Seorang wanita dua puluh delapan tahun tengah menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba dari arah depan terlihat sebuah truk besar berkecepatan tinggi. Tidak sempat menghindari tabrakan karena mengalami rem blong.
Kecelakaan itu membuat Viola Maurent kehilangan kesadaran. Pandangan menjadi gelap dan darah bercucuran di sekujur tubuhnya. Karena kepalanya terantuk stir mobil dan tubuhnya terhimpit dasbor yang rusak. Begitu juga dengan wajahnya yang terkena serpihan kaca.
Pengemudi truk tidak bisa menghentikan laju kendaraannya. Khawatir jika ada yang melihatnya menabrak mobil yang berada di jalur yang benar. Sementara dirinya melawan arus, sehingga mau bagaimanapun juga ia bersalah.
"Gawat! Semoga saja selamat. Tapi aku tidak mau mengambil resiko. Saat ini kabur menjadi prioritas utama." Pria berbadan besar sopir truk pun merasa bersalah tapi tidak ingin bertanggung jawab.
Pria itu tidak habis pikir, seharusnya mobil itu bisa melambat saat ada kendaraan dari arah lain mendekat. Namun malah semakin cepat dan membuat sopir truk tidak bisa menghindar dari kecelakaan. Pada dasarnya ia yang paling banyak bersalah dalam kecelakaan tersebut. Kepala truk juga mengalami kerusakan di bagian lampu. Sementara mobil yang dikendarai Viola terseret beberapa meter ke belakang, setelah tertabrak truk.
Suara keras kecelakaan di jalan sepi, jarang ada orang lewat. Namun suaranya terdengar keras hingga ratusan meter. Saat itu ada warga yang melihat dan segera berlari menuju mobil yang di dalamnya terdapat seorang wanita yang sudah mengalami pendarahan di sekujur tubuhnya.
"Ayo cepat! Kita bawa ke rumah sakit!" Seorang pria muda tampan menggendong tubuh wanita bercucuran darah itu ke mobilnya.
***
"Gawat! Pasien ini kehilangan banyak darah! Bagaimana ini, Dok? Kita sudah kehilangan stoknya di rumah sakit ini," ungkap seorang perawat muda yang tengah memeriksa persediaan kantung darah. Dirinya sudah berusaha mencari namun memang sudah tidak ada lagi darah yang diperlukan untuk sang pasien.
"Tidak bisa! Sebagai seorang dokter, saya harus menolong nyawanya, Suster. Apakah di rumah sakit ini tidak ada golongan darah yang sama? Kamu atau suster lainnya? Kalau tidak, ambil darahku saja." Dokter pria berinisiatif untuk menyumbangkan darahnya. Ini karena jalannya sudah buntu. Kebetulan golongan darahnya sama dengan pasiennya.
"Tidak bisa, Dok. Anda tidak bisa menyumbangkan darah hari ini. Karena pasien anda masih menunggu. Bagaimana nanti bisa memeriksa pasien lain?" Perawat itu pun tidak bisa membiarkan dokter tampan itu menyumbangkan darah untuk wanita yang sedang kritis itu.
Keduanya mendesah pelan. Sementara di ruangan lain, masih banyak pasien yang membutuhkan pertolongan. Tanpa peduli apa, dokter itu pun mengambil selang infus dan jarum. Walau tidak diperbolehkan mendonorkan darahnya oleh perawat, pendirian sang dokter tidak bisa dirubah.
Wajah wanita itu dipenuhi dengan luka sayatan. Karena darah terus keluar, membuat dokter memperban hampir seluruh tubuh pasien itu. Itu sudah seperti mumi yang tertutup kain putih. Jika bukan karena takdir yang beruntung, siapapun pasti sulit untuk hidup. Memiliki luka seperti itu, masih hidup pun sudah sangat beruntung.
"Kenapa anda melakukannya, Dok? Kita tidak banyak dokter yang bertugas. Banyak korban bencana alam yang juga butuh bantuan dan mungkin saja masih membutuhkan transfusi darah. Mungkin saja sama seperti wanita itu."
"Anggap saja ini yang terakhir kalinya, Sus. kita tidak bisa membiarkan dia kehilangan nyawanya. Kamu tolong saya, Sus. Kita tidak punya banyak waktu lagi."
"Baiklah, Dok." Perawat hanya bisa menuruti kemauan sang dokter. Segera ia menyiapkan alat yang diperlukan.
