NovelToon NovelToon

Kejutan Dari Emak (Perjodohan)

Menikah?

Pov. Diani

Namaku Diani, usiaku 28 tahun, kulitku putih, hidungku mancung, badanku ideal, wajahku juga sangat mendukungku karena banyak yang mengatakan kalau aku cantik, aku bekerja diperusahaan yang cukup terkenal di kota. Aku merantau sudah lama membuat aku kini sudah berbaur dengan orang kota hingga membuat penampilanku semakin hari semakin modis meski aku berasal dari Desa.

Aku rajin memakai skincare, aku begitu menjaga wajah ku agar jerawat tidak ngontrak di wajahku, jangan sampai itu terjadi, karena ngontrak tiga hari saja sudah membuatku kesal, bahkan dia pergi dengan meninggalkan bekas menghitam seperti mantan yang meninggalakn luka, itu menjengkelkan bukan? Apalagi kalau jerawat itu sampai betah menghuni wajahku dengan gratis, oh No.

Aku tinggal sendiri di kota, jika gajiku cair tentu aku akan mengirimkan sebagian uang itu untuk emak dan bapak di kampung, aku tidak mau masa tua mereka masih harus bekerja keras, biarlah giliran aku yang membiayai hidup kedua orang tuaku.

Sore ini entah mengapa hatiku sedikit gelisah, aku teringat emak dan bapak dikampung.

Dert..

Dert..

"Eh copot, eh copot, gue beneran kaget, siapa yang nelpon sih?" Gumamku saat merasakan getaran ponsel yang masih ada di saku celanaku.

"Assalamu'alaikum Mak," ucapku saat mengangkat ponselku.

"Waalaikumsalam, neng kamu harus cepet pulang!, Si emak neng, si emak…," Ucap bapak yang membuatku cemas karena nada suara bapak begitu terburu-buru dan panik.

"Emak kenapa Pak? Emak sakit?" Tanyaku lagi.

"Pokonamah geura uih neng, diantos ku bapak nyak..!" Ucap bapak lalu menutup telepon dengan sesuka hati.

Sore itu aku langsung memasukan beberapa baju kedalam tas, aku terburu-buru pergi ke terminal bus, perjalanan ke kampung halaman cukuplah jauh, memerlukan waktu sekitar 4 jam.

Selama diperjalanan aku hanya berdoa dan terus berdoa agar keadaan emak baik-baik saja, apakah rasa gelisah tadi pertanda jika terjadi hal buruk pada emak? Ah tidak. Aku harus menepis pikiran negatif itu.

Hari berganti malam saat diperjalanan, tapi mata ini tak mampu tertutup, mana mungkin aku tidur disaat rasa gelisah dan takut terus menghantuiku? Emak… jangan tinggalkan Diana..!

Ah bagaimana bisa aku berpikir sejauh itu, memangnya emak mau tutup usia? Maafkan anakmu yang durhaka ini Mak.

Bus itu akhirnya sampai, aku berniat melanjutkan perjalanan dengan ojek yang kebetulan sudah berjejer disana.

"Mang, ke Desa Mekarwangi ya? Berapa Mang?" Tanyaku.

"25 ribu Neng," jawab si abang ojek.

"Yaelah Bang, biasanya juga 10 ribu," ucapku sambil bergegas naik, iya 10ribu itu sewaktu dua tahun lalu terakhir aku pulang kampung.

Jalanan yang kulewati terasa berbeda, biasanya jika aku naik ojeg, tubuhku akan terguncang karena jalanan yang masih jelek, tapi syukurlah jika sekarang jalan ini sudah mulus, ya karena aku suka yang mulus-mulus, hehe …

Aku turun dengan tergesa-gesa, bahkan aku hampir terjatuh, untung aku masih bisa menahan keseimbangan ku, "hati-hati Neng!" Ucap Abang ojek.

"Telat Bang, harusnya dari tadi Abang ingetin saya!" Keluhku, aku sudah melihat pintu rumah emak, aku baru saja berniat berlari, eh si Abang meneriaki ku "Neng bayar heula atuh, tong kabur!"

Aku pun berbalik badan, "ini Bang, siapa juga yang mau kabur, wajah aku bukan wajah gratisan," ucapku sinis.

