NovelToon NovelToon

Jasmine

Dua Garis

Tangan Jasmine gemetar dengan jantungnya yang berdebar begitu cepat saat melihat hasil yang ditunjukkan benda kecil di tangannya. Air matanya menetes saat alat tes kehamilan itu menunjukkan dua garis merah. Tidak mungkin! Bagaimana bisa ini terjadi?

Tubuh mungil itu ambruk dengan tangan menutup mulutnya yang ingin histeris. Bahunya naik turun dengan tangan masih gemetar memegang alat kecil tersebut.

"Jasmine, Jasmine ...."

Wanita berambut hitam itu menoleh ke arah pintu yang digedor. Tubuhnya tiba-tiba dingin mendengar sang mama yang memanggilnya.

"Sayang, apa kamu di dalam? Ayo cepat turun. Kita sarapan," ujar Dayana pada anak tunggalnya itu. "Jasmine .... "

"Iya, Ma. Sebentar lagi aku turun," jawab Jasmine yang mencoba mengontrol diri.

"Oke, Mama dan Papa tunggu di meja makan, ya," sahut wanita paruh baya itu.

"Iya, Ma," jawab Jasmine dengan mengepalkan tangannya.

Dayana pun pergi meninggalkan sang anak yang sebenarnya tengah tidak baik-baik saja.

Setelah menguatkan diri, Jasmine pun beranjak dengan sekuat tenaga. Ia berjalan menuju ranjang, duduk di sana dan meraih ponselnya di nakas. Wanita bermata bulat itu dengan tangan gemetar mencari kontak orang yang harus tahu pertama kali tentang hal ini.

My Rama. Nama tersebut yang ia coba hubungi.

Wajah cantik itu sangat gelisah menunggu panggilan diterima oleh kekasihnya. Dada Jasmine berdebar hebat saat beberapa kali panggilannya tak diterima laki-laki itu.

"Angkat teleponnya, Ram!" ujar Jasmine dengan tangan gemetar.

Semalam mereka masih berbincang, tetapi Kenapa sekarang lelaki itu menghilang?

Jasmine mendesah. Ia baru ingat kalau Rama biasa bangun siang hari. Jasmine pun berusaha berpikir positif bahwa kekasihnya tengah tertidur. Ia akan menghubunginya nanti.

Kini, wanita cantik itu berusaha untuk menekan kepanikannya. Rama pasti akan tanggung jawab dengan kehamilannya. Ia tahu betul bahwa lelaki itu sangat mencintainya. "Rama pasti tidak akan meninggalkanku," ujar wanita bermata bulat itu meyakinkan diri.

Setelah menenangkan perasaannya, ia berjalan keluar kamar dan turun menuju ruang makan. Ia tunjukkan wajah ceria pada kedua orang yang kini menunggunya.

"Pagi, Ma ... Pa ....," sapa Jasmine dengan ceria memeluk satu per satu orang tuanya.

"Pagi, my Jasmine. Bagaimana tidurmu semalam?" tanya Abimanyu pada anak semata wayangnya itu.

"Sangat nyenyak, Pa," jawab Jasmine dengan duduk di samping cinta pertamanya itu.

"Hari ini pergi ke kampus?" tanya lelaki paruh baya itu kembali.

"No, Papa. Hari ini aku libur," sahut Jasmine yang akan melahap sandwichnya. Namun, tiba-tiba ia berlari dan memuntahkan roti isi yang belum sempat ditelan itu.

Melihat sang anak yang muntah-muntah, Dayana juga Abimanyu berlari menyusul Jasmine yang tengah menunduk di washtafel dekat dapur.

"Sayang, are you okay?" tanya Dayana panik.

"Ayo." Abimanyu menuntun sang anak kembali menuju ruang makan. Ia dudukkan di kursi.

"Namima!" teriak Dayana.

Tak lama wanita tiga puluh tahunan dengan pakaian serba hitam datang.

"Ada yang saya bisa bantu, Nyonya?" tanya Namima—kepala pelayan itu.

"Tolong buatkan jahe hangat untuk Jasmine. Cepat!" ujar sang nyonya yang langsung diangguk Namima.

