Seorang pria bernama Austin Matteo hari ini bangun lebih awal karena sebentar lagi akan menjadi hari paling bersejarah dalam hidupnya karena menikahi wanita yang selama ini dipuja dan diimpikan untuk dijadikan istri.
Bahkan sama sekali tidak pernah menyangka jika perjuangan tidaklah sia-sia dan hari ini terbayar ketika cinta terakhir berlabuh di tempat yang dianggap sangat tepat.
Austin yang baru saja selesai mandi, sudah terlihat sangat segar dan ia pun berdiri di depan cermin untuk menatap pantulan wajah cerah dan berbinar dengan senyuman terukir di sana.
"Aku tidak sedang bermimpi, bukan?" Austin menampar wajahnya, meskipun tidak kuat hanya untuk memastikan apakah semua yang dialami nyata.
Hingga terlihat meringis ketika merasakan nyeri ringan akibat tamparan. "Ini sakit, berarti aku memang benar-benar tidak dalam alam mimpi."
Menyadari jika perkataan sangat konyol, kini ia seketika berubah terbahak merutuki kebodohannya sendiri. "Astaga! Jika orang lain melihatku seperti ini, mungkin akan mengejekku sudah gila."
Kemudian Austin berdehem sejenak dan latihan untuk mengucapkan kalimat yang akan diikrarkan nanti ketika menikahi wanita yang sudah lima tahun ini dicintai. Begitu merasa bahwa ia sangat lancar mengucapkan, sehingga kini merasa lega dan kembali tersenyum.
"Semoga semuanya berjalan lancar hari ini." Kemudian Austin kini meraih ponsel miliknya di atas meja rias dan melihat jika acara akan dilaksanakan pukul sepuluh pagi.
Sementara sekarang masih pukul enam pagi, tapi ia sudah mandi. Kini, ia duduk di kursi yang ada di depan cermin besar tersebut dan mengetik sebuah pesan pada calon mempelai pengantin wanita.
Apakah hari ini kamu gugup, Sayang?
Saat Austin hendak menekan tombol kirim, tidak jadi melakukan itu dan memilih untuk menghapus. "Lebih baik aku tidak membuatnya berubah galau karena pertanyaanku."
"Aku tidak ingin acara hari ini kacau, jadi lebih baik membiarkan calon istriku karena seperti kata mama kemarin, pasti sangat sibuk karena acara mendadak hari ini."
"Apalagi pengantin wanita selalu membutuhkan waktu lama saat dirias oleh para make up artist. Pasti calon istriku hari ini akan terlihat sangat cantik memakai gaun pengantin."
Seketika Austin mengingat saat menolong sang kekasih yang hari itu kecelakaan dengan masih memakai gaun pengantin. Refleks bulu kuduk meremang seketika saat ingatan kembali pada momen mengerikan tersebut.
"Harusnya aku bahagia hari ini karena berhasil menikah dengan Diandra, tapi kenapa ada rasa takut sekaligus khawatir jika terjadi sesuatu hari ini? Meskipun kemalangan Diandra akhirnya menjadi keberuntungan untukku, tapi aku masih takut jika terjadi sesuatu hal buruk untuk kedua kali."
Austin saat ini berpikir bahwa apa yang menimpanya di masa lalu, juga dirasakan oleh sang kekasih. Hanya saja, ia lebih beruntung karena hanya mengalami amnesia dan tidak sampai cacat seperti Diandra serta koma seperti seorang pria yang hampir merebut wanita pujaan hati.
"Ketika memikirkan itu, aku merasa jika takdir lebih berpihak padaku daripada Yoshi. Bagaimana dengan keadaan Yoshi saat ini? Apa sudah ada perkembangan? Ataukah sama seperti terakhir kali aku melihatnya?"
"Maafkan aku, Yoshi karena berharap kamu tidak bangun selamanya karena Diandra sekarang akan menjadi milikku seutuhnya." Austin kemudian membuka laci dan meraih botol obat berwarna putih.
"Sayang, maafkan aku karena menipumu demi bisa memilikimu." Austin berbicara sambil menatap botol obat yang masih tersegel karena memang belum dibuka.
