Sebelum membaca.
Hay! Salam kenal semuanya. Ini cerita pertamaku digenre romance dan pernikahan. Semoga kalian suka:)
Oiya, jika ada salah kata atau salah informasi tentang dunia kedokteran karena aku dapet sumber dari google. Jadi, koreksi aja ya hehe. Atau disini ada yang berprofesi sebagai dokter spesialis bisa dong berbagi ilmu? hehe...
Selamat menikmati karyaku... Semoga terhibur:)
Oiya jangan lupa mampir ke storyku yang baru judulnya: Pernikahan di atas kertas. Nggak kalah rame dan bikin baper, loh!
Namanya Adela Putri Wijaya, anak dari seorang pejabat daerah yang kini harus terbaring di rumah sakit karena penyakit jantung bawaanya kembali kambuh. Gadis yang sedang menjalani pendidikan di salah satu universitas terkenal di Jakarta itu harus rela menuda masa belajarnya, mungkin untuk beberapa minggu ke depan.
"Pah...," katanya lirih, tubuhnya masih lemas tidak berdaya berbaring di ranjang rumah sakit.
Kegiatan pendakian membuat kondisinya down. Padahal seingat Adel tidak ada kegiatan yang benar-benar menguras tenaga, namun ketika kejadian menghilangnya salah satu temannya di hutan membuat Adel terkejut bukan main, sampai jantungnya terasa sangat sakit.
"Bima gimana Pah, dia udah ketemu?" Adel menanyakan teman seangkatannya itu. Ia sungguh khawatir dan ingin tahu kabar terbarunya.
Sang Ayah yang setia menunggu di kursi sebelah ranjang rumah sakit, mengelus lembut rambut Adel dengan penuh rasa kasih sayang. "Sayang, kamu tenang aja Bima sedang dievakuasi oleh tim sar. Dia sudah ditemukan beberapa jam yang lalu."
Adel menghela napas lega, matanya memejam bersyukur teman dekatnya itu sudah ditemukan.
"Maafin Adel Pah, nggak nurutin perkataan Papah dan lagi-lagi Adel nyusahin Papah," katanya berubah sedih.
Acara pendakian ke salah satu objek wisata di Kota Bandung tersebut memang menantang. Adel suka hal-hal yang berbau dengan alam. Dia menghiraukan kondisi tubuhnya yang tidak normal seperti kebanyakan teman yang lain, hingga membuatnya mendapatkan karma 'instan'.
"Nggak apa-apa sayang, ini sudah kewajiban Papah untuk menjaga satu-satunya wanita yang ada di keluarga Wijaya. Kamu istirahat saja, jangan berpikiran macem-macem tentang hal lain. Pokuskan dulu dengan kesehatan tubuh. Papah mau keluar, nyari makanan. Bentar lagi, ada dokter yang ke sini."
Adel hanya bisa mengangguk, pertanda memahami ucapan Papahnya.
Tidak lama kemudian, setelah Papah keluar dari kamar rawat. Seorang dokter dengan satu perawat membuka pintu. Adel taksir dokter tersebut berumur dua puluh lima tahunan.
Tapi ketika melihat wajahnya Adel merasa asing. Apa dokter baru? Karena biasanya yang menangani Adel adalah Dokter Fatma, wanita paruh bayah yang sudah memiliki cicit lima. Adel sudah hampir hapal dokter-dokter yang berada di rumah sakit ini, karena setengah umurnya dihabiskan di sini.
"Hai, Adel? Gimana keadaanya sudah merasa baikkan?" tanyanya menghampiri ranjang Adel. Tangan dokter tersebut mengambil stetoskop yang menggantung di lehernya. Kemudian menempelkan benda tersebut di bagian dada Adel yang tertutup baju khusus rumah sakit.
Adel tersenyum, jantungnya berdetak cepat bahkan membuat jam pendeteksi detak jantung yang melingkar di lengannya terus-terusan berbunyi, persis ketika dokter itu memajukan sedikit tubuhnya untuk memeriksa.
Adel mengerjap dengan rasa gugup dia berbicara. "Dok, aku nggak apa-apa, gausah khawatir. Kebiasaan nih, jamnya udah mulai rusak suka bunyi tiba-tiba."
Dokter itu mengangguk, mengulum senyum. Nampaknya pasien muda satu ini sedang terpesona dengan wajah tampannya. Bukan dia terlalu percaya diri, tapi pembuktiannya sudah banyak. Pipinya bersemu merah.
"Nama dokter siapa?" Adel menghela napas lega saat jamnya sudah tidak berbunyi lagi.
Adel bisa lihat, dokter itu
menyuruh perawat yang berada di sampingnya untuk menuliskan sesuatu yang tidak Adel mengerti.
"Saya Tomi dokter baru kamu."
