PERHATIAN!!! JIKA INGIN MENSKIP MASA KECIL KELAM SANG MC. BISA BACA MULAI DARI BAB (4) YA!! TAPI DISARANKAN YA BACA DARI AWAL BAB SIH ... (^^)
05 Januari 2025 ....
Butir-butir air turun dari langit, membasahi tanah dan jalanan sekitar. Awan-awan yang sebelumnya nampak putih cerah kini hanya bersisakan awan hitam tebal menyelimuti langit. Terik matahari kini sudah tak dapat dirasakan. Hanya menyisakan suasana dingin, sedikit gelap karena hujan yang kian deras.
Bola matanya yang nampak ungu cerah memandang nanar rintik-rintik hujan dari balik jendela kaca. Duduk termenung menopang dagu, matanya menatap luar jendela, memandang rintik-rintik hujan yang kian deras mengguyur halaman sekolah.
Sepasang tangan nampak dengan cekatan menggulung secarik kertas yang sudah diberi air dingin membentuk bola-bola berukuran sedang. Tangan kanan dengan balutan sarung tangan plastik putih yang memegang bola kertas itu ia angkat, lantas melemparnya menuju pada anak kecil yang duduk di sudut ruangan, dekat pintu jendela.
'Aku akan mengerjainya. Pasti ini akan sangat seru,' batin anak sambil tangannya fokus menggulung kertas itu.
Mata anak itu masih memandang nanar luar jendela Rintik-rintik hujan kian membesar, kian deras. Tangannya masih menopang dagu, sesekali ia mengerjapkan kedua matanya.
Matanya kembali mengerjap saat pipi kanannya terasa terkena sesuatu yang dingin. Matanya sedikit melirik pada pipi kanan. Nampak bola kertas terasa dingin menempel pada pipi kanannya, begitu dingin.
Tangan kanannya terangkat, hendak meraih bola kertas yang terasa dingin itu. Pipi kanan itu sampai membekas merah karena terkena air dingin, tepatnya air yang berasal dari dalam kulkas, belum membeku.
'Kenapa dia gemar sekali menggangguku? Aku sungguh muak melihat wajahnya yang sangat menyebalkan itu," batin Kevin.
Mata Kevin menangkap sosok anak seusianya berdiri tak terlalu jauh darinya duduk. Mulut anak itu nampak menyeringai puas, di tangan kanannya masih ada satu bola kertas dingin.
Dengan kasar tangan Kevin melempar bola kertas di lantai, lantas mengedarkan pandangannya kembali pada luar jendela. Sosok anak itu nampak memasang wajah masam saat Kevin tak memberikan sedikitpun raaksinya.
"Hei! Kamu tidak punya Ayah kan? Aku dengar ibumu tidak waras. Apa aku berkata benar?" tanya anak itu dengan senyum seringainya, seakan memancing emosi Kevin.
Namun anak kecil berambut hitam pekat itu diam tak bergeming, seakan ucapan pedas anak nakal itu hanyalah angin lewat yang tak perlu dihiraukan.
Sekali lagi tangan yang memegang bola kertas itu ia lempar. Untuk yang kedua kalinya bola kertas itu hendak mengenai pipi Kevin. Namun dengan cepat anak itu menangkap bola kertas dingin hanya dengan kedua jari tanpa menolehkan kepalanya. Anak nakal terbelalak tak percaya, dia hanya bisa berdecak kesal sembari kembali duduk di bangkunya karena pelajaran yang akan dimulai.
Bel berbunyi. Mata Kevin kembali memandang luar jendela. Rintik-rintik hujan masih berjatuhan di tanah, membentuk butir-butir sebesar biji jagung. Kevin menghela nafas pelan seraya menggendong tas di belakang punggungnya.
"Huh. Aku pikir saat pulang hujan akan berhenti," gumam Kevin dengan parasnya yang nampak gusar.
Tak ada jas hutan, tak ada payung. Kevin hanya bisa menunggu hingga hujan mereda di depan teras sekolah. Ia tak bisa menunggu dalam kelas karena sebentar lagi semua pintu sekolah akan ditutup.
