Semua orang sedang berkumpul di sebuah pemakaman umum, mereka menggunakan pakaian serba hitam. Terdengar isak tangis banyak orang disana, sepertinya mereka sangat kehilangan.
Saat pemakaan hampir selesai ada seorang gadis cantik yang datang dan membuat keadaan disana menjadi kacau, dia adalah Vania Zelvita. Tunangan dari laki-laki yang baru di kuburkan itu, bahkan sebagai tunangan nya dia tidak bisa melihat wajah pacarnya untuk terakhir kali.
Vania berjalan mendekat kesana, beruntung sudah banyak kerabat yang sudah pulang. Hanya tinggal keluarga dekat saja, termasuk orang tua dari laki-laki itu dan para saudaranya.
"Kamu...!! untuk apa kamu kesini?" seorang wanita parubaya meneriakinya.
"Aku kesini karena ingin melihat makam pacarku, apa aku salah?" dengan keberaniannya dia balik bertanya.
"Lihat dia sangat berani datang kesini dengan angkuh nya, apa kamu sudah puas. Kamu membunuh putra kesayangan ku!!" teriaknya lagi sambil mengoyangkan tubuh Vania.
"Sudah kami bilang jangan datang lagi kehadapan kami, tapi kamu masih saja tidak punya malu. Andai Brayen tidak menemuni kamu malam kemarin, pasti dia masih hidup sekarang!" sambung laki-laki paru baya yang berada disampingnya.
"Itu semua kecelakaan Pa, Vania juga tidak mau ini terjadi. Jangan salah kan Vania!" jawab Vania sambil menangis.
"Iya itu memang kecelakan, kecelakaan itu terjadi karena dia tau kamu berselingkuh dengan laki-laki lain. Sekarang kamu sudah bebas putra ku sudah meninggal, puas kamu!!" wanita itu adalah Mama Brayen yang juga ikut menangis sambil emosi saat bertemu dengan wanita yang menjadi penyebab meninggalnya putra nya.
Bagaimana tidak merasa kehilangan, Brayen adalah putra mereka satu-satunya dan dia hanya punya satu kakak perempuan. Bisa di bilang dia adalah anak kesayangan di keluarga mereka, semua orang yang berada disana juga menatap tak suka pada Vania.
"Vania sudah menjelaskan sama Mama, kalau Vania tidak berselingkuh. Mama harus percaya!" mohon Vania sambil memegang tangan wanita itu.
"Dasar wanita pembawa sial!!" jawabnya sambil menampar muka Vania.
"Plakkk..." tamparan keras itu membuat pipi mulus Vania memerah.
"Jangan pernah panggil aku Mama dan jangan dekati keluarga kami lagi! Hubungan kita berakhir sampai disini" sambungnya memberikan peringatan pada Vania.
"Sudah lah Ma, percuma bicara pada nya panjang lebar. Brayen tidak akan kembali, ayo kita pulang sekarang" sahut Veby, kakak nya Brayen dan dia mengajak Mama nya serta yang lain nya pulang dari sana.
"Aku berdoa semoga kamu tidak akan pernah bahagia" ucap Mamanya Brayen sebelum pergi dari sana.
"Vania akan buktikan kalau Vania tidak salah dan Vania bukan wanita pembawa sial!! " teriak Vania tapi semua nya tidak menghiraukan ucapan nya.
Mereka pun pergi dari sana, tinggal lah Vania seorang diri disana. Dia terduduk didepan makam yang masih basah, Vania memangis sejadi-jadinya. Bahkan berulang kali dia minta maaf karena pertengkaran mereka membuat Brayen kecelakaan, Vania juga menyesal dengan kejadian ini.
"Maaf kan aku Mas, seharusnya ini tidak terjadi. Kamu tau aku sangat mencintai kamu, mana mungkin aku berselingkuh dengan laki-laki lain" ucap Vania sambil mengelus foto Brayen.