Austin mengingat pertemuan dengan seorang dokter ahli syaraf yang dulu menjadi dokter pribadinya selama beberapa tahun. Ia sengaja datang untuk meminta bantuan agar meresepkan obat khusus yang berada di tangannya.
Saat itu, ia menceritakan tentang keinginan untuk membuat sang kekasih selamanya amnesia dan tidak akan pernah bisa kembali mengingat masa lalu. Karena jujur saja saat mengingat kejahatannya dulu pada wanita itu, merasa yakin jika Diandra akan pergi untuk kedua kali jika mengetahuinya.
"Maafkan aku, Sayang karena membuatmu untuk tetap menjadi Diandra yang sekarang. Obat ini tidak akan pernah membahayakan nyawamu karena dosis sangat kecil. Ini akan lebih baik daripada ingatanmu kembali."
Saat Austin baru saja menutup mulut, indra pendengaran menangkap suara ketukan pintu dan menoleh.
"Sayang," seru wanita paruh baya bernama Lina Rosmala yang saat ini tengah membangunkan putranya karena khawatir jika belum bangun.
Refleks Austin bangkit berdiri dari posisinya dan mulai berjalan menuju ke arah pintu dan membuka. "Aku sudah bangun, Ma. Jadi, tidak perlu membangunkanku."
Lina Rosmala melihat putranya sudah terlihat segar, meskipun sekarang masih memakai jubah handuk saja. "Wah ... putra Mama ternyata sudah segar dan terlihat sangat tampan hari ini."
"Mama tahu jika kamu pasti tidak bisa tidur karena hari ini akan menikah, tapi ada sesuatu yang perlu Mama sampaikan. Jadi, Mama datang ke kamarmu."
Austin kini mengerutkan kening karena merasa jika ada sesuatu yang terjadi dan itu membuatnya bertanya-tanya. "Apa ada kabar buruk, Ma?"
"Sedikit," ucap Lina dengan memberikan kode dengan gerakan tangan.
"Katakan saja, Ma. Jangan membuatku merasa sangat penasaran dan khawatir." Austin merasa jika sang ibu seperti tengah menyiksanya perlahan-lahan karena masih belum membuka suara.
Merasa tidak tega pada putranya, kini Lina menunjukkan ponsel miliknya. "Selama ini papamu menyuruh orang untuk mengawasi keluarga Narendra dan entah kenapa ini harus terjadi di hari pernikahanmu."
Austin yang tadinya menatap ke arah sang ibu, beralih ke arah ponsel. Di mana ada video yang menunjukkan jika seorang pria di atas ranjang perawatan rumah sakit terlihat baru saja sadar.
"Mata-mata papamu hari ini menelpon dan mengirimkan video bahwa mantan suami Diandra telah sadar. Namun, untuk sementara, hanya ini dan belum mengetahui apakah pria itu mengingat istrinya atau kehilangan ingatan." Lina melihat putranya masih tidak mengalihkan perhatian dari ponsel.
"Sebenarnya papamu menyuruh Mama untuk memberitahu berita ini nanti setelah acara pernikahan, agar kamu tidak terganggu ketika acara. Namun, Mama berpikir jika kamu harus segera mengetahui hal ini agar tahu bertindak apa."
Seorang ibu yang terlihat sangat mengkhawatirkan keadaan putranya karena meskipun sudah dewasa, tetap menganggap jika Austin masih seperti anak kecil yang selalu manja padanya.
Berharap setelah mendapatkan sebuah semangat darinya, bisa membuat putranya tidak dipenuhi kekhawatiran.
Sementara itu, dari tadi Austin menggali informasi mengenai sosok pria dari video itu, agar tahu apa yang harus dilakukan. "Di video ini, terlihat ia sama sekali tidak berbicara apapun meskipun sudah sadar."
"Aku sangat yakin jika terjadi sesuatu pada syarafnya, sehingga meski sudah sadar dari koma, tetap tidak membuatnya pulih seutuhnya."
"Terima kasih karena Mama langsung memberitahu." Austin kini semakin merasa yakin bahwa perbuatannya memberikan obat untuk Diandra sama sekali tidak salah.
Lina hanya tersenyum simpul dan menganggukkan kepala. Kemudian menepuk pundak kokoh putranya. "Jangan sampai ini mengganggumu dan pernikahan hari ini mengalami masalah, tapi memang saat melihat video ini, tatapan pria itu seperti sangat kosong."