***
"Ah, di mana ini?" Dengan lirih, Viola berkata sambil melihat ke sekeliling. Ia mengingat kecelakaan yang membuatnya kehilangan kesadaran. Di ruangan yang serba putih dengan bau obat-obatan dan peralatan rumah sakit terpasang di badannya.
Baru Viola sadari, dirinya berada di ruangan rumah sakit. Tidak ada keluarga yang datang, tidak ada yang menjenguknya setelah kecelakaan terjadi. Ia mengingat keluarganya. Suami dan putrinya yang baru berusia empat tahun lebih. Seharusnya ia sudah mati saja karena keluarganya telah hancur. Mengingat kenangan buruk bersama keluarga suaminya yang tidak menerimanya sebagai keluarga.
Harapannya hanyalah kematian karena sudah tidak ada lagi tempat untuknya kembali. Sebelumnya ia melihat suaminya selingkuh dengan wanita lain, tidur dengan wanita itu tanpa sehelai pakaian menutupi.
"Tidak ... kenapa aku tidak mati saja, hehh? Hidupku hancur sudah ... tidak ada gunanya hidup." Viola menutup matanya, membiarkan air matanya keluar merembes pada kain yang menutupi wajahnya.
Mengingat kejadian malam sebelum kecelakaan, dirinya tidak lagi memiliki kesempatan untuk kembali. Satu-satunya yang paling ia khawatirkan adalah putrinya yang masih balita. Bagaimana jadinya jika tidak bersamanya? Mungkin saat ini pelakor dan suaminya telah bersenang-senang. Memikirkan itu, semakin membuat hatinya hancur.
Perlahan ia menggerakkan tangannya yang diperban. Ia menyentuh wajahnya yang tertutupi kain. Seakan seluruh tubuhnya dipenuhi dengan perban layaknya mumi. Beberapa saat setelahnya, datang seorang pria dengan berpakaian putih.
"Anda sudah sadar, Nona? Untunglah anda sudah sadar dari koma panjang. Maafkan kami karena tidak bisa menghubungi keluarga anda. Untuk sementara, anda tidak perlu khawatir tentang semuanya." Pria itu memeriksa Viola dengan perlahan.
"Jadi ... siapa yang membawaku ke sini, Dok? Apakah suami dan anak saya tidak datang?" Viola melihat dokter muda itu dengan tatapan sayu.
"Tidak. Maafkan kami yang tidak bisa menemukan identitas nona. Pihak kepolisian juga sudah memeriksa semuanya. Hanya saja mobil itu sudah hancur dan tidak lagi memiliki plat kendaraan. Sementara di tas anda tidak ada informasi apapun."
Kejadian itu tidaklah masuk akal. Bagaimana mungkin mobilnya tidak memiliki plat nomor? Bagaimana juga ia tidak membawa kartu identitas dan yang lainnya? Padahal ia selalu membawa tasnya bersamanya. Ini seperti sudah direncanakan sebelumnya. Juga dengan mobil yang mengalami rem blong. Padahal sebelumnya masih baik-baik saja, sebelum masuk ke hotel di mana perselingkuhan suaminya dengan seorang wanita.
"Berapa lama saya koma, Dok? Juga bagaimana dengan biaya rumah sakit?" tanya Viola penasaran. Tidak mungkin biaya rumah sakit ditanggung orang lain ketika tidak ada keluarga yang membiayai perawatan. Jika pun ada, itu mustahil kalau tidak dikenal.
"Anda tenang saja kalau masalah biaya rumah sakit. Ada seorang pria yang telah menanggung semuanya. Ah, mungkin sebentar lagi datang. Dia biasanya datang pada saat-saat seperti ini."
"Siapakah dermawan yang telah menyelamatkanku? Saya pasti akan melunasi semua biaya yang dikeluarkan. Tidak perlu mencari keluargaku, Dok. Saya memiliki uang untuk membiayai pengobatanku sendiri. Tapi untuk saat ini, saya perlu bantuan dokter?"
"Saya Gerald. Panggil saja dokter Gerald. Anda sudah dua minggu tidak sadarkan diri." Pria itu memperkenalkan diri tanpa diminta.
Gerald tidak mengerti mengapa informasi tentang wanita yang dirawatnya tidak ada sama sekali. Ia menyimpulkan ini kecelakaan berencana dan untuk membuat wanita itu aman, maka ia akan membantunya menyembunyikan identitasnya.
***
"Saya akan membantu anda untuk kali ini. Untuk sementara, kami hanya bisa menamai nona dengan nama Violete Renata. Ini adalah nama yang diberikan oleh penolong anda." Gerald memeriksa keadaan pasiennya dan menjelaskan semuanya.