"Jika boleh memilih aku juga mau ikut Mas saja, agar rasa sakit ini juga hilang" Vania memukul-mukul dadanya yang sesak.
"Aku tidak mau hidup dalam penyesalan seperti ini!!" teriak Vania sambil memukul-mukul dada nya.
Berjam-jam dia disana memeluk makam Brayen, beruntung tidak ada orang lain lagi disana. Dia bisa menangis sesuka hatinya, tapi lama- kelamaan tubuhnya melemah dan Vania memejamkan matanya.
.
.
Malam harinya seorang penjaga makam datang untuk berjaga malam, kebetulan akhir-akhir ini banyak yang menggali makam pada malam hari dan membuat warga resah.
Saat mengarahkan senternya dia terkejut saat melihat seorang wanita sedang terbaring disana, dia takut apa itu jasad atau bukan jadi dia memutuskan untuk berlari ke depan mencari bantuan.
"Siapa itu? kenapa malam-malam masih disini?" tanya laki-laki itu.
"Apa dia sudah meninggal atau belum? lebih baik aku cari bantuan" sambungnya lalu pergi dari sana.
Beberapa menit kemudian dia membawa dua orang laki-laki yang sedang berada di warung di dekat makam, saat laki-laki itu menceritakan kalau dia bertemu dengan seorang wanita yang tergeletak di dekat makam. Mereka semua langsung menuju kesana, mereka terus memanggilnya tapi dia masih tidak bangun.
"Apa itu wanita nya?" tanya mereka pada bapak penjanga makam tadi.
"Iya itu dia, saya takut dia sudah meninggal. Apa kita telpon polisi saja?" bapak itu balik bertanya.
"Tidak usah, biar saya cek napasnya dulu" dia berjongkok dan mendekatkan tanganya ke hidung Vania.
Salah satu dari mereka mendekatinya dan mengecek napas nya dan bersyukur dia masih bernapas, salah satu dari mereka mengangkat tubuhnya untuk pergi dari sana.
"Dia masih bernapas" sambungnya kemudian.
"Ayo bawah dia, kita kerumah sakit sekarang!" jawab bapak penjaga makam itu.
Mereka membawa Vania ke rumah sakit terdekat dengan menggunakan mobil angkot yang di kendarai oleh dua laki-laki tadi, banyak orang yang melihat juga disana.
Setelah beberapa menit kemudian mereka sampai kerumah sakit dan langsung membawa Vania keruang IGD, dokter dan perawat langsung memeriksanya.
Beberapa menit kemudian perawat menanyakan identitas pasien, mereka bingung saat di tanya oleh perawat karena mereka juga tidak kenal dengan wanita itu.
"Permisi apa bapak keluarga pasien?" tanya perawat wanita pada mereka bertiga.
"Bukan sus, kami hanya warga yang menemukan wanita itu pingsan di pemakaman tadi. Apa kondisi nya baik-baik saja?" tanya bapak pejaga makam.
"Dia baik-baik saja, hanya kelelahan dan kurang cairan, makanya dia pingsan tapi kata dokter dia harus dirawat inap untuk pemulihan. Apa ada barang pasien saat kalian menemukanya tadi?" perawat itu bertanya lagi.
"Cuma ada ini sus" bapak itu mengeluarkan ponsel dari kantong celana nya.
"Coba saya lihat, apa ponselnya di kunci?" tanya nya lagi sambil mengambil ponsel itu.
Beruntung ponselnya tidak dikunci, hanya baterai ponselnya hampir habis. Dengan cepat perawat itu mencarin kontak keluarga pasien, dengan mudah dia menemukan nama Papa disana dan perawat itu langsung menghubungi nya. Banyak juga panggilan tak terjawab dari kontak bernama Papa ini, benar saja tidak lama kemudian panggilanya diangkat.
"Hallo, sayang kamu dimana? Mama dan Papa sangat khawatir" ucapnya terdengar sangat khawatir.
