berjalan menuju mejaku.
"Nesha, ngapain kamu disini, sendiri?"
aku mengangguk
"aku lagi nonton pertandingan sepak bola" jawaban yang pas untuk pertanyaan konyolnya.
"yaaa aku mau makan lah" jawabku ketus,
"kamu nggak berubah sha, ternyata masih sama seperti dulu, suka nya ngegas, di mana suami kamu?"
"aku sendiri, dia nggak Ikut, aku baru balik dari rumah ibu, terus mampir, perut ku minta di isi"
"Hem, aku nggak nyangka kita ketemu disini, tapi kayanya aku harus duluan deh, mungkin lain kali kita bisa ketemu lagi, kalo gitu aku duluan, ya" ucapnya dan berjalan pergi, ku lambaikan tangan padanya dan di balas senyuman manis olehnya, senyum yang bisa membuat para gadis terlena.
Selesai makan aku kembali melanjutkan perjalanan ku, hingga pukul 7 malam akhirnya aku sampai di rumah, badanku terasa remuk, saat ini keinginan ku hanya satu, berbaring di atas ranjang. Keadaan rumah sepi entah kemana perginya pemilik hunian ini. Aku berjalan menuju kamar tapi langkah ku terhenti di depan pintu kamar lain, aku hanya ingin memastikan apa si pemilik kamar ada di dalam atau tidak. Ku beranikan untuk membuka pintu kamar yang tidak terkunci, kamarnya kosong, tidak ada siapapun, aku berjalan untuk duduk di atas ranjang yang masih rapi.
Walaupun kami tidak sekamar, tapi aku sering masuk jika pemilik kamar tidak ada untuk sekedar membereskan kamarnya, dan aku hapal betul wangi kamar miliknya, tapi kali ini wangi kamarnya berbeda dari biasanya.
"Apa dia mengganti parfum nya" Monolog ku
Kesibukan ku kembali seperti biasa, memasak, mencuci, membereskan rumah sebelum bekerja. Tapi kali ini aku masak untuk ku saja, karena Fahri belum juga pulang. Selesai sarapan aku bergegas ke kantor tapi sebelum aku membuka pintu ada seseorang yang lebih dulu membuka nya.
"kamu baru pulang? dari mana saja?"
"Minggir! jangan menghalangi jalanku" lagi-lagi dia mendorong tubuhku, ingin sekali ku jambak rambutnya, aku bertanya baik baik padanya, dia malah bersikap kasar padaku, tida mau masalah berlanjut aku lebih memilih berangkat ke kantor.
...
Aku bekerja hingga larut malam, karena naskah yang ku sunting harus segera selesai. Jadilah aku lembur, pinggangku rasanya ingin lepas dari tempatnya, mungkin karena kelamaan duduk. Ku ambil tas yang ada di atas meja, dan berjalan keluar kantor, dingin sekali cuaca di malam, apalagi sudah larut malam. Aku sedikit berlari agar lebih cepat masuk kedalam mobil.
"Apa yang salah, kenapa dengan mobilku?" ku Coba sekali lagi menyalakan mobil ku, tapi nihil, mobil ini memang mobil tua, mobil milik ayah ku, dan sampai sekarang masih setia menemani ku kemana saja. Aku jarang memeriksakan kondisinya jadi hal ini bisa saja terjadi, mogok di waktu yang tidak tepat. Aku masih mengumpulkan uang untuk membeli mobil baru, tapi uangnya masih saja kurang, aku bisa meminta nya pada ayah, tapi sangat lucu jika aku melakukan nya, apa kata ayah ku nanti, meminta mobil padanya padahal suamiku mampu membelikan jauh yang lebih bagus.
Tida ada yang bisa ku lakukan selain menelpon Fahri untuk menjemput ku, sudah panggilan ke berapa tapi ponselnya selalu berada di panggilan lain, jika berlama lama berdiam diri meratapi mobil ku yang mengenaskan, bisa bisa aku yang mati membeku karena kedinginan.
Mau tidak mau aku harus berjalan mencari taxi. Tapi tida ada satupun taxi yang lewat, pikiran ku kacau, aku takut jika ada orang jahat yang menggangguku di jalan. Jika sudah seperti ini perasaan menyesal pun datang, kenapa dulu aku selalu malas untuk pergi latihan taekwondo, andai saja aku menurut pada ayah, mungkin aku tida perlu takut bertemu orang jahat di jalan. D tambah jalannya sepi dan gelap, dengan melawan rasa takut, aku berusaha sampai ke rumah dengan selamat.
"ibu, Ayah... Nesha takut" rintihan ku ketakutan.