Jasmine sendiri menutup mata dengan kepala bersandar di bahu sang papa yang mengusap punggungnya.

"Kita ke dokter, ya. Sejak kemarin kamu mual-mual gini," ujar Abimanyu merasa khawatir pada keadaan sang anak.

"Enggak apa-apa, Pa. Kayaknya Jasmine cuma masuk angin. Nanti istirahat juga baikan," jawabnya dengan sedikit serak.

Tak lama Namima membawakan secangkir jahe hangat yang diminta sang nyonya. Setelah itu, Dayana memberikan pada anak tunggalnya.

"Sudah membaik?" tanya Dayana yang tampak khawatir.

"Better, Ma," jawab Jasmine yang memeluk lengan sang papa.

"Mau sarapan apa, Sayang? Biar Mama suruh chef membuatkan makanan untukmu," ujar Dayana. kembali merasa sangat cemas.

"Enggak, Mama. Aku masih sedikit mual. Nanti kalau sudah tidak mual, Jasmine akan makan," jawab wanita muda itu meyakinkan orang tuanya bahwa dia baik-baik saja.

"Ya sudah, kamu istirahatlah. Ayo, Papa antar."

Abimanyu pun membantu anak kesayangannya itu menuju kamar di lantai dua. Sampai di sana, lelaki itu membaringkan Jasmine, lalu menutupi tubuh sang anak dengan selimut. Ia kecup lembut keningnya.

"Istirahatlah. Papa berangkat ke pengadilan dulu. Kalau masih gak enak badan, nanti Papa antar ke rumah sakit, ya." Abimanyu mengusap lembut kepala sang buah hati.

Melihat betapa sayangnya sang papa, tiba-tiba rasa bersalah menyelimuti Jasmine. Bagaimana bisa ia mengecewakan lelaki itu dengan keadaannya sekarang. Papanya pasti sangat kecewa dan hancur jika tahu bahwa dia telah merusak kepercayaan yang diberikan oleh orang tuanya.

"Loh, kenapa nangis?" tanya Abimanyu khawatir.

"Pusing," jawab Jasmine yang membuat Abimanyu tersenyum kecil.

"Kamu ini, sudah dua puluh tahun kok pusing saja nangis." Abimanyu mengusap air mata anaknya itu.

Jasmine menggenggam tangan papanya. Ia sungguh ingin mengatakan segalanya, tetapi ia sangat takut apalagi Rama masih belum bisa dia hubungi.

"Ya sudah, kamu istirahat dulu, nanti setelah dari pengadilan Papa temani, ya." Abimanyu kembali membujuk sang anak yang ia tahu ingin ditemani. Namun, hari ini ada sidang yang tak bisa ia tinggalkan.

Setelah Jasmine berkata baik-baik saja, lelaki paruh baya itu keluar kamar sang anak. Menemui istrinya yang menunggu di ruang tamu dengan memegang jas miliknya.

"Gimana Jasmine?" tanya Dayana membantu merapikan jas yang dipakai suaminya.

"Sudah baikan. Nanti pulang dari pengadilan kalau keadaannya masih lemas, aku akan mengantarnya ke rumah sakit," jawab Abimanyu mengenakan jam yang diberikan sang istri. "Kalau begitu aku jalan dulu. Kalau ada apa-apa hubungi Marco." Ia mengecup kening istrinya.

"Hati-hati. Semoga kasusnya menang," sahut Dayana pada suaminya yang adalah seorang pengacara.

Abimanyu pun tersenyum dan mengangguk. Setelah itu, sepasang suami-istri tersebut melangkah keluar rumah. Dayana melambaikan tangan saat mobil suaminya berlalu meninggalkan mansion megah itu.

Di kamarnya, Jasmine kembali gelisah. Ia meraih ponselnya, lalu menelepon seseorang.

"Halo, Sya. Kamu di mana?" tanya Jasmine.

"Di apartment. Ada apa?" tanya Disya—sahabat Jasmine.

"Sya, a-aku bingung," ujar Jasmine gelisah dengan menggigit kukunya.

"Are you okay? Kamu terdengar tidak baik-baik saja, Jas. Ada apa? Cerita sini," kata Disya yang merasa sahabatnya punya masalah.