"Emang Dokter Fatma kemana?"
"Oh, Ayah kamu belum bilang kalau Dokter Fatma sudah pensiun?"
Mendegar hal itu, Adel menampilkan mimik sedihnya. Tidak rela dokter yang menanganinya sejak kecil itu harus pensiun.
"Kenapa kamu keliatan nggak senang?" tanya Dokter Tomi, tangannya mengambil wadah infus yang isinya hampir habis. Ia menggantinya dengan yang baru.
"Dokter Fatma udah aku anggap Ibu kedua, dia baik banget suka ngasih semangat. Terus waktu kecil kalau aku nangis karena kesakitan sering dibeliin hadiah," balas Adel dengan nada polos.
"Wah, kira-kira kalau saya yang menangani kamu dari kecil. Kamu bakal anggap saya apa?"
Adel kebingungan dengan pertanyaan dokter itu, mungkin sedang melawak?
"Nggak lucu ya?" Dokter Tomi tertawa garing.
"Dokter aneh."
"Kamu orang kesekian yang bilang saya aneh." Dokter tersebut tertawa, membuat Adel bergidik ngeri. Ganteng sih tapi aneh!
"Sudah ya ngajak ngobrolnya. Saya mau keliling dulu ke pasien lain," pamit Dokter Tomi membuat Adel mendelik. Memang siapa yang mengajak dokter itu mengobrol? Bukannya dia yang nanya duluan, nyebelin banget.
Adel menatap dokter itu sampai pintu tertutup rapat. Ada satu hal yang Adel sukai dari dokter aneh itu dia memiliki kharisma yang mempesona. Tubuhnya yang tegap dengan dada bidang, kalau kata anak zaman sekarang itu sangat pelukable. Ah, Adel jadi membayangkan bagaimana rasanya bersandar di sana.
***
Tomi Bagus Alamsyah, Dokter Spesialis Jantung. Ia berumur tiga puluh tahun, sekarang bekerja di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Dokter yang masih terbilang muda itu tengah menerima telepon.
Setelah memeriksa salah satu pasiennya, dia langsung kembali ke ruangannya karena pasien yang berada di kamar rawat sudah selesai di-check up.
Tomi duduk di kursi yang baru beberapa hari menjadi miliknya. Dia menyender santai dengan ponsel menempel di telinga.
"Halo kesayangan ayah?" tanyanya setelah mendial nomor dengan nama 'Little Girl'.
"Ayah! Kiki di sekolah dapet bintang lima, kata Bu gulu gambal punya Kiki bagus."
"Anak Ayah hebat sekali! Emang Kiki gambar apa?"
"Gambal boneka belbie, hihi tapi Kiki ndak bisa bikin palanya. Palanya gede ndak bulet sempulna, tapi kata Bu gulu tetep bagus, Ayah!"
"Keren! Nanti Ayah masukin les gambar mau?"
"Ih, ndak mau Ayah! Kiki capek pagi sekolah, pulang sekolah telus les piano, belum les nyanyi. Ndak mau les-les lagi!"
"Yaudah iya maafin Ayah ya sayang. Sebagai permintaan maaf, Kiki mau dibeliin hadiah apa?"
"Eummm... Ayah ndak usah kasih hadiah. Tapi... Ayah harus nginep sini rumah mama, Kiki kangen."
"Maaf sayang, Ayah ada shift malam hari ini."
"Nanti-nanti telus tapi nggak pernah jadi. Kiki ndak suka!"
"Hari minggu nginep di rumah Ayah, oke?"
"Ndak mau, nenek galak." Terdengar nada kecewa dari suaranya, membuat Dokter Tomi menghela napas.
"Jangan sedih, nanti Ayah ikutan sedih."
"Ayah yang bikin Kiki sedih."
"Maafin, Ayah janji nggak akan begini lagi. Ayah akan luangin waktu yang banyak buat Kiki."
"Bohong telus, udah ah males ngomong sama Ayah."
Tut.. Tut... Tut...
Sambungan dimatikan secara sepihak, Dokter Tomi memijat kepalanya yang tiba-tiba pusing. Dia merasa bersalah dengan gadis kecil itu, tapi ada beberapa alasan yang membuatnya tidak bisa mengabulkan permintaannya.
"Maafin Ayah sayang," katanya lirih seraya mengelus layar ponsel yang menampilkan foto anak perempuan berumur lima tahun yang sedang menunjukan giginya. Anak itu terlihat bahagia berdiri di tengah-tengah kedua orangtuanya.
TBC
***
Jangan lupa vote, coment, like dan rate. Makasih 😁
Seminggu sudah Adel berada di rumah sakit 'Bunda' dan belum diperbolehkan untuk pulang, tapi kondisinya sudah lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Adel sudah bisa bangun, bahkan jalan-jalan pagi ke taman yang berada di sekitar rumah sakit.
