"Astaga! Evelyn! Lagi-lagi kau tidak becus bekerja!"
Seorang wanita terlihat tengah memunguti beberapa botol dan lembaran obat yang berserakan di lantai. Wanita yang baru saja memarahinya itu masih menatap tajam sampai ia berdiri.
"Maaf, Dok. Saya tidak sengaja tadi bertabrakan dengan seorang anak kecil yang tengah berlarian di koridor."
"Halah! Bilang saja kau ini sudah malas bekerja di sini! Jangan pakai menyalahkan anak kecil segala, Eve! Kalau kau sudah tidak sanggup bekerja, keluar saja, gampang kok!" tekan wanita yang adalah seorang dokter muda di klinik tersebut.
Wanita bernama lengkap Evelyn Arachelly Marshall dengan mengenakan seragam perawat itu, sudah bekerja di sini selama dua tahun. Tapi, seperti halnya sekarang, ia selalu mendapat perlakuan tidak baik dari semua orang yang ada di klinik, termasuk dokter muda yang ada di hadapannya.
"Berhenti saja, Eve! Kau akan semakin menyulitkan kami di sini. Lagipula klinik ini tidak akan membayar orang yang tidak kompeten sepertimu. Apalagi kau hanya seorang perawat ilegal yang tidak mempunyai ijazah. Sudah untung Ibuku menerimamu bekerja di sini, tapi kau malah terus membuat kesalahan!"
"Maaf," lirih Evelyn. Hanya itu yang bisa ia ucapkan, karena bagaimana pun ia masih sangat membutuhkan pekerjaan ini, meski gajinya tidak seberapa dibandingkan dengan kerja kerasnya.
"Pergi sana! Aku tidak mau melihat wajahmu!"
Evelyn pun membungkuk memberi hormat. Ia berjalan setengah berlari menuju ruang obat-obatan, lalu dengan cepat meletakan nampan berisi obat itu di meja dan bergegas masuk ke dalam toilet.
Rasa lelah, sedih dan marah menjadi satu. Ia tidak suka jika harus terus tertindas seperti ini, tapi siapalah dia? Dia bukan siapa-siapa di klinik kecil ini. Ia hanya perawat ilegal di sini, karena ajakan seorang kenalan ibunya yang mungkin merasa iba dan menerimanya begitu saja. Ya, karena nasib yang tidak berpihak kepadanya, empat tahun lalu, ia harus putus kuliah keperawatan itu karena kesulitan ekonomi. Apalagi, saat sang ayah dipecat dari pekerjaannya. Terpaksa Evelyn harus menanggung semua kebutuhan keluarga dengan bekerja pagi, siang, sore hingga malam.
"Tahan, Evelyn! Kau tidak boleh menangis, jangan lemah seperti ini!" lirihnya, mencoba menguatkan diri sendiri.
Jika saja saat itu dirinya tidak memutuskan kuliah, mungkin saat ini ia sudah bekerja di rumah sakit besar di kotanya, bukan hanya bekerja di sebuah klinik yang tidak memberi upah dengan cukup besar. Bahkan, gajinya hanya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari selama sebulan. Belum lagi sang ayah yang selalu meminta jatah untuk membeli minuman keras.
"Evelyn!"
Pintu suara toilet diketuk dengan cepat. Beberapa kali namanya diteriakkan dan ketukan di pintu itu tidak berhenti.
Evelyn segera mengusap bulir-bulir air mata yang mengalir di pipinya. Ia segera bangkit dari duduknya, lalu mencoba merapikan seragamnya yang sedikit kusut.
"Iya, ada ap-"
Belum sempat Evelyn menyelesaikan ucapannya. Tangannya sudah lebih dulu ditarik oleh seseorang hingga dirinya hampir terjatuh karena lantai yang licin.
"Apa ini?! Kau mencuri lagi, Evelyn?!" tanya wanita berseragam dokter itu. Yang tak lain ada Clara sang dokter muda sekaligus anak pemilik klinik.
"Tidak. Aku tidak pernah mencuri," kilah Evelyn dengan raut wajah yang sudah sangat panik.
"Bu! Lihatlah, orang yang Ibu anggap baik ini hanya seorang pencuri! Dia sudah beberapa kali mencuri uang dari loker para perawat, Bu. Belum lagi kemarin-kemarin ada seorang pasien yang mengeluh uangnya hilang karena dia tertidur sebentar," tutur Clara dengan menatap sinis ke arah Evelyn.
