Bagaimana impian pernikahan mu? Tentunya ingin menikah karena saling mencintai dan saling klik bukan? Bagaimana jika tidak? Seumpama menikah karena terpaksa atau di paksa?
Dan inilah kisah pernikahan yang tidak diinginkan oleh seorang gadis yang menjadi tumbal atas keserakahan orang tuanya.
Dia dijual untuk menutupi hutang sebanyak 2 Milyar. Karena ayahnya terlilit hutang dan tidak bisa melunasi ketika masa jatuh tempo sudah pasti. Tidak ingin tanah seluas tiga hektar bersama dengan pabriknya di gusur, sang ayah menjual anak gadisnya.
Gadis ini bernama Ayuning Laras berusia 21 tahun, cita-citanya begitu tinggi. Ia ingin menjadi seorang pendidik generasi bangsa. Akan tetapi, sepertinya cita-citanya hanya akan menjadi angan-angannya saja. Kala Bapak begitu ia memanggil sang ayah memintanya untuk menikah dengan seorang pria bernama Ashoka Bratajaya yang sudah berusia 34 tahun.
"Tolong Bapak, Ayu. Anggaplah ini sebagaimana balas budi mu kepada Bapak yang telah membesarkan dan menyekolahkan mu."
Pak Bahar parau menatap putrinya.
"Kau harus menikahi tuan Ashoka, Ayu. Hanya itu satu-satunya cara, agar hutang Bapak lunas. Dia bersedia menikahimu." ucap Pak Bahar penuh dengan pemaksaan pada anak gadisnya.
Ayu kembali menatap kedua orangtuanya dengan tatapan meremang, karena bendungan air mata sudah terkumpul di pelupuk matanya.
"Bapak, tugasmu sebagai orang tua adalah memberikan ku pendidikan dan kehidupan. Bagaimana bisa disebut balas budi?" Ayu membatin lalu menunduk lesuh.
"Tapi Pak, Ayu masih ingin melanjutkan sekolah. Rasanya baru kemarin Ayu masuk universitas. Ayu masih ingin melanjutkan cita-cita Ayu untuk menjadi guru terpelajar." Ayu sudah berderai air mata, dia tidak tahu lagi penolakan apa yang akan dijadikannya sebagai alasan. Bahwa dia tidak ingin dipersunting dengan cara seperti ini.
"Pak, memang tidak ada cara lain lagi selain menikahkan Ayu sama tuan Ashoka?" Bu Tumirah mengusap punggung anak gadisnya.
"Ada, tapi Bapak tidak mau tanah perkebunan teh seluas tiga hektar beserta pabriknya di gusur sama tuan Ashoka, sebab itulah Bapak mengajukan diri untuk menikahkan tuan Ashoka dengan Ayu. Mengingat dia sudah lama menduda." tukas Pak Bahar.
Ayu tidak habis pikir mengapa Bapak begitu getolnya meminjam uang dengan alasan pabrik mengalami kebangkrutan, akan tetapi ketika tak bisa melunasi hutang. Dialah yang jadi tumbal, apakah ini memang rencana Bapak dari awal atau? Ah sudahlah, Ayu tidak ingin berpikir terlalu negatif.
Bu Tumirah menatap Ayu yang sejak tadi berubah menjadi pendiam, ia tahu perasaan Ayu. Akan tetapi, kasihan juga jika pabrik harus di gusur.
"Ayu, kalau kau ingin menjadi anak yang berbakti, maka turuti ucapan Bapakmu ini nak. Menikahlah dengan tuan Ashoka hanya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan Bapak dari lilitan hutang ini." bujuk Pak Bahar berkata dengan nada suara sangat sedih seperti memohon.
Ayu masih diam saja. Bergelut dengan pikirannya. "Menikahi seorang duda?" monolog Ayu.
Pak Bahar tiba-tiba saja berdiri dan berjalan membuka lemari, diambilnya tali dan dililitkannya ke leher. "Atau kau ingin melihat Bapakmu mati gantung diri, Ayu!"
Melihat apa yang dilakukan Pak Bahar, Ayu maupun Bu Tumirah menghampiri Pak Bahar dan melepaskan tali yang melilit leher pria gemuk ini.
Ayu bersimpuh di lantai, ia menangis seraya berkata. "Baiklah, Pak. Baik, Ayu akan menuruti perkataan Bapak, Ayu akan menikah dengannya."
Pak Bahar langsung sumringah, lalu berlutut dihadapan putrinya. "Benarkah? Kalau begitu seminggu lagi, tuan Ashoka akan menjadikan mu istrinya."
Ayu bergeming, ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Air matanya jatuh membasahi punggung tangannya.
"Apakah aku harus pasrah dengan keputusan Bapak? Bagaimana dengan pekerjaan dan pendidikan ku?"
Pak Bahar mengusap kepala putrinya, "Sekarang kau istirahat, besok orang suruhan tuan Ashoka akan datang menjemput mu."
Ayu tidak menjawabnya, ia segera bergegas masuk kedalam kamar. Kedua orangtuanya ini memang selalu menuntutnya untuk menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Bahkan, masuk universitas saja, Ayu sampai bekerja menjadi seorang guru TK Swasta dan bekerja paruh waktu sampai malam.