Sukurnya aku sampai dengan selamat, dengan jantung yang masih berpacu, tangan yang gemetar kedinginan ku tekan tombol demi tombol untuk membuka pintu, tunggu... apa aku salah, kenapa tidak mau terbuka, aku belum pikun, aku masih ingat betul sandinya, apa yang salah , apa pintunya rusak, atau!! FAHRI MENGGANTI SANDINYA. Teganya dia padaku, mengganti sandi tanpa memberitahu.
"Fahri buka kan pintu, aku di luar. Fahri ku mohon di sini sangat dingin" tidak ada sahutan dari dalam, tubuhku tidak kuat lagi menahan dingin, kaki ku sudah tidak kuat lagi menopang tubuh. Aku masih berusaha mengetok pintu dan sesekali memanggil si pemilik hunian.
"Fahri ku mohon buka kan pintu"
Fahri POV.
Aku mengganti sandi apartemen ku, aku sengaja agar dia tidak bisa masuk, kemana saja dia baru pulang jam segini. Aku tidak suka seseorang bisa seenaknya keluar masuk rumahku. Apa dia tidak malu pulang larut, jika memang tidak, berikan rasa malu sedikit padaku, apa kata orang jika aku memiliki istri yang kerjanya pulang larut malam, mau di taruh di mana wajah ku. Aku biarkan dia di luar berteriak dan memohon agar dia menyadari letak kesalahannya.
Tapi lama-lama tidak ada suara lagi, tidak ada ketukan, apa dia pergi lagi. Aku berjalan keluar untuk memastikan keadaan. Ku buka pintu dan melihat dia terduduk dengan melipat kedua kaki nya sebagai tumpuan kepala.
"Dari mana saja kamu, kalo memang nggak niat pulang, ya... nggak usah pulang sekalian" hening tidak ada jawaban, ku coba menggoyangkan tubuhnya dengan kaki, ku pikir dia tertidur atau pingsan, nyatanya dia masih sadar. Dia terlihat kesulitan untuk berdiri, tanpa meminta maaf dia berjalan melewati ku. Ku tarik tangannya untuk menghentikan langkahnya, jari lembut miliknya terasa sangat dingin, sesekali aku merasa getaran dari tangannya.
"Lepas! aku lelah"
"Dari mana saja kamu" di menatap ku dengan tatapan sayu, aku jadi merasa bersalah membiarkan nya di luar, tangannya terasa sangat dingin tapi rasanya aku hanya membiarkan nya di luar sebentar. Tapi kenapa tangannya begitu dingin, apa peduliku, ku lepaskan genggaman ku pada tangan nya, dia kembali berjalan lemas menuju kamarnya,
"Apa aku kelewatan" batinku
...
author POV
Seorang gadis dengan pakaian kantor yang masih melekat di tubuhnya menggeliat di atas ranjang. Terusik dengan sinar matahari yang masuk tanpa ijin melalui celah kamar, karena gorden penutup jendela yang tidak tertutup rapat.
"Jam berapa sekarang" ia ambil ponsel di atas meja.
"Astaga! aku kesiangan"
Nesha POV
Sebenarnya aku merasa tidak enak badan, semalaman aku menggigil kedinginan, ingin rasanya meminta ijin untuk libur bekerja, tapi naskah yang sedang ku kerjakan harus segera selesai. Dengan sedikit tergesa gesa aku bersiap untuk ke kantor, aku juga tidak sempat membuat sarapan, hanya menyiapkan roti tanpa pinggiran dengan segelas susu untuk Fahri, setelah nya aku bergegas ke kantor.
Terpaksa hari ini aku harus naik angkutan umum untuk kekantor, masalah mobil, aku sudah menelpon bengkel untuk menderek mobil ku. Aku berharap hari ini bisa lebih baik dari hari kemarin.
Fahri POV.
Aku turun bersiap untuk ke kantor, aku tidak menemukan Nesha di dapur, biasanya dia ada di meja makan, tapi kali ini hanya ada roti tanpa pinggiran dan susu, Nesha tau kalo aku tidak suka dengan pinggiran. Aku duduk dan memakan roti dan susu yang ada di atas meja, setelah nya aku berangkat ke kantor seperti biasa.
Nesha POV.
Akhirnya pekerjaan ku selesai tepat waktu, aku bisa pulang sekarang, mobil ku juga sudah di antar. Lelah sekali rasanya, seharian aku hanya duduk menatap layar komputer ku, mengetik kata demi kata, sampai lupa untuk makan. Akhir-akhir ini makan ku tidak teratur, aku bisa menghabiskan waktu seharian full di ruangan ku. Kepala ku pusing, perut ku lapar, sebelum pulang aku mampir dulu untuk membeli Jajangmyeon, aku membeli 2 Jajangmyeon untuk ku dan untuk Fahri, terserah jika nanti makanan itu akan terbuang sia sia lagi.
