"Apa Ranum pergi ke rumah Ayah saja Bu, untuk meminta pinjaman?" tanya Ranum kepada ibunya yang terbaring lemah tak berdaya sudah lima hari belakangan ini.
Rita terlihat menggeleng tanda tidak setuju. Karena ia tahu suaminya itu tidak mungkin dengan cepat memberi pinjaman kepada Ranum. "Tidak usah 'Nak, nanti Ibu juga akan sembuh dengan sendirinya. Kamu tidur saja ini sudah malam," ucap Rita menjawab dengan suara bergetar, sebab wanita paruh baya itu menahan rasa sakit pada perutnya.
Ranum yang melihat itu semakin membulatkan tekadnya untuk pergi ke rumah ayahnya, hanya untuk meminjam sejumlah uang supaya ia bisa membawa sang ibu untuk pergi berobat kerumah sakit.
"Ibu, untuk kali ini saja biarkan Ranum kesana," pinta Ranum berharap supaya Rita mengizinkannya.
"Nak, tidur besok pagi kamu harus sekolah, jangan usik kehidupan Ayahmu yang sudah bahagia dengan istri barunya," balas Rita menimpali Ranum.
Dada Ranum saat ini terasa sasak saat mendengar Rita berkata demikian, di saat sang ibu sakit tapi ayahnya malah memilih menikah lagi, miris sekali bukan?
"Tidak Bu, aku akan tetap kesana. Bagiku kesembuhan Ibu lebih penting aku tidak peduli Ayah akan marah atau tidak," gumam Ranum membatin.
"Apa kamu mendengar Ibu, Ranum?" tanya Rita yang melihat Ranum hanya diam saja.
"Iya, Bu. Ranum tidur dulu," jawab Ranum, ia lalu berpura-pura memejamkan mata supaya Rita percaya.
Setelah beberapa menit berlalu Rita tampaknya sudah terlelap, Ranum kemudian memandang wajah ibunya yang terlihat sudah ada garis kerutan di wajahnya. Ia juga memandang wajah Aish adiknya yang masih balita sama lelapnya juga dengan sang ibu.
"Aku harus pergi, sebelum Ibu bangun." Ranum bergumam di dalam hatinya. Ia lalu
dengan hati-hati bangun dari tidurnya, kemudian berjalan keluar dari gubuk reot yang sudah tidak layak di tempati itu.
"Ini semua demi Ibu, aku harap Ibu tidak marah kepadaku," ucap Ranum lirih.
*
Di malam yang sunyi dan sepi Ranum berjalan menyusuri jalan raya yang masih ramai dengan mobil yang berlalu lalang, ia hanya membawa segenggam keyakinan meskipun itu terdengar mustahil karena ia tahu ayahnya mungkin saja mengusir dirinya.
"Ya, Allah. Jadikanlah aku hamba yang selalu tabah menerima setiap takdir yang Engkau berikan," gumam Ranum pelan sambil terus berjalan. Rumah sang ayah memang letaknya sangat jauh tetapi, ia sama sekali tidak memperdulikan itu semua baginya yang ada di dalam pikirkannya harus cepat sampai.
Saat ia berjalan tiba-tiba sebuah angkot berhenti di dekatnya.
"Mau kemana Neng, malam-malam begini? Ayo naik abang antar," kata supir angkot itu menawarkan Ranum tumpangan.
"Terima kasih Pak, tujuan saya sudah dekat," jawab Ranum dengan senyum ramah, ia terpaksa mengatakan itu karena ia tidak memiliki uang sepeserpun untuk ongkos naik angkot itu.
"Ya sudah, hati-hati Neng." Kemudian sopir angkot itu pergi meninggalkan Ranum yang masih dengan tersenyum manis.
Jujur saja sebenarnya saat ini kaki Ranum merasa sangat pegal karena gadis itu sudah berjalan terlalu jauh.
***
Setelah beberapa jam dalam perjalanan akhirnya Ranum sampai di rumah sang ayah. "Alhamdulillah, sudah sampai semoga Ayah ada di dalam." Ia berdiri di depan pagar besi yang menjulang tinggi. "Pak ...," panggilnya pada satpam yang kebetulan mengenal dirinya, Ranum pun langsung membuka gerbang.
Ini bukan yang pertama kalinya ia datang ke rumah ayahnya, dulu ia pernah datang hanya meminta tanda tangan sang ayah waktu ia baru pertama kali masuk sekolah SMA.