"Rama gak bisa dihubungin. Ada apa, ya?" tanya Jasmine bingung.

"Sejak kapan gak bisa dihubungi? Bukannya semalam kalian masih telponan?" tanya Disya. Pasalnya memang semalam saat Jasmine berada di apartemen Disya ia dan Rama telponan. Bukannya apa, Jasmine dan Rama tak dapat restu dari kedua orang tua sehingga mereka menutupi hubungan mereka.

"Sejak pagi, Sya. Aku benar-benar harus bicara dengan Rama," jawab Jasmine gelisah.

"Mungkin dia masih tidur kali, Jas. Memang ada apa? Kenapa kedengarannya kamu seperti gelisah begitu?" tanya Disya.

"Sya ... a-aku hamil," ujar Jasmine meneteskan air mata.

"What? Hamil? Anak Rama?" tanya Disya kaget.

"Iya anak dia. Kamu pikir anak siapa," gerutu Jasmine menghapus air matanya.

"Kamu tahu darimana kamu hamil?" tanya Disya lagi.

Jasmine pun menceritaka segalanya bahwa sudah dua bulan ia tak datang bulan. Lalu, semingguan ini ia juga merasa tak enak badan. Jasmine tak bodoh yang tak tahu tanda-tanda kehamilan sebab wanita cantik itu paling pintar dalam pelajaran biologi. Apalagi ia pernah melakukan hubungan itu bersama Rama beberapa kali. Akhirnya ia memutuskan membeli test pack dan ia coba tadi pagi.

"Astaga, Jasmine." Disya hanya menghela napas mendengar itu. "Kita pergi ke dokter sekarang. Kita harus cek pada dokter apakah benar kamu hamil. Kadang test pack tidak akurat," sahutnya.

"Aku takut, Sya. Papa bisa membunuhku jika tahu. Apalagi ayah dari anak ini adalah Rama," kata Jasmine gelisah.

"Satu jam lagi aku akan menjemputmu. Kita harus cek ke dokter dulu agar akurat," sahut Disya yang akhirnya disetujui Jasmine.

Mimpi Buruk Jasmine

"Apa ini, Jasmine! Maksud ini semua apa?" bentak Abimanyu melempar sebuah map ke hadapan anaknya.

Jasmine meraih map itu, mengambil apa yang ada di dalamnya. Matanya membelalak manatap sebuah hasil USG dan foto tak senonoh dirinya dengan seorang laki-laki. Bagaimana mungkin ini bisa sampai di tangan papanya?

"Pa ...." Tangan wanita itu gemetar dengan takut-takut menatap sang papa.

"Jadi ini benar? Kamu hamil cucu dari pria sialan itu!" cecar Abimanyu dengan tatapan penuh amarah. Ia sungguh tak menyangka dengan apa yang terjadi.

Jasmine menunduk, meremas ujung gaunnya. Ia bingung harus menjawab apa pada sang papa. Abimanyu menghela napasnya kasar. Dadanya begitu panas melihat sebuah kertas yang serasa lebih menyakitkan dari pada sayatan belati.

"Dasar anak tidak tahu diuntung! Pergi kamu!" seru Abimanyu dengan mata memerah menyeret wanita muda itu tanpa ampun.

"Papa, Jasmine minta maaf. Jasmine salah, jangan usir Jasmine." Wanita berusia dua puluh tahun itu terus memohon pada sang papa yang sedang murka padanya.

"Papa sudah katakan, kamu boleh hidup sesukamu, tapi, jangan pernah mencoreng nama baik keluarga, Jasmine! Sekarang, kamu telah melempar kotoran pada wajah Papa, hamil di luar nikah dengan anak pria sialan itu!" bentak Abimanyu mendorong tubuh anaknya keluar dari kediaman mereka.

"Pa, jangan seperti ini. Jasmine anak kita satu-satunya." Dayana menolong sang anak untuk berdiri dengan air mata yang terus jatuh. Hatinya sungguh hancur melihat anak tunggal yang ia sayangi diperlakukan seperti ini.

"Aku tidak pernah memiliki anak seperti dia! Pergi! Jangan harap kamu bisa menginjakkan kakimu di sini lagi!" Tunjuk Abimanyu pada anak semata wayangnya.