Pagi ini Adel mengawali harinya dengan menonton televisi, yang menampilkan sebuah kartun zaman dirinya kecil, Tom and Jerry.
Gadis yang beranjak dewasa itu tertawa ketika Tom yang selalu mengejar Jerry, lagi-lagi terkena batunya. Tontonan yang tidak pernah membuatnya bosan.
Ceklek!
Adel menoleh ke arah pintu, ketika melihat siapa orang tengah menatapnya di mulut pintu. Ia langsung beranjak dan berlari ke arah orang itu.
"Abangg!"
Layaknya gadis manja berumur sepuluh tahun, Adel bergelendot manja kepada cowok jangkung yang dipanggilnya dengan 'Abang'.
Lain lagi dengan ekspresi yang ditunjukan Adel, cowok itu malah mendelik terkesan malas. "Berhenti panggil gue abang!"
Adel tertawa geli, kemudian mencubit pipinya. "Ihh, gemes! Abang udah besar ya! Satu minggu nggak ketemu kangen!"
"Kak!" bentaknya dengan nada tidak suka, tangannya menghempaskan tangan Adel dari pipinya.
"Masih pagi jangan marah-marah, Bang."
Cowok itu dengan raut wajah ngambek, menubruk boddy Adel kemudian duduk di salah satu soffa sambil melipat tangan di dada. "Gue adek lo, berhenti panggil gue Abang!"
"Dih, emang kenapa? Orang-orang sering nyangka kamu Abangnya."
"Iya, makanya gue nggak suka kalau jalan bareng lo. Males banget, gue masih muda disamain sama lo yang udah tua!"
"Ih, Alfi umur Kakak masih 19 tahun!"
"Dan gue baru 15 tahun!"
Adel cemberut. "Beda empat tahun doang."
"Tetep aja lo udah tua," balasnya. Kemudian menunjuk kantung berbahan dari kain yang tergeletak di dekat pintu yang sudah tertutup. "Tuh gue bawa titipan Papah."
Adel mengambilnya, lalu melihat isinya. "Kenapa buah-buahan terus, sih?" cebik Adel kesal, dirinya tidak suka dengan buah. Aneh memang, Adel lebih memilih suplemen yang mengandung buah daripada memakan buah tersebut secara langsung.
"Lo harus biasain makan buah, ini kan buat kesehatan lo juga." Alfi memang terlihat cuek pada kakaknya itu tapi lebih dari apapun dia sangat mencintainya.
Adel menatap adiknya dengan tatapan haru. "Fi, kamu nggak salah makan kan? Sejak kapan khawatir sama kondisi Kakak?"
"Salah terus." Alfi sudah malas berbicara, dirinya mending diam saja.
Adel tertawa geli melihat raut wajah Alfi. "Oiya, kamu ke sini sama siapa?" tanya Adel kemudian, gadis itu berjalan menuju ranjangnya dan duduk di sana.
"Kak Friska."
"Terus Kak Friska di mana sekarang?" Adel menanyakan Kakak Iparnya yang menikah dengan Kakak pertamanya, Kak Albar.
"Balik lagi, dia ada kerjaan."
Adel mendesah kecewa. "Padahal Kakak mau nanya."
"Nanya apa?"
"Itu Kakak udah chat Bima tapi nggak ada balesan. Temen-temen juga pada nggak respon. Sebenernya ada apa sih? Bima baik-baik aja kan?"
Alfi terdiam sebentar, ada suatu hal yang ingin dia beritahu kepada kakaknya tentang kondisi Bima tapi teringat dengan Papahnya yang sudah mewanti-wantinya duluan, Alfi mengangkat bahunya pura-pura tidak tahu. "Gue nggak tahu, Kak."
"Aneh aja, mereka kayak nutup informasi tentang pendakian kemarin. Mana nggak satu pun yang jengkuk."
"Postive thingking, mereka mungkin sibuk."
"Mungkin ya, mungkin." Adel mengangguk pelan, mencoba menuruti saran sang adik. Positive thingking.
"Mau kemana lo?" tanya Alfi ketika melihat sang kakak turun dari ranjang.
"Bosen Kakak ngobrol sama kamu, mau nyari angin segar dulu, ah."
"Udah boleh sama dokter?" tanya Alfi khawatir. "Lo masih sakit."
Adel mengangguk, kemudian berjalan menuju keluar ruangan. "Tenang aja udah sehat kok."
Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang mengusik dipikirannya dan sepertinya Adel harus menyegarkan dengan menghirup udara sejuk di pagi hari.
"Kalau ada apa-apa, telpon gue!"
"Iyaa bawel!"
Adel menutup pintu dan berjalan menuju taman.