To be continued...
Lina yang saat ini masih menatap intens putranya, memilih untuk melanjutkan pemikirannya. "Sepertinya ia memang mengalami masalah pada syaraf dan juga suara. Nanti atau besok, mungkin akan ada informasi lagi. Bersiaplah dengan berbagai macam kemungkinan."
"Iya, Ma. Tidak perlu khawatir karena keyakinanku sangat kuat bahwa Diandra adalah jodohku karena meskipun sekuat apapun menghindariku, tetapi takdir berpihak padaku. Hal itulah yang membuatku sangat yakin. Bahwa pada faktanya, saat ini pria itu bukan siapa-siapa untuk Diandra."
Meskipun sebenarnya merasa tidak tenang pada putranya, tetapi Lina Rosmala berusaha untuk tidak terlihat gelisah sekaligus khawatir.
"Itu memang benar dan buktinya adalah Aksa, bukan? Baiklah, Mama harus keluar dan mengecek pekerjaan para pelayan dulu. Kamu bisa bersiap, meski acara masih lama." Tanpa menunggu jawaban, ia pergi meninggalkan putranya tersebut.
Austin hanya diam mengamati siluet sang ibu dan kembali ke ruangan pribadinya. Kemudian menatap ke arah ranjang king size yang sudah dihias oleh orang-orang suruhan orang tua.
"Malam ini, aku tidak akan sendirian di ranjang itu dan menegaskan bahwa akulah jodoh Diandra, bukan Yoshi. Kamu tidak akan bisa merebut Diandra dariku meskipun sadar dan kembali ke sini."
Karena tidak bisa menahan diri atas perasaan membuncah yang dirasakan, kini Austin memilih menelpon calon istri. Hingga beberapa saat kemudian terdengar suara dari seberang telpon.
"Halo."
"Sayang, aku sangat mencintaimu," ujar Austin yang kini tengah menyalurkan rasa gelisah agar berubah lebih tenang.
Meskipun merasa jika terdengar sangat konyol karena tiba-tiba mengungkapkan perasaan pada calon istri, Austin sama sekali tidak memperdulikan jika dianggap lebay.
Sementara itu, Diandra yang saat ini masih dirias, hanya tersenyum simpul dan sangat bahagia karena selalu saja mendapatkan cinta yang melimpah ruah dari pria yang dianggap adalah Dewa penolong berhati malaikat.
"Apa kamu menelpon hanya untuk bicara itu?"
"Iya, hanya itu. Apa tidak boleh?" ujar Austin dengan mengamati wajahnya di cermin dan tengah membandingkan dengan wajah seseorang.
Meskipun hanya mengingat sekilas wajah orang itu, tapi merasa percaya diri jika ia jauh lebih tampan.
"Bukan tidak boleh, tapi karena aku sedang sibuk dirias saat ini. Jadi, tidak ingin menganggu konsentrasi dari para make up artist."
"Baiklah. Aku mengerti, Sayang. Sekarang hanya ingin mengucapkan sesuatu dan tidak butuh waktu lama."
"Apa? Katakan saja." Diandra makin aneh atas sikap calon suami hari ini, tetapi tidak ingin banyak bertanya.
Bukan juga ingin membuat ilfil Austin kesal atas sikapnya setelah melihat kebaikan pria yang sebentar lagi akan merubah statusnya.
"Jangan pernah menatap pria lain selain aku setelah kita resmi menjadi suami istri. Jangan menduakan cintaku karena aku hanya mencintaimu. Apa kamu mengerti?" Austin sedikit merasa lega setelah mengungkapkan semua dan berharap wanita di seberang telpon akan mengingat itu.
***
Wanita dengan mengenakan kebaya berwarna putih saat ini sudah berada di dalam mobil yang melaju menuju ke keluarga calon mertua karena memang pernikahan diadakan di sana. Setelah tadi mendapatkan telpon dari pria yang beberapa jam lagi akan menjadi suami, ia hanya menjawab singkat ketika Austin mengungkapkan kekhawatiran.
Bahwa pria itu seperti takut jika ia tertarik pada orang lain dan berselingkuh. Bahkan Diandra tadi tertawa begitu mendengar apa yang dikatakan Austin karena berpikir bahwa itu terlalu berlebihan.