Pak Bahar tersenyum lebar lantas duduk sofa. "Bu buatkan Bapak teh."
Tanpa menjawab Bu Tumirah langsung berjalan ke dapur untuk membuatkan teh hangat untuk suaminya. Ia juga merasa senang, karena ia tahu, Ashoka Bratajaya merupakan seorang pebisnis kaya raya.
Tak berselang lama, Bu Tumirah kembali ke ruang tengah dengan membawa nampan berisi teh hangat lalu disajikannya di atas meja. "Silahkan Pak,"
"Makasih Bu'ne." balas Pak Bahar, lalu menyeruput teh hangatnya. Hati yang riang, semakin riang gembira.
"Pak memang benar, kalau tuan Ashoka mau menikahi Ayu untuk melunasi hutang-hutang Bapak?" Bu Tumirah masih penasaran, karena semenjak pulang, suaminya ini belum menjelaskan mengenai detail usulan mengapa sampai keluar wacana untuk menikahkan Ayu dengan Ashoka Bratajaya.
Pak Bahar mengingat kejadian siang ini.
FLASHBACK
"2 Milyar, 2 Milyar." Pak Bahar berulang kali menyebut hutangnya sebanyak itu. Hutang yang tidak bisa ia kembalikan, rasa-rasanya isi kepala mau pecah saja.
BRAK!!!
Pak Bahar buyar, kala mendengar pintu kantornya di dobrak. Siapa lagi kalau bukan Tarjo dan Diman. Pak Bahar langsung berdiri, maniknya melihat Ashoka Bratajaya yang datang dari belakang Tarjo dan Diman.
"Hari ini tanggal berapa Pak Bahar?" Tanpa di persilahkan Ashoka Bratajaya duduk di sofa yang telah ada di ruangan kantor Pak Bahar.
"Ta-tanggal 11 bulan Oktober, tuan." Pak Bahar di landa kengerian kala melihat Ashoka Bratajaya duduk dan memperlihatkan seringai senyuman sinis.
"Bagus, jadi mana uang yang sudah anda janjikan akan dikembalikan hari ini?" Ashoka menegaskan pertanyaannya.
"Saya mohon tuan Ashoka, beri saya waktu dua sampai satu minggu, saya pasti akan melunasi hutang-hutang saya." Pak Bahar menangkupkan kedua tangannya.
Asoka menjentikkan jarinya, kepada Diman. Seketika itu, sang anak buah mengangkat tongkat bisbol dan menghancurkan semua benda yang terdapat di atas meja kerja Bahar.
Krak!!!
Semua benda yang semula tertata rapih di atas meja jatuh dan berserakan di lantai, begitu juga dengan bingkai foto yang pecah.
Pak Bahar terperanjat, ditatapnya benda-benda berserakan di lantai.
"Saya ingin uang saya kembali sekarang juga!" Ashoka berkata dengan suara keras, tak perduli dengan siapa ia berhadapan. Mau tua ataupun muda. Sama sekali tak dihiraukannya yang terpenting uangnya kembali.
Nada suara Asoka terdengar menggelegar. Pak Bahar sampai merasa baru saja mendengar petir menyambar. Pak Bahar mengalihkan posisi duduknya menjadi berlutut dihadapan Ashoka. "Kasihanilah saya tuan, saya janji, saya akan membayar hutang saya. Tapi tolong jangan ambil tanah peninggalan almarhum kedua orang tua saya."
"Saya tidak perduli!" tukas Ashoka tidak mau tahu.
Pak Bahar tergegap entah apa yang harus dilakukannya, sedangkan uang sebanyak itu untuk saat ini ia tidak punya. Pandangannya mengedar pada badan besar Tarjo dan Diman. Pak Bahar menelan ludahnya. Rasa-rasanya sekujur tubuhnya telah basah oleh keringat.
"Tarjo!" Ashoka bicara lagi, seketika Tarjo memberikan berkas padanya. Ashoka menerima berkas yang diberikan Tarjo, secepat kilas ia melemparkannya ke meja. "Itu berkas perjanjian hutang-piutang anda Pak Bahar."
Tentunya Pak Bahar sangat ingat dengan perjanjian dua bulan lalu. Yang ditandatangani olehnya juga Ashoka Bratajaya. [2 Milyar dengan jaminan tiga hektar perkebunan teh.]
Pak Bahar melihat bingkai foto keluarganya yang telah pecah di lantai. Seketika itu juga, dia teringat bahwa Ashoka Bratajaya telah lama duda. Lantas diambilnya selembar foto dari bingkai yang sudah pecah.
"Tu-tuan Ashoka, lihatlah putri saya. Lihat dia, saya ingin menawarkan dia menjadi istri anda. Bu-bukan kah anda sudah lama hidup sendirian? Menikahlah dengan anak saya." Pak Bahar menunjukkan foto keluarga lebih tepatnya pada foto anak gadisnya.
Tarjo mengambil selembar foto dari tangan Pak Bahar, lalu memberikannya pada Ashoka.