Suasana semakin dingin. Awan gelap tak kunjung hilang, kabut-kabut tipis mulai muncul membuat suasana menjadi mencekam. Kedua tangannya mengusap-usap punggung tangan, juga memeluk tubuhnya sendiri untuk meredakan hawa dingin yang mulai masuk dalam tubuh.
Saat semua pintu sekolah ditutup, Bu Miranti wali kelas Kevin pun juga keluar dari ruangan seraya membuka payungnya. Ketika kedua kaki itu hendak melangkah menerobos hujan, matanya tak sengaja melihat anak muridnya yang masih berada di teras depan.
Bu Miranti sempat menatap anak muridnya itu dengan seksama sebelum akhirnya ia mengangguk pelan seraya berjalan menghampirinya.
"Kevin, kenapa kamu masih di sini?" tanya Bu Miranti seraya menepuk pelan punggung Kevin, membuat anak itu tersentak.
Kevin menoleh sejenak lantas kembali memandang di depannya sembari menjawab, "Aku masih menunggu hujan berhenti. Aku tak membawa payung ataupun jas hujan." Wajahnya datar, terkesan dingin.
"Tapi ini sudah sore. Begini, bagaimana kalau Ibu antar kamu pulang?" usul Bu Miranti ramah, payungnya sudah terbuka, tapi dibiarkannya tergeletak di lantai teras.
"Tidak perlu, Bu," sahut Kevin datar.
"Kenapa? Hujan sepertinya tak akan reda. Biar Ibu antar kamu pulang saja, tidak apa-apa kok."
"Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri, terimakasih sudah mau menemaniku." Kevin berlari, meninggalkan Bu Miranti yang masih berdiri terdiam di teras sekolah.
Semakin cepat kaki Kevin melangkah menerobos hujan yang kian deras, hingga membuat seragam dan tas gendongnya basah kuyup. Kedua mata Bu Miranti masih menatap punggung Kevin yang kian berlalu pergi sembari menghela nafas pelan, lantas meraih payungnya dan berlalu pergi menerobos hujan.
Saat Kevin tiba di depan halaman rumahnya, butir-butir air sebesar biji jagung itu kini sudah mulai mengecil, membentuk Rintik-rintik gerimis.
Kevin berdiri di depan pintu, mengusap-usap punggung tangannya sembari melepas sepatu dan kaos kakinya. Usai melepas kaos kaki dan sepatu, Kevin mengetuk pintu.
"Ibu!"
Hening, tak ada yang membuka ataupun jawaban dari sang Ibu. Perlahan tangannya bergerak memegang gagang pintu, dan membuka pintu. Sunyi, hening dan gelap. Itulah yang terlihat saat Kevin masuk dalam rumah yang nampak sederhana itu.
Kevin diam saja, berdiri di ambang pintu. Dia menelan ludah, mengedarkan pandangannya pada sekeliling sudut ruangan. Hening, juga minim pencahayaan dengan lampu temaram yang terpasang di atap-atap langit dengan cat putih yang sudah sedikit mengelupas.
Lantai terlihat sedikit kotor, terdapat jejak kaki yang berlumpur menempel di lantai. Kevin melangkahkan kakinya perlahan masuk ke dalam kamar.
"Kevin, darimana saja kamu?" Suara yang terdengar tidak asing bagi Kevin. Sang Ibu
bernama Madya.
Tanpa Kevin sadari, dari saat dirinya masuk rumah. Sosok wanita paruh baya dengan rambutnya yang tergerai berdiri dikegelapan.
Kevin berhenti di depan pintu kamarnya, tangannya yang sudah memegang gagang pintu langsung ditarik dan membalikkan badan, menatap sang Ibu yang nampak memandangnya dingin.
"Tadi hujan. Dan aku harus menunggu hujan sedikit reda untuk bisa pulang. Di rumah tak ada payung ataupun jas hujan." Kevin nampak terbata-bata dalam berbicara, bulir-bulir keringat dingin membasahi kedua tangan dan pipinya.
Madya melangkah menghampiri putra tunggalnya itu. Matanya menatap kosong pada Kevin, tangan kanannya bergerak menyentuh kepala Kevin. Anak itu nampak gemetar, wajahnya tertunduk, kedua tangannya bergetar hebat.