'Seharusnya aku yang mengatakan itu padanya. Namun, kenapa malah pria yang nyaris sempurna tanpa cela itu takut kehilangan wanita cacat miskin sepertiku? Kenapa aku merasa jika semua sikap dan perhatian Austin padaku sangat aneh?' gumam Diandra yang kini menoleh ke arah sang ibu di sebelahnya.
"Ibu, apa tidak merasa ada yang aneh dengan Austin? Aku melihat kalian sangat akrab seperti sudah lama mengenal calon menantumu itu. Apalagi tuan Malik Matteo yang mengatakan jika pernikahan ini hanya sederhana tanpa mengundang awak media."
Diandra sebenarnya sama sekali tidak mempermasalahkan jika tidak ada resepsi pernikahan besar-besaran karena Austin notabene adalah putra tunggal dari pengusaha terkenal, tapi yang dipikirkan adalah alasan utama mungkin karena kondisinya.
Bahwa istri dari seorang putra pengusaha sukses dan sekarang menjadi CEO di perusahaan adalah karena ia dalam keadaan cacat. Jadi, keluarga mertuanya tidak ingin mempublikasikan mengenai menantu yang hanyalah seorang wanita cacat.
"Apa kamu kecewa karena sama sekali tidak ada resepsi pernikahan besar-besaran seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang-orang kaya?" Sosok wanita paruh baya yang kini terlihat rapi memakai kebaya balik bertanya karena jujur saja tengah lari dari pertanyaan sang putri kesayangan.
Wanita bernama Laksmi Mustika itu tidak mungkin mengungkapkan alasan utama bahwa keluarga Matteo ingin melindungi putrinya dari pertanyaan para awak media yang pastinya akan mengungkapkan bahwa baru bercerai dengan suami pertama.
Bahkan pernikahan itu dulu dilakukan dengan banyak awak media meliput karena keluarga Narendra memang saat itu memutuskan untuk menggelar resepsi besar-besaran.
"Aku bertanya untuk mendengar pendapat Ibu. Kenapa malah tanya balik?" Diandra
yang kini mengerucutkan bibir, beralih menatap ke arah kursi depan.
Di mana sang ayah ada di sana. "Ayah, menurutmu bagaimana? Aku bukan mengharapkan keluarga Austin menggelar pesta pernikahan megah seperti yang sering kulihat di televisi dari para konglomerat seperti mereka."
"Hanya saja, berpikir mungkin alasan mereka melakukan itu karena kondisiku yang seperti ini." Diandra menunduk menatap kedua kakinya yang terkena imbas dari kecelakaan.
Bahkan ia merasa sangat aneh karena sama sekali tidak mengingat bagaimana bisa kecelakaan. Namun, ketika bertanya pada dokter, hanya diberikan jawaban jika itu efek dari syaraf yang mengalami shock berlebih, sehingga memori hilang pada saat mengalami kecelakaan.
Sementara itu, pria paruh baya yang tak lain bernama Romy Sudrajat seketika bergerak untuk bisa menatap putrinya yang tengah menunduk. Kemudian beralih pada sang istri yang tengah memberikan sebuah kode agar mewakili untuk memberikan sebuah alasan.
"Bukan seperti itu, Putriku. Tuan Malik Matteo sudah menjelaskan alasan mengapa pernikahan dilakukan secara tertutup dengan dihadiri oleh sanak saudara saja. Mereka tidak ingin kondisimu drop karena belum sembuh sepenuhnya dari kecelakaan."
"Setelah kondisimu benar-benar jauh lebih baik, akan menggelar konferensi pers untuk mengungkapkan status kalian. Kemudian resepsi pernikahan diadakan setelah itu dilakukan. Jadi, jangan berpikir macam-macam atau hal buruk pada mertuamu."
Saat Romy baru saja menutup mulut setelah mengungkapkan alasan yang sudah dipertimbangkan dan juga dibantu oleh calon besannya karena memang berjaga-jaga jika Diandra bertanya.
Hingga ia tersenyum simpul begitu sang supir mengatakan jika mereka telah tiba di depan rumah megah bak istana keluarga Matteo dengan pintu gerbang tinggi menjulang tersebut.