"Papa," lirih Jasmine dengan hati yang hancur.

"Dayana, ayo masuk!" Pria dengan kumis tipis itu menarik sang istri meninggalkan Jasmine sendirian. Bahkan ia menutup pintu yang terbuat dari kayu jati itu dengan sangat kencang.

Jasmine menangis sambil berlari ke arah pintu. "Jasmine minta maaf, Pa. Jangan usir Jasmine." Wanita bermata cokelat itu terus menggedor pintu dengan hati yang remuk redam. Sebelum kejadian ini, ia juga sudah kehilangan jejak Rama dan sekarang ditambah pengusiran papanya.

Dua orang pengawal datang menghampiri Jasmine. "Nona, Tuan Besar mengatakan agar Nona segera pergi dari sini atau dengan terpaksa kami melakukan kekerasan," ujar salah satu pengawal kediaman Abimanyu.

Jasmine terdiam. Menatap nanar pintu yang selalu terbuka untuknya, tetapi kini tertutup rapat. Karena merasa sudah tak diharapkan oleh kedua orang tuanya, perlahan Jasmine berjalan meninggalkan pintu utama mansion megah itu, menatap sendu rumah di mana ia dibesarkan dengan banyak cinta.

Sepanjang jalan, Jasmine menangis tersedu di dalam taksi. Betapa bodohnya dia begitu mudah terbuai rayuan seorang Rama Bhanu Bagaskara yang jelas-jelas adalah anak dari musuh terbesar papanya. Ia sungguh merasa menyesal dengan apa yang terjadi.

"Aku sungguh mencintaimu, Jasmine. Aku tidak perduli dengan masalah kedua keluarga kita. Aku sudah mencintaimu sejak lama. Bahkan, jika harus memilih, aku akan memilihmu dari pada keluargaku."

Kata-kata sialan itu terus berlarian di kepala Jasmine, membuat hatinya semakin sakit. Kata-kata manis mengandung racun itulah yang menghancurkan hidupnya.

Tiga puluh menit berlalu, sampailah ia di apartemen sahabatnya. Ia keluar dari taksi setelah membayar. Jasmine berjalan masuk, menuju lobby apartemen berlantai empat puluh itu. Ia tekan tombol lift menuju atas. Lift terus menurun, hingga tepat di lantai Jasmine menunggu. Ia pun masuk, menekan tombol lantai dua puluh lima. Satu per satu lantai berlalu, hingga sampai di lantai apartemen Disya.

Jasmine keluar dengan perasaan yang masih hancur, berharap sang sahabat bisa sedikit menenangkan dirinya. Ia menyusuri lorong yang terlihat sepi, dengan langkah perlahan. Tak lama, sampailah ia di apartemen bernomor dua ratus lima. Jasmine menautkan kedua alisnya. "Kenapa pintunya terbuka?" tanya Jasmine heran melihat pintu apartemen sang sahabat terbuka begitu saja.

Ia pun masuk tanpa mengetuk pintu sebab ia terbiasa keluar masuk apartemen sahabatnya itu. Semakin masuk, terdengar suara Disya yang sedang tertawa dan seperti tengah berbicara dengan seseorang.

"Aku sungguh senang karena Jasmine telah dicampakkan oleh Rama. Gadis belagu itu kini pasti sedang diamuk oleh papanya karena paket yang Om Adit berikan."

"Kau benar-benar menakutkan, Disya. Bagaimana bisa kamu menghancurkan hidup sahabatmu sendiri," kata seseorang yang tengah berbincang dengan Disya.

"Sahabat?" Disya tertawa. "Jika bukan karena ingin dekat dengan Rama, aku sungguh tidak ingin bedekatan dengan gadis sombong itu."

Jantung Jasmine seperti tertusuk belati. Kini ia tahu dari mana sang papa memiliki hasil USG itu. Hanya Disya yang tahu apa yang terjadi padanya dan hanya wanita itu yang memilikinya sebab saat ia memeriksa ke dokter, semua berkas ia berikan pada sang sahabat. Sakit dan sesak ia rasakan saat mendengar apa yang dikatakan wanita yang sudah ia anggap saudara itu.

