Harbour Hospital, sebuah rumah sakit terbesar di negara T, gempar akibat kehilangan banyak stok kantong darah.
Ini bukan pertama kali rumah sakit tersebut kehilangan banyak stok darah, tetapi sudah kali ke tiga dan anehnya kehilangan darah seperti sekarang ini selalu terjadi saat Valenesh Falencia yang bertugas jaga malam di Bank Darah milik rumah sakit tersebut.
"Panggil Valenesh Falencia ke ruangan saya!" Perintah dokter sekaligus pemilik rumah sakit Harbour Hospital kepada salah satu stafnya.
"Pasti tidak ada yang beres. Stok darah yang berada di Bank Darah selalu hilang saat dia bertugas," lanjutnya.
"Baik Dok."
Staf rumah sakit yang diperintahkan tadi langsung bergegas memanggil Valenesh di ruangannya.
Tok tok tok.
"Masuk!" perintah Valenesh sambil mengecek sebuah sampel darah yang diberikan oleh salah satu petugas di unit pelayanan pasien sebelum memeriksa apakah sampel yang sesuai masih tersedia.
Staf tadi membuka pintu dan berjalan ke arah meja Valenesh.
"Ada apa?"
"Bu Valenesh dipanggil ke ruangan Pak Direktur."
"Baik sebentar ya! Bapak silahkan duduk dulu!"
Staf yang diperintah untuk memanggil Valenesh itupun mengangguk. Melihat Valenesh masih sibuk dia pun duduk.
"Formulir dari dokternya mana biar cepat?" tanya Valenesh pada petugas yang diminta untuk mengambil darah dari BDRS.
"Ini Bu."
Valenesh meraih kertas tersebut dan membacanya dengan seksama.
"Sebentar saya cek dulu."
Valenesh mengambil satu kantong darah dari blood bank refrigerator atau yang biasa disebut lemari es darah.
Valenesh pun melakukan croscek kesesuaian antara kantong yang akan diberikan kepada pasien dengan permintaan dokter yaitu golongan darah yang sesuai, komponen darah yang sesuai, volume darah yang sesuai dan hasil uji tapis non reaktif terhadap HbsAg, anti HIV, anti HCV dan sphilis.
Setelahnya, Valenesh memberikan kantong darah tersebut pada petugas tadi.
"Terima kasih Bu, saya pamit pergi!"
"Sama-sama, silahkan!"
Setelah petugas itu pergi dengan membawa satu kantong darah, Valenesh pun keluar dari ruangan dan memanggil Anne, rekannya untuk menggantikan dirinya.
"An kamu gantiin aku dulu ya, sebab aku dipanggil pak direktur."
Anne mengangguk dan masuk ke dalam ruangan.
"Ayo Pak!" ajak Valenesh pada staf yang memanggilnya tadi.
"Mari Bu!"
Valenesh mengangguk dan melangkah meninggalkan ruangan menuju ruangan Direktur utama rumah sakit dengan hati yang jedag-jedug. Namun, ekspresinya dibuat sesantai mungkin. Valenesh tahu kali ini akan mendapatkan teguran yang keras dari kepala rumah sakit karena satu jam yang lalu ada beberapa stok kantong darah yang menghilang begitu saja tanpa jejak.
"Good evening Mr.," sapa Valenesh saat dirinya berdiri di depan pintu ruangan direktur rumah sakit yang kebetulan terbuka lebar. Staf yang mengantarnya tadi pun pergi setelah direktur rumah sakit mendongak dan menatap kedatangan Valenesh.
"Good evening! Come in!"
Valenesh mengangguk dan melangkah ke arah atasannya itu.
"Silahkan duduk!"
"Kamu sudah bisa menebak bukan kenapa aku memanggilmu ke sini?" tanya direktur itu langsung. Pria itu tidak suka berbasa-basi.
"Iya Tuan saya paham, karena stok kantong darah yang menghilang itu, bukan?
"Tepat sekali, bisa kau jelaskan kejadiaannya?! Atau kantong darah yang hilang itu memang sudah tidak ada saat sebelum kamu bertugas?"
Valenesh menghela nafas panjang. "Baiklah."
"Hmm." Pria di hadapannya bersandar pada kursi dan menyilangkan tangan di depan dada, menunggu penjelasan dari Valenesh.
"Begini, saat saya datang sore tadi dan melalukan pergantian shift malam dengan Smith, saya sudah memeriksa stok darah di kulkas dan semuanya masih utuh."