Kevin mengangkat wajahnya saat merasakan sentuhan lembut tangan sang Ibu. Wanita itu masih menatap kosong pada Kevin.
"Lain kali harus cepat pulang. Ibu tidak peduli walau kamu harus kehujanan." Nadanya nampak dingin, wajahnya pun datar, dan tatapannya nampak mengerikan.
Tangan yang sebelumnya menyentuh lembut kepala Kevin, kini terasa erat dan menyakitkan saat kuku-kuku tajam di tangannya sedikit menusuk daging kepala Kevin.
"Kevin janji akan pulang tepat waktu Ibu!" serunya. Kevin meringis menahan sakit di kepalanya.
Madya melepas tangannya yang mencengkeram kepala Kevin, wanita itu melangkah pergi masuk kamar. Setelah Madya masuk kamar, Kevin menyentuh kepalanya. Nampak cairan merah kental menempel pada telapak tangannya.
Hamparan tanah dengan rumput-rumput hijau menampakkan banyaknya benda-benda untuk bermain, seperti sebuah ayunan, jungkat-jungkit, atau bahkan tempat untuk pelosotan pun ada di sana. Langit masih nampak cerah walau warna jingga hampir menutupi langit, terik matahari pun kian kembali pada tempatnya untuk beristirahat.
Sepasang tangan itu nampak membawa banyak kantong plastik hitam. Salah satu kantong plastik terdapat beberapa macam sayuran hijau, juga tomat dan wortel pun berada di sana. Mata ungunya memandang nanar beberapa anak kecil yang nampak asik bermain di taman.
Ingin sekali kedua kaki itu melangkah maju, bergabung dengan anak-anak kecil yang nampak bahagia. Namun mata yang melirik banyak kantong plastik hitam itu memaksa dirinya untuk tidak melangkah maju. Ia urungkan niat bergabung dengan mereka, lantas berbalik badan, berjalan pergi ke arah yang berlawanan dengan taman.
Sesekali matanya melirik taman dan anak-anak kecil itu dengan tatapan nanar, lantas kembali beralih pada pandangannya yang lurus ke depan.
'Aku harus bisa menerima kenyataan pahit ini. Teruslah bergerak maju, jangan menoleh!'
Tiba di rumah, Kevin melepas sandalnya dan hendak masuk rumah. Ruangan yang seperti biasa, berantakan dan minim pencahayaan. Kali ini ada begitu banyak pecahan piring dan gelas berserakan di lantai. Kevin mengedarkan pandangannya pada semua sudut ruangan, tak ada apa-apa selain pecahan gelas dan piring.
"Ibu ...."
Teringat akan sang Ibu. Kevin bergegas menuju dapur. Aroma seperti makanan gosong tercium saat Kevin tiba di dapur. Di atas kompor nampak wajan dengan makanan di sana yang nampak kelihatan hitam, gosong. Kompor dibiarkan tetap menyala, kepulan asap beraroma sangit melayang di udara.
Kevin mengedarkan pandangannya ke sudut ruangan lain, dia melihat Madya ibunya nampak terduduk di lantai bersender dinding. Raut wajahnya nampak kacau, sesekali tangan kanannya menggores lengan kiri sendiri hingga mengeluarkan cairan merah kental.
"Apa yang ibu lakukan!" Kevin meraih kedua tangan sang Ibu, memegangnya erat. Bola matanya nampak bergetar, bulir-bulir air keluar dari sudut mata.
"Kenapa. Kenapa Ayahmu meninggalkan Ibu!" seru Madya, giginya nampak gemeretak, wajahny merah padam.
Kevin diam tak bergeming, wajahnya tertunduk. Dia menyeka air mata di sudut matanya dengan punggung tangan, lantas kembali tangannya memegang dan mengelus kedua tangan sang Ibu yang sudah nampak sedikit keriput.
"Ibu, aku selalu di sini bersama Ibu. Kevin tidak akan pernah meninggalkan Ibu." Kevin mengulurkan kedua tangannya, lantas meraih tubuh sang Ibu, memeluknya erat.