"Sya ...." Jasmine memanggil Disya dengan lirih. Disya dan temannya berbalik. Betapa terkejutnya Disya melihat Jasmine berdiri di dekat pintu kamarnya.

"Ja-Jasmin. Sejak kapan kamu di sana?" tanya Disya dengan tatapan terkejut.

"Kenapa, Sya? Aku menganggapmu sahabat. Tapi, ini balasanmu padaku?" tanya Jasmine dengan hati yang semakin remuk.

Disya menghela napasnya. Ia tersenyum angkuh pada Jasmine. "So, sekarang hidupmu telah hancur, Jasmine. Ini semua pantas kamu terima."

"Di-di mana Rama?" tanya Jasmine yang tak memerdulikan cemoohan Disya.

Disya menyeringai. "Aku tidak tahu. Jika aku tahu pun, aku tidak akan mengatakannya padamu."

Jasmine menutup matanya. Merasakan hatinya kini benar-benar remuk berkeping-keping. Ditinggal Rama, diusir papanya, dan kini sahabatnya sendiri mengkhianatinya. Ia sungguh tak bisa marah. Ia benar-benar tak bisa berbuat apa-apa.

Sepertinya, meluapkan emosi hanya akan sia-sia saja. Jasmine pergi dari apartemen Disya tanpa membalas apa yang sahabatnya lakukan. Ia cukup lelah untuk semua hal yang terjadi tiba-tiba padanya.

Jasmine manangis menyusuri jalan, tanpa perduli orang-orang menatapnya. Ia sudah tak memiliki apa-apa lagi sekarang, hanya ada tubuh yang menjadi dua. Masa depannya kini benar-benar hancur. Tak ada yang tersisa untuknya di dunia ini.

Cita-citanya yang sudah ia siapkan pun hilang sudah. Impiannya keliling dunia hanya menjadi angan-angan. Kini, ia sendiri. Tak ada seorang pun yang menginginkannya lagi. Ia benar-benar hina sekarang.

"Semua selesai! Semua membenciku sekarang. Lebih baik aku mati. Mungkin jika aku mati, semua akan lebih baik." Jasmine naik ke atas pembatas sebuah jembatan yang dibawahnya terdapat sungai. Ia menutup matanya siap untuk menjatuhkan tubuhnya ke bawah derasnya air.

Tiba-tiba seseorang menarik tangannya, hingga Jasmine tersungkur. "Hey, apa yang kamu lakukan? Mati bukan cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Kamu tahu, banyak orang yang menginginkan hidup. Tapi kamu, justru ingin mengakhiri hidupmu?"

Aisyah

murka seorang wanita paruh baya pada Jasmine yang kini terduduk dengan memegangi kepalanya.

Tiba-tiba Jasmine merasakan kepalanya teramat pusing. Semuat terasa gelap. Suara di sekitarnya tak bisa ia dengar dengan jelas dan tiba-tiba tubuhnya terjatuh yang langsung ditahan oleh wanita paruh baya itu.

"Astagfirullah!" pekiknya.

Dengan cepat, wanita itu memanggil orang-orang di sekitarnya. Meminta mereka untuk menelepon ambulance. Si ibu panik saat melihat darah mengalir di sekitar kaki Jasmine yang saat itu mengenakan dress selutut hingga terlihat begitu jelas.

"Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa padanya." Doa wanita berkhimar hitam itu.

Tak lama, ambulance datang. Wanita itu begitu bersyukur karena ada rumah sakit dekat lokasi. Dengan segera, mereka membopong tubuh semapai itu masuk mobil ambulance.

Tak butuh waktu lama, mereka sampai di rumah sakit. Jasmine pun dibawa menuju unit gawat darurat.

Wanita paruh baya itu terus berdoa, berharap wanita muda yang ia tolong selamat dengan kandungannya. Iya, dia tahu bahwa si wanita mengalami pendarahan. Ia sedikit merasa bersalah karena tadi telah membentaknya. Pasti wanita itu mengalami kesulitan hingga ingin mengakhiri hidupnya.

**

Perlahan, mata indah itu terbuka. Penglihatannya masih sedikit samar hingga ia harus mengerjap beberapa kali. Bau disinfektan tercium begitu kuat membuat Jasmine semakin menormalkan penglihatannya. Ia sangat benci bau cairan alkohol itu.