Ashoka melihat foto seorang gadis yang sedang tersenyum simpul dan memiliki gaya rambut lurus di jepit kebelakang. Ia menarik ujung bibirnya tipis, lamat-lamat menjadi kekehan kecil.
Pak Bahar semakin ngeri saja kala mendengar tawa Ashoka yang terdengar mistis.
"Apakah anda ingin menjual anak gadis anda untuk menebus hutang, Pak Bahar?" Ashoka melemparkan foto ke atas meja. "kelebihan anak anda apa Pak Bahar, sampai anda begitu percaya diri menawarkan anak anda sebagai tebusan hutang?"
Pak Bahar tidak berani menatap Ashoka. Terserah, jika ia disebut akan menjual anak gadisnya untuk menebus hutang 2 Milyar nya, yang terpenting tanah seluas tiga hektar tidak diambil alih oleh Ashoka.
"Namanya Ayuning Laras usianya 21 tahun. Ayu merupakan guru TK, dia pintar, cekatan dan sangat penurut. Saya yakin tuan Ashoka akan senang jika melihatnya." Ucap Pak Bahar meyakinkan lalu mengangkat wajahnya melihat Ashoka terdiam, pria didepannya ini memang sulit untuk di tebak.
Jika ditanya mengapa Pak Bahar meminjam uang kepada Ashoka yang dingin dan terkenal bengis, karena hanya Ashoka lah yang menjadi harapan terakhirnya. Namun, apalah daya kata 'akhir dari pengucapannya dua bulan lalu. Seolah menjadi pertanda bahwa pabrik yang dikelolanya sejak 30 tahun kini harus mengalami kebangkrutan yang sangat fatal.
"Besok Tarjo akan menjemput anak gadis anda, saya akan lihat dulu. Jika saya merasa cocok maka seminggu lagi saya akan menikahinya." Ashoka langsung berdiri, dan pergi dari hadapan Pak Bahar diikuti dengan Tarjo dan Diman.
Pak Bahar membelalakkan matanya dan bertanya-tanya mengenai jawaban Ashoka. "Apa maksudnya barusan? Semoga saja tuan Ashoka cocok setelah bertemu dengan Ayu dan mau melunasi hutang 2 Milyar ku."
FLASHBACK ON
"Nah begitu ceritanya Bu." kata Pak Bahar selesai ia bercerita.
"Wah bagus itu, lagian Ibu juga ndak setuju kalau Ayu sekolah tinggi-tinggi, buat apa? Toh perempuan kalau sudah menikah pasti ujung-ujungnya selalu di dapur." Bu Tumirah memang tidak menyukai usulan Ayu untuk sekolah tinggi, meskipun Ayu membayar biaya kuliah dengan bekerja sendiri.
...*****...
Bersambung
[Selamat datang dan selamat membaca di karya terbaru saya. Mohon dukungannya untuk karya ini sedulur 🙏🏼]
Setelah pembicaraan berat kemarin sore, Ayu tidak bisa tidur pulas. Namun demi menunaikan kewajibannya sebagai pendidik anak negri. Ayu menyemangati diri.
Seusai menyelesaikan ritual paginya seperti sholat dan membantu ibunya memasak di dapur. Bu Tumirah selalu mengajarkan Ayu tentang memasak. Kata Ibu, memasak itu adalah hal yang wajib bagi setiap perempuan.
Kini Ayu sedang bersiap untuk berangkat ke sekolah untuk mengajar murid TK.
Agus melihat Kakaknya sedang berkemas. "Mbak, dipanggil Bapak,"
"Memang ada apa Gus?" Ayu menjawab tanpa menoleh pada adiknya, karena ia sedang memasukan beberapa gambar untuk anak-anak mewarnai pagi ini.
"Nggak tau Mbak, tapi katanya penting." Agus menjawab sambil berlalu.
Ayu keluar dari kamar, ia melihat Bapak dan Ibunya sedang duduk di ruang tamu. Mata Ayu melihat seorang pria yang dirasa tidaklah asing. Tapi entah, Ayu pernah bertemu dimana.
"Bapak manggil Ayu?"
"Ayu, ikutlah Mas Tarjo. Seperti yang Bapak katakan padamu kemarin. Tuan Ashoka mau bertemu denganmu,"
Ayu tertegun, secepat inikah. Harus ada pertemuan. "Ayu harus ke sekolah, Pak,"
"Tuan Ashoka tidak ingin menunggu lama-lama, jadi sebaiknya Nona Ayu ikut saya sekarang."
Ayu melihat seorang pria bertubuh tegap itu seperti memaksanya. Ia seolah tidak ada lagi harga diri untuk sekedar menolak. Bahkan ia tidak tahu kehidupan apa yang akan dijalaninya nanti.
"Sudah ikut Mas Tarjo saja Yu." Kata Pak Bahar lagi.
Ayu melihat sang Ayah nampak sumringah, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu saja nampak murung. Mungkin karena memikirkan hutang-piutang. Ayu berpikir, mungkinkah ini wujud baktinya pada sang ayah untuk membantu melunasi hutang.