"Jadi kesimpulannya benar stok darah hilang saat kamu bertugas, bukan?"
"Iya itu benar." Valenesh tidak mau menjadi pecundang dengan melemparkan kesalahan akibat kelalaiannya sendiri pada orang lain.
"Stok darah itu hilang saat saya kembali dari toilet untuk buang air besar padahal sebelumnya pintu ruangan sudah saya kunci," jelas Valenesh.
"Bagaimana mungkin stok darah itu bisa menghilang kalau tidak ada yang mengambilnya? Valenesh! Jujurlah padaku apakah kau menyeludupkan darah itu dan menjualnya dengan harga mahal kepada orang lain?!"
"Tuan menuduh saya?" tanya Valenesh tidak percaya.
"Kalau bukan dirimu siapa lagi yang mengambilnya?!"
Valenesh menggeleng.
"Tuan tahu bukan, saya bekerja di rumah sakit ini bukan karena uang? Saya hanya ingin mengabdikan diri saya saja mengingat ibu saya adalah seorang dokter pertama di rumah sakit ini walaupun saya tidak menjadi dokter. Kalau Tuan membicarakan perkara uang saya akan menggantinya sepuluh kali lipat dari harga darah itu kalau memang ada ketentuan harga berapa satu kantongnya. Jangankan beberapa kantong darah, rumah sakit ini pun akan saya beli jika Tuan berkenan menjualnya."
"Sombong sekali dirimu Valenesh, mentang-mentang dirimu adalah putri orang terkaya kedua di negara ini. Ayah dan ibumu di alam baka sana pasti kecewa memiliki putri yang sombong sepertimu." Direktur rumah sakit itu naik pitam sebab Valenesh menanyakan masalah harga dan berniat ingin membeli rumah sakit tersebut.
"Tuan yang mengajari saya sombong, bukankah Tuan tadi yang menuduh saya mencuri darah itu karena uang? Kalau saya sombong saya tidak mungkin mengotori tangan saya dengan bekerja di tempat ini. Harta ayah dan ibu saya tidak termakan karena saya lebih suka hidup sederhana daripada hidup mewah."
Apa yang dikatakan Valenesh memang benar. Wanita itu lebih suka hidup sendiri di rumahnya yang mewah tanpa mempekerjakan seorang pembantu. Dia hanya mempekerjakan seorang satpam dan hanya akan membayar orang untuk membersihkan rumahnya apabila tidak cukup waktu membersihkan sendiri.
Valenesh lebih suka tinggal sendirian di rumahnya.
"Pokoknya saya tidak mau tahu. Sekali lagi kantong darah di Bank Darah rumah sakit hilang kau akan saya pecat!"
"Baiklah. Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan lagi saya pamit. Good night!" Valenesh bangkit dari kursi dan berjalan keluar meninggalkan ruangan direktur rumah sakit dengan ekspresi yang angkuh.
"Good night," ucap pria itu dengan suara yang angkuh pula.
"Dia lupa siapa yang berperan dalam pendirian rumah sakit ini, kalau tidak ada ibu dulu, rumah sakit ini tidak akan berkembang pesat dan menjadi besar seperti sekarang. Tante Lalune dan paman Luke pasti kecewa pada putranya itu," gumam Valenesh sambil melangkah ke ruangannya kembali.
"Anne, kau boleh pergi dan bersiap-siap untuk pergantian shift besok pagi!"
"Oke Val, eh tapi besok malam sehabis aku bertugas kita jalan-jalan yuk! Habisnya aku sumpek bekerja terus tanpa ada refreshing."
"Besok malam aku ada acara nonton bareng pertandingan club sepakbola. Kalau kamu mau ikut boleh-boleh saja," ujar Valenesh.
"Ya ... sepakbola. Aku nggak suka olahraga itu," sesal Anne.
"Ya sudah aku pergi sendiri saja. Kalau kamu mau keluar, kau ajak Smith saja!"
"Ogah mending aku di rumah saja. Aku tidur dulu ya. Bye!"
"Bye! Good night! Have nice dream!"
"Aku nggak mau mimpi, tanggung juga sudah hampir pagi," ujar Anne lalu terkekeh kemudian berjalan ke suatu ruangan yang dikhususkan untuk karyawan Bank Darah yang mau menginap.