"Tidak, Bu. Demi Tuhan, aku tidak pernah mencuri, tuduhan Dokter Clara salah. Aku merasa terfitnah, Bu," kilah Evelyn yang mulai mendekati pemilik klinik itu dan bersujud di kakinya.
"Mana ada maling ngaku, Bu! Sudah jelas Evelyn mencuri! Aku tidak mau nanti ke depannya klinik ini tercemar jika terus ada dia. Lebih baik dia diberhentikan, Bu!" usul Clara.
Manik mata Evelyn membulat. Jujur saat ini sesungguhnya ia sudah ingin menampar wanita berusia dua tahun lebih tua darinya itu. Ia benar-benar merasa difitnah dan dipermalukan. Apalagi, semua orang yang kini menatapnya tidak memberi pembelaan.
"Ayo, Bu, bicara. Usir dan berhentikan dia dari pekerjaannya!" desak Clara pada sang ibu.
Wanita berusia lima puluh tahun itu menghela napas dan menatap iba ke arah Evelyn yang masih bersimpuh di bawah kakinya. "Bangun, Eve."
Wanita itu mencoba membantu Evelyn untuk bangun dan menatapnya kembali. "Maaf, Eve. Kali ini Ibu tidak bisa membantumu, karena buktinya sudah jelas uang itu ada di dalam tas milikmu. Jadi... Dengan berat hati, kau harus dipecat," tuturnya.
Sakit. Itu yang saat ini Evelyn rasakan. Pekerjaan satu-satunya yang baru akan dirinya pertahankan setelah dua hari lalu ia dipecat di tempat lain. Dunia benar-benar tidak berpihak kepadanya. Ia merasa dibuang oleh semua orang.
Dengan perasaannya yang masih berat menerima kenyataan. Evelyn segera menyambar tas miliknya yang sedari tadi dipegang oleh Clara, lalu membuang semua uang yang ada di dalamnya tepat ke muka wanita itu.
"Sialan! Kau menyebalkan, Evelyn!" sentak Clara. Namun, Evelyn tidak mendengarkannya, ia memilih melangkah pergi meninggalkan klinik yang sudah menampungnya selama dua tahun ini.
"Jangan goyah, Eve! Kau akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik setelah ini! Pastikan kau bisa bangkit untuk menghadapi dunia kembali!" tegas Evelyn pada dirinya sendiri.
Ia melangkah menuju sebuah halte di sebrang sana. Lalu, tidak lama kemudian bus pun datang dan Evelyn menaikinya untuk pulang.
***
"Bu, Ayah!" panggil Evelyn yang sudah mulai mengigil kedinginan di luar karena setelah masuk ke dalam Bus hujan pun turun, dan berakhir ia harus basah kuyup saat berjalan dari halte ke rumahnya.
Evelyn sudah mencoba membuka pintu, tapi sepertinya pintu terkunci dari dalam. Ia juga sudah beberapa kali mengetuk pintu dan memanggil kedua orang tuanya.
Hingga beberapa menit kemudian, suara kunci dibuka pun terdengar dan pintu terbuka. "Ayo, masuk! Ibu tidak bisa berada di luar lama-lama," bisik sang ibu dengan menarik lengan Evelyn.
Sesampainya di dalam Evelyn mencoba menanyakan apa yang terjadi kepada kedua orang tuanya. "Ada apa? Kenapa kalian terlihat sedang bersembunyi?"
Namun, belum sempat kedua orang tuanya menjawab. Tiba-tiba pintu rumah mereka didobrak paksa dan membuatnya rusak. Evelyn terkejut dan segera merangsek mendekati kedua orang tuanya.
Seorang pria seusia ayahnya masuk bersama tiga orang pria bertubuh tegap. Pria sekitar lima puluh tahun itu tampak memakai setelan jas mewah.
"Kau terlalu santai dengan hutangmu, Bennet! Bayar hutang-hutangmu sekarang juga!" bentak pria itu.
Evelyn mengerutkan keningnya tampak merasa bingung. Hutang? Hutang apa? Selama ini ia tidak pernah tahu jika kedua orang tuanya mempunyai hutang. Ia selalu berusaha mencukupi kedua orang tuanya meski dengan gaji yang pas-pasan.
"Apa maksudnya? Apa Ayah saya mempunyai hutang?" tanya Evelyn pada pria yang dirinya lihat seperti orang kaya.