Ayu tidak lagi menjawab ataupun membantah, ia mengikuti kemana langkah kaki lelaki yang bernama Tarjo. Sampai pada sebuah mobil yang terparkir di depan halaman rumah. Tarjo membukakan pintu untuknya. Dengan langkah kaki gamang, Ayu memasuki mobil. Ia melihat keluar jendela kaca mobil. Orangtuanya sedang berdiri di teras rumah, seolah ini adalah perpisahan untuk mengantarkan kepergiannya.
Sepanjang perjalanan Ayu melihat hamparan perkebunan teh. Keluarganya memang tinggal di daerah udara sejuk. Sebab itulah, hamparan teh dan kopi selalu menjadi pemandangan setiap harinya.
Pikiran Ayu sudah kemana-mana, antara memikirkan murid dan memikirkan masa depan yang seolah sedang dipertaruhkan.
Entah seperti apa rupa dari Ashoka Baratajaya. Karena ia belum pernah sekalipun berjumpa, kata Bapak. Ashoka Bratajaya berusia 34 tahun, dan Ashoka merupakan seorang duda.
Di usia 34 tahun, Ayu membayangkan jikalau Ashoka sudah sangat dewasa dan terlihat tua."Jangan-jangan, seperti pria hidung belang?" mata Ayu terbelalak.
"Tidak, tidak." gumam Ayu lirih, namun agaknya meskipun sangat lirih mengganggu pendengaran Tarjo.
"Tidak, kenapa nona?" Tarjo bertanya namun masih fokus mengemudi.
Ayu memasang senyuman kecut. "Enggak Om Tarjo." Dilihatnya, wajah Tarjo dari samping memang terlihat sangat tegas. Apakah pria itu brutal kala menagih hutang.
"Nona Ayu, kita sudah sampai." Kata Tarjo melihat gadis yang dijadikan tumbal pelunasan hutang.
Ayu tersadar dari lamunannya, dan melihat Tarjo sudah membukakan pintu mobil untuknya. Tatapan Ayu melihat bangunan restauran yang estetik dan nampak mewah bernama Brata Resto.
Huft... Ayu menarik oksigen guna memenuhi paru-parunya. Selepas itu, ia menghembuskannya perlahan. Gemetar dan gusar, itulah yang sedang ayu rasakan. Namun ia harus mengimbangi pertemuannya dengan Ashoka agar tak berkesan gugup dan gagap.
"Mari ikuti saya." pinta Tarjo.
"Baik." jawab Ayu singkat, lalu mengikuti kemana langkah Tarjo akan membawanya.
Tarjo membawa Ayu ke suatu tempat yang dijadikan ruangan pribadi Ashoka di restauran ini. "Silahkan Nona Ayu.." ucap Tarjo setelah membukakan pintu lebar-lebar.
Ayu mengedarkan pandangannya menatap keseluruhan ruangan. Ayu menelaah degup jantungnya yang berdetak kencang. Ia melihat Tarjo sekilas, lalu mulai mengayunkan langkah kakinya untuk masuk ke dalam ruangan yang terlihat berkelas.
Di sofa Ashoka melihat kedatangan gadis yang akan di tumbalkan untuk melunasi hutang. Netranya melihat dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Ehem." dehem Ashoka melihat gadisnya terpanjat dan langsung menoleh.
Ayu kaget saat mendengar suara deheman yang sangat keras dari sebelah kanan ruangan. Secara refleks, Ayu melihat seorang pria yang sedang duduk di sofa king size. Sangat berbeda dengan imajinasinya, pria itu terlihat sangat tampan dan rupawan.
"Duduklah." Ashoka berkata dingin.
Ayu celingusan ke kanan dan ke kiri, namun di ruangan ini hanya ada dirinya dan pria yang terlihat dewasa, berwibawa dan tampan. Pria itu sedang melihat kearahnya.
"Duduklah." Ashoka bicara lagi, kali ini terdengar seperti perintah.
Kali ini Ayu menurut saja, toh hanya di suruh duduk. Setelah duduk, Ayu seolah merasakan aura magis yang terpancar dari pria yang memakai setelan jas dan celana panjang hitam.
"Namamu Ayuning Laras, usiamu 21 tahun? Pekerjaan sebagai guru TK, dan masih berstatus mahasiswi? Apa semua yang ku katakan benar?"
Ayu mengangguk, entah kenapa ia seperti sedang melamar pekerjaan. Degup jantungnya tidak kompromi, Ayu merasa sudah seperti berhadapan dengan seniornya di kampus, namun lebih garang dari senior. Maap senior.
"Anda tahu indentitas saya, jangan-jangan anda ini peramal?" Ayu bergurau menutupi kegelisahannya. Melihat pria itu terdiam dan menatapnya tajam, Ayu kembali mengatupkan bibirnya. Nah kan salah ngomong?
"Kau tahu apa yang membawamu kemari?" Ashoka bertanya dingin.
"Yang saya tahu, saya akan melunasi hutang Bapak." jawab Ayu seraya memilin jemarinya yang sudah berkeringat.