"Non, sama siapa?" tanya satpam itu menyapa Ranum dengan sangat ramah. Sambil celingak celinguk ingin memastikan kalau Ranum ada yang mengantarnya. Tapi nyatanya Ramun memang benar-benar datang sendiri.
"Sendiri Pak, apa aku boleh masuk?"
Satpam itu tidak tega melihat raut wajah Ranum yang sepertinya rela berjalan menempuh puluhan kilometer untuk bisa sampai. Jadi, ia mempersilahkan Ranum untuk masuk meski ia tahu ibu tiri Ranum pasti akan marah-marah. "Silahkan Non, ibu ada di dalam," ucap satpam itu pelan.
Deg, jantung Ranum merasa akan ada sesuatu yang terjadi setelah mendengar ibu tirinya ada di rumah. "Aku masuk dulu pak, kalau begitu." Ranum kembali berjalan di halaman rumah yang luas itu.
*
Beberapa saat Ranum sudah berdiri di depan pintu, ia menekan bel beberapa kali tapi belum juga ada yang membuka pintu untuknya.
"Apa didalam tidak ada orang?"
Ia yang sudah merasa menunggu terlalu lama berniat pergi dari sana namun saat ia akan berbalik pintu itu tiba-tiba saja terbuka terlihat wanita paruh baya yang seumuran dengan ibunya tersenyum ramah kepadanya. "Assalamualaikum, Bik."
"Waalaikumsalam Non, mari masuk," ajak asisten rumah tangga yang sudah bekerja lama di rumah itu.
"Apa Ayah ada di dalam, Bi?" tanya Ranum yang ingin memastikan sang ayah ada didalam.
Asisten rumah tangga yang bernama Inem itu terdiam sebelum menjawab pertanyaan Ranum.
"Bi, ayah ada 'kan?" Ranum mengulangi pertanyaannya lagi.
"Hm … bapak, baru saja pergi keluar kota Non, mungkin lusa baru pulang," jawab Inem pelan.
Saat mendengar itu harapan Ranum menjadi pupus, karena sang ayah tidak ada di rumah.
"Non bisa duduk di dalam dulu, bibik akan buatkan minuman pasti saat ini Non sangat haus."
Ranum menggeleng, tujuannya saat ini hanya ingin bertemu dengan ayahnya.
"Tidak usah Bi, Ranum pulang saja."
Tapi siapa sangka ibu tiri Ranum yang bernama Angel sudah berdecak pinggang di belakang Inem. "Berani-beraninya kamu menginjak rumahku dengan kaki kotormu itu, pergi kamu dari sini!" teriak Angel saat melihat wajah Ranum.
"Tante, Ramun kesini hanya mau ketemu Ayah," kata Ramun menimpali dengan suara lemah lembut.
"Dasar gembel! Tidak punya malu aku tahu kamu kesini hanya untuk meminta uang!" Tatapan sinis terpancar jelas di kedua mata Angel.
Hati Ranum menjadi sakit ketika mendengar kalimat pedas ibu tirinya. Saat ia akan meraih tangan Angel tiba-tiba saja Bianca anak Angel datang.
"Ada apa sih Ma, kenapa ribut-ribut?" tanya Bianca yang mendengar Angel marah-marah. Tapi setelah melihat siapa yang berdiri di depan pintu Bianca langsung tersenyum mengejek, melihat penampilan Ranum yang memakai baju begitu lusuh. "Gembel dari mana ini Ma? Kenapa bisa datang ke sini?" tanyanya lagi meledek Ranum.
"Entahlah, Mama juga tidak tahu," jawab Angel dengan eksperesi wajahnya yang datar.
Namun, siapa sangka Ranum malah langsung berlutut untuk yang pertama kali di depan Angel dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca. "Aku ingin pinjam uang tante, untuk biaya berobat Ibu," ucap Ranum lirih.
"Apa aku peduli? Tidak …! Meski ibumu mati sekalipun!" ketus Angel membentak Ranum.
"Untuk kali ini saja tante, aku mohon … ." Ranum rela merendahkan harga dirinya dengan cara bersujud di bawah kaki Angel.
"Singkirkan tangan kotormu dari kaki ku!" Angel memekik karena kesal.
"Tante aku mohon, aku tidak tahu lagi harus kemana."