Madya mengginggit bibir bawahnya, giginya gemeratak. Kedua tangan itu menyentuh punggung Kevin, lantas mendorongnya sekuat tenaga, hingga menyebabkan Kevin terduduk ke lantai.
"Aku tidak butuh kamu! Kamu hanyalah anak pembawa sial!" seru Madya. Kevin terbelalak, tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut sang Ibu.
Kevin beranjak bangun, kedua tangannya terulur, hendak meraih tubuh sang Ibu. Tetapi dengan kasar Madya kembali mendorong tubuh Kevin, membuatnya terjatuh menghantam meja dapur. Gelas dan piring yang terletak di atas meja jatuh saat meja bergetar, hampir saja gelas dan piring itu akan menghantam kepala Kevin.
Tapi anak kecil itu berhasil menghindar. Madya beranjak berdiri lantas melangkah pergi masuk ke kamarnya. Kevin masih duduk terdiam bersender pada kaki meja, kedua tangannya gemetar. Bola matanya bergetar, kembali bulir-bulir air hangat itu keluar dari sudut mata.
Kevin memeluk tubuhnya sendiri, memeluk kedua lututnya. "Aku sungguh hanya ingin membuat Ibu tersenyum. Tapi kenapa ...." Kevin tak melanjutkan ucapannya.
Kevin hendak bangkit berdiri, namun tangan kirinya tak sengaja menyentuh pecahan piring dan gelas. Kevin meringis kesakitan, dia mengangkat tangan kirinya. Terdapat cairan merah kental terus menetes ke lantai dari tangan kirinya.
Kevin masuk kamar sembari memegangi tangan kirinya yang terus mengeluarkan cairan merah kental, tak kunjung berhenti. Dia membuka lemari, mengambil obat p3k lantas membalut tangannya dengan perban.
"Kenapa Ibu begitu tidak menyukaiku? Apa salahku?" Usai memerban tangan kanannya, Kevin terduduk di lantai bersender pada kaki ranjang.
Matanya nampak sembab, hingga sedikit bengkak pada kelopak matanya. Sekuat tenaga dia menahan air matanya untuk tidak keluar. Nyatanya hal itu sulit untuk dilakukan saat dia mengingat kembali ucapan pedas sang Ibu.
* * *
Langit nampak cerah yang masih menampakkan sedikit langit jingganya. Matahari kian muncul, menampakkan cahayanya yang terasa hangat.
Sepasang tangan nampak cekatan menumis bumbu dan sayuran, meletakkannya dalam wajan di atas kompor dengan api sedang. Usai menyiapkan masakannya di atas meja, Kevin melangkah pergi, hendak masuk kamar untuk bersiap.
"Mau ke mana?" Madya meraih tangan Kevin saat dirinya akan masuk kamar.
"Kevin akan siap-siap dan berangkat sekolah," ucap Kevin, nadanya sedikit gemetar.
"Jangan sekolah! Tidak ada gunanya kamu sekolah. Apa kamu pikir dengan sekolah kehidupan kita akan bisa berubah?
Lebih baik sekarang kamu cepat bersihin rumah, pel lantai dan sapu sampai bersih. Itu juga piring kotor dicuci." Madya duduk di meja makan, mulai menyantap makanan yang sudah disiapkan oleh Kevin.
Kevin terdiam mematung. Matanya menatap kosong sang Ibu. Kedua tangannya mengepal erat, sedikit gemetar. Dia melangkah mendekati sang Ibu, menatapnya kosong seraya berkata.
"Kevin ingin sekolah! Kevin ingin mengubah hidup! Kevin ingin mengubah hidup Ibu! Kevin ingin Ibu bahagia." Walau matanya yang nampak menatap kosong. Tetapi jelas sekali bola mata itu nampak gemetar, menahan air matanya untuk tidak keluar.
Madya berhenti makan, sendok yang dipegangnya ia lempar hingga menghantam dinding. Kevin tersentak, tapi matanya masih kosong menatap sang Ibu.
Madya menoleh, menatap Kevin dingin seraya berkata, "Jika kamu ingin aku bahagia." Madya mendekatkan wajahnya, menatap Kevin dengan bola matanya yang nampak menonjol. "Bawa aku pada ayahmu. Kamu bisa kan?"