Flashback
Saat itu seorang pria yang datang terburu-buru ke rumah sakit, membawa wanita yang bersimbah darah. Saat itu juga bertepatan dengan terjadinya bencana alam yang membuat rumah sakit tidak bisa menampung banyak orang. Sehingga harus dirawat di rumah sakit di mana pria itu membawa wanita yang bersimbah darah.
Melihat itu, semuanya panik dan ketakutan. Terutama anak-anak yang melihat pakaian bernoda darah begitu banyaknya. Petugas rumah sakit mengantar ke sebuah ruangan dan langsung saja merawatnya di suatu ruangan khusus.
"Pasien ini sudah kehilangan banyak darah. Cepat bantu saya, Sus." Gerald mulai mengambil langkah awal untuk menyelamatkan wanita yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit. Melihat wajah yang hancur dengan serpihan kaca yang masih menancap di wajah.
Pemandangan itu sungguh menyeramkan. Bahkan darah masih terus mengalir walau sudah diberikan obat untuk menghentikan pendarahan. Pakaian Gerald sudah banyak darah wanita Viola. Keringat dingin di kening seakan tidak hentinya menetes. Ini pasien kesekian kali yang sudah ditangani hari ini. Rumah sakit sangat sibuk karena banyaknya rujukan ke rumah sakit besar itu.
"Kau periksa darahnya, golongan darahnya jenis apa. Lihat, darahnya sudah banyak berkurang."
"Baik, Dok. Akan saya ambil sampel darahnya." Perawat lantas mengambil suntikan dan mengambil darah pasien. Peluh keringat menetes di dahinya.
Walaupun ada pendingin udara, rasanya sangat pengap di ruangan. Akibat sesaknya pasien yang berada di luar. Dengan kondisi berbagai macam keluhan. Namun wanita di ruangan itu mendapat prioritas utama. Setelahnya sang perawat segera keluar dari ruangan, menuju ke laboratorium.
Setelah melalui proses panjang, dengan berbagai masalah dengan golongan darah, dokter muda itu keluar dari ruangan. Di lobi masih ada orang yang telah menunggu kabar dari pasien wanita itu.
"Bagaimana, Dok? Apakah wanita itu baik-baik saja?" tanya pria muda berperawakan tinggi rambut acak-acakan. Ia memegang jas yang ternoda darah.
"Sabar, Pak. Kami sudah melakukan yang semaksimal mungkin. Kita serahkan saja semuanya yang di atas sana. Heh, sepertinya masih banyak pasien yang memerlukan bantuan. Untuk sementara kami butuh beberapa waktu menunggu cek golongan darah. Permisi, Pak."
Ricko Mukhtar, seorang pria penyelamat Viola. Sebenarnya ia sudah curiga dengan kejadian sebelum kecelakaan. Saat itu ia juga berada di hotel yang sama, di mana Viola berada. Saat itu ia melihat dengan jelas, bagaimana beberapa orang mendekati mobil di parkiran tanpa ada yang curiga. Dan ternyata mereka mengambil nomor polisi kendaraan tersebut. Ia sempat berpikir kalau mereka adalah montir yang memperbaiki mobil karena cukup lama berada di sekitar mobil berada.
"Ternyata memang benar dugaanku. Kecelakaan wanita ini mungkin ada hubungannya dengan orang-orang itu. Mana tidak ada kartu identitas yang tersisa." Ricko mondar-mandir di depan pintu dan sesekali mendesah pelan.
Ricko mengambil ponselnya untuk menghubungi bawahannya. Walau pakaiannya dipenuhi bercak darah, ia tidak seperti masalah. Hanya saja masalahnya lebih banyak daripada masalah darah yang ada di pakainnya. Ia harus terlibat dalam beberapa kasus yang menjerat orang tuanya. Persaingan bisnis membuatnya tidak memiliki jalan lain untuk ditempuh.
"Bos, saya sudah mencari informasi. Tapi adik kandungmu memang sudah meninggal. Maafkan kami karena tidak bisa menyelamatkannya." Begitu suara dari seberang telepon.
"Aakhh! Kenapa bisa terjadi?" Ricko merasa sangat frustasi karena tidak berhasil menyelamatkan adik kandungnya. "Apa kamu sudah mendapatkan adikku? Aku tidak akan memaafkan siapapun yang membuat adikku mati! Akan ku balas seribu kali lipat!"