Di alam yang berbeda, alam Vampir. Seorang pangeran vampir di sidang karena dianggap telah melakukan pelanggaran di dunia Vampir. Pria yang seharusnya diangkat menjadi raja vampir itu menggantikan sang ayah yang tewas di medan tempur saat melawan raja warewolf akhirnya batal dinobatkan sebagai raja.
"Dia yang membocorkan rahasia kita sehingga ayah kalah di medan pertempuran," tuding Rodex ke arah Henritz Fanhouzan.
"Tidak, itu tidak benar," bantah Henritz atas tuduhan yang dilayangkan oleh Rodex, saudara seayah, beda ibu.
"Kau tidak perlu mengelak Henritz, hanya kau satu-satunya pria vampir yang berani mendekati wanita warewolf itu dan bukannya sudah menjadi peraturan kita bahwa tidak ada seorangpun dari anggota kerajaan ini yang boleh berkomunikasi bahkan berpacaran dengan wanita manusia serigala itu. Manusia Serigala adalah musuh terbesar kita, maka dalam bentuk apapun kita tidak boleh berdekatan dengannya. Kalau tidak silahkan pergi dari kerajaan ini," kecam Zorro, adik dari Henritz dari ibu yang lain lagi.
Ayah Henritz memiliki 3 istri. Dari istri pertamanya memiliki dua putra bernama Henritz Fanhouzan dan Terrex Fanhouzan. Dari istri kedua tetapi memiliki anak terlebih dahulu ada Rodex Fanhouzan dan dari istri ketiga ada Zorro Fanhouzan.
Semua saudara-saudara Hendrik itu semuanya iri kepadanya sebab selama hidup ayahnya selalu menomor satukan Henritz, bahkan adik kandung seayah dan seibunya yang bernama Terrex pun membenci Henritz.
"Sesuai aturan di dunia vampir kita, siapa yang melanggar perintah dengan mendekati wanita musuh sekaligus membocorkan rahasia kelemahan kita sebagai vampir maka dia akan dilempar ke dunia manusia, dimana dia tidak akan pernah kembali ke dunia vampir kecuali dia menemukan darah murni." Terrex membacakan perjanjian yang dulu pernah dibuat oleh kakeknya.
"Kalau begitu Henritz harus kita lempar ke dunia manusia!" seru Rodex.
"Bagaimana ibu?" tanya Zorro.
"Lakukan apa yang seharusnya kita lakukan! Terrex bawa kakakmu ke dalam penjara sebelum dilempar nanti malam!"
"Baik Ibu!" Terrex menyeret tubuh Henritz.
"Ibu percayalah! Saya tidak melakukannya. Mana mungkin saya membuat ayah celaka." Henritz mencoba menjelaskan.
"Terrex! Lebih cepat lagi menyeretnya! Zorro, Rodex bantu adikmu membawa pria pengkhianat itu ke dalam penjara!"
"Ibu!"
Bersambung.
Malam mencekam, awan menggantung dan terlihat kilatan cahaya di langit. Suara guntur sesekali terdengar. Valenesh yang baru pulang dari stadion sehabis menonton acara sepakbola bareng di layar lebar, menyetir mobilnya dengan kencang sebab memprediksi sebentar lagi akan turun hujan.
Saat menyetir mobilnya itu samar-samar dia melihat benda jatuh dari langit.
Bruk.
Ckiiit!
Valenesh mengerem mobilnya secara mendadak kala melihat benda besar menghalangi pandangannya ke depan.
"Benda apa itu?" Valenesh turun dari mobil untuk memeriksanya.
Gadis itu kaget saat melihat sesosok makhluk yang terbaring tidak berdaya di tengah jalan beraspal. Mahkluk itu terlihat sangat besar.
Dengan langkah pelan Valenesh mendekat. Semakin dekat semakin kecil benda itu di mata Valenesh.
"Tolong aku! Tolong!" Terdengar suara pria yang meminta tolong.
"Apakah itu manusia?" valenesh sedikit ragu untuk melanjutkan langkahnya.
"Auw, sakit tolong aku! Ada manusia, kah di sini?"
"Benar itu manusia dan suara minta tolong berasal dari benda itu."
Valenesh yang mempunyai rasa kemanusiaan tinggi pun berlari mendekat dan menyorot benda tersebut dengan senter handphone-nya.
Dia kaget ketika melihat seorang pria tampan dengan tubuh penuh luka berbaring tak berdaya.
Valenesh mendekatinya lebih dekat lagi. "Kamu kenapa?"
