NovelToon NovelToon

Genderuwo

Kabur Dari Rumah

Disebuah rumah yang terlihat sederhana. Tampak seorang wanita paruh baya bersama anak perempuannya saling pandang dengan senyum bahagia. Namun, di sisi lain terlihat seorang anak perempuan yang terlihat pucat. Dia berdiri tidak jauh dari mereka, namanya adalah Septi.

"Sayang, kamu makan iya" Ucap Laras.

"Iya ibu, aku akan makan dengan ayam goreng semur yang lezat ini." Jawab Ita.

"Ibu aku juga lapar. Aku ingin ikut makan" Sahut Septi.

"Siapa yang menyuruh kamu makan. Kerja sana, bersihkan rumah ini!" Menatap Septi dengan tajam.

Ita tersenyum mengejek "Rasain kamu Septi. Aku enak loh disayang sama Mami." Terus mengunyah makanan.

"Apa kamu lihat-lihat, cepat sana pergi." Ujar Laras dengan ketusnya.

Firna menyapu halaman rumah. Dia melihat kakaknya berjalan gontai sambil membersihkan kaca jendela.

"Kakak!" Panggil Firna.

Septi menoleh "Iya adikku. Kenapa?" Melihat wajah serius adik kandungnya itu.

Septi berjalan menghampiri Septi "Kak, lebih baik kita pergi dari rumah ini saja. Ibu tiri kita tidak pernah lagi memberi kita makan. Dia hanya memanfaatkan kita untuk bekerja." Ujar Firna.

Septi tampak menimang-nimang ucapan adiknya itu. Sejak sang kakak laki-laki yang bernama Heru menikah, memang kesengsaraan datang bertubi-tubi. Bahkan sang kakak harus cekcok mulut karena membela adik-adiknya, pertengkaran terus terjadi di rumah itu. Hingga pada suatu hari sang kakak memutuskan untuk menikah.

"Kenapa kakak diam? Bagaimana kak, apa kakak mau?"

"Baiklah, kakak mau. Kita nanti malam mencari makan iya. Kamu pasti sudah sangat lapar, kita kan sudah 3 hari tidak makan."

Firna mengangguk. Usia dia dengan Septi tidak terpaut jauh. Septi berusia 16 tahun, sedangkan Firna berusia 13 tahun.

****

Di tengah malam, ibu tiri dan saudarinya sudah tidur. Mereka mengendap-endap keluar dari rumah dengan membawa semua barang-barangnya.

"Ayo kita keluar lewat pintu belakang."

"Iya kak. Aku juga sudah tidak betah. Aku senang karena kita bisa kabur."

Mereka berlarian keluar rumah. Angin bertiup kencang karena hujan akan turun, mereka membawa sedikit makanan untuk bekal. Karena mau membeli di luaran tidak mungkin, kedai sudah pada tutup.

"Kita akan pergi ke mana kak? Aku takut."

"Kita akan pergi ke desa tetangga dengan menggunakan perahu."

"Maksud kakak perahu yang ada di pinggir sungai?"

"Iya. Perahu yang biasanya kita pakai untuk pergi ke sawah."

"Oh baiklah kak."

Septi mendayung perahu, terombang-ambing karena angin yang berhembus. Udara yang sejuk membuat Firna menarik sedikit ujung jasnya. Berusaha menutupi tubuhnya supaya tidak kedinginan.

"Kak, kenapa sih nasib kita seperti ini. Aku jadi rindu dengan ibu dan bapak."

"Sudahlah sayang, jangan mengingat hal yang menyenangkan disaat menyedihkan seperti ini. Karena hal itu percuma, kita tidak akan pernah kembali lagi ke masa itu."

"Iya kak."

Firna membantu Septi mendayung sampan, terlihat sebuah gubuk kecil diseberang sungai.

Mereka menepikan perahu, dan berjalan menuju dataran. Sebelumnya, mereka telah mengikat perahu pada batang pohon.

"Kak, kenapa kakak singgah di sini."

"Karena mungkin ini tempat tinggal kita sementara ini."

Bulu kuduk Firna merinding "Tapi kok seram iya kak gubuknya. Aku takut."

"Tidak apa-apa adik. Kamu tidak sendiri kan ada kakak."

"Iya kak" Memegang telapak tangan Septi dengan erat.

Mereka berdua menapaki anak tangga gubuk itu, dan membuka pintu lalu masuk ke dalamnya.

Penampakan

"Kakak aku takut tinggal di sini. Gubuk ini seram!" Firna menangis.