"Alhamdulilah, kamu sudah sadar." Terdengar suara seorang wanita yang tertangkap indera pendengaran Jasmine.

Wanita muda itu pun menoleh ke arah suara, menautkan alisnya. "Siapa Ibu? Di mana aku?" tanya Jasmine yang masih belum sadar sepenuhnya.

"Kamu di rumah sakit. Kamu mengalami pendarahan, alhamdulilah anakmu dan kamu baik-baik saja," jawabnya lembut.

Anak? Jasmine mencoba mengingat apa yang terjadi. Ah, kehamilan, hilangnya Rama, pengusiran papanya, pengkhianatan Disya, bunuh diri, kini semua ia ingat. Wanita itu mendesah pelan. Air matanya sudah kering dan tak bisa keluar lagi. Ia hanya terdiam menatap sang ibu yang duduk di sampingnya. "Kenapa aku gak mati aja, sih! kenapa ibu menyelamatkanku?" tanyanya sedikit kesal.

"Mati tidak akan menyelesaikan masalah, Nak," jawab wanita paruh baya itu tersenyum.

Jasmine mendesah kasar, menatap langit-langit. "Tidak ada yang menginginkanku lagi, Bu. Semua pergi meninggalkanku. Pria yang seharusnya menjadi Papa anak ini pun hilang entah ke mana, aku diusir oleh orang tuaku, lalu sahabat yang aku anggap saudara justru mengkhianatiku. Apa lagi yang tersisa? Tidak ada!"

"Masih ada Allah di sisimu," sahut ibu bermanik hitam itu. "Jangan pernah merasa sendiri, karena Allah tak pernah meninggalkan umatnya."

"Mungkin Dia membenciku hingga semua musibah ini datang. Aku membenci-Nya. Kenapa Dia melakukan ini padaku?" lirihnya. "Kenapa Tuhan begitu jahat mengambil kebahagiaanku dalam sekejap? Dia jahat! Benar-benar jahat! Lebih baik aku mati!"

Dada si ibu serasa teriris mendengar perkataan wanita itu. Dengan reflek ia memeluk Jasmine. Menenangkannya dengan belaian hangat seorang ibu. "Istigfar, Nak. Jangan bicara seperti itu. Allah mencintaimu hingga Allah memberimu cobaan ini. Allah ingin kamu lebih kuat lagi menghadapi dunia."

Wanita paruh baya itu terus mengusap punggung Jasmine. Sedangkan yang dipeluk kembali menangis. Tak cukup air mata kemarin menenangkannya.

Ya Allah, kasihan sekali anak ini. Kuatkan dia dari cobaan-Mu ini ya Rab, batin wanita paruh baya itu merasa kasihan.

Setelah sedikit tenang, ibu itu melepas pelukannya. "Jika ibu boleh tahu, namamu siapa, Nak?"

"Jasmine, Bu," jawabnya sembari mengusap sisa air mata di pipinya.

"MashaAllah nama yang indah. Kenalkan, nama ibu Aisyah. Panggil saja Ibu Aish. Kamu tinggal di mana? Apakah Ibu bisa menghubungi orang tuamu?"

Jasmine menggeleng. "Mereka sudah mengusirku dan tak menganggapku lagi. Aku mati pun mereka tak akan perduli," lirihnya.

"Tidak, Nak. Mana ada orang tua yang membenci anaknya. Seburuk-buruk kelakuan anaknya, mereka pasti memaafkanmu."

Jasmine menunduk. "Mereka memang sangat mencintaiku. Aku yang salah karena sudah mengecewakan Papa dan Mama. Aku tahu diri untuk tidak kembali pada mereka."

"Lalu kini, kamu tinggal di mana?" tanyanya lagi.

Jasmine terdiam.

Aisyah tersenyum, meraih tangan Jasmine. "Apa kamu mau tinggal di rumah Ibu? Meski sederhana, InshaAllah masih layak untuk ditinggali."

Jasmine menatap lekat wanita paruh baya itu. "Ibu tidak mengenalku, bagaimana Ibu bisa mengajakku untuk tinggal di rumah Ibu?" tanya Jasmine tak percaya.