"Hallo, apa pemilik ponsel ini adalah anak bapak?" tanya perawat itu.
"Iya benar, kenapa ponsel Vania ada dengan anda?" dia balik bertanya.
"Anak bapak tadi ditemukan pingsan di pemakaman dan saat ini dia sedang dirawat inap dirumah sakit Tiara Maria, saya harap bapak bisa langsung datang kisini !" jelas perawat itu.
"Pingsan? baiklah saya akan segera kesana" jawabnya lagi dan panggilan pun berakhir.
Setelah itu ketiganya memutuskan untuk pulang karena keluarga wanita itu akan datang, tapi perawat menyarankan untuk salah satu dari mereka menunggu disini sampai keluarga wanita tadi bener-benar datang.
"Sebaiknya saya tinggal disini, kalian pergi lah. Terima kasih sudah membantu" ucap bapak penjaga makam itu.
"Sama-sama Pak, kalau begitu kami permisi dulu" jawab mereka berdua.
Tinggal lah bapak itu diruang tunggu IGD, dia akan menunggu keluarga gadis itu datang. Kasihan juga wanita tadi, mungkin dia adalah salah satu kerabat orang yang baru saja di kuburkan tadi siang pikir nya dalam hati.
.
.
Bersambung...
Halo teman-teman terima kasih sudah mampir di karya author yang baru, mohon dukungan nya. Jangan lupa tinggalkan jejak kalian like dan komen ya 😁❤
Dua hari kemudian setelah pulang dari rumah sakit, Vania hanya mengurung dirinya di kamar. Bahkan dia tidak mau makan dan membukan pintu nya, ini membuat Mama dan Papa nya sangat khawatir karena mereka hanya punya Vania.
Tidak mudah untuk mendaptkan Vania di dunia ini, setelah 7 tahun pernikahan baru lah Mama nya hamil itu pun karena program bayi tabung. Jadi Vania adalah putri mereka yang sangat berharga, Papa dan Mama nya sangat menyayanginya.
Mama Risma terus mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban dari Vania, karena tidak membuka pintu Mama mengintip dari lubang kunci dan dia melihat Vania memegang pisau ditanganya.
"Apa yang kamu lakukan sayang, Mama mohon jangan lakukan itu!! buka pintu nya..." teriak Mama yang sudah menangis histeris.
"Papa...! Papaaa....!!" teriak Mama dan membuat semua orang yang berada di sana langsung menuju kamar Vania.
Papa datang saat mendengar teriakan istrinya, dia memang sengaja tidak masuk kerja karena mengingat kondisi Vania yang belum membaik. Papa dan Mbok Mirna berlari kencang menaiki tangga, saat di depan kamar Vania istrinya sudah menangis sambil terduduk menggedor-gedor pintu.
"Ada apa? kenapa Mama menangis ?" tanya Papa dan Mbok Mirna yang bekerja dirumah mereka juga ada disana.
"Itu Vania memegang pisau di tanganya, cepat buka pintu nya" tunjuk Mama sambil menangis.
"Apa..?" ucap Papa terkejut dan langsung berusaha mendobrak pintu nya.
"Cepat cari kunci serap digudang Mbok" sambung Papa yang menyuruh Mbok Mirna mencari kunci lain.
"Baik Tuan" jawabnya lalu pergi dari sana menuju gudang belakang, memang semua kunci dan barang-barang disimpan digudang.
"Sayang buka pintu nya, Papa mohon jangan lakukan hal aneh. Kami sangat menyayangi kamu!!" sambung Papa lagi tapi Vania masih tidak menjawab, malahan tangisanya semakin kencang.
"Ma tolong bawah palu kesini...cepat!!" ucap Papa lagi dan Mama langsung berlari kebawah untuk mengambil palu.