Ashoka tersenyum sinis. "Dengan cara apa kau melunasinya, kau tahu berapa hutang Bapakmu padaku? Dan kau tau aku siapa?"
Ayu menggeleng keringat mulai membasahi sekujur tubuhnya, ia meremass tangannya yang terkepal di atas paha yang tertutupi celana panjang culot navy.
"Aku adalah Ashoka Bratajaya, dan hutang Bapakmu sebesar 2 Milyar," Ashoka menyulut rokok nya, membuat kepulan asap membubung tinggi ke udara. "dan secara tidak langsung kau telah di jual oleh Bapakmu sebagai tebusan hutang. Kiranya gadis seperti mu, apa pantas di hargai 2 Milyar? Kau merasa kamu cantik? Apa kau merasa kau menarik? Atau kau merasa pantas untuk menjadi istri ku?" sambungnya bersuara ringan.
"Sebenarnya siapa dia, suaranya sudah seperti seorang pimpinan yang suka menindas bawahan." Ayu menepis perasaan gugupnya, lalu menjawab rentetan pertanyaan Ashoka yang sudah seperti rentengan petai.
"Hidup saya lebih berharga daripada uang 2 Milyar. Soal cantik, dan menarik, saya memang tidak lebih cantik daripada Lucita Luna, tapi saya adalah wanita yang mempunyai sejuta pesona, dan saya merasa tidak pantas untuk menjadi istri anda tuan Ashoka, tapi pantaskah anda untuk menjadi suami saya?"
Setelah mengatakan itu, degup jantung Ayu semakin meningkat. "OMG, lancar sekali aku menjawab?" Ayu menekan denyut nadinya, dan ia menyadari dirinya masih hidup.
Ashoka mendesis dingin mendengar semua jawaban Ayu.
"Dasar gadis bermulut besar!" kesalnya menatap Ayu. Akan tetapi sesaat kemudian, jiwa Ashoka merasa tertantang untuk bermain-main dengan gadis bermulut besar itu.
Ashoka melemparkan kertas di atas meja. "Aku akan menikahi mu, dan tanda tangani itu."
Ayu melihat lembaran kertas yang dilemparkan Ashoka di atas meja. Lalu mengambilnya dan membaca kwitansi pelunasan hutang. "Tidak adakah cara lain, selain saya harus menikah dengan anda tuan?"
"Ada!" jawab Ashoka santai. "uang 2 Milyar yang dipinjam Bapakmu harus segera dikembalikan saat ini dan detik ini juga!" sambungnya dengan gerakan jarinya yang menunjuk Ayu.
Ayu memejamkan matanya dalam-dalam membersamai dengan helaan nafas panjang. Ia tidak bisa berkutik untuk menjawab. "Gila! 2 Milyar? Aku dapat darimana uang sebanyak itu? Pegang uang seratus juga saja aku tak pernah. "
Ashoka melihat Ayu terdiam sembari menunduk, ia tersenyum miring. "Secara keseluruhan gadis ini dari keluarga baik-baik. Pendidikan yang baik, pintar dan merupakan guru TK."
Ashoka mempunyai rencana. Hanya dia dan Tuhan lah yang tahu apa rencananya.
"Bagaimana apa kau sanggup menghadirkan uang 2 Milyar saat ini juga?" Ashoka berkata ringan, lalu bersandar pada sandaran sofa.
Ayu mengangkat wajahnya menatap Ashoka. Lagi, tiada jawaban yang tepat. "Rasanya aku seperti sedang berkompromi dengan raja Firaun."
"Aku sudah memiliki seorang anak perempuan," ucap Ashoka melihat sorot mata Ayu tidak menyukainya. "Lahirkan anak laki-laki untukku, setelah anak itu lahir. Kau bisa bebas." ujarnya sambil tersenyum miring.
"Hah?" Ayu membelalakkan matanya. "Kesepakatan macam apa ini? Anda pikir saya wanita yang menjual rahim untuk melahirkan anak?"
Ashoka menggendikkan pundaknya. "Terserah, tapi kau tidak punya pilihan lain. Toh aku sudah berbesar hati mau menerima tawaran Bapakmu."
Ayu nelangsa, hutang Bapak benar-benar menjeratnya masuk kedalam kubangan keangkuhan Ashoka.
"Jika kau tidak bisa melunasi hutang 2 Milyar maka kebun teh dan pabrik Bapakmu ku sita, karena itu merupakan kesepakatan yang sudah di tandatangani 2 bulan lalu."
Ayu semakin terpojok dengan semua yang dikatakan Ashoka. Mengingat Bapak mengancam akan bunuh diri.
"Demi Bapak, aku setuju." sergah Ayu menghentikan racauan Ashoka.
Ashoka menaruh pulpen di atas kertas perjanjian. "Karena ini pernikahan yang sesuai dengan prinsip hukum, aku juga tidak mau anakku lahir tanpa identitas yang jelas. Kita daftar pernikahan besok."
Ayu menatap pulpen yang di tunjukan Ashoka. Gamang yang ia rasa. Lalu mengambil pulpen dan menandatangani kesepakatan.