"Iya, Bos." Suara pria itu terdengar lirih karena merasa ragu. Namun ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengambil mayat adik bosnya.
Sudah terlambat, adik kandungnya telah tiada sekarang. Padahal itu satu-satunya cara agar bisa mendapatkan haknya kembali. Karena adiknya itulah yang menjadi jaminan agar mendapatkan semuanya kembali. Tanpa gadis itu, ia hanya akan menjadi gelandangan.
Dengan tubuh bergetar, Ricko bahkan menjatuhkan ponselnya. Seakan dunianya runtuh seketika, ketika harus menerima kenyataan pahit. Kehilangan satu-satunya harapan untuk bisa balas dendam pada musuh-musuh orang tuanya.
"Tidak! Tidak mungkin aku akan hidup dalam kesulitan. Harus memikirkan cara! Iya, berpikirlah Ricko. Kamu pasti bisa memikirkan cara untuk menyelamatkan semuanya. Akhhh!" Ricko meremas kepalanya dengan keras. Urat-urat di pelipisnya membesar dan membentuk garis-garis memanjang.
Di dalam ada wanita yang ia selamatkan. Dan ia juga sudah melihat wajah wanita itu sudah rusak. Terbesit dalam pikirannya, bisa melakukan sebuah rencana besar. Dengan begitu, ia berhasil merencanakan balas dendam keluarganya.
"Yeahh ... kurasa ini bukan ide yang buruk. Dengan mengajaknya bekerja sama, mungkin akan sangat menguntungkan. Kuharap wanita itu mau menjadi adik pura-puraku. Mengubah namanya menjadi Violete Renata. Hahh, hahaha!" tawa Ricko dengan disertai air mata.
Satu sisi ia merasa sedih atas kematian sang adik. Tapi ia juga merasa memiliki jalan lain untuk mencapai tujuannya. Dengan memanfaatkan keadaan yang ada. Ia pergi dari rumah sakit untuk menjemput adiknya. Setelah mengubur adiknya, ia akan kembali dan mengharapkan rencanya yang didapat berjalan dengan lancar.
Setelah mendapatkan kepastian golongan darah Viola, dokter dan perawat juga kebingungan karena stok darah yang dibutuhkan untuk Viola telah habis. Juga golongan darah Viola itu termasuk yang sangat langka. Hanya beberapa orang yang memiliki golongan darah langka dan tidak mungkin menggunakan darah yang berbeda jenis.
"Bagaimana ini, Dok? Kita sudah kehilangan stoknya di rumah sakit ini." Perawat yang terlihat bingung datang ke ruangan Viola dirawat.
Untuk sementara, keadaan wanita itu masih dalam kondisi kritis. Harus segera mendapatkan donor darah jika ingin tetap hidup lebih lama. Sementara tidak banyak waktu tersisa untuk mendapatkan donor darah secepatnya.
"Tidak bisa! Sebagai seorang dokter, saya harus menolong nyawanya, Suster. Apakah di rumah sakit ini tidak ada golongan darah yang sama? Kamu atau suster lainnya? Kalau tidak, ambil darahku saja."
"Tidak bisa, Dok. Anda tidak bisa menyumbangkan darah hari ini. Karena pasien anda masih menunggu. Bagaimana nanti bisa memeriksa pasien lain?" Tentu rasa khawatir sang perawat karena tindakan sang dokter yang melampau batas hanya demi menyelamatkan nyawa orang yang bahkan tidak dikenal.
Namun karena sudah bertekad, pada akhirnya Gerald tetap menyumbangkan darahnya pada Viola. Meski keadaannya tidak memungkinkan itu. Asal mendapatkan darah yang sama, maka sudah bisa menyelamatkan nyawa.
Mendengar wanita yang dibawanya ke rumah sakit telah sadarkan diri, membuat Ricko semakin bersemangat. Sudah lama ia menunggu hanya untuk menjalankan rencananya. Dengan percaya diri di tengah duka, ia terlihat tegar dan berpikiran positif.
"Ah, hari ini aku harus bertemu dengan wanita itu. Semoga dia mau mengubah wajahnya seperti adikku dan mau bekerja sama." Ricko berbicara pada diri sendiri dan melihat orang-orang bengong dengan tingkahnya. Ia sempat berpikir orang-orang yang dilewatinya sangat berbeda.
***
"Saya Gerald. Panggil saja dokter Gerald. Anda sudah dua minggu tidak sadarkan diri."
Ricko mendengar suara dokter yang ada di dalam ruang rawat inap. Saat ia membuka pintu, melihat pasien yang sudah sadarkan diri. Tengah berbicara dengan dokter yang sedang memeriksanya.