Beberapa menit kemudian Mama datang bersama dengan Mbok Mirna, mereka membawa banyak kunci dan juga palu. Papa mencoba mencoba merusak kuncinya sedangkan Mama dan Mbok Mirna sibuk mencari kuncinya, kunci itu tergabung menjadi satu jadi agak susah mencari yang mana yang cocok dengan pintu kamar Vania.
Belum sempat kunci itu ditemukan Papa sudah merusak pintu nya suluan, Papa langsung mendorong pintu nya. Mama langsung berlari kearah Vania masih terduduk disana, dengan tatapan kosong dan pisau itu juga masih di tanganya.
"Sayang Mama mohon jangan lakukan ini, hanya kamu yang Mama dan Papa punya" Mama langsung memeluk Vania dan Papa melepaskan pisau ditanganya.
"Untuk apa Vania hidup Ma? rasa bersalah dan kebencian mereka memuat Vania sakit" tanya Vania sambil memukul dada nya dengan satu tangan.
"Rasanya sakit sekali disini " Vania menangis kencang di pelukan Mama nya, mereka tau ini memang tidak mudah untuk Vania. Tapi tidak dengan begini cara menyelesaikan masalag ini, itu juga buka kehendak mereka.
"Cepat bawah pisau ini dan singkirkan benda tajam lainnya" suruh Papa dan Mbok Mirna pun mengambil pisaunya lalu pergi dari sana.
"Baiklah Tuan, saya permisi dulu" jawabnya.
"Kamu masih punya Mama dan Papa disini, tidak akan ada yang bisa menyakiti kamu lagi. Sudah Mama bilang jangan temui keluarga mereka lagi" Mama juga ikut menangis dan Papa ikut memeluk mereka.
"Apa sebaiknya kita pindah dari sini dan memulai hidup baru di jakarta, apa kamu mau sayang?" tanya Papa sambil menghapus air matanya.
"Papa benar, ayo kita pindah dari sini. Mama yakin kamu bisa melupakan semua nya" Mama mengelus kepala Vania.
Berat rasanya untuk meninggalkan tempat kelahiranya, banyak kenangan manis disini. Tapi kenangan paling buruk juga tejadi, Vania kehilangan belahan jiwa nya.
Setelah membujuk Vania, akhirnya dia mau pindah ke jakarta untuk menenangkan dirinya. Papa juga sudah berencana mengurus ke pindahanya kekantor pusat di jakarta, Papa saat ini bekerja sebagai manajer di salah satu Bank Swasta.
Sedangkan Mama dulu juga salah satu pagawai Bank disana, mereka bertemu dan jatuh cinta lalu memutuskan untuk menikah. Tapi setelah pernikahan mereka sampai saat ini dia berhenti bekerja karena Papa meminta nya untuk mengurus rumah dan fokus pada Vania saja.
.
.
Satu minggu berlalu, Papa sudah mengurus semuanya. Dia bahkan sudah membeli rumah di jakarta dan mereka akan langsung pindah hari ini, Mbok Mirna juga ikut pindah bersama mereka. Dia adalah janda yang ditinggalkan suaminya, dia hanya dua orang anak dan mereka sudah berkeluarga.
Mereka sibuk memasukan barang kedalam mobil, karena sebentar lagi jam penerbangan mereka tiba. Setelah selesai Mama mengajak Vania untuk masuk kedalam mobil dan beberapa saat dia memandang sedih melihat rumahnya, begitu juga dengan Papa dan Mama.
"Ayo kita masuk sayang, nanti kita telat" ajak Mama sambil merangkul pundak Vania.
"Semoga keputusan ku untuk menghindari semua ini adalah keputusan yang benar' ucap Vania dalam hatinya lalu dia masuk kedalam mobil.
Beberapa menit kemudian mereka sudah sampai bandara, setelah menunggu mereka pun memasuki pesawat. Perjalanan yang cukup panjang karena banyak hal yang harus di tinggalkan dan semua kenangan indah disini.