Septi mengelus lembut kepala adiknya, dia tidak ingin melihatnya terus gelisah.

"Kamu bobok saja iya sayang. Biar kakak yang berjaga-jaga."

"Tapi kak, bagaimana kalau kakak sakit jika tidak tidur semalaman."

"Kakak akan tidur setelah kamu tidur. Kamu tenang iya adik ku."

Firna mengangguk, dia kemudian merebahkan tubuhnya. Kepalanya bersandar dipangkuan sang kakak. Angin berhembus masuk ke dalam lubang pori Septi.

"Dingin sekali, benar-benar waktu yang sulit untuk melalui semua ini."

****

"Bang, apa kamu yakin ibu tirimu tidak akan menyiksa adik-adikmu lagi?" Tanya sang istri.

"Aku sih tidak yakin, tapi mereka sendiri yang bilang aku tidak perlu mengkhawatirkan mereka. Aku sebenarnya ingin melihat mereka sesekali, tapi sekarang aku sedang sibuk."

Istri Heru menuangkan air ke dalam gelas "Lain kali saja Bang kita lihat adikmu."

Pyar!!!

Suara benda jatuh ke lantai, Heru dan istrinya terkejut. Mereka segera berlari ke sumber suara dan ternyata itu hanyalah suara kucing yang memecahkan piring di meja.

"Aku pikir ada maling Bang."

"Iya Vini, aku pikir juga seperti itu."

Namun pada kenyataannya yang mereka duga malah salah. Kucing berbulu halus itu segera berlari keluar dari ruangan dapur. Heru dan istrinya geleng-geleng kepala, memikirkan apa yang ada dipikiran masing-masing.

****

Firna mengerjapkan matanya, kini hari sudah pagi. Dia melihat sang kakak yang masih tertidur nyenyak. Mungkin dia kelelahan, semalam dia tidur sudah menjelang pagi karena menjaga adiknya yang tidur.

"Khasian kakak, aku tidak tega melihatnya. Kenapa sih ayah harus menikah dengan ibu tiri. Kami harus menderita sekarang, ibu tiri kan kejam."

Drrt!!!

Ponsel milik Septi bergetar, tanda ada yang menelepon. Firna mengambilnya, dan saat ingin menggeser layar Septi sudah terbangun.

"Siapa yang menelepon Firna?"

"Kak Riana." Firna memberikan ponsel pada Septi.

"Hallo Riana!"

"Septi kamu di mana? Aku mau bermain ke rumahmu."

"Aku sekarang tidak ada di rumah. Aku tinggal di seberang sungai."

"Loh kok gitu?"

"Besok saja kalau kamu mau ketemu. Aku bakalan jelasin ke kamu."

"Baiklah Septi. Aku matikan dulu iya teleponnya."

"Iya Riana."

Sambungan telepon terputus, Septi dan Firna saling pandang dan tersenyum.

"Aaaa" Firna tiba-tiba berteriak sambil menunjuk-nunjuk langit-langit gubuk.

"Ada apa Firna?"

Firna menutup wajahnya, tidak berkata apapun juga. Dia merasa takut yang luar biasa.

"Kenapa sayang? Ayo bicara. Jangan membuat kakak semakin cemas."

"Ada Gendruwo kak, badannya terlihat separuh."

Septi membalikkan badannya, ternyata tidak ada apa-apa di belakangnya. Dia memperhatikan sekelilingnya, mulai dari sudut dinding gubuk yang terdapat bolong-bolong. Belum lagi papan gubuk itu tampak retak-retak.

"Kakak, aku tidak mau tinggal di sini lagi." Ucapnya sambil menangis.

"Tidak ada apa-apa di sini sayang. Mungkin kamu hanya kecapekan istirahat saja dulu iya."

"Tidak kak, aku benar-benar melihatnya. Ayo kita pulang saja."

"Kamu mau ketemu sama ibu dan saudara tiri kamu lagi? Kamu mau mereka menghukum kita habis-habisan karena kita pergi tanpa pamit."

Firna menggeleng, tentu dia tidak mau bertemu dengan Ita dan ibunya. Tapi dia juga takut tinggal di gubuk yang menyeramkan ini.

"Aku tidak mau kak, tapi aku takut." Firna memeluk kakaknya.

Septi mencium pucuk kepala Firna, hanya dengannya sekarang dia menjalani hari dan berbagi cerita.