Mendengar suara pintu dibuka, Viola dan Gerald melihat ke arah Ricko. Keduanya melihat seorang pria muda yang berpakaian rapi dan berwibawa. Hanya sekali lihat, sudah jelas itu seorang yang besar. Gerald sudah tahu siapa yang datang, berbeda dengan Viola yang saat itu tidak tahu siapa yang membawanya ke rumah sakit.
"Oh, Pak Ricko? Nona, ini adalah orang yang mengantarmu ke rumah sakit ini. Namanya pak Ricko. Ah, kurasa tidak perlu dikenalkan lagi. Kalau begitu, kalian bicaralah. Saya akan mengunjungi pasien lain." Gerald pamit dan meninggalkan ruangan setelah kedatangan penyelamat pasiennya.
Pandangan Viola tertuju ke arah pria muda dan tampan yang berjalan ke arahnya. Tatapan teduh dan terlihat kesedihan yang dapat dirasakan oleh wanita itu. Keduanya saling melihat satu sama lain dan kesan mereka bertemu, mereka merasa canggung.
"Anu ... apakah anda yang telah menyelamatkanku? Terima kasih sebelumnya. Aku akan mengganti semua biaya rumah sakit. Hanya saja tidak bisa sekarang." Viola mengatakan itu seraya mencoba bangkit dari tempat tidurnya.
"Hati-hati, Nona. Jangan duduk dulu, oke? Biarkan kamu berbaring dan kita bisa bicarakan semuanya. Hemm, saya ingin menawarkan kerjasama denganmu. Dan kamu tidak perlu mengganti biaya rumah sakit ini, bagaimana?" tawar Ricko.
Tanpa tahu maksud dan tujuannya, bagaimana mungkin Viola langsung setuju? Namun pria di hadapannya adalah penyelamatnya. Dirinya juga tidak mungkin bisa mengembalikan dengan mudah uang yang digunakan untuk biaya pengobatannya.
Tidak mungkin juga ia meminta bantuan suaminya yang mengkhianatinya dan melakukan hal tidak senonoh dengan wanita lain. Setidaknya sebagai seorang wanita, ia masih memiliki harga diri untuk tidak memikirkan orang yang bahkan tidak mempedulikan dirinya. Bahkan tidak ada disaat dirinya sadar dari koma.
"Aku akan menyetujui apapun asal tidak melanggar hukum dan tidak untuk melakukan hal-hal tidak senonoh," ujar Viola datar.
"Kurasa kamu akan menyukai sandiwara yang sudah kuatur untukmu. Ku yakin kau juga akan menyukainya sesaat lagi. Lagi pula Nona sudah tidak bisa kembali ke kehidupan lamamu, kan? Lebih baik kamu memulai kehidupan baru denganku, bagaimana?"
"Hemm? Maksudmu? Apakah kamu berniat untuk menjadikanku sebagai istrimu, Tuan? Asal anda tahu, saya sudah menikah dan punya anak. Apakah mungkin wanita sepertiku masih pantas mendapatkan semua itu?"
Sepertinya Viola telah masuk ke dalam cerita novel yang sering dibacanya. Seorang wanita biasa akan menikah kontrak dengan pria asing yang baru ditemuinya. Ia juga tahu jalan ceritanya, ia akan disiksa dan pada akhirnya jatuh cinta pada karakter pria dalam novel.
Bagaimana mungkin kehidupannya akan seperti itu? Seketika ia menolak semuanya yang di dalam pikirannya. Setidaknya statusnya saat ini adalah seorang istri dan seorang ibu dari anaknya yang masih balita.
"Hahaha! Pemikiran macam apa itu? Mungkin ini hanya ada dalam drama atau novel yang selama ini kau baca, Nona. Kau tenang saja, saya tidak mungkin menikahi wanita bersuami. Hanya saja, aku perlu membuatmu mau melakukan operasi plastik untuk mengubah wajahmu. Apakah kamu bersedia?"
"Operasi pelastik?" Mendengar kata operasi plastik, membuat Viola melotot tidak percaya. Apakah wajahnya sejelek itu? Ia merasa wajahnya tidak terlalu buruk dan tidak ada alasan untuk melakukan itu.
"Kenapa kaget? Apakah nona mau wajahmu terlihat buruk nantinya? Ketahuilah, wajahmu sekarang sudah rusak dan tidak mungkin bisa diperbaiki seperti semula. Lagipula saya tidak tahu wajahmu yang sebenarnya seperti apa."