"Oh, kau anaknya Bennet yang sering dibicarakan ya. Kau cantik juga, Nak." Pria itu menatap Evelyn dengan tersenyum. "Ya. Ayahmu mempunyai hutang padaku dan itu tidak sedikit. Dia meminjam hingga milyaran, dan kedatanganku ke sini adalah untuk menagihnya. Karena dia sudah berjanji akan membayar hutang-hutang itu di bulan ini," sambungnya.
Manik mata Evelyn membulat. Ia benar-benar terkejut mendengarnya. Sejauh yang dirinya tahu, sang ayah tidak pernah meminjam uang apalagi sampai milyaran seperti ini. Apapun yang mereka butuhkan selalu Evelyn usahakan.
"Tidak mungkin, Tuan. Ayah saya tidak mungkin berhutang!" elak Evelyn merasa tidak percaya.
"Markus! Berikan catatan rincian tentang hutang Bennet semua kepadanya!" perintah pria kaya itu pada salah satu anak buahnya.
Lembaran catatan itu di lemparkannya ke arah Evelyn. Dengan cepat ia pun mengumpulkannya dan membaca setiap lembar catatan rincian hutang-hutang sang ayah. Hingga rasanya kaki Evelyn tidak sanggup lagi menopang tubuhnya.
"Ayah! Apa benar semua ini? Apa ayah berhutang sebanyak itu? Untuk apa Ayah? Ibu! Ibu pasti tahu kan semua ini?"
Kedua orang tua Evelyn hanya mengangguk samar dan menunduk. Melihat itu, hati Evelyn semakin hancur. Namun, dengan sekali tarikan napas ia pun mengangkat wajahnya dan menatap pria kaya itu.
"Tuan! Biarkan saya yang akan mencicil semua hutang-hutang Ayah saya. Tapi, saya tidak bisa menjamin seberapa lama. Beri saya waktu setidaknya satu atau dua tahun."
"Tidak! Enak saja! Aku bukan Bank!"
Mendengar itu Evelyn merasa semakin menciut. Harus bagaimana lagi, selain bernegosiasi seperti ini. "Saya janji, Tuan. Saya benar-benar akan membayar semua hutang Ayah saya."
"Tuan. Saya akan menawarkan anak saya sebagai jaminan untuk membayar hutang-hutang saya, bagaimana? Kebetulan dia juga belum menikah."
"Ayah!" sentak Evelyn. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan ucapan sang ayah yang menawarkannya pada pria kaya itu sebagai pelunas hutang. "Apa Ayah menganggap aku ini sebuah barang?" sambungnya.
"Bagus, Bennet. Sepertinya penawaran itu bisa aku pikirkan. Kebetulan aku juga membutuhkan seorang wanita," ucap pria kaya itu dengan tersenyum menyeringai.
Manik mata Evelyn membulat. Tulang-tulang ditubuhnya terasa akan copot saat mendengar pria itu mencoba memikirkan penawaran sang ayah.
"Tidak, Tuan! Saya tidak setuju dengan penawaran Ayah saya. Sumpah demi Tuhan, Tuan, saya akan membayar hutang-hutang itu tapi bukan dengan diri saya," ucap Evelyn yang mulai bersimpuh di hadapan pria itu.
"Bangun Evelyn! Kau seharusnya setuju saja dengan apa yang dikatakan Ayahmu! Kami membesarkan–mu bukan tanpa uang. Tentu kau harus membalas budi semua itu!" tekan Maria, sang ibu.
Mendengar itu, rasanya telinga Evelyn terasa lebih panas. Bagaimana bisa seorang ibu dengan teganya menyetujui sang anak untuk dijadikan sebuah barang alat tukar hutang agar lunas?
"Bu," lirih Evelyn yang mulai menangis.
"Bagaimana, Tuan. Apa tawaran saya bisa disetujui?" tanya Bennet tanpa melihat ke arah sang anak.
"Sepertinya aku akan menyetujui itu," jawab pria kaya itu.
Namun, dengan cepat Evelyn pun berlari ke arah kamarnya. Ia mengunci diri di sana dengan perasaan takut juga cemas akan hidupnya.
"Buka Evelyn!" teriak sang ibu dengan beberapa kali mengetuk pintu kamarnya cukup keras.
"Tidak, Bu! Aku tidak mau menjadi barang untuk melunasi hutang-hutang kalian!" pekik Evelyn. Matanya sudah sembab, dan pipinya sudah di basahi air mata.