Bianca dan Inem hanya bisa diam saja menyaksikan itu semua, tapi raut wajah Bianca tampak bahagia sedangkan raut wajah Inem terlihat seperti sedang menahan air mata agar tidak tumpah.
"Perempuan menjijikan! Urus saja pengemis ini, aku mau pergi dulu, Ma," kata Bianca yang malah berpamitan untuk pergi.
Angel hanya menjawab Bianca dengan anggukan kecil.
Sedangkan Ranum masih saja memegang kaki Angel, ibu tirinya yang tidak punya perasaan itu.
"Kenapa masih di sini? Pergi sekarang juga dan jangan pernah kamu datang lagi ke rumahku!" Usir Angel dengan suara melengking.
Inem diam-diam mengusap air matanya yang tadi sempat ia tahan. Namun, pada akhinya tetap lolos membasahi pipinya.
"Kenapa Bibi diam saja, seret anak perempuan murahan ini!" geram Angel yang melihat Inem hanya diam saja.
"Aku rela melakukan apa saja tante, asal tante memberikan aku pinjaman." Ranum masih saja mengiba meski ia sudah diusir beberapa kali oleh Angel.
Tanpa diduga Angel malah menjambak rambut Ranum. "Kenapa tidak kamu jual saja tubuhmu yang tidak berharga ini? Dengan begitu kamu akan mendapat uang tanpa harus datang meminta belas kasihan dariku!" ketus Angel yang semakin keras menjambak rambut Ranum. "Kamu jangan pernah berharap!" sambungnya lagi membentak Ranum.
Sedangkan Ranum yang di jambak tidak melawan, ia hanya diam saja meski jambakan Angel terasa sangat sakit di kepalanya. "Tante, tolong aku … ." Air mata Ranum sudah dari tadi menetes membasahi pipinya.
Angel yang terlanjur marah menampar pipi Ranum, dan dengan gerakan cepat menyeret tubuh kurus Ranum ke halaman tidak sampai di si situ ia lalu mengambil air memakai ember dan tanpa aba-aba menyiram tubuh Ranum. Hingga suara tangis Ranum terdengar sangat pilu alam semesta pun menjadi saksi bisu bagaimana ibu tirinya begitu kejam terhadap dirinya.
Setelah menyiram Ranum, Angel mengancam Inem. "Jangan sampai mas Rudy tahu, kalau bibi sampai buka mulut, segera angkat kaki dari rumah ini!" ucap Angel mengancam Inem membuat nyali Inem menciut seketika. "Cepat bibi masuk dan biarkan saja anak j*l*ng ini disini!" serunya menyuruh Inem masuk ke dalam rumah.
Inem yang tidak ada pilihan lain menuruti perintah Angel meski ia kasihan kepada Ranum.
Tidak lama setelah Inem pergi, Ranum berdiri dengan pakaiannya yang sudah basah kuyup. Ia juga melihat Angel pergi dari sana meninggalkanya sendiri ia juga mendengar suara Angel yang menutup pintu utama dengan sangat kasar.
"Ya Allah, rasanya aku tidak sanggup lagi berenang dalam kejamnya arus dunia ini," gumamnya lirih.
Gerimis pun mulai membasahi bumi seakan ikut bersedih, alam semestapun ikut menggambarkan kesedihan Ranum, ia kemudian dengan langkah gontai keluar dari halaman rumah yang begitu luas.
"Kakiku sepertinya tak mampu lagi berjalan di terjalnya lika-liku kehidupan ini Ya Allh." Ranum membatin sambil terus berjalan.
***
Semua mata tertuju pada Ranum yang mungkin terlihat seperti orang gila bajunya yang compang-camping dan juga basah kuyup. Namun, itu semua tidak ia hiraukan dan ia tetap saja berjalan melawan dinginya malam. Gerimis yang tadi tiba-tiba saja berubah menjadi hujan yang deras ditambah kilatan petir meyambar, membuat siapa saja pasti takut berjalan dibawah guyuran hujan seperti saat ini namun tidak dengan Ranum yang seolah tidak memperdulikan itu semua.
"Harus kemana lagi aku mencari uang? Buat membawa Ibu berobat ke rumah sakit," ucap Ranum lirih, ia ternyata memang benar-benar sangat membutuhkan uang.
*
Beberapa jam berlalu akhirnya Ranum sampai di gubuk reotnya, ia melihat sang ibu masih tertidur lepap namun ada yang aneh Ranum melihat wajah ibunya semakin memucat.