"Yaudah makasih Neng, kalau mau lari, sok Neng dilanjut!" Ucap si Abang yang bikin aku kesel setengah mati, tapi bener juga sih aku kan lagi panik, aku pun berlari menuju rumah yang ada di depan sana.

"Emak…..," teriakku, aku membuka pintu dengan keras.

"Neng Ani, Alhamdulillah tos dugi," Tanya emak Leha, iya itu nama emak, tapi kenapa dia terlihat baik-baik saja? Bukannya aku mendoakan keburukan buat emak, tapi serasa aneh aja.

"Iya Mak, Emak teu nanaon? Si bapak nelepon meuni ngarerewas wae ah," ucapku pada Emak sambil meraba wajah Emak.

"Emak sehat," jawab Emak dengan santainya, aku lihat Bapak juga datang dengan senyuman wajah tanpa dosa, apa bapak tidak merasa bersalah karena telah membuatku khawatir? Apakah ini strategi mereka agar aku pulang kampung, karena selama ini aku terlalu betah di kota, keterlaluan.

"Bapak nyebelin," ucapku menatap bapak yang masih senyum-senyum sendiri.

Aku ditawari makan, setelah itu aku disuruh istirahat oleh emak karena perjalanan yang cukup jauh, karena aku memang lelah, aku pun tertidur dengan lelapnya.

Saat adzan berkumandang seperti biasa emak datang membangunkan aku.

"Sholat dulu Neng..!" Ucap Emak sambil menarik selimutku, ah sudah lama sekali aku tidak dibangunkan seperti ini.

Aku pun bergegas bangun dan pergi ke kamar mandi, aku melihat rumah Emak kok seperti di dekorasi, ah mungkin aku masih mengantuk sehingga aku salah lihat.

Aku pun kembali ke kamar untuk melaksanakan ibadah dua rakaat.

Setelah selesai berdoa, aku mengucap syukur karena aku bisa pulang dan bertemu keluargaku, emak juga sehat, selama ini aku tidak pulang karena tidak mau mengambil cuti kerja, itu sangat sayang menurutku, ditambah bos ku yang galak, aku malas jika izin cuti.

Tok

Tok

Tok

"Iya Mak sebentar," ucapku sambil membuka pintu, namun betapa kagetnya aku saat banyak orang di depan pintu, mereka menenteng kotak make up mereka.

"Kalian siapa ya?" Tanyaku pada mereka.

"Kami perias Neng, kami bertugas merias pengantin agar terlihat cantik," jawab salah satu dari mereka.

"Lalu kenapa kalian datang ke kamarku? Kalian salah alamat, makanya mandi dulu sebelum subuh biar segar dan gak nyasar kayak gini..!" Ucapku kesal, aku berniat menutup pintu namun suara Emak membuatku membatalkannya.

"Neng…," panggil emak dengan lembut.

Aku pun menoleh, "Mak, sebenarnya ini ada apa? Kok di rumah kita rame? Apa tetangga kita ada yang nikah? Aku jadi pagar ayu nya Mak?" Tanyaku, hanya itu yang ada dipikiranku.

"Bukan, tapi ini hari pernikahanmu Neng," ucap Emak sambil tersenyum, padahal aku berharap emak tertawa karena ini adalah lelucon, tapi nyatanya tidak.

"Aku, menikah? Yang benar saja Mak, dengan siapa? Jangan bercanda dong Mak, gak lucu ini," ucapku merasa frustasi.

"Ya sama bujang lah Neng," jawab Emak, iya aku tahu dengan laki-laki mau bujang atau duda ya pasti sama laki-laki lah masa sama cewek lagi, yang aku tanyakan itu siapa namanya apakah aku kenal atau tidak, aku semakin frustasi.

Ya Tuhan, aku harap ini mimpi, bangunkan aku tuhan, bangunkan aku sekarang juga, bila perlu guyur aku dengan air biar aku bangun.

Tubuhku lemas seketika, aku dipapah oleh semua orang tadi menuju meja rias, mereka merias wajah ku yang pucat seperti tanpa nyawa ini.