"Aku dirampok, mobil dan dompetku dibawa kabur. Tolong aku, aku sudah tidak kuat! Aaarggh!" Pria itu mengerang kesakitan.
"Baiklah, ayo aku bantu berdiri. Kita ke mobil sekarang!"
Pria itu mengangguk dan Valenesh memapah pria itu hingga masuk ke dalam mobil.
Valenesh pun membawa pria itu ke rumah karena jaraknya lebih dekat dibandingkan dengan rumah sakit.
Sampai di rumah, Valenesh mendudukkan tubuh pria tersebut di atas sofa ruang tamu lalu menghidupkan lampu di ruangan tengah rumahnya itu.
Henritz Fanhouzan nama pria itu. Dia begitu kaget saat Valenesh menghidupkan lampu karena sedikit silau. Dia langsung menutup matanya.
"Kenapa ditutupi begitu?" Valenesh Falencia menyingkirkan tangan di wajah Henritz.
Setelah tangan pria itu tidak menghalangi wajah Henritz lagi, Valenesh kaget sebab orang yang ditolongnya itu sangat tampan sekali seperti orang korea.
"Siapa namamu dan kenapa sampai seperti ini?"
"Bukankah sudah kukatakan tadi aku dirampok, mengapa masih bertanya lagi?" Henritz balik bertanya.
"Oh iya saya lupa. Sorry habisnya aku terpana melihat wajahmu yang begitu tampan dan mirip dengan Jungkook," ucap Valenesh terkekeh lalu bangkit untuk mengambil kotak obat.
"Jungkook siapa?" tanya Henritz saat Valenesh kembali ke sisinya dan mencoba mengobati luka-luka di tubuhnya.
"Auw." Henritz meringis kesakitan.
"Sakit?"
"Perih."
"Nanti akan hilang sendiri."
Henritz mengangguk.
"Beristirahatlah!" perintah Valenesh saat sudah menyelesaikan pekerjaan membersihkan dan mengobati luka-luka Henritz.
"Katakan dulu siapa Jungkook!" Henritz penasaran.
"Kamu benar-benar tidak tahu?"
Henritz menggeleng.
"Oh ya kamu pasti tidak tahu, kalau cowok tuh pasti tahunya black pink bukan BTS," ujar Valenesh membuat Henritz mengerutkan dahi semakin tidak mengerti.
"Jungkook tuh salah satu anggota dari grup band korea. Salah satu band ternama yang terkenal dan mendunia."
"Oh." Barulah Henritz bisa memahami bahwa yang dimaksud Valenesh adalah penyanyi band.
"Oh ya siapa namamu tadi? Masa aku harus panggil Jungkook KW sih?" Valenesh tertawa renyah membuat rona wajahnya semakin bersinar diterpa sinar lampu kristal yang menggantung tepat di atasnya.
"Dia cantik sekali. Andai dia juga vampir, setelah berhasil mengalahkan Rodex, Geof, dan Terex aku pasti membawanya ke istana untuk dijadikan permaisuri," batin Henritz.
"Ya sudah aku panggil Jungkook saja," ujar Valenesh sebab Henritz tidak menjawab pertanyaannya.
"Namaku Henritz Fanhouzan. Kau boleh memanggilku Henritz."
"Henritz? Nama yang bagus. Oh ya kamarmu yang di sana!" Valenesh menunjuk ke arah kamar yang ada di pojok ruangan.
Henritz menatap kamar yang ditunjukkan oleh Valenesh lalu mengangguk.
Sepersekian detik kemudian Valenesh bangkit dan berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya sendiri yang berada di lantai 3.
Henritz yang masih berada di sofa merasa kelaparan. Dilemparkan dari tempat yang sangat tinggi tidak hanya membuat tubuhnya terluka, tetapi juga remuk dari dalam. Henritz merasa tidak punya kekuatan sama sekali bahkan untuk berjalan pun dia rasanya tidak sanggup.
"Darah, aku harus mendapatkan darah saat ini juga untuk memulihkan kekuatanku." Henritz lalu teringat dengan benda cair yang berwarna merah yang tadi sempat dioleskan Valenesh pada lukanya.
Segera Henritz meraih kotak obat yang ditinggalkan oleh Valenesh begitu saja di atas meja. Henritz membuka kotak tersebut dan mengambil povidone iodine di dalamnya.