"Jangan membuat acara hari ini gagal karena kekhawatiranmu itu, putriku. Kamu sangat beruntung karena bisa mendapatkan seorang pria yang sangat mencintaimu dengan tulus. Jadi, harus bersyukur karena kita hanyalah berasal dari keluarga miskin dan jangan sampai lupa diri."
To be continued...
Saat tadi Diandra mendengar suara bariton dari supir keluarga Matteo yang khusus menjemput di apartemen, menatap ke arah rumah dengan dikelilingi tembok tinggi menjulang dan bahkan ini pertama kali akan memasuki area yang sangat luas tersebut.
Hingga menyadari bahwa kalimat terakhir dari sang ayah yang masih menatapnya tersebut benar adanya. "Sepertinya aku terlalu terbuai dengan cinta yang selama ini ditunjukkan oleh Austin. Jadi, sampai lupa diri dari mana berasal."
"Baiklah, Ayah memang benar. Mulai sekarang, aku tidak akan pernah bertanya apapun atas semua yang dilakukan oleh Austin dan juga keluarganya karena itu adalah sebuah hal terbaik untuk kami."
Diandra mengakhiri perkataan dengan pandangan melihat kanan kiri area halaman luas yang sangat luas dan dipenuhi oleh tanaman hias serta beberapa pohon rimbun terawat.
"Bahkan halaman rumah keluarga Matteo luasnya seperti lapangan bola di kampung kita. Sekarang aku sadar jika perkataan Ayah serasa menamparku." Diandra bisa melihat jika beberapa orang sudah berdiri menyambut kedatangannya.
Hingga beberapa saat kemudian melihat pasangan suami istri yang tak lain adalah calon mertuanya baru saja keluar dari pintu utama. Disusul calon suami yang terlihat berjalan cepat untuk menghampiri mobil.
Tentu saja ia selalu merasa sangat terharu melihat sigapnya pria yang akan menjadi suaminya hari ini karena buru-buru mendekat. Tentu saja untuk membantunya turun dari mobil dengan cara menggendong ke kursi roda setelah menatapnya tidak berkedip dan tersenyum simpul.
Sementara tadi saat berangkat dari apartemen, dibantu sang ayah dan supir dengan sangat kesusahan dan membuatnya merasa frustasi. Ia ingin segera kembali berjalan agar tidak sepenuhnya menggantungkan hidup pada orang lain.
Apalagi akan menjadi seorang istri dari seorang pria hebat nan tampan sekelas Austin Matteo. Jujur saja ia takut karena di luaran sana banyak sekali wanita penggoda yang mengincar pria yang berasal dari keluarga konglomerat tersebut, tapi berusaha untuk tidak semakin membebani pikiran dengan hal-hal negatif seperti itu.
Beberapa saat lalu, Austin yang terlihat sudah siap mengenakan setelan jas lengkap berwarna hitam putih itu berdiri di balkon dan beberapa saat kemudian melihat mobil keluarganya yang menjemput mempelai pengantin wanita telah tiba.
Tentu saja ia buru-buru berlari turun karena ruangan kamarnya ada di lantai dua.
Kemudian ia langsung menyapa calon mertua terlebih dahulu dan beberapa saat kemudian menurunkan tubuh calon istri di kursi roda, berbisik lirih di dekat daun telinga. "Sayang, kamu sangat cantik hari ini. Aku seperti hampir tidak mengenalimu."
Austin sama sekali tidak berbohong karena memang penampilan mempelai pengantin wanita terlihat sangat memesona dan merasa sangat beruntung karena sebentar lagi sosok wanita yang sudah lima tahun lebih berpisah darinya tersebut akan seutuhnya menjadi miliknya.
Sementara itu, Diandra yang saat ini tersipu malu dengan wajah makin merona, merasa seperti seorang gadis remaja yang baru jatuh cinta. Namun, tidak mengakui bahwa ia sangat bahagia mendapatkan pujian dari Austin dan juga menganggap adalah pria paling tampan yang pernah dijumpai.
"Kamu benar-benar sangat pandai membual."