Ya, jiwaku sepertinya melayang entah kemana karena tidak mau menerima kenyataan ini, aku tahu Emak selalu bilang kalau usiaku tidak muda lagi, angka 28 itu sudah termasuk kategori perawan tua, tapi tidak dengan perjodohan juga kan? aku takut kalau aku dinikahkan dengan lelaki yang tua, botak, perutnya buncit, ahhh... pikiranku semakin membuatku panik, padahal jika aku niat dikotapun banyak yang mengantri untuk menjadi pacarku.

Raga ini masih belum mampu berontak karena terlalu terkejut, aku hanya pasrah saat didandani, Emak menatapku dengan tersenyum senang.

Emaakkkk..... teriakku dalam hati.

Bersambung…..

Sah

Ingin marah tapi aku tidak mau kalau jadi anak durhaka, dipanggang bolak-balik, disetrika di neraka, yaelah kaya pemain film apa ya, yang suka komat Kamit gini.

"Mak, aku serius loh Mak, aku nikahnya sama siapa? Jangan dinikahin sama kakek-kakek ya Mak..! Kasihanilah anakmu ini Mak," ucapku pada Emak yang ada di sebelahku, menemaniku sambil menggenggam tanganku, aku tahu bukannya emak mau menguatkan aku yang rapuh, tapi emak takut aku lari di hari pernikahanku, ya.. aku yakin itu.

"Hus.. kalau ngomong kok sembarangan gitu Neng, ya enggak lah, justru emak menjodohkan kamu sama laki-laki yang kamu sukai dulu, cinta apa ya namanya, cinta monyet apa cinta pertama? Kamu kan suka curhat sama emak dulu," jawab emak yang mampu membuat aku berpikir keras.

Aku memutar memoriku sekitar 14 tahun silam, ya mungkin sejak SMP aku mulai cinta-cintaan, siapa? Siapa cinta pertamaku itu, astaga aku mendadak pikun di usiaku yang memasuki angka 28 ini.

Oh tuhan, berilah hamba mu ini kekuatan menghadapi cobaan darimu, aku tahu menikah itu ibadah, aku tahu berbakti kepada kedua orang tua itu ibadah, tapi… ta-tapi.

"Neng, jangan melamun atuh..!" Ucap Emak menarik lengan yang dipegang sedari tadi, bahkan lenganku sudah berkeringat karena berpegangan sedari tadi.

"Aku gak melamun Mak, hanya mengingat calon suamiku yang mana, tapi tak terbayang deh Mak," keluhku.

"Neng, nanti juga ketemu pas ijab kobul, kangennya jangan sekarang atuh Neng..! Emak tahu kok dia laki-laki yang kamu suka dulu, kamu pasti senang," ucap emak sambil tertawa.

Oh astagfirullah, aku gak senang sama sekali Mak, kenapa aku merasa menjadi anak pungut yang tidak punya ikatan batin sama sekali dengan ibuku.

Ku hentakan kaki ke lantai karena kesal, ku lampiaskan saja pada benda itu.

"Neng diem Neng, ini make up nya gimana kalau Neng malah joged kesenengan gitu..!" Keluh emak menasehatiku.

Mak….. teriakku dalam hati lagi, betapa frustasinya aku dengan emak yang selalu salah mengartikan sikapku.

"Siapa yang joged Mak, hiks …," jawabku sambil menangis.

"Ya Allah Neng, kamu bahagia terharu sampe nangis gitu, ditahan ya nanti make up nya luntur Neng..!" Ucap emak, dia langsung mengambil tisu dan menghapus air mataku dengan sangat pelan.

Ya Allah ya Robbi, harus bagaimana lagi aku mengekspresikan kekecewaan ku, kenapa emak salah paham terus? Sudahlah aku pasrah saja, semoga suamiku nanti seganteng aktor di televisi, aku sebagai anakmu menyerah Mak.

"Aku gak mau dijodohkan begini Mak," akhirnya aku mengutarakan secara jelas agar Emak mengerti, semoga dia tidak sakit hati.

"Tapi Neng, Emak cuma gak mau kamu jadi perawan tua, emak juga memilih lelaki yang kamu suka, apa emak salah?" Tanya emak dengan mata yang berkaca-kaca, tentu aku tak tega, aku tahu ibuku pasti berniat baik.