Aisyah tersenyum. "Ibu tidak tahu, tetapi hati Ibu yang menginginkanmu untuk tinggal bersama. Bagaimana? Apa kamu mau?" tanyanya lagi.

Jasmine begitu ragu. Ia tak mengenal siapa ibu ini. Bagaimana jika ia justru dijual atau wanita paruh baya itu melakukan hal buruk padanya? Sekarang, kita tak bisa melihat seseorang dari penampilannya, bukan? Itulah dalah pikiran Jasmine.

"Saya punya apartemen di daerah Sudirman. Terima kasih atas bantuannya, Bu," tolak Jasmine halus. Ia tak mungkin asal ikut orang yang tak dikenal.

Aisyah hanya tersenyum. "Baiklah, Ibu tidak bisa memaksa. Tapi, selama kamu di rumah sakit, biar Ibu yang menjagamu."

"Tidak perlu, Bu. Saya tidak enak dengan keluarga Ibu."

"Ibu tinggal sendiri, suami Ibu sudah tiada sejak sepuluh tahun lalu. Ibu hanya memiliki anak laki-laki yang kini tengah berkuliah di Kairo. Jadi, Ibu senang jika bisa mengurusmu," jawab wanita berkhimar hitam itu pada wanita muda tersebut.

Jasmine pun akhirnya menerima bantuan dari Aisyah. Ia sendiri bingung tidak punya siapa-siapa dalam keadaan seperti ini.

Sepanjang waktu Aisyah dengan ikhlas merawat gadis muda yang baru saja ia kenal. Entah, ia merasa ada perasaan yang menggelitik di hatinya untuk merawat wanita muda itu. Ia merasa tak tega pada Jasmine yang hidup sendirian dalam keadaan hamil muda.

Pagi hari, terdengar suara wanita yang tengah muntah di kamar mandi. Siapa lagi kalau bukan Jasmine yang tengah mengalami morning sickness.

"Ya Allah, Nak. Kamu tidak apa?" tanya Aisyah yang baru datang setelah kembali dari luar.

Aisyah sendiri memiliki sebuah toko yang menjual aneka kue basah dan kue tradisional lainnya. Tokonya berada tak jauh dari lokasi di mana Jasmine berencana mengakhiri hidupnya juga dari rumah sakit ini. Karena itulah ia datang untuk mengecek pekerjanya dan mengatakan bahwa ia tak datang untuk beberapa hari.

Jasmine terduduk lemas. Rasa ngidamnya begitu parah hingga setiap pagi ia tak berdaya dibuatnya. Sebelum orang tuanya tahu keadaannya, ia selalu diberi minuman jahe oleh sang mama. Namun kini, ia menghadapinya sendirian.

"Ayo, Ibu bantu." Aisyah memapah Jasmine menuju brankarnya. Dengan lembut, wanita berusia empat puluh lima tahun itu membaringkan Jasmine.

"Masih mual?" tanyanya.

Jasmine menggeleng dengan lemas. "Bu, apakah wanita hamil selalu seperti ini? Aku sungguh merasa tersiksa dengan kehamilan ini," lirih Jasmine.

Aisyah tersenyum, mengelap sisa air di bibir Jasmine. "Memang seperti itu. Dulu, bahkan ibu sampai bolak balik rumah sakit karena dehidrasi berat. Tapi, itulah keistimewaan seorang perempuan. Jika ia ikhlas menjalani masa kehamilan, pahalanya sama seperti berpuasa di siang hari, dan salat di malam hari," ujar Aisyah menjelaskan.

Jasmnine tertunduk. "Tapi, aku hamil di luar nikah, apa akan memiliki pahala yang sama?"

"Jika kamu bertaubat kepada Allah dengan sungguh-sungguh, InshaAllah akan sama." Aisyah mengusap lembut punggung Jasmine.

Jasmine kembali menangis. Ia merasa sangat hina dan berdosa. "Mungkin Allah menghukumku sekarang karena aku selalu lalai menjalani kewajibanku sebagai muslim. Allah marah dan memberikan hal buruk ini." Jasmine terisak menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. "Aku benar-benar wanita hina. Apa bedanya aku dengan wanita malam?"