Vania tidak banyak bicara sampai dirumah baru pun dia hanya diam, Mama dan Papa berencana membawanya untuk konsultasi dengan psikolog. Dia takut mental Vania juga terganggu karena ini, mana ada orang tua yang mau hidup anak nya seperti ini.
Rumah baru mereka tidak kalah bagus nya dari rumah lama, punya halaman yang cukup luas. Papa sengaja memilih rumah ini karena tempatnya juga dipusat ibu kota dan dekat dengan kantornya, mereka berharap Vania akan betah tinggal disini.
"Ayo kita masuk sayang, ini adalah Pak Zalim. Dia yang bekerja menjaga rumah dan sopir dirumah kita, Papa juga akan sering pergi keluar kota untuk mengurus ke pindahan Papa" ucap Papa saat Pak Zalim menyambut kedatangan mereka.
"Selamat datang Tuan dan Nyonya" sambungnya sambil menundukan kepalanya.
"Iya Vania tau Pa, salam kenal Pak Zalim" jawab Vania sambil tersenyum kecil.
Setelah itu Vania langsung diajak oleh Mama nya untuk masuk kedalam kamarnya, Vania bebas memilih kamar yang dia mau.
"Kamu bisa pilih kamar yang mana aja" sambung Mama sambil merangkul Vania keliling rumah.
"Terima kasih banyak Ma, Vania pilih yang itu saja" tunjuk Vania kamar yang diatas, dia bisa melihat kearah jalan langsung dan pemandangan nya sangat indah.
"Sama-sama sayang, ayo Mama antar" Mama mengantar Vania dan menyuruh dia istirahat karena perjalanan jauh.
Setelah sampai di kamar nya Vania berbaring, Mama duduk disamping Vania sambil mengelus kepalanya. Beberapa menit kemudian Mama berdiri dari duduk nya dan ingin pergi dari sana, tapi Vania menarik tangan Mama nya.
"Istirahatlah, kamu pasti capek. Mama kebawah dulu bantu Mbok menyusun barang" Mama mengelus pipi Vania lalu berdiri.
"Mama..!" panggil Vania sambil masih memegang tangan Mama nya.
"Iya ada apa sayang?" tanya Mama kembali duduk.
"Terima kasih..." ucap Vania tulus dan membuat Mama tersenyum lalu mencium kening Vania.
"Sama-sama jangan berterima kasih terus, sudah tugas Mama melakukan ini semua" jawab Mama sambil memegang tangan Vania.
"Pokoknya kamu harus tau Mama sangat menyanyangi kamu, jadi jangan lakukan hal bodoh lagi" Vania pun menganggukan kepalanya.
"Apa mama boleh pergi sekarang?" tanya nya setelah Vania melepaskan tangan Mama nya.
"Iya Mama boleh pergi" jawab Vania sambil tersenyum.
Setelah itu Mama nya pergi lalu menutup pintu, Vania berusaha memejamkan matanya. Buka lelah perjalanan tapi rasa lelah dan ingatan tentang keluarga Brayen masih terus muncul di kepalanya, Vania berusaha keras untuk melupakan itu tapi dia tidak bisa.
.
.
Bersambung...
Sudah satu bulan mereka pindah, Vania hanya menghabiskan waktunya dirumah bersama Mama nya. Dia merindukan pekerjaanya, dia akan meminta izin pada Mama nya untuk mencari pekerjaan.
Jujur saja walaupun dia selalu di manja oleh orang tua nya tapi Vania adalah wanita yang pekerja keras, bahkan dia sudah bisa membeli mobil dengan uang tambunan nya.
Saat ini dia sedang duduk berdua di gazebo belakang rumah sambil menikmati buah-buahan dan cemilan, Vania memeluk Mama nya. Mereka mengobrolkan banyak hal termasuk soal pekerjaan, padahal orang tua nya tidak memaksa dia sama sekali.