"Maaf Mak, a-aku seneng kok dipilihkan jodoh oleh Emak, pasti itu yang terbaik buat aku, pilihan Emak pasti oke," jawabku yang sengaja dibuat-buat agar emak tersenyum.

Ya Allah, serba salah jadinya, namun melihat emak tersenyum lagi aku pun merasa lega.

Aku membiarkan orang-orang tadi menghiasiku, sesekali emak menyuapiku makan sedikit demi sedikit, emak tidak mau kalau aku sampai pingsan dengan kegiatan menyalami banyak tamu yang datang nantinya, aku hanya mengangguk, aku lelah jika harus terus protes tapi sama sekali tak dianggap, semoga dengan aku berbakti, aku menemukan kebahagiaan dalam rumah tanggaku, aamiin.

Tok

Tok

Tok

Salah satu perias itu membukakan pintu kamarku, ternyata bapak yang datang, bapak menghampiri ibu dan berbisik.

"Calonnya sudah datang Mak," ucap bapak yang terdengar jelas ditelinga ku meski pelan.

Deg

Aduh, jantungku kok berdetak tak karuan ya? Tenang Diani, yakinlah suamimu ganteng seperti opa opa Korea.

"Iya Pak, ibu menunggu disini sama Ani saja sampai ijab kabulnya selesai," jawab emak.

Bapak pun mengangguk, dia sempat memujiku cantik sambil tersenyum dan mengangkat kedua jempol tangannya, lalu bergegas pergi.

Jika pengantin pada umumnya akan merasa gelisah karena terlalu bahagia dengan momen spesial, itu berbeda denganku, aku gelisah karena membayangkan bagaimana rupa suamiku.

Hingga terdengar suara tamu yang bersorak berkata SAH, aku meneteskan air mataku karena aku harus melepaskan status lajangku.

"Alhamdulillah," ucap emak bahagia.

Aku dibantu berjalan keluar, sudah saatnya aku keluar dan duduk di pelaminan, menyambut para tamu dan yang utama adalah melihat siapa suamiku.

Aku berjalan perlahan, kain yang kupakai membuatku susah melangkah, semua mata tertuju padaku, jelas lah karena aku sekarang adalah ratunya, dan entah pangeranku tampan atau buruk rupa.

Dari jauh aku melihat lelaki dengan jas hitamnya, tak begitu jelas dengan wajahnya namun dari postur tubuh dia lumayan tinggi dan badannya berisi.

Semakin dekat dan semakin dekat jantung ini rasanya berdetak tak beraturan, aku sempat memejamkan mata karena takut melihat kenyataan.

"Neng…," panggil seseorang, aku mengenali suara itu, aku perlahan membuka dan betapa terkejutnya aku melihat lelaki yang aku kenal dulu.

"Kang Ujang…," itulah nama yang kupanggil saat aku membuka mata, ku lihat dia sama sekali tidak berubah, dia memang orang yang pernah aku sukai tapi itu dulu saat levelku masih dibawah standar, tapi sekarang seleraku sudah berubah, oh astaga dia masih membelah rambutnya menjadi dua ditengah? 

"Neng meuni cantik pisan, Kang Ujang suka," ucapnya sambil tersenyum malu.

Hahahaha, oh tuhan kenapa aku berjodoh dengannya? Tidak bisakah aku menawar, bila perlu aku tukar tambah deh sekalian.

Aku memalingkan wajahku, akupun ikut duduk disana dikursi besar pengantin meski aku kesal, aku tidak boleh membuat emak malu dengan tingkahku.

"Salim dulu atuh Neng..!" Ucap emak yang ternyata ada di sampingku.

Aku pun berakting layaknya seorang istri yang Hidmat mencium punggung tangan suamiku, ku lepaskan segera tangan itu.

"Tangan Neng lembut, wangi lagi," ucap Ujang sambil mencium wangi tanganku yang menempel ditangannya.

Duh Gusti, ya Allah ya Robbi, kenapa dia bisa bertingkah seperti itu, norak deh.

Emak tampaknya senang, aku tak boleh mengacaukan kebahagiaan emak karena anaknya berhasil melepaskan gelar perawan tua di desa.