Ashoka tersenyum tipis melihat Ayu menandatangani kwitansi dan surat perjanjian kesepakatan. "Besok Tarjo akan menjemputmu untuk fitting gaun pengantin."
Ashoka berdiri dengan berkacak pinggang. "Sekarang kau boleh pulang, aku masih banyak pekerjaan."
Ayu berdecih, maniknya menatap Ashoka tajam. "Dia pikir aku ini wanita panggilan, yang bisa di jemput dan di usir begitu saja. Kenapa sikap angkuhnya begitu menjengkelkan?"
Melihat Ayu tidak juga beranjak, Ashoka berkata. "Oy kenapa kau tidak juga beranjak, apa kau mau bikin anak sekarang?"
Ayu tergelak mendengar perkataan Ashoka. Ia segera berdiri dan pergi dari ruangan di mana Ashoka berada, di depan ruangan Ayu melihat Tarjo. "Dia pikir bikin anak pakai tepung?"
"Berikan itu untuk Nyonya Ayu." kata Tarjo pada seorang pelayan.
Ayu membulatkan matanya mendengar Tarjo lain menyebutnya. "Nyonya? Nyonya menir maksudnya?"
Sang pelayan memberikan bingkisan makanan pada wanita yang disebutkan Tarjo.
"Anda akan di antar supir di depan Nyonya." ujar Tarjo pada Ayu.
"Semua orang di sini sudah gila." gumam Ayu lalu melenggang pergi dari restoran tempat pertemuannya dengan Ashoka.
Selepas kepergian Ayu, Tarjo mendengar Ashoka memanggilnya.
"Tarjo."
Tarjo segera tanggap, lantas masuk ke dalam ruangan. "Siap Tuan."
"Buatkan jadwal terperinci tentang apa yang harus dia lakukan setelah menjadi istri ku, termasuk bagaimana caranya dia merawat Ayna. Semakin membuat gadis itu menggila, maka akan semakin terasa jika uang 2 Milyar ku tidak sia-sia." kata Ashoka menatap keluar jendela kaca.
Tarjo mengangguk singkat, "Baik tuan."
...*****...
Bersambung
[Jika kalian suka, jangan lupa tekan like ya bestie]
Ayu turun dari boncengan, lalu membayar kang ojek. Ia sungkan di antar memakai mobil pria angkuh itu.
"Assalamualaikum." Ayu berjalan memasuki rumah. Dilihatnya Ibu dan Bapak sedang bercengkrama seolah memang sedang menunggu kepulangannya.
"Wa'alaikumussalam." jawab Pak Bahar dan Bu Tumirah secara bersamaan.
Pak Bahar melihat bingkisan makanan dan juga berkas yang di pegang Ayu.
"Bagaimana pertemuan mu dengan tuan Ashoka, apa dia menyukaimu, Yu?" Pak bertanya Bahar antusias.
"Hanya itukah yang Bapak ingin tahu?" batin Ayu merana.
"Apa kau mendapatkan makanan dan kwitansi ini dari tuan Ashoka?" lagi Pak Bahar bertanya.
"Apa yang Bapak rencanakan berjalan sesuai dengan rencana Bapak. Ayu lelah, Ayu mau istirahat." Ayu menjawab tanpa melihat Bapak.
"Baiklah istirahat sana." jawab Pak Bahar.
Ayu berjalan melewati Ibunya, lalu masuk kedalam kamarnya sendiri.
Kedua orang tua itu, hanya memikirkan diri mereka sendiri. Tanpa memikirkan perasaan anak mereka yang sudah meneteskan air mata. "Egois."
Dan besok? Besok adalah hari dimana Ayu mulai menjalankan tugas sebagai boneka Ashoka. Iya, Ayu merasa dia akan menjadi boneka pria angkuh itu.
"Melahirkan seorang anak laki-laki? Jika yang ku lahirkan nanti ternyata anak perempuan, bagaimana hidupku? Apa selamanya aku akan terjerat dengan pria angkuh itu?" Ayu bersandar pada pintu, tubuhnya semakin merosot dan meringkuk terduduk. "kenapa aku tidak menanyakannya tadi?"
**
Keesokan harinya..
Di sebuah butik ternama, butik yang di khususkan untuk merancang gaun pengantin bagi kalangan elit dan konglomerat. Ayu sedang duduk, berhadapan dengan calon suaminya. Siapa lagi jika bukan Ashoka.
Ruang VVIP butik.
Ashoka memperhatikan penampilan Ayu yang sama sekali tidak menggairahkan. Ashoka menjentikkan jarinya pada Tarjo.
Sigap, Tarjo menunjukkan berkas yang sudah ia kerjakan semalaman. Selalu saja, Ashoka membuatnya begadang. Apalagi, jika sang tuan sedang senang kala mendapatkan mainan. Sebagai anak buah, Tarjo bisa apa coba? Selain berkata 'ya dan 'siap.
Semua yang dilakukan Ashoka dan Tarjo tak luput dari pengawasan Ayu. Ia melihat Tarjo pun sudah seperti boneka Ashoka.