"Aku jujur, Sayang. Mana ada membual. Astaga! Apa perlu aku membuktikan dengan bertanya pada semua orang yang ada di sini?" Austin kini sudah berdiri di belakang kursi roda karena ingin mendorong ke halaman depan sebelah kiri yang ada meja kursi untuk acara pernikahan.
Meskipun orang yang menikahkan belum tiba, tapi ia baru saja mendapatkan informasi jika orang tersebut sudah dalam perjalanan dan mungkin beberapa menit lagi tiba.
Refleks Diandra mencubit tangan calon suami agar tidak semakin berbuat hal konyol. "Jangan membuatku malu. Iya, aku percaya kalau memang cantik karena tadi para make up artist meriasku selama dua jam."
"Aku malah merasa saat ini seperti tengah memakai topeng di wajahku. Semoga tidak menimbulkan efek karena selama ini jarang memakai make up." Diandra yang baru saja mengungkapkan kekhawatiran, kini menyapa calon mertuanya yang baru saja mengobrol dengan orang tuanya.
Hingga melihat ada dua mobil masuk dan kembali mendengar suara bariton dari pria di belakangnya.
"Sepertinya itu mobil orang yang akan menikahkan kita. Aku baru ingin menelpon sudah sampai mana, ternyata sudah tiba. Syukurlah, jadi tidak membuatmu terlalu lama menunggu." Austin kini sudah berada di balik meja panjang yang nanti akan menjadi tempat pernikahan mereka.
Kemudian berdiri di sebelah mempelai pengantin wanita untuk ikut menyapa beberapa orang yang baru saja tiba tersebut.
Melihat orang tua dan calon mertuanya menyapa terlebih dahulu, sehingga menunggu giliran menyapa. Hingga merasakan jika jas yang dipakai ditarik pada bagian lengan olah wanita di kursi roda tersebut, sehingga refleks menoleh.
"Apa kamu gugup?" tanya Diandra yang mendongak menatap ke arah wajah dengan pahatan sempurna tersebut.
"Sedikit." Austin menjawab dengan memberikan sebuah kode memakai ibu jari dan telunjuk.
"Kenapa aku tidak gugup sama sekali? Padahal kata teman-temanku dulu, mereka bahkan sampai tidak bisa tidur karena memikirkan hari pernikahan," ucap Diandra yang saat ini langsung menyunggingkan senyuman begitu melihat beberapa pria yang salah satunya akan menjadi wali hakim untuk menikahkan mereka.
"Sepertinya mempelai pengantin sudah sangat siap hari ini," sapa seorang pria berseragam jas lengkap yang menatap wajah pasangan di hadapan.
Austin refleks tersenyum simpul dan menjabat tangan satu-persatu orang-orang tersebut. "Tentu saja kami sudah sangat siap dan ingin segera sah menjadi pasangan suami istri, Pak."
Kemudian Austin secara khusus mempersilakan agar beberapa orang yang baru saja datang tersebut segera duduk di tempat yang telah disediakan. Meskipun tadi sudah mendengar orang tuanya telah lebih dulu melakukan.
"Kalau begitu, lebih baik kita mulai sekarang karena kedua mempelai telah siap."
Kini, Austin menganggukkan kepala dan refleks mendaratkan tubuhnya di dekat calon istri yang menurutnya sangat cantik tersebut dan mulai mendengarkan beberapa penjelasan mengenai tentang pernikahan dan bagaimana lafal yang akan diucapkan ketika menikah.
Sementara itu, Diandra yang tadi belum mendengar tanggapan dari Austin, merasa sangat aneh dengan apa yang terjadi.
'Kenapa aku seperti merasa pernah berada dalam posisi seperti ini? Apa ini yang dinamakan Dejavu?' gumam Diandra di dalam hati yang tidak bisa fokus mendengarkan penjelasan karena sibuk sendiri dengan pemikiran aneh di kepala.
Sementara di sisi lain, orang tua Diandra saling bersitatap karena merasa sangat khawatir jika nasib putri mereka akan berakhir seperti pernikahan pertamanya dulu.
'Semoga ini akan menjadi pernikahan terakhir untuk putriku dan bisa hidup bahagia,' gumam Laksmi Mustika yang saat ini merasakan usapan lembut pada punggung tangan karena sang suami seolah seperti tengah memberikan sebuah semangat karena mengerti apa yang dipikirkan.
To be continued...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!