Ranum yang merasa ada yang tidak beres, mencoba menggoyang-goyangkan tangan Rita sambil memanggil sang ibu dengan suara bergetar. "Ibu, Ibu … Bu," panggilnya lirih. Akan tetapi Rita sama sekali tidak meresponnya sehingga membuatnya panik.
Tanpa pikir panjang dengan gerakan cepat ia keluar berlari ingin meminta bantuan kepada tetangganya yang selama ini selalu membantunya, bajunya yang saat ini basah tidak dihiraukan lagi yang terpenting baginya adalah bagaimana cara membawa ibunya ke rumah sakit meskipun dia tidak memiliki uang sepeserpun.
Kebetulan rumahnya sangat dekat sekali dengan tetangganya oleh sebab itu, Ranum tidak memerlukan waktu yang lama untuk bisa cepat sampai di rumah tetangganya itu. Ia langsung merasa sedikit lega saat melihat lampu tetangganya masih menyala, itu menandakan sang pemilik rumah belum tidur dengan badan yang menggigil ia mengetuk pintu.
"Bi Ijah, apa bibi belum tidur?" tanya Ranum sambil terus saja mengetuk pintu. "Bibi, ini Ranum," ucapnya dengan suara yang bergetar karena menahan tangis.
Tidak berselang lama Ijah membuka pintu setelah tahu siapa yang datang ke rumahnya sudah jam dua dini hari. "Ranum, kenapa pakaian kamu basah kuyup begini, Nak?" tanya Ijah. Yang melihat Ranum menggigil.
"Bi tolong bantu a-aku, Ibu, I-ibu … ." Lirihnya tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
"Bu Rita kenapa Ranum, ngomong yang jelas?" Ijah juga langsung terlihat panik saat melihat Ranum meneteskan air mata. Detik itu juga ia mengambil payung lalu bergegas menuju ke rumah Rita namun sebelum itu ia sempat memberikan Ranum handuk.
Ijah adalah perawan tua yang tidak pernah menikah, selama ini hanya ia lah seorang yang peduli dengan keluarga Ranum karena ia merasa sangat kasihan melihat Rita yang sakit-sakitan dan harus menjadi tulang punggung untuk kedua putrinya, karena ayah Ranum lebih memilih meninggalkan keluarganya demi wanita yang memiliki segalanya.
*
*
Pukul 22:41 Ramun terus saja mondar mandir di depan kamar rawat inap sang ibu sambil menggengdong adiknya yang sedang rewel.
Sementara di dalam Ratih sedang berjuang antara mati dan hidup. "Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" Pikiran Ranum saat ini sudah tidak karuan. Ia kemudian duduk termenung tidak menghiraukan adiknya yang terus saja menangis di dalam gendongannya. Saat mengingat ucapan temannya yang bernama Vira waktu di sekolah beberapa hari yang lalu.
🍃….
Ranum yang sedang duduk sendiri di dalam kelas tiba-tiba dihampiri oleh temannya yang bernama Vira.
"Lu ngelamun saja, Num," kata Vira menyapa Ranum sambil duduk di sebelahnya.
"Eh Vira, kamu nggak pergi ke kantin?" tanya Ranum dengan sopan saat melihat Vira juga ikut duduk.
"Tadi sudah, ini baru balik lagi ke kelas dan ini buat lu." Vira memberikan Ranum dua bungkus roti, ia ternyata memang sengaja membeli roti itu untuk Ranum.
Ranum yang sebenarnya lapar tapi malu untuk mengambil roti itu malah menggeleng. "Tidak usah Vir, kamu saja yang makan kebetulan aku sudah kenyang." Ia menolak dengan suara lembut karena ia takut Vira akan tersingung saat ia tidak mau menagmbil roti itu.
"Nih ambil, gue kenal siapa lu, Num jadi jangan menolak apapun yanh gue berikan termasuk roti yang cuma dua bungkus ini," ucap Vira yang semakin menyodorkan dua roti itu.
Saat Raum terus saja menolak tiba-tiba saja perutnya berbunyi membuat Vira langsung tersenyum.
"Tuh kan, perut lu kagak bisa bohong," seloroh Vira sehingga membuat Ranum tidak bisa mengelak lagi.
Sebenarnya hal seperti ini sudah terbiasa Ranum alami dimana ia sering sekali duduk sendiri di dalam kelas waktu jam istirahat tiba, ia juga sering kali menahan rasa perih di perutnya saat rasa lapar mulai menyerang.