Septi Melihat Gendruwo

Dimalam hari gelap gulita, terlihat Septi dan Firna yang sedang berpencar di dalam pondok. Septi sedang memasak di dapur, dan Firna sedang bermain boneka.

"Gendruwo!" Teriak Firna sambil melemparkan bonekanya ke lantai.

"Ada apa dik, kamu kenapa teriak-teriak? Kakak tadi lagi memasak sayur."

"Kak, ada Gendruwo di rumah ini. Kita pergi saja ayo!" Firna merengek.

"Kita mau pindah ke mana?" Tanyanya.

"Terserah, yang terpenting jangan di sini." Paksa Firna.

"Iya sudah besok kita pergi dari sini iya."

"Jangan besok, kalau bisa sekarang." Pinta Firna.

"Ini sudah malam adikku sayang, besok saja. Kakak akan bertemu dengan Riana dan teman-teman kakak."

"Iya kak."

"Sekarang kamu di sini saja temani kakak masak, nanti kita makan bersama."

Tak berselang lama kepulan asap naik ke udara, aroma sedap tercium karena masakan itu sudah masak.

Septi memasukkan ikan panggang di alas daun pisang. Mereka makan bersama, menikmati makan malam.

Di tengah malam, Firna sudah tertidur. Septi berteriak melihat Gendruwo di atas langit-langit kamar dengan tubuhnya yang separuh.

"Huaa" Memejamkan matanya sambil ditutupi dengan kedua telapak tangannya.

'Ternyata benar yang Firna katakan. Maafkan kakak yang tidak percaya ucapanmu' Batin Septi.

Keesokan harinya, Septi menceritakan semuanya pada Firna. Mereka berpelukan bersama, melangkahkan kakinya secepat mungkin setelah barang-barang disiapkan.

****

Septi dan Firna mendayung perahu hingga sampailah di daratan. Terlihat teman-teman Septi sudah menunggu.

"Kalian sudah lama menunggu di sini?"

"Belum kok Septi. Kami juga baru datang."

"Kamu kenapa terlihat panik seperti itu."

"Aku baru saja melihat Gendruwo semalam."

"Hah? Kamu sih tinggal di seberang sungai hanya berdua."

"Iya mau bagaimana lagi, aku bingung mau tinggal di mana. Ibu Tiriku pilih kasih, kami tidak diberi makan olehnya."

"Ikut kami saja ayo ke rumah Delima. Kamu bisa tinggal di sana, kan lumayan jauh. Pasti ibu tirimu itu tidak bisa menemukanmu" Usul Lila.

"Baiklah, ayo segera pergi."

Mereka mengendarai mobil Riana. Saling bercanda bersama yang duduk di bangku belakang.

"Eh bagaimana wujud Gendruwo itu Septi?"

"Wujudnya hanya separuh."

"Ha separuh? Kok aneh iya." Jawab Lila.

"Adik kamu lihat tidak wujud Gendruwonya?"

"Dia malahan yang lihat pertama kali. Awalnya aku tidak percaya, tapi ternyata yang diucapkannya itu benar adanya."

"Ah masak iya kamu tidak merasa gitu Septi. Biasanya aura angker itu terasa dari pertama kali datang."

"Aku sih terasa tapi tidak terlalu memikirkan. Lagipula dia tidak mengganggu kami, dia hanya menampakkan wujud aslinya."

"Iya, tapi wujud aslinya menakutkan." Sahut Tantri.

"Seperti wajah kamu Tantri menakutkan." Ledek Lila.

Riana hanya tersenyum mendengarnya, sedangkan yang lainnya tertawa mendengarkan perbincangan ringan itu.

"Apaan sih, wajahku ini cantik. Tidak seperti wajah kalian lupa dipoles."

"Penghinaan Wooo" Sorak Lila.

Sabila dan Sabili ikut meneriaki Tantri. Dia menyorakinya sambil tertawa-tawa.

"Kalian sih yang mulai." Tantri mengerucutkan bibirnya.

"Sudah jangan berkelahi" Sonia menengahi keributan mereka hanya persoalan seram tadi.

"Iya kita ini lagi di jalan. Apalagi kamu Lila, kamu kan lagi menyupir. Jadi harus konsentrasi." Ujar Riana.

"Nah, itu benar kata Riana." Sahut Septi.

"Kakak-kakak sudah besar, apa tidak malu bertengkar di depan aku." Sahut Firna.

Sabila dan Sabili saling pandang, sementara Tantri memperhatikan suasana luar melalui kaca mobil.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!