"Lumayan walaupun hanya sedikit siapa tahu bisa membuatku berjalan dan mencari darah yang lainnya." Henritz membuka tutup botol povidone iodine lalu menciumnya.
"Kok baunya beda ya dengan darah biasanya? Ah mungkin ini yang dimaksud darah murni oleh ayah sewaktu masih hidup. Makanya wanita tadi mengoleskan pada luka-lukaku karena darah murni memang mempunyai keunikan tersendiri." Henritz langsung meneteskan obat merah itu di lidahnya.
"Ah, kenapa rasanya pahit dan asam?" Henritz mengecap tetesan obat merah di lidahnya.
"Bodoh! Kan darah murni rasanya memang unik." Henritz meraih gunting yang berada di sebelah povidone iodine itu lalu menggunting leher botol povidone iodine agar bisa langsung meminumnya dengan sekali tegukan untuk mengurangi rasa pahit di lidahnya.
Slurp.
Selesai meneguk obat merah atau povidone iodine itu Henritz menyandarkan tubuhnya untuk menunggu reaksi dari benda cair berwarna merah yang dia anggap adalah darah murni itu.
Beberapa saat kemudian jantung Henritz berdegup kencang dan lidahnya terasa terbakar.
"Ah panas!" teriak Henritz dengan suara yang menggelegar sambil mengibaskan tangan di depan mulutnya yang menganga.
Valenesh yang baru saja menyelesaikan mandi malamnya dengan air hangat langsung mengambil bathrobe panjangnya dan berlari keluar kamar. Setelahnya dia memilih turun ke lantai dasar dengan mengunakan lift agar lebih cepat sampai.
"Kau kenapa lagi?" tanya Valenesh sambil berlari ke arah Henritz.
"Lidah dan mulutku terasa panas, hah, hah, hah," sahut Henritz sambil menjulurkan lidahnya keluar.
"Kau meminum ini?" tanya Valenesh langsung saat melihat botol povidon iodine sudah tergeletak sembarangan dalam keadaan kosong.
Henritz mengangguk.
"Oh God! Apa mau dia sebenarnya?" keluh Valenesh.
"Aku ingin lekas sembuh, jadi lebih cepat kalau aku meminumnya, kan daripada hanya mengoleskan saja pada luka?" Tidak mungkin Henritz berkata jujur bahwa dirinya menganggap cairan itu adalah darah. Bisa curiga nanti Valenesh tentang dirinya yang bukanlah manusia.
"Bodoh! Ayo kita ke rumah sakit!"
Akhirnya Valenesh membawa Henritz ke ruang IGD rumah sakit tempatnya bekerja.
Di belahan dunia lain, Rodex dan Terrex malah senang melihat Henritz ditolong oleh Valenesh sebab dengan kehadiran Henritz di samping Valenesh, mereka tidak perlu khawatir kejahatan mereka ditemukan. Pihak rumah sakit pasti akan menyangka bahwa Henritz, lah pelaku pencurian kantong darah yang selama ini terjadi.
Bersambung.
Setelah mendapatkan penanganan dari dokter, Henritz pun diperbolehkan pulang kembali karena keadaanya tidak parah. Dokter hanya memberikan resep obat saja untuk menetralkan pengaruh povidone iodine dalam tubuh Henritz.
"Istirahatlah!" ujar Valenesh saat sudah sampai di pinggir ranjang kamar yang menjadi kamar Henritz sekarang.
Henritz mengangguk dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang lalu memejamkan mata sedang Valenesh keluar dari kamar Henritz menuju kamarnya sendiri.
Pagi hari Valenesh mengerjapkan mata saat sinar matahari menembus melalui celah-celah gorden kamar Valenesh.
Dia segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum berkutat di dapur membuat pasta yang senantiasa menjadi menu sarapan tiap harinya.
Setelah Pasta selesai dibuat Valenesh langsung mengecek keadaan Henritz di kamarnya.
"Kenapa belum bangun juga dia, apa masih tidur jam segini?"
Tok tok tok.
Pintu terdengar diketuk dari luar, tetapi Henritz masih bergelung dalam selimut. Tidak ada yang membuka pintu kamar.
"Henritz!" panggil Valenesh.
Tidak ada jawaban dari luar.
"Henritz bangun, ini sudah jam 7 pagi!" seru Valenesh lagi. Tidak ada jawaban dari dalam.
"Tuh orang tidur atau mati sih?" Valenesh menggaruk kepalanya.