***
Di taman Adel duduk di kursi taman, di sekitarnya tidak hanya dirinya yang berada di sini. Banyak pasien-pasien yang lain, mereka sedang bercengkrama dengan kerabat. Bahkan ada yang termenung sendiri dengan kursi rodanya. Adel menghela napas sesak, terkadang dia ingin menangis melihat pasien-pasien yang berada di rumah sakit. Adel memiliki kesakitan dan ketakutan yang sama seperti mereka.
Sedang merenung seraya memperhatikan pasien lain, Adel mengerjap melihat ke arah depan di sana ada yang menarik minatnya. Dokter Tomi, ah setelah satu minggu dia tidak berkunjung ke kamar rawat Adel dokter tersebut akhirnya menampakan diri. Adel sempat bertanya ke dokter pengganti, katanya Dokter Tomi ada training di Bandung.
Dilihat-lihat Dokter Tomi semakin tampan dengan rambut barunya. Wajahnya semakin bersinar terkena cahaya matahari. Adel mengigit bibirnya dirinya tidak tahan untuk tidak mengabadikan moment ini.
Adel mengambil ponselnya, kemudian mempusatkan benda tersebut di hadapan mukanya. Jarak mereka tidak terlalu jauh, dokter Tomi terlihat sedang berbicara dengan salah satu pasien.
Cekrek!
Adel tersenyum senang mendapat foto yang engelnya pas membuat Dokter Tomi semakin tampan. Namun, beberapa detik kemudian Adel tersentak karena dokter Tomi tiba-tiba berteriak ke arahnya.
"Hei!"
Adel melotot, dia bertanya dalam hati. Kenapa dia manggil?
Ponsel yang masih dipegangnya masih menampilkan mode kamera. Seketika Adel menepuk jidatnya dan memaki dirinya sendiri. Bodoh kamu, Del!
Kecerobohan yang fatal, Adel lupa mematikan blizt!
Dengan malu yang tidak terkira, Adel berbalik membelakangi dokter Tomi lalu berlari meninggalkan dokter itu yang terus memanggilnya.
"Hei! Berhenti! Jangan lari!"
Adel terus berlari, dia tidak pernah tercyduk seperti ini dan rasanya malu sekali. Di koridor, Adel diam napasnya ngos-ngosan. Alat pendeteksi detak jantungnya berbunyi kembali, menandakan kondisinya tidak baik.
Gadis itu duduk di kursi mengatur nafasnya, ia meringis saat dadanya terasa sakit.
"Saya bilang jangan lari!"
"Dok...ter?" Adel mendongkrak, ucapannya tergagap. Detak jantungnya belum normal.
"Tenangin diri kamu."
Adel mengangguk, kemudian memejamkan matanya. Mengambil dan membuang napas secara perlahan. Manjur, beberapa kali cara itu diulangi. Adel mulai tenang.
"Gimana?"
Adel mengangguk. "Makasih, dok."
"Mana ponsel kamu? Saya pinjam," pinta Dokter Tomi dengan senyuman miringnya.
"Dok, maaf. Adel nggak bermaksud, janji deh Adel langsung hapus fotonya," balas Adel buru-buru, kemudian mengambil ponselnya dan menghapus foto tersbut.
"Nih, udah nggak ada," beritahunya seraya menunjukan ponselnya ke hadapan Dokter Tomi.
Dokter Tomi mengangguk. "Kenapa dihapus?"
Adel mengerutkan keningnya. "Loh, bukannya tadi dokter ngejar karena nggak terima aku foto?"
"Kata siapa?" tanya Dokter Tomi, tiba-tiba tangannya menepuk puncak rambut Adel, membuat pipi gadis itu bersemu merah. "Saya manggil kamu biar kamu nggak lari. Saya khawatir sama jantung kamu, baru pulih sudah diajak olahraga."
Adel nyengir. "Tadi malu ketauan."
"Yaudah, ponsel kamu mana?" Dokter Tomi kembali meminta ponselnya. Adel mengangsurkannya perlahan.
Tanpa diduga dokter Tomi, mengarahkan kamera depan ke arah Adel dengan dirinya berdiri di depan. "Satu, dua, tiga, senyum!"
Adel yang masih tercengang tidak sempat menarik bibirnya untuk senyum, dokter itu memang aneh tapi...perlakuannya sangat manis.
"Lain kali kalau minta foto tidak usah sungkan."
Adel mengangguk, mengambil ponselnya dari tangan Dokter Tomi.
"Saya ke sana duluan ya. Jaga kesehatan dan makan buah!" pamit Dokter Tomi, ia berjalan masuk menuju ruangan yang tidak Adel ketahui.
Sementara Adel menangkupkan tangannya di pipi. Kenapa manis banget sih!
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!