"Ya Allah, Nak, tidak seperti itu, Sayang. Jangan berpikir buruk." Aisyah memeluk tubuh semapai yang lemah itu. "Justru Allah teramat mencintaimu, Nak. Allah iri kepada dunia ini, karena kamu terlalu mencintainya. Allah ingin kamu kembali padaNya. Saat Allah memberimu kebahagiaan, mungkin kamu lupa pada-Nya. Jadi, Allah beri kamu cobaan hingga kamu mengingat dan kembali berbalik pada-Nya." Aisyah mencoba menenangkan Jasmine. Ia tahu bahwa gadis muda itu tengah mengalami depresi.

Tangisan Jasmine semakin pecah. Mungkin benar apa yang dikatakan Aisyah. Ia terlalu terbuai dengan gemerlap dunia, hingga lupa akan adanya Sang Pencipta. "Apakah Allah akan mengampuniku?" tanyanya.

"Tentu, Nak. Allah Maha Pengasih dan Penyayang, serta Maha Pengampun. Selagi kamu bersungguh-sungguh bertaubat, InshaAllah Allah akan mengampunimu."

"Bantu aku bertaubat, Bu," kata Jasmine di sela tangisannya.

"Alhamdulilah. InshaAllah, Ibu akan membantu sebisa Ibu. Sudah, jangan bersedih lagi. Kasihan anak dalam kandunganmu." Aisyah melepaskan pelukannya, lalu mengusap air mata Jasmine. "Sarapan dulu, ya, mumpung masih hangat." Aisyah meraih nampan berisi makanan berniat untuk menyuapi Jasmine.

Wanita berambut sepunggung itu menatap tak suka makanan di nampan. Ia benar-benar tak berselera untuk memakannya.

"Kenapa?" tanya Aisyah. "Apa kamu mual lagi?"

Jasmine menatap ragu Aisyah. Ia sungguh tak ingin merepotkan ibu paruh baya itu. Namun ....

"Kamu tidak mau makan ini? Apa kamu ingin makan sesuatu?" tanyanya lagi.

"A-aku ingin bubur ayam yang di Radio Dalam," ujarnya ragu.

"Bubur ayam yang di Radio Dalam? Dekat dengan persimpangan?" tanya Aisyah.

Jasmine mengangguk yang disenyumi Aisyah. "Baiklah, Ibu akan membelikannya."

Aisyah hendak berdiri, tetapi ditahan Jasmine. "Tidak usah, Bu. Mungkin itu hanya keinginan saja, aku makan ini aja." Jasmine meraih nampan itu. Kembali, ia menatap ragu makanan yang berisi sayur bening serta tahu tempe ditambah ayam kecap yang membuatnya mual.

"Jangan dipaksakan. Ibu akan membelikan bubur itu." Aisyah meraih nampan itu dari tangan Jasmine.

"Tapi ...."

"Itu tidak jauh dari sini. Ngidamnya orang hamil harus dituruti biar hatinya bahagia. Sabar, ya, Ibu jalan sekarang. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Tapi Bu ...."

"Kamu diam saja."

Aisyah pun pergi dari ruang perawatan Jasmine. Wanita cantik itu benar-benar tersentuh dengan apa yang dilakukan wanita paruh baya yang baru ia kenal tersebut. Hatinya terasa begitu damai, tak seperti sebelumnya. Merasakan kasih sayang dari seorang ibu, memang kedamaian yang luar biasa.

Berbicara tentang Ibu, tiba-tiba Jasmine mengingat sang mama. Ia merindukan belaian kasih sayang Dayana. Menjadi anak semata wayang, membuat Jasmine dilimpahi banyak cinta. Kini, tak ada cinta sedikit pun dari orang tuanya.

"Apa Mama dan Papa akan khawatir jika melihat Jasmine dirawat seperti ini?" gumamnya.

Jangankan dirawat seperti sekarang, ia terserang flu saja, kedua orang tuanya benar-benar panik hingga memanggil dokter pribadi mereka saat tengah malam. Jasmine tersenyum miris mengingat momen indah itu.

"Maafin Jasmine, Pa ... Ma ...."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!