"Waduh jangan-jangan keadaannya–" Segera Valenesh memutar handle pintu yang ternyata tidak dikunci dan berlari ke arah ranjang dimana Henritz tidur dengan posisi meringkuk.
Tubuh Henritz bergetar seperti orang kedinginan. Segera Valenesh melempar selimut yang menutupi tubuh Henritz kemudian mengecek untuk memastikan keadaan pria itu.
"Dia tidak demam, tapi mengapa tubuhnya gemetar seperti ini? Apa mungkin karena efek cuaca yang dingin karena di luar hujan semalaman?" gumam Valenesh padahal Henritz merasakan kedinginan karena suhu tubuhnya yang menurun akibat di dalam tubuhnya tidak terjadi pembakaran kalori karena kelaparan.
"Henritz bangun yuk sudah siang!" Valenesh mengguncang tubuh Henritz.
"Aku masih mengantuk tinggalkan aku seorang diri," bohong Henritz padahal tubuhnya terasa lemah walaupun hanya untuk sekedar bangun.
"Hari sudah pagi dan sekarang waktunya makan, ayo!" Valenesh menarik gorden dan membuka jendela yang ada di ruangan itu hingga sinar matahari menembus ke dalamnya.
"Auw silau, tutup!" perintah Henritz.
"Lah ini sudah pagi, sinar matahari bangus untuk kesehatan dan tubuhmu yang kedinginan ini malah bagus kalau mendapatkan kehangatan sinar matahari."
"Tapi tidak untuk kesehatanku. Aku tidak suka sinar matahari."
Bukannya keadaan Henritz tambah membaik malah tambah bergetar hebat.
"Kamu kenapa sih? Apa efek keracunan semalam?" Valenesh bingung dan panik.
"Kita ke rumah sakit sekarang!"
"Tidak perlu, tutup jendelanya!"
Valenesh menatap ke arah jendela dan Henritz secara bergantian, lalu mendesah kasar. Wanita itu bangkit dan menutup jendela kembali.
"Gordennya juga!" perintah Henritz lagi.
"Hmm, manusia aneh," gumam Valenesh. Namun, tetep melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Henritz.
"Sudah ayo keluar, aku sudah menyiapkan makanan untukmu!"
Henritz menyingkirkan kedua tangan yang menutupi wajahnya lalu membuka mata. Dia mengangguk sambil merentangkan satu tangan agar ditarik oleh Valenesh.
"Apa lidah dan perutmu masih terasa terbakar?" tanya Valenesh sambil menarik tangan Henritz.
Henritz menggeleng. Valenesh membantu Henritz hingga pria itu duduk di kursi meja makan. Valenesh mengambil dua piring pasta yang sudah dibubuhi saos dari dalam dapur dan menaruhnya di atas meja makan.
"Mari makan!" ajak Valenesh.
Tentu saja Henritz kaget melihat menu yang dihidangkan oleh Valenesh.
"Apa ini? Seperti cacing saja," batin Henritz menatap jijik pasta di atas piring.
"Makan!" perintah Valenesh lagi melihat Henritz tidak bergerak dan sama sekali tidak mau menyentuh makanan di atas meja.
"Kenapa masih diam? Makan kemudian minum obat!"
Henritz mengambil sumpit dan mengaduk-aduk pasta di atas piring. Sesekali dia mencium saus tomat yang ditumpuk di atas pasta tersebut.
"Sama sekali tidak bau darah," gumam Henritz dan suara pria itu sedikit terdengar di telinga Valenesh.
"Makanlah! Itu bukan darah dan bukan pula obat merah seperti yang kau minum semalam."
Henritz mengangguk dan terpaksa makan meskipun pasta di mulutnya terasa aneh sebab tidak ingin Valenesh curiga bahwa dirinya bukanlah manusia.
Makan pasta tidak membuat Henritz kenyang karena sejatinya yang bisa membuat tubuh seorang vampir kenyang adalah darah.
"Setelah makan aku ingin mengunjungi temanku. Apa kau tidak apa aku tinggal sendirian?"
"Oh tidak apa-apa, pergilah! Aku baik-baik saja."
Valenesh mengangguk dan segera membawa piring ke dalam dapur lalu mencucinya. Setelahnya gadis itu kembali ke dalam kamar dan mengganti pakaiannya untuk bersiap-siap pergi.
"Ini ponsel untukmu, kalau ada apa-apa segera hubungi diriku. Di dalam ponsel itu hanya ada nomor teleponku saja." Valenesh mengulurkan ponsel ke arah Henritz dan pria itu menerimanya.