"Makan gih, jangan di pandang terus kasihan cacing-cacing di dalam perut lu minta di isi." Lagi-lagi Vira menyuruh Ranum untuk memakan roti itu.
Ranum dengan malu-malu mengambil roti itu sambil berkata, "Apa kamu bisa membantuku, Vir?"
Bandung Pukul 21:50.
Seorang laki-laki yang sedang asik bercinta dengan kekasih gelapnya di sebuah hotel bintang enam, ia terus saja bermain liar di tubuh wanita itu dengan berbagai macam gaya. Tidak lama ia pun berkata, "l love you, sayang," ucap pria itu sambil memindah posisinya yang tadi di bawah kini ia terlihat menjadi pemimpin di atas ranjang panasnya.
"I love you to," jawab wanita itu dengan suara manjanya sambil mendes@h.
"Apa kamu mau, nambah lagi sayang?" tanya pria itu sambil terkekeh setelah mereka berdua mengeluarkan cairan putih secara bersamaan.
Morea tersenyum genit, sambil menggigit bibirnya. "Waktu kita masih banyak sayang, kamu 'kan tahu Al baru saja pergi keluar negeri mungkin dia akan pulang dua Minggu lagi," ujar Morea memberitahu Remon.
Morea Amera adalah anak dari salah satu pengusaha yang terkenal di Indonesia, ia putri satu-satunya dari Pak Hendrik dan ia juga sudah menikah dengan pengusaha juga yang bernama Altezza saat ini usia pernikahan mereka baru berjalan tiga tahun.
Sebenarnya pernikahan mereka inibbukan didasari karena cinta melainkan karena perjodohkan.
"Apa Al tidak akan tahu hubungan kita sayang?" tanya Remon laki-laki yang saat ini menjadi kekasih gelap Morea.
Remon adalah teman sekaligus partner kerja Al, ia masuk kedalam rumah tangga Al dan Morea karena sudah sejak lama ia tertarik dengan Morea. Siapa sangka Morea yang haus dengan kasih sayang dan juga belaian dengan mudahnya berpaling dari Al.
Di karenakan Al terlalu sibuk sehingga memberinya nafkah batin saja jarang.
"Selama kita tidak memberitahunya," jawab Morea menimpali sambil memeluk Remon. Tapi tidak lama tiba-tiba saja ponselnya berdering dengan nama panggilan My Love ia yang tidak mau kalau suaminya itu curiga dengan cepat mengangkat panggilan.
"Kemana saja, kenapa baru di jawab. Sayang?"
"Aku tadi habis mandi mas, makanya aku nggak dengar dan ini baru saja aku jawab."
"Ya sudah, aku cuma mau kasih tahu kamu sayang kalau aku sudah sampai di sini."
"Baguslah, kalau mas sudah sampai. Kebetulan malam ini aku ada jadwal pemotretan maka dari itu aku tutup dulu telponnya," ucap Morea yang langsung saja memutuskan panggilan itu secara sepihak tanpa meminta persetujuan Al.
"Apa katanya?"
"Nggak ada sayang, dia cuma bilang kalau sudah sampai di sana," jawab Morea sambil mengecup mesra bibir Remon. "Ayo, kita tidur sayang, besok pagi aku ada jadwal pemotretan," sambungnya.
"Yakin nggak mau nambah," tawar Remon yang melihat Morea sudah menguap beberapa kali.
Morea yang sudah sangat ngantuk tidak menghiraukan tawaran Remon, Ia memilih memejamkan matanya sambil menarik lengan Remon supaya ia di peluk.
***
Pagi hari, tepat pukul 11:10 dua insan yang sudah adu gambrut menggeliat di bawah selimut. Mereka berdua tidak tahu kalau mereka sudah bangun kesiangan, padahal hari ini adalah jadwal pemotretan Morea di perusahaan Fashion Ezza.
Nada dering ponsel Morea kembali terdengar dengan nama pemanggil yang berbeda, Morea meraba benda pipihnya itu masih dengan tetap memejamkan mata namun saat ia mulai mengenal nada dering itu milik siapa ia dengan cepat membuka matanya, dan tanpa aba-aba ia langsung menggser tombol mereh.
"Siapa, sayang?" tanya Remon yang masih memejamkan matanya juga.
"Pak Ridwan, sepertinya seperti biasa dia menyuruhku untuk cepat datang," jawab Morea dengan santai padahal ia tidak mengangkat panggilan itu tadi.