Aku berdiri lama di depan pintu apartemen, Fahri belum memberitahu apa sandi nya, ku tarik nafas ku gusar. Apa yang harus ku lakukan sekarang, tidak lama suara berat memecahkan lamunan ku.
"Sandi nya masih sama" itu suara Fahri, dia menekan sandi yang sama sebelumnya.
"Ibu ku akan datang 1 jam lagi, aku harap kau paham apa yang harus kau lakukan" sambungannya
"Hem "setiap ibunya datang aku diminta untuk memindahkan semua barang milikku ke kamarnya. karena di apartemen ini hanya ada 2 kamar, jika dia memintaku memindahkan baju, maka ibunya akan menginap dan tidur di kamar tamu. Aku lelah baru pulang dari kantor dan sekarang harus memindahkan semua barang ku lagi ke kamarnya tanpa terkecuali.
Tanpa berpikir lama dan membuang waktu aku bergegas memindahkan semua barang ku, karena dia bilang ibunya akan datang dalam waktu dekat, aku tidak mau membuat nya kecewa saat tau selama ini kami pisah kamar.
Akhirnya pekerjaan bodoh ini selesai juga, aku hanya memasukkan beberapa baju di dalam lemari sedangkan sisanya aku masukkan ke dalam tas dan begitu juga barang barang yang lain. Badanku terasa lengket karena keringat, secepatnya aku harus mandi sebelum ibu mertuaku datang. Selesai mandi aku baru ingat dengan Jajangmyeon yang ku beli tadi, perutku sudah tidak tahan, ku raih Jajangmyeon dan memakannya dengan tergesa gesa.
"kamu sudah makan, aku membeli kan Jajangmyeon untukmu"
Di berjalan mendekati ku, aku kira dia ingin duduk dan makan bersama, nyatanya dia hanya ingin menyampaikan sesuatu yang merusak mood ku saja.
"Sudah ku bilang berapa kali, berhenti bersikap seolah kita sepasang suami istri yang harmonis" ucap Fahri begitu dingin,
....
Selang beberapa menit akhirnya ibu mertuaku datang. Kami harus bersikap layaknya sepasang suami istri yang romantis. Ku peluk hangat ibu mertuaku yang meski sudah tidak muda lagi tapi wajahnya masih sangat cantik.
"Maaf, mamah mengganggu kalian malam malam begini"
"nggak sama sekali, mah" tidak sama sekali mah, kau tidak merepotkan ku hanya anakmu yang hampir membunuh ku dengan memberikan perintah konyol di waktu yang kurang tepat, batinku menggerutu.
"mamah baru pulang dari rumah adiknya suamimu, sekali an mampir menjenguk kalian" ucap mertuaku, sambil berjalan menggandeng tangan putranya.
"mah maaf, Nesha nggak sempat membuat makanan sebelum datang, tapi Nesha akan membuat kan sesuatu sekarang"
"nggak usah nak, mamah sudah makan sebelum pulang dari rumah iparmu, sekarang mamah lelah dan ingin tidur" aku sangat bersyukur, karena sekarang aku pun sangat lelah, badanku remuk.
"ya sudah, ayo Nesha antar ke kamar"
Selesai mengantar ibunya Fahri ke kamar aku juga masuk ke kamar Fahri untuk beristirahat, seperti biasa aku harus tidur di sofa miliknya meringkuk seperti orang yang kedinginan karena ukuran sofa nya tidak sesuai dengan ukuran badan ku, tanpa berpikir lama lagi aku langsung mengambil posisi tidur.
Tiba-tiba suara menghancurkan semua usaha ku untuk tidur, kalimat yang dia keluarkan bagaikan pedang yang menusuk jauh ke dalam jantungku dari banyak nya kata di muka bumi ini, kenapa harus kalimat itu yang keluar dari mulut pedasnya.
"Nesha, mari kita bercerai"
Aku langsung terduduk di atas sofa, mencerna kembali kalimat yang baru saja keluar dari mulut jahanam seorang Fahri, bagaimana bisa dia membicarakan mengenai perceraian.
"Apa kamu sangat ingin bercerai dengan ku, Fahri?"
"Menurutmu" bukannya menjawab dia malah balik bertanya.
Diam, aku diam, aku tidak tau jawaban apa yang harus ku lontarkan. Hening, baik aku dan dia sama sama diam, ku balik tubuh ku untuk menatapnya, ternyata pria itu sudah berbaring di atas ranjang empuk miliknya. Ku tarik napas ku kasar. Sambil masih setia menatap nya dari kejauhan.
"Apa kau sangat ingin bercerai dengan ku " ku ulang lagi pertanyaan itu tapi hanya di dengar oleh ku, tanpa permisi air mata yang selalu ku tahan, tumpah juga, menganak sungai di pelupuk mata, sesak di dada akan ajakan Fahri begitu menyakitkan perasaan ku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!