"Aku pergi dulu, bye!" Valenesh melambaikan tangan dan berlari keluar rumah. Dia sedikit terlambat dari waktu yang sudah disepakati dengan teman-temannya.
Setelah Valenesh pergi, Hendrik menimbang-nimbang ponsel di tangannya.
"Benda apa ini, kenapa wanita tadi memberikannya padaku?"
Meletakkan begitu saja ponsel di atas meja makan tatkala melihat seekor kelinci melompat-lompat ke arahnya.
"Kebetulan." Dengan langkah tertatih Henritz mengejar kelinci tersebut.
"Hei ayolah hewan kecil, kenapa kau lincah sekali?"
Kelinci yang dikejarnya tiba-tiba naik ke atas sofa.
"Dapat! Akhirnya kau menyerah juga." Taring-taring Henritz keluar dan segera menghisap darah dari kelinci tersebut.
"Ah segar! Ini cukup untuk memulihkan tenagaku meski tidak sekuat jika aku mengkonsumsi darah manusia." Hendritz tersenyum lalu berjalan keluar dan melempar kelinci yang sudah tidak bernyawa itu ke sembarang tempat.
Tubuh yang pucat dan seolah membeku sedari tadi berubah. Rasa dingin kini berubah menjadi rasa hangat yang menjalar di seluruh tubuhnya.
Di sebuah pinggir lapangan sepakbola.
"Val tumben kau telat," sapa Kekey melihat Valenesh yang baru muncul.
"Ada yang ku urus dulu sebelum kemari."
"Kelinci kesayanganmu sakit lagi?"
"Tidak hanya saja saya mengurus seseorang yang semalam hampir saya tabrak."
"Siapa?"
"Seorang pria aneh yang takut dengan sinar matahari," jawab Valenesh dengan ekspresi datar.
"Ada ya manusia takut sama matahari? Memang benar-benar aneh itu orang yang kamu tolong sebaiknya kamu hati-hati saja setelah sembuh segera suruh dia pergi dari rumahmu," nasehat Kekey.
"Janganlah aku tidak tega jika harus mengusirnya."
"Harus tega dong Val, demi keselamatan dirimu. Ingat kau hanya tinggal berdua dengan Pak satpam di rumah itu. Jadi kalau dia melakukan sesuatu yang jahat padamu, akan sulit bagi orang lain untuk menemukannya."
"Kau tenanglah sebab kalau aku lihat dia orangnya polos. Jadi tidak mungkinlah kalau dia melakukan hal yang di luar nalar. Mungkin dia memang mengidap suatu penyakit yang tidak boleh terkena sinar matahari."
"Oh ya, ya aku pernah dengar sih ada penyakit takut sama sinar matahari, kalau tidak salah namanya Xeroderma pigmentosum. Hmm, sepertinya kau menyukainya sehingga tidak rela kalau dia harus pergi dari rumahmu," tebak Kekey.
"Ya sepertinya," sahut Valenesh sambil tersenyum membayangkan wajah Henritz Fanhouzan yang begitu tampan.
"Eh tapi penyakit apa yang kamu maksud itu?"
"Xeroderma pigmentosum atau XP merupakan salah satu penyakit kulit keturunan yang langka, yaitu ketika kulit sangat sensitif terhadap paparan radiasi sinar UV dari matahari. Saking sensitifnya, paparan dalam jumlah kecil pun bisa menyebabkan kulit penderita XP terbakar hingga melepuh."
"Waduh ngeri juga tuh penyakit, semoga saja penyakit Hendritx hanya fotofobia saja."
"Semoga saja, tapi aku kok jadi kepo sama pria yang kamu maksud. Lain kali aku main deh ke rumahmu biar nggak penasaran."
"Jangan!"
"Eh kenapa Val? Tumben aku nggak boleh main ke rumahmu."
"Takut naksir, nanti aku ada saingan hehehe." Valenesh terkekeh.
"Nggak mana mungkin aku naksir sama pria yang takut sama matahari. Kayak vampir aja."
"Huss, kok ngomong gitu sih Key, jangan dong! Masak orang seganteng itu vampir." Valenesh tidak terima sahabatnya menganggap Henritz vampir.
"Kan aku cuma bercanda, ya sudah tuh para pemain sudah berdatangan."
"Oke yuk, saatnya kita rapat!"
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!