"Ma apa aku boleh mencari pekerjaan? aku bosan dirumah" ucap Vania sambil melihat wajah Mama nya.
"Kamu mau bekerja dimana sayang? apa di Bank seperti kemarin. Suruh Papa saja yang mencarikan nya?" Mama balik bertanya pada Vania.
"Ma kali ini biarkan Vania sendiri yang mencari pekejaan, Papa sudah repot mengurus kepindahannya dan aku tidak mau menambah pekerjaan nya" Vania melepaskan pelukanya.
"Apa kamu yakin sayang? jujur Mama tidak memaksa kamu untuk cepat bekerja lagi" jawab Mama meyakinkan Vania.
"Vania yakin, bukan kah Mama yang bilang Vania harus bangkit dari kesedihan Vania" Vania memegang tangan Mama nya.
"Baiklah nanti akan Mama bicarakan sama Papa" Mama menganggukan kepalanya.
"Terima kasih, Mama memang yang terbaik" Vania kembali memeluk Mama nya.
"Kamu baru tau kalau Mama yang terbaik? jahat sekali" goda Mama nya sambil menggoda Vania.
"Bukan begitu, Mama menang sudah jadi yang terbaik dari dulu" Vania mengacungkan jempolnya.
"Sayang..." ucap Mama tiba-tiba.
"Iya ada apa Ma?" tanya Vania sambil menggit buah apel ditanganya.
"Apa besok kamu kau ikut ke psikolog? Mama tidak memaksa hanya ingin kamu berkonsultasi saja. Mama tau kamu masih sering menangis tengah malam, iya kan?" Beberapa saat Vania terdiam.
"Apa Mama mendengarnya? padahal aku sudah menahan nya" jawabnya Vania sambil menundukan kepalanya.
"Emm... baiklah aku akan pergi kalau itu yang terbaik kata Mama" sambung Vania lagi.
"Iya Mama senang kamu mau" Mama tersenyum senang.
Setelah itu dia melanjutkan makan buah nya, Vania pikir ide Mama nya tidak buruk. Siapa tau setelah ini dia bisa menjadi diri sendiri dan seperti dulu lagi, serta membuang semua rasa cemas dan takut yang dia rasaakan saat ini.
.
.
Besok pagi nya Mama benar-benar mengantarnya pergi, Papa juga senang saat Mama bilang Vania mau konsultasi. Vania sudah terlihat rapi dengan dress nya, Mama menunggu Vania didekat mobilnya karena sebentar lagi mereka akan pergi.
"Putri Mama sangat cantik sekali" puji Mama saat Vania datang menghampirinya.
"Terima kasih, Mama juga sangat cantik. Orang bisa berpikir kalau Mama adalah kakak aku" jawabnya sambil tersenyum.
"Kamu bisa saja ayo masuk, biarkan Mama yang menyetir" jawabnya dan Vania pun menganggukan kepalanya lalu masuk kedalam mobil.
Mama memang sudah hapal jakarta karena dulu dia kuliah disini, walaupun sudah puluhan tahun yang lalu tapi dia masih cukup hapal. Banyak kerabat Mama juga disini, karena dulu nya Oma adalah orang asli jakarta. Oma dan Opa meninggal sebelum Vania lahir, jadi dia tidak mempunyai kenangan manis bersama mereka dan hanya bisa melihat foto nya saja.
Sedangkan orang tua Papa hanya tinggal Nenek, dia tinggal dikota B. Kalau kakek sudah meninggal saat Vania masih di sekolah dasar, Nenek lebih memilih tinggal disebuah desa dan mengurus perkebunan nya disana.
"Mama pasti sangat merindukan jakarta? cuba Mama ceritakan masa kuliah Mama dulu" tanya Vania saat mereka masih dalam perjalanan.
"Iya Mama memang sudah cukup lama tidak kesini, terakhir kemarin adalah saat pernikahan anak tante Mila" jawab Mama sambil masih fokus menyetir.