Ternyata selama ini ia tidak pernah konsisten dalam bekerja karena ia tahu, dirinya adalah istri dari pemilik Fashion Ezza maka dari itu ia sering lalai dan abai.
"Aku mandi dulu sayang, habis itu aku akan ke studio untuk pengambilan gambar. Kamu tahu sendiri kalau pak Ridwan sering kali mengadukan aku ke Al tentang kelalian aku ini dalam bekerja, aku tidak mau lama-lama Al jadi terpengaruh dan menyuruhku berberhenti untuk bekerja di sana," kata Morea menjelaskannya pada Remon.
Ia kemudian bangun menuju kamar mandi, karena ia juga tahu kalau sebentar lagi Al pasti akan menelponnya untuk menanyakan kenapa dirinya selalu saja telat untuk datang ke perusahaan Fashion Ezza untuk melalukan pemotretan.
"Sayang aku juga harus pergi, karena hari ini aku ada meeting dengan klien," uacap Remon sambil memungut pakaiannya.
Morea yang belum masuk ke kamar mandi tersenyum genit. "Mandi bareng dulu, sebagai vitamin di pagi ini biar kita sama-sama bersemangat dalam bekerja." Ia ternyata malah mengajak Remon mandi bersama.
"Sayang aku bisa telat, gimana kalau nanti malam saja kita melanjutkan adengan yang sekarang ini sempat tertunda?"
Morea cemerut namun tetap mengiyakan Remon.
***
Di London, Selasa jam O5:10.
Altezza saat ini sedang melakukan olahraga ringan tubuhnya yang sixpack membuatnya semakin lebih tampan dan mempesona sehingga membuat siapa saja akan ngeces melihat jajaran roti sobeknya.
Altezza atau lebih dikenal sebagai Al, ia adalah pengusaha di bidang kuliner dan juga bidang fashion selama ini Al terlalu sibuk sehingga untuk memiliki kekasih saja ia tidak sempat, maka dari itu kedua orang tuanya berinisiatif menjodohkannya dengan Morea. Siapa sangka tanpa ada penolakan ia ternyata mau menerima Morea sebagai istrinya.
"Tuan, minum dulu," ucap sekretarisnya yang datang menawarkan sebotol air mineral.
Al menoleh ke arah Bagas sekretaris sekaligus teman sekolahnya dulu. "Sudah gue bilang jika kita berada di luar kantor lu jangan bicara terlalu formal," kata Al membalas ucapan bagas, ia kemudian mengambil air botol yang masih ada di tangan Bagas.
"Maaf tuan dimana saja, saya tetap bawahan Anda." Bagas rupanya tidak mau mendengar apa yang tadi Al katakan.
"Kalau begitu lu di bawah gua, katanya jadi bawahan malah berdiri di sana," seloroh Al yang sengaja mengatakan itu karena ingin melihat ekspresi Bagas.
"Bawahan Anda kan, nyonya Morea tu–"
"Itu mah bawahan di atas ranjang," potong Al dengan nada datar. "Apa lu tahu belakangan ini gua merasa ada yang aneh dengan bini gua itu," ujar Al yang memang benar merasa ada yang aneh dengan sifat serta tingkah laku Morea.
"Itu mungkin hanya perasaan Anda saja tuan," balas Bagas menimpali. Ia ternyata sebenarnya sudah tahu kelakukan Morea di belakang Al namun ia hanya bisa diam saja, karena untuk saat ini ia masih belum memiliki cukup bukti untuk membongkar semua apa yang telah di lakukan Morea. Maka dari itu, ia akan berusaha terus untuk mengumpulkan bukti sebanyak mungkin dan juga akan menunggu waktu yang tepat untuk memberi tahu Al.
"Nggak, gue rasa dia sedang menyembunyikan sesuatu." Al rupanya sudah memiliki feeling dan sepertinya juga is sudah mulai curiga pada Morea. "Jika dia bermain di belakangku maka dia sendiri yang akan rugi," sambungnya lagi.
Iya, apa yang dikatakan Al memang benar jika Morea akan rugi sendiri bila menghianatinya.
Al memang jarang memenuhi kebutuhan biologis Morea tapi masalah transferan Al termasuk suami yang loyal, meski uang bulanan Morea masih utuh ia akan tetap mentransfer ke rekening Morea sebagai tanda ia adalah suami yang bertanggung jawab.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!