Ayu mempersiapkan diri, apabila kemungkinan kemungkinan buruk akan terjadi. Karena pernikahan ini hanyalah wujud baktinya terhadap Bapak. Ayu meyakini, bahwa apapun yang akan terjadi nantinya, semoga saja keteguhan hatinya bisa melewati jalan yang kemungkinan terjal dan berkelok serta curam. Persis seperti tanjakan pegunungan.
"Bacalah, itu adalah berkas perjanjian pranikah setelah kau menjadi istriku. Ingat pernikahan kita atas dasar pelunasan hutang dan melahirkan seorang bayi laki-laki, jadi kau jangan berharap bisa menjadi istri yang dapat ku cintai." Ashoka menyilangkan tangannya di depan dada, tatapannya menjurus pada satu titik, yaitu dimana seorang gadis yang dijadikan tumbal sebagai pelunasan hutang.
Ayu melihat berkas yang ada atas meja. Ia menghela nafas melihat sikap angkuhnya sang calon suami.
"Aku tahu, bahwa aku sudah dijual padamu. Tapi tidak usah diperjelas juga, seolah aku ini benar-benar tidak ada harga dirinya lagi dan seolah aku ini tidak pantas untuk dicintai." Ayu bergumam sendiri sembari mengambil serta membuka lembaran kertas dan kemudian membacanya.
Ashoka terganggu mendengar gerutuan Ayu. Tapi ia diam saja, seolah menuli.
"Apa ini? Istri harus selalu patuh dengan perkataan apapun yang dikatakan suaminya. Dan jangan pernah membantah." Ayu membacanya dalam hati.
Ayu baru tahu, setelah kemarin mencari tahu tentang Ashoka. Rumor mengatakan, bahwa pria di depannya ini bisa melakukan apa saja pada seseorang yang telah menunggak hutang, dan kini karena hutang Bapak, dialah yang jadi korbannya.
"Maaf tuan, boleh saya tahu apa arti dari perjanjian ini?"
Ashoka menatap wanita yang telah menjadi tumbal atas keserakahan Bahar. "Patuhi aturan apa saja yang saya katakan."
"Bukankah kemarin tuan hanya bilang, jika saya dapat melahirkan anak laki-laki berarti saya bisa bebas?"
"Itu kalau anak yang kau lahirkan bayi laki-laki, kalau perempuan. Maka selamanya kau akan menjadi istri ku sampai kau melahirkan anak laki-laki."
"Negosiasi gila seperti ini hanya dimiliki oleh orang yang tidak waras!" gerutu Ayu lirih. Tapi agaknya cukup mengganggu pendengaran Ashoka.
"Iya, jika aku gila, maka kau yang waras harus gila bersama ku haha.." ucap Ashoka ringan diselingi dengan kekehan kecil.
Ayu melihat pria didepannya tersenyum menyeringai. Membuat bulu kuduknya merinding. Apalagi mendengar tawa Ashoka yang berkesan mistis. Tak ingin berdebat lama-lama, Ayu kembali mencari maksud dari aturan Ashoka.
"Bisa dijelaskan apa saja perjanjiannya agar kedepannya saya tidak melakukan kesalahan?" Ayu bertanya dengan bibir tersenyum yang dipaksakan. Ia menahan hati yang bergejolak gugup. Sekilas ia melihat wajah Ashoka yang sedikit terkejut mendengar ucapannya dan kemudian menarik satu sudut bibirnya miring, menampakkan senyuman yang menyebalkan.
Ashoka menjentikkan jarinya, secepat kilat Tarjo mengambil kertas dan pulpen dari dalam tas hitam yang dibawanya. Lalu meletakkan di depan calon istri tuannya.
"Tulis." Kata Ashoka dingin.
Ayu melihat lembaran putih dan pulpen di depannya. Tangan yang sejak tadi dibawah meja dan berkeringat perlahan menggenggam dan mengusap-usap keringatnya ke celana panjang yang dipakainya. Lalu mengambil pulpen hitam dengan ujung pulpen berwarna emas.
"Hal pertama, kau harus mengurus anakku, dari bangun tidur sampai bangun tidur, urus dia dengan sangat baik."
Ayu menuliskan semua perkataan Ashoka didepannya dengan sangat cepat, sampai terlihat seperti tulisan seorang dokter ketika memberikan resep. Belibet, angel di woco.
Melihat tulisan Ayu yang seperti asal-asalan, Ashoka berkata. "Tulis yang benar. Kalau sampai kau salah tulis, tamat riwayat mu!"
"Baik." Ayu menjawab tanpa melihat lawan bicaranya. Karena setiap harinya ia berkutat dengan buku, maka mudah saja baginya untuk menulis dengan cara yang cepat.
"Tamat! Memangnya kau ini malaikat mautku?" Ayu masih bisa menahan kesal.
Ashoka tergelak dengan jawaban monoton calon istrinya. "Kedua kau tidak boleh meninggalkan anakku meskipun hanya sedetik, semenit apalagi sejam kalau kau melanggar, aku akan pastikan bahwa aku akan menghancurkan hidupmu sampai bertaburan seperti embun."