"Mama bingung mau mulai cerita dari mana?" sambung Mama lagi.
"Baiklah kalau begitu biarkan Vania yang bertanya?" jawabnya karena memang Vania adalah anak yang banyak bicara, makanya kalau dia diam terus membuat semua orang khawatir.
"Apa Mama punya banyak mantan dulu, Mama kan sangat cantik waktu kuliah?" sambung Vania.
"Kamu ini ada-ada aja, Mama nggak suka pacaran dan Papa kamu adalah pacar kedua Mama" jawab Mama nya santai.
"Benarkah, berarti Mama punya cinta pertama? siapa dia? apa dia tampan?" tanya Vania bertubi-tubi dan membuat Mama langsung tertawa kecil karena cerewet anak nya sudah mulai kembali.
"Tanya nya satu-satu dong sayang, Mama bingung mau jawab yang mana dulu. Emm cinta pertama Mama orang nya tampan dan baik, bahkan dia lebih tampan dari Papa kamu. Jangan bilang Papa ya! nanti dia cemburu" bisik Mama sambil tersenyum.
"Benarkah? apa dia setampan itu?" tanya Vania dan Mama menganggukan kepalanya.
"Sudah jangan bahas mantan Mama, tanya yang lain saja" sambung Mama lagi.
"Apa Mama juga pernah putus cinta?" tanya Vania lagi dan membuat Mama terdiam sejenak, dia tau kemana arah pembicaraan putrinya.
"Sayang sudah lah jangan bahas ini lagi, nanti kamu keingat lagi. Oh iya apa kamu mau nongkrong bareng Mama pulang nanti?" Mama mengalihkan pembicaraan.
"Emm baiklah aku mau, emang Mama tau dimana tempat nongkrong enak? udah kayak anak mudah jaman naw banget" jawab Vania mengejek Mama nya.
"Jangan mengejek Mama, walaupun umur sudah tua tapi jiwa harus tetap muda sayang. Itu adalah salah satu cara agar awet mudah" ucap Mama berhasil membuat Vania tertawa.
Beberapa menit kemudian mereka sudah sampai dan Mama mengajak Vania untuk turun, ternyata Mama tau tempat psikolog ini dari tante Mila. Katanya orang yang pernah kesini kebanyakaan berhasil mengatasi masalah mereka, Mama berdoa semoga saja ini juga berlaku untuk Vania.
Mama tidak mau Vania terus menerus dalam bayang-bayang, bisa jadi dia akan trauma untuk memulai hubungan kembali.
"Kita sudah sampai sayang, ini tempatnya" ucap Mama setelah memarkirkan mobilnya.
"Apa benar ini tempatnya nya Ma, lebih mirip kafe antik" jawab Vania sambil bertanya pada Mama nya.
"Iya sayang, ayo turun" mereka pun turun dan saat masuk kesana.
Saat masuk ternyata kedatangan mereka sudah disambut dengan ramah dan baik, karena Mama sudah membuat janji sebelumya dan pemilik tempat ini adalah teman baik tante Mila.
"Selamat datang Bu Serlita dan Vania kan?" sapanya ramah.
"Terima kasih Bu Della, kami kesini karena mau konsultasi masalah yang aku ceritakan kemarin" jawab Mama dan Bu Della menganggukan kepalanya sambil tersenyum.
"Sama-sama, ayo kita masuk kedalam dan mengobrol dengan santai" ucapnya dan mereka pun mengikuti Bu Della untuk memasuki ruanganya.
Mama menunggu Vania sampai selesai, butuh waktu 3 jam lebih untuk Vania menceritakan semuanya dan dia bilang setelah mengeluarkan isi hatinya dia agak legah.
Tadi dia sempat menangis lagi tapi Mama selalu duduk disampingnya dan memegang tangan nya dengan erat, Vania merasa disayangi dengan itu.
.
.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!