"A-ku ...." Kevin tak bisa berkata lagi. Tenggorokannya seakan tak bisa diajak berkompromi. Kedua tangannya gemetar, keringat dingin membasahi pipinya.
"Kenapa diam? Kau tak bisa." Madya beranjak berdiri, meninggalkan makanan yang masih cukup banyak di atas piring.
"Tunggu, Ibu!" Kevin meraih tangan sang Ibu, matanya nampak berkaca-kaca.
"Kevin hanya ingin Ibu bahagia. Tapi Kevin tak bisa mengabulkan permintaan Ibu. Kevin bahkan tidak tahu di mana Ayah sekarang."
"Kalau begitu." Madya berjongkok, menatap Kevin dingin. "Buatlah ayahmu menderita. Apa yang sudah terjadi pada Ibu adalah salah ayahmu." Madya memegang kedua pundak Kevin, memegangnya erat, hingga membuat pundak itu bergetar.
"A-pa ...." Kevin terbelalak.
"Benar. Buatlah ayahmu menderita. Cari dia dan balaskan dendam Ibu pada ayahmu. Dialah yang sudah membuat Ibu menderita. Aku ingin dia juga menderita." Bola matanya nampak gemetar, Madya yang sebelumnya selalu memandang Kevin dengan tatapan dingin, kini mata itu nampak berkaca-kaca menatap putra tunggal di depannya.
Madya kemudian beranjak berdiri, melangkah masuk kamar. Kevin masih berdiri terdiam, matanya menatap kosong di hadapannya.
"Balas dendam, ya." Kevin memiringkan kepala, matanya kembali menatap kosong.
Ketika Kevin hendak masuk kamar, tiba-tiba saja terdengar suara seperti ada orang yang memukul tembok di dalam kamar sang Ibu. Kevin berhenti di ambang pintu kamarnya, dia menajamkan pendengarannya.
Suara itu masih terdengar cukup jelas. Lantas Kevin berjalan mendekati pintu kamar sang Ibu, dia memberanikan diri untuk mengetok pintu.
"Ibu, ada apa? Apa Ibu baik-baik saja?"
Hening, tak ada suara sang Ibu menjawab. Kevin mulai terlihat gusar. Dia menelan ludah, menghela nafas panjang lantas memberanikan diri untuk membuka pintu kamar.
Mata Kevin terbelalak, dia berdiri mematung di dalam kamar sang Ibu. Bola matanya bergetar, keringat dingin membasahi wajah dan kedua tangannya.
"Ibu!" Kevin berteriak, tubuhnya masih berdiri mematung melihat apa yang berada di depannya.
Seutas tali tambang nampak bergelantungan di langit-langit atap. Tali itu menjerat leher sosok wanita yang tidak lain adalah Madya, Ibu Kevin. Tubuhnya bergelantungan di langit-langit atap, lehernya nampak memerah karena jeratan tali yang cukup erat.
Kevin menghela nafas, bola mata yang tadinya nampak bergetar kini kembali normal. Mulutnya nampak menyeringai menatap tubuh sang Ibu yang masih bergelantungan di langit-langit atap. Tangan itu menyeka keringat yang sedikit membasahi pipi, lantas mendudukkan pantatnya di lantai bersender pada kaki ranjang.
Kevin mendongakkan kepalanya, kini matanya saling beradu pandang dengan mata sang Ibu yang nampak melotot, bibirnya terbuka lebar disertai air liur yang sebelumnya terus muncul, namun kini sudah menghilang bak ditelan kesunyian.
Saat bola mata itu menatap wanita bergelantungan di langit-langit atap. Kembali bola matanya bergetar, bulir-bulir air kembali keluar dari sudut netra. Kevin kembali menyeka air mata itu menggunakan punggung tangan seraya beranjak berdiri.
"Aku senang. Tapi aku juga sedih saat aku sudah kehilangan semuanya. Aku tak punya siapa-siapa lagi." Kevin melangkah mundur, kini dia berdiri di ambang pintu.