Ya aku memang perawan, tapi aku menolak jika dipanggil tua karena toh aku masih muda.

***

Sore pun tiba, acara telah usai, aku bahkan hendak berganti pakaian dikamarku, dan entah kapan kamarku disulap menjadi kamar pengantin penuh bunga mawar, aromanya wangi seperti apa yang aku bayangkan sebelumnya jika aku menikah dengan pria idamanku.

Aku bergegas berganti baju karena gerah dengan baju pengantin yang besar ini.

Ceklek

Aku lupa belum mengunci pintu kamarku, aku yang telah polos ini pun bingung mencari penutup badan.

Handuk, selimut, baju ganti, oh astaga apa ya? Mana?

Aku berlari kecil berhasil meraih handuk yang ada di dekatku, belum sempat terpasang dengan benar, sudah ada lelaki dihadapanku.

"Kang Ujang, Kenapa masuk gak ketuk pintu dulu sih? Dasar mesum!" aku kesal dan memarahi suamiku.

"Maaf Neng," ucapnya dengan pelan dan lembut penuh penyesalan, ditambah dia kini menutup kedua matanya dengan tangannya, dia berbalik badan dan berniat keluar dari kamar, namun malah menabrak pintu yang tertutup.

"Aduh," keluhnya.

"Sukurin," ucapku yang sedikit keras agar dia bisa mendengarnya, dia pun akhirnya bisa keluar dari kamar.

Ponselku berdering, aku bergegas mengambil ponsel itu dan melihat nama siapa yang terlihat dilayar ponsel.

Astaga, bos nelpon… bagaimana ini? Kenapa aku bisa lupa kalau ini hari kerja, mati aku kalau aku sampai dipecat.

Bersambung ….

Ke Kota

Aku mencoba mengangkat panggilan telepon dari Bosku dengan mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, semoga ini bukan akhir segalanya.

"Halo Pak…," jawabku pelan.

"Diani, kamu kenapa tidak masuk kerja tanpa memberi kabar? Apa kamu mau saya pecat hah?" Teriakan Bosku yang galak membuat kupingku terasa sakit.

"Iya maaf Pak, saya mendadak pulang kampung karena ada sesuatu urusan yang mendesak kemarin sore, saya lupa kalau belum menghubungi bapak," ucapku beralasan.

"Saya gak mau tahu, besok kamu harus masuk kerja!" Ucap Bosku lalu mematikan telepon itu, sungguh menyebalkan bukan? Aku juga sebenarnya sudah tidak tahan dengan dia, namun aku belum punya batu loncatan jika aku keluar dari pekerjaanku ini.

Aku tidak mungkin pulang ke kota malam ini, apakah aku harus merelakan pekerjaan ku dengan gaji yang lumayan besar itu?

Aku yang lelah merebahkan tubuhku diatas ranjang yang empuk itu, sepertinya emak telah mengganti kasur lama ku dengan yang baru untuk menyambut kepulangan ku dan menikahkanku, sungguh sudah terencana dengan baik.

***

"Neng, bangun..! Belum shalat ashar, itu ajakin Ujang juga, dia diluar dari tadi ngobrol sama bapak, pintu juga dikunci, untung emak punya cadangannya, tong kitu atuh Neng..!" Ucap emak padaku, padahal aku bermimpi sedang ada dikota dan berharap pernikahan inilah yang hanya sekedar mimpi buruk.

"Iya Mak, aku mau mandi terus shalat ya Mak," ucapku lalu bangkit.

Karena kamar mandi ada dibelakang rumah, aku membawa sekalian baju gantiku, aku tidak mau memakai handuk dan melewati Ujang, bisa-bisa aku di hap sama dia, ih… ngeri.

Setelah selesai mandi aku tentu melewati tengah rumah dimana disana ada Ujang, aku tak menghiraukannya, aku lewat saja tanpa permisi lalu masuk ke kamar dan ku kunci lagi pintunya, enak saja kalau dia sampai masuk kesini, tak akan aku biarkan.

Lima belas menit kemudian aku keluar, aku berbicara pada bapak kalau aku harus pulang malam ini karena pekerjaan yang tak bisa aku tinggalkan begitu saja.