"Baik." Ayu menulis seperti sebelumnya, sangat cepat dan seperti tidak dapat dibaca. Namun, baginya tulisan yang seperti tulisan resep dokter mudah saja dibacanya.
Ashoka geram dengan tulisan cepat yang dituliskan Ayu. Ia kembali berkata dengan nada super kilat. "Ketiga, jangan ikut campur dengan kehidupan ku, ataupun pribadi ku. Meskipun aku pergi kencan atau membawa pulang wanita ke rumah. Kau tidak boleh melarang ku..."
"Tunggu?" Ayu menghentikan jemari tangannya dalam menulis penjelasan yang sedang di ucapkan Ashoka. "jika saya tidak boleh ikut campur dalam urusan pribadi anda, apakah saya boleh berpacaran dengan pria lain?" ucapannya ternyata mendapatkan tatapan tajam dari Ashoka.
"Kalau kau mau mati detik itu juga!" sergah Ashoka.
Ayu menatap Ashoka malas. "Keterlaluan, dia bisa bermain dengan banyak wanita, sedangkan aku?" gumamnya.
"Kau harus akui, realitanya dunia hanya bisa ditaklukkan oleh orang yang ber'uang saja," kali ini Ashoka bicara santai, ia seolah menemukan teman debat yang menarik.
"Kalau begitu, saya akan jadi induknya beruang saja," celetuk Ayu, lalu kembali menunduk tidak ingin menatap wajah Ashoka lama-lama, meskipun tampan. Namun, keangkuhan Ashoka membuatnya engap.
Tarjo sebenarnya ingin tersenyum saat mendengar Ayu keberatan dengan adanya aturan yang dibuat Ashoka. Tapi, ia menahan diri, dan lebih baik baginya jika jadi patung.
"Bagaimana apa sudah di tulis semua?" Ashoka melihat Ayu sudah selesai menulis.
"Iya," Ayu menaruh pulpen di atas kertas. "Apa hanya ini calon suamiku?" sambungnya lagi dengan bertanya mulus meluncur dari bibirnya.
Ashoka menatap Ayu tidak suka. "Apa kau sedang menantangku?"
Ayu menggeleng. "Tentu saya tidak berani menantang anda tuan. Hehe.. siapa yang akan berani menantang Ashoka Bratajaya, ya kan?" Ayu melihat Tarjo guna meminta pendapat dengan kekehan garing nya. Tapi, baik Tarjo maupun Ashoka tidak ada yang memberikannya komentar, bahkan wajah kedua pria ini terlihat semakin menyeramkan. Satu seperti Hulk satu seperti Popeye.
Ayu memberanikan diri untuk menatap Ashoka. Serta dalam hatinya berseloroh ria. "Apa dia mencoba mengekang kebebasan ku. Dia pikir aku ini baby sitter, kalau dia ingin wanita untuk mengurusi dari bangun sampai tidur anaknya. Kenapa tidak mencari jasa baby sitter kan lebih jelas, kenapa harus dengan cara seperti ini. Benar-benar pria angkuh. Aku juga tidak perduli dia membawa wanita manapun, yang terpenting bagiku bisa melunasi hutang Bapakku. Walaupun harus melahirkan anak juga."
Membaca dari sorot mata Ayu yang menatapnya tajam. Ashoka bertanya. "Apa ada yang ingin kau katakan?"
Ayu terhenyak. "Ah iya tuan," Dia mempersiapkan diri untuk bertanya mengenai hal tentang pekerjaannya. "Maaf tuan, apakah saya masih boleh bekerja dan kuliah?"
"Aku tidak perduli dengan pekerjaan atau status mu itu. Yang selalu kamu ingat jaga anakku jangan sampai meninggalkannya sedetikpun!" Kata Ashoka memperingatkan Ayu dengan gerakan tangannya yang dikepal kuat-kuat. "dan ingat, saat aku pulang. Kau sudah harus ada di rumah."
Ayu menelan ludahnya melihat gerakan tangan Ashoka yang seperti sedang meremass kuat-kuat, sampai terdengar bunyi gemeretak dari jari jemarinya yang nampak berotot. "Baik, saya akan selalu ingat dan patuh, terimakasih karena anda sudah mengizinkan saya untuk tetap bekerja dan melanjutkan pendidikan saya. Saya akan selalu menjaga anak anda dengan cinta dan segenap hati saya, tuan"
Setelah mengucapkan kata itu, Ayu mengutuk dirinya dalam hati. "OMG, apa yang aku katakan barusan. Kenapa meluncur mulus dari mulutku. Apa aku ini sudah kehilangan akal sehat?"
Ashoka memicingkan mata menatap Ayu. "Dasar gadis bermulut besar, aku tidak memuji ataupun memberikan kebebasan untukmu. Lihat saja, apa kamu masih bisa tersenyum seperti itu?"
Fitting gaun pengantin dan jas pengantin telah usai. Tidak ada suatu hal yang istimewa. Ayu pulang dengan diantar oleh Diman, sedangan Ashoka akan ada pertemuan lainnya.
...*****...
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!