"Selamat tinggal, Ibu. Jangan khawatir. Aku pasti akan membalaskan dendammu pada Ayah. Aku akan mencarinya, jangan khawatir.
Di sini aku merasa sudah tak punya tujuan hidup. Tapi setelah melihat Ibu pergi meninggalkanku, aku mulai berpikir jika apa yang Ibu katakan sebelumnya benar.
Aku harus melakukan sesuatu untuk Ayah. Jika aku berhasil menemukannya, maka aku akan memberinya kejutan indah." Kevin tersenyum, terkesan menyeringai lebar. Lantas ia berbalik, melangkah keluar kamar sebelum tangannya menutup pintu.
* * *
Lima hari telah berlalu begitu cepat, dan kini mayat Madya masih bergelantungan di langit-langit atap. Bau bangkai mulai berbau menyengat. Sosok wanita paruh baya yang tinggal tidak jauh dari rumah Madya mulai mencium bau bangkai itu. Sesekali wanita paruh baya itu memandang rumah Madya lewat pintu jendela, hening dan sunyi, tak siapapun di sana.
"Sepertinya aku harus turun tangan. Apa Bu Madya tidak mencium bau bangkai ini," gerutu wanita paruh baya sembari melangkah keluar, menuju rumah Madya.
Wanita paruh baya itu berdiri di depan halaman rumah Madya. Matanya lantas menangkap sosok anak kecil yang nampak duduk di teras rumah, nampak termenung. Wanita paruh baya itu lantas melangkah maju menghampiri Kevin.
"Nak, di mana ibumu? Aku mencium bau bangkai dari beberapa hari yang lalu. Apa ibumu tidak membuang bangkai tikusnya?" tanya wanita paruh baya itu, dia nampak memegang hidung dengan tangan kanannya.
Kevin tersadar dari lamunannya. Kepalanya mendongak, mata itu nampak menatap kosong pada wanita paruh baya di hadapannya. Wanita itu sedikit melangkah mundur, merasa jika anak kecil di depannya itu terlihat begitu menakutkan dengan penampilannya yang nampak acak-acakan.
"Apa Bibi mencari Ibu?" tanya Kevin, mulutnya menyeringai. Wanita paruh baya mengusap-usap tengkuknya, terasa dingin sambil menganggukkan kepala.
"I-ya. Apa dia di rumah?"
"Dia memang di rumah. Bibi harus menolong Ibu."
"Menolong? Apa maksudmu?" tanya wanita paruh baya, keningnya nampak berkerut.
Kevin beranjak berdiri, lantas melangkah masuk rumah. Wanita paruh baya itu hendak mengikuti Kevin, tapi dia berhenti saat melihat lantai teras yang diduduki Kevin nampak berbekas aneh, artinya anak itu sudah duduk di sana cukup lama.
Wanita paruh baya menggelengkan kepalanya dengan kasar, menyadarkan pikirannya yang sudah melangkah jauh. Kevin berhenti di ambang pintu, memiringkan kepalanya seraya berkata.
"Kenapa Bibi masih di situ? Ayo." Wanita paruh baya mengangguk lantas mengekor di belakang Kevin.
Anak itu terus melangkahkan kakinya, melewati dapur, lorong yang nampak gelap. Hingga tak berselang lama, langkah kaki Kevin berhenti di depan pintu yang tertutup rapat. Kembali wanita paruh baya memegangi hidung dengan satu tangannya karena bau bangkai yang kembali tercium.
"Apa yang ada di dalam ruangan itu? Kenapa bau bangkainya benar-benar menyengat?" Wanita paruh baya masih memegangi hidungnya, perutnya terasa diaduk-aduk.
Ingin sekali wanita paruh baya itu berlari ke kamar mandi, mengeluarkan semua isi dalam perutnya. Namun ia enggan melakukannya karena itu termasuk perbuatan yang tidak sopan di rumah tetangga.
"Aku akan membuka pintunya. Tapi setelah apa yang Bibi lihat, Bibi tak perlu terkejut atau takut," ucap Kevin, matanya menatap kosong pada wanita paruh baya di depannya.