"Tapi Neng, Bapak khawatir kalau kamu pulang malam, kamu kan sudah punya suami, biarlah Ujang yang menafkahimu, kamu tinggal disini sama Bapak dan emakmu..!" Ucap Bapak.

Aduh, aku masih mampu bekerja, aku tidak mau meminta uang pada kang Ujang, nanti bisa besar kepala kan dia, kalau aku menuntut nafkah lahir sama dia, pasti dia minta nafkah batinnya bukan? Oh No.

"Bapak, Diani senang bekerja disana, masih betah Pak," ucapku merayu bapak, aku sedikit mengeluarkan air mata buaya ku.

"Gimana ini Ujang? Bapak sih gimana kamu aja, kamu ikut aja sama Diani ke kota..!" Ucap Bapak yang mampu membuatku kaget setengah mati.

Apa? Dia ikut? Aku seperti punya anak kecil saja yang menempel kesan kemari, dia pasti tidak akan bekerja disana, lalu dia mau ngapain ikut segala? Merepotkan.

***

Sekitar pukul 8 malam akhirnya aku dan Ujang memutuskan pergi ke kota ke kontrakan yang disewa, kita akan tinggal disana untuk sementara waktu, kami berangkat dengan menggunakan mobil pick up yang biasa Ujang gunakan untuk membawa hasil panennya.

"Lebih enak naik mobil kan Neng, daripada Naik bus kan ribet?" Tanya Ujang padaku.

"Hmm, iya," jawabku, padahal aku lebih suka naik Bus yang ada AC nya, mobil ini panas, belum lagi sedikit bau karena bagian belakang yang belum dibersihkan, sungguh keterlaluan memang suamiku ini.

"Mas, kapan sampainya kalau kamu bawa mobil pelan banget kaya gini?" Keluhku pada Ujang yang lelet kaya siput, lebih baik aku naik becak aja sekalian kalau jalannya gini.

"Demi keselamatan kita Neng," jawabnya sambil tersenyum.

Oh astaga, apa dia pikir aku akan terpesona? Bahkan menurutku senyumnya itu tidak manis sama sekali, tapi membuatku mual, oh tidak.. aku sepertinya aku mual beneran deh karena masuk angin.

"Kang, ada kantong kresek gak?" Tanyaku sambil menahan mual.

"Buat apa Neng?" Tanyanya, menyebalkan bukan, apa dia mau aku sampai memuntahkan isi perutku disini.

"Cepetan..!" Teriakku yang mampu membuat Ujang memberikan kresek itu dengan cepat.

Akhirnya aku merasa lega karena berhasil memuntahkannya, Ujang yang panik memberhentikan mobilnya di sebuah warung kecil, dia membeli minyak angin dan teh manis hangat.

"Ini Neng minum dulu..!" Ucapnya sambil memberikan segelas teh hangat.

Aku mengambilnya perlahan, meminumnya sedikit demi sedikit hingga semuanya habis, tak lupa aku pakai juga minyak angin itu.

Alhamdulillah aku sudah merasa lebih baik, lumayan juga dia bisa peka, dia sedikit berguna.

"Sudah baikkan Neng?" Tanyanya.

"Iya, ya udah cepetan jalan lagi..! Aku gak mau kalau sampai terlambat, besok aku harus kerja," ucapku ketus.

Ujang hanya menjawab iya lalu menjalankan mobilnya lagi hingga kita sampai di kota pukul 1 dini hari, suasana kontrakan sudah sangat sepi, kami pun langsung masuk.

Ujang membawa semua barang-barang masuk, sementara aku terbaring dengan selimut tebal yang membuat tubuhku hangat, nyamannya...

"Geser atuh Neng..!" Ucap Ujang yang tiba-tiba berbaring disebelah tubuhku, aku yang kaget tentu saja langsung menoleh dan bangkit lalu duduk.

"Astagfirullah, Akang ngapain disini?" Tanyaku dengan kesal, bisa-bisanya dia masuk dan tidur seenaknya, dasar mesum.

"Lah, ini kamar kita kan Neng?" Tanyanya yang membuat aku sadar dengan kenyataan ini kalau aku sekarang adalah istrinya.

Bersambung…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!