Viola kembali tercengang mendengar ucapan pria tidak dikenal itu. Bagaimana mungkin wajahnya rusak? Namun saat meraba kain perban yang ada di wajahnya, ia tahu kalau wajahnya tidak baik-baik saja. Jika mengalami luka, setidaknya tidak sampai dibungkus perban seluruh kepalanya. Bagaimana mungkin suami dan anaknya akan mengenalinya nanti? Saat pulang ke rumah untuk memenuhi tugas sebagai seorang istri dan seorang ibu.
Kenyataannya tidak seperti yang ia harapkan. Ia menyadari ketidakmampuannya dalam mengurus rumah tangganya. Ia telah menjadi korban kejahatan orang lain. Juga mengingat bagaimana dirinya tidak bisa mengerem mobilnya saat itu. Sehingga ia menabrak truk dan tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
"Saya akan memberikanmu waktu untuk berpikir. Walau tidak tahu apa yang membuatmu mengalami kecelakaan, tapi yang jelas ini bukan kecelakaan biasa. Karena di mobilmu juga tidak ditemukan plat nomor kendaraan. Juga tidak menemukan identitas apapun di dalam tasmu."
Benar apa yang dikatakan Ricko. Viola baru saja mengalami kecelakaan yang sudah direncanakan sebelumnya. Tentu saja ia tahu siapa saja yang punya niat menghilangkan nyawanya. Di antaranya ada beberapa orang yang sangat membencinya. Bahkan dengan terang-terangan ingin membunuhnya.
Walaupun Viola seorang wanita lemah lembut dan tidak ingin memiliki musuh, nyatanya pernikahannya dengan sang suami tidak berjalan dengan lancar. Ia sudah mengalami penyiksaan dan sudah puluhan kali hampir kehilangan nyawanya. Nyatanya ia masih hidup hingga saat ini. Walaupun sekarang wajahnya tidak dikenali lagi.
"Apakah aku masih boleh menemui anakku, kelak?" Satu-satunya yang ia khawatirkan adalah putrinya. Ia sangat menyayangi anak yang ia kandung dan lahirkan dengan mempertaruhkan nyawanya.
"Kau bisa menemui anak bahkan suamimu. Tapi tidak bisa membocorkan identitas aslimu. Kamu sekarang telah berganti identitas sebagai adikku. Yah, kamu sekarang bernama Violete Renata."
"Oh, baiklah ... kalau begitu, saya menyetujui kesepakatan ini." Viola mengulurkan tangan dan mengatakan, "Namaku Viola Maurent. Dan nama ini sudah mati dan sekarang namaku adalah Violete Renata."
"Yah, namamu adalah Violete Renata. Selamat datang ke dunia kembali, adikku Violete. Selamat datang di keluarga besar kami. Dengan ini, kita akan menjadi keluarga yang saling bergantung sama lain."
"Hehehe, sekarang bagaimana saya memanggilmu? Kakak atau Abang?" tanya Viola dengan senyum di balik kain perban yang menutupinya.
"Di antara kita, panggilannya aku dan kamu. Kalau bisa, kamu memanggilku nama saja. Karena adikku selalu memanggilku dengan namaku, Ricko Mukhtar. Kamu cukup memanggilku Ricko Saja."
"Ricko? Baiklah ... sekarang aku memanggilmu Ricko. Terima kasih untuk semuanya. Dan kapankah kita akan melakukan operasi plastiknya?"
Ricko memutar bola matanya, menatap ke arah adik barunya itu. Ia merasa sifatnya kini seperti adiknya yang dahulu. Memiliki seorang adik merupakan sesuatu yang ia inginkan sejak dahulu. Namun kehadirannya hanya sesaat saja.
"Ah, kamu sudah dewasa, sudah dua puluh lima tahun. Tapi kenapa sifatmu seperti anak-anak saja, hahaha!"
"Dua puluh lima tahun? Hey, aku sudah dua puluh delapan tahun. Mengapa baru dua puluh lima, sih?" ketus Viola. Namun sifatnya berubah drastis karena merasa sudah memiliki seorang kakak yang sejak dahulu ia inginkan. Namun ia hanya anak tunggal yang kemudian kehilangan seluruh anggota keluarganya.
"Kalau begitu, seharusnya aku yang memanggilmu kakak. Hahaha, kenapa umur kita kebalik begini? Aku baru berusia dua puluh enam. Tapi punya adik yang berusia dua puluh delapan tahun."
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!