Wanita paruh baya mengangguk ringan, walau tengkuknya kini mulai kembali terasa dingin, meremang. Wanita paruh baya bergidik ngeri, memperhatikan sekeliling. Semua benda yang berada di ruangan itu tak terawat.
Bahkan bekas pecahan gelas dan piring di lantai ruang depan masih berserakan di sana. Wanita paruh baya harus berhati-hati dalam melangkahkan kakinya saat melewati pecahan gelas dan piring itu.
Kevin mendekati pintu, tangannya memegang gagang pintu. Dia membuka pintu itu perlahan-lahan, deritan pintu itu terdengar cukup kasar, memecah keheningan.
'Suasananya mulai terasa aneh. Rumah ini benar-benar aneh,' batin wanita itu.
Wanita paruh baya menelan ludah, tak sabar melihat apa yang sebenarnya berada dalam ruangan itu. Tapi dirinya juga bergidik ngeri, merasakan tengkuknya yang meremang hebat.
Kini pintu terbuka lebar. Wanita paruh baya melangkah perlahan memasuki kamar mengekor di belakang Kevin. Saat dirinya sudah berdiri di ambang pintu, wanita paruh baya terbelalak.
Kedua kakinya bergetar, terasa lemas. Sulit rasanya untuk menggerakkan kaki itu, juga sulit rasanya untuk membuka mulut. Keringat dingin mulai keluar, membasahi wajah dan lehernya.
Kevin terdiam, matanya masih kosong menatap mayat sang Ibu yang masih tetap dibiarkan bergelantungan di langit-langit atap. Sementara mulut wanita paruh baya itu terkatup rapat, tak bisa membuka mulutnya.
Bahkan untuk menggerakkan lehernya saja tak bisa, seakan leher itu telah membeku. Kevin menoleh, lantas menepuk kasar punggung wanita paruh baya, dan membuatnya kembali tersadar.
"Nak, apa ini benar Bu Madya?" tanya wanita paruh baya, matanya nampak bergetar.
"Iya. Ibu bunuh diri lima hari yang lalu." Kevin nampak tenang, wajahnya datar nyaris tanpa ekspresi.
Wanita paruh baya kembali terbelalak, dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Perlahan dia melangkah mundur, tangannya merogoh saku baju, mengambil ponselnya.
Bu Madya mengubungi polisi, setelah itu dia membawa Kevin pergi keluar dari rumah, masih membiarkan mayat Bu Madya tergelantung di langit-langit atap.
"Kita di sini akan menunggu polisi datang. Kamu jangan takut ya, Kevin." Wanita paruh baya memegang tangan Kevin.
Selang setengah jam, akhirnya sekitar dua mobil kepolisian datang dan memakirkannya depan rumah Kevin. Salah satu polisi datang membawa garis larangan untuk masuk usai mayat Bu Madya dibawa keluar untuk dievakuasi.
"Apa aku tak bisa tinggal di sini?" tanya Kevin pada salah satu polisi wanita yang berdiri tak jauh darinya.
Polisi wanita menoleh, lantas berjongkok. Kedua tangannya memegang pundak Kevin seraya berkata dengan ramah.
"Tidak bisa. Apa kamu punya anggota keluarga lain?" tanya polisi wanita bernama Ariana itu. Kevin menggeleng ringan, matanya menatap kosong.
"Kamu sungguh kasihan." Ariana mengelus lembut kepala Kevin, tapi ekspresi Kevin masih tetap sama, dingin dan datar.
"Kami akan mengadopsinya." terdengar suara lelaki, Ariana menoleh ke sumber suara.
Sosok lelaki yang belum terlalu tua dan juga wanita cantik berdiri di halaman depan rumah Kevin. Raut wajah mereka nampak terlihat gusar, namun tetap memaksakan bibir mereka tersenyum ramah.
"Apa kalian saudara dari anak ini?" tanya Ariana.
"Tidak, bukan. Tapi kami akan menjaganya, kami mengenalnya."
"Baiklah. Jika kalian merasa mampu dan ingin, aku akan mengizinkan." Ariana menoleh pada Kevin, berharap anak itu akan mengerti. Dan Kevin hanya mengangguk tanda setuju.
'Aku akan segera mencarimu, Ayah. Tunggulah aku.'
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!