"Kau anak tidak tahu diri! Kau seharusnya membalas budi kepada kami yang sudah membesarkan–mu Evelyn!" teriak Maria dengan terus mengetuk pintu dengan cukup keras.
Kabur! Ya, dirinya harus kabur, pikir Evelyn. Ia pun segera meraih koper yang ada di bawah ranjang dan dengan cepat mengemasi pakaian secukupnya.
Namun, belum sempat persiapannya selesai. Pintu kamar Evelyn sudah terbuka paksa karena sang yang mendobraknya. Evelyn tentu sangat terkejut.
"Mau ke mana kau Evelyn?!" tanya sang ayah dengan mata setengah melotot melihat pakaian Evelyn yang sudah berceceran di koper itu. "Oh, kau mau kabur, huh?!"
Plak!
Satu tamparan mendarat di pipi Evelyn. Ia terkejut hingga tersentak ke belakang.
"Ayah?"
"Cepat ikut mereka Evelyn! Kau harus balas budi dan melunasi hutang-hutang Ayah!" bentak sang ayah.
Bennet dengan cepat menarik lengan Evelyn dan menyeretnya keluar dengan dibantu sang istri.
"Lepaskan ... Tanganku sakit..," lirih Evelyn dengan terus meronta. Hingga tubuhnya didorong dan jatuh di bawah kaki pria tua itu.
"Saya harap semua hutang itu lunas, Tuan. Karena saya telah memberikan anak saya untuk Anda," ucap Bennet tanpa merasa kasihan pada Evelyn.
Evelyn menatap nanar sang ayah. Hatinya remuk redam kala mendengarkan ucapan sang ayah yang benar-benar tidak mempunyai hati memberikan dirinya pada pria tua itu sebagai pelunas hutang.
"Ayah... Aku mohon, jangan lepaskan aku pada pria kaya ini," mohon Evelyn yang sudah memegang kaki ayahnya. Bennet dengan cepat menepis tubuh Evelyn hingga terdorong.
"Baiklah Bennet, aku akan melunasi hutang-hutang itu dengan anak gadismu ini. Sepertinya dia akan sangat berguna," ucap pria kaya itu. "Markus! Bawa gadis ini ke mobil sekarang!" titahnya.
***
Tubuh Evelyn tidak bisa digerakan. Tangan juga kakinya diikat oleh anak buah sang pria tua, begitupun dengan mulutnya yang disumpal dan kepalanya ditutup oleh kain hitam. Sungguh, perasaan takut kini menyelimuti hati Evelyn. Ia benar-benar diperlakukan seperti seorang penjahat yang akan menerima hukuman.
Mobil terhenti beberapa menit kemudian. Entah sudah berapa lama Evelyn berada di dalam mobil. Karena, sesaat setelah melakukan perlawanan tiba-tiba tengkuknya dihantam sesuatu hingga dirinya tak sadarkan diri.
"Ayo!" perintah suara bawahan pria kaya itu. Evelyn cukup mengenali suara pria bernama Markus itu.
Evelyn keluar setelah ikatan di kakinya dilepas. Ia pun terus meronta, mencoba melepaskan diri, meski genggaman tangan pria bertubuh kekar itu menyakitinya.
"Kita sudah sampai. Buka saja penutup kepala dan mulutnya," perintah pia kaya itu.
Akhirnya. Evelyn bisa sedikit bernapas dengan lega, meskipun tangannya tetap terikat.
Samar-samar matanya menangkap sebuah bangunan megah, sangat mewah dan besar. Bernuansa hitam dengan pintu utama yang cukup besar dan lebar. Bisa Evelyn ketahui, jika pria yang membawanya itu cukup berkuasa dan kaya-raya.
Tubuhnya di dorong pelan-pelan menuju pintu itu. Evelyn berjalan dengan tertatih-tatih menahan rasa takut dan nyeri di tengkuknya.
Sesampainya di dalam, setelah mendapati wanita seusia ibunya. Evelyn mengetahui, jika pemilik rumah ini memang orang yang sangat berpengaruh di Kota Valleta. Ya, keluarga Dexter. Keluarga yang memiliki 5 kasino terbaik di Negara Malta.
"Irish. Lihatlah, aku membawakan seorang gadis. Wanita ini akan cantik jika dipoles dengan kemampuanmu. Dia juga seorang perawat, hanya saja tidak sempat lulus dari universitas," tutur pria berusia hampir kepala lima bernama Luise Dexter itu kepada sang istri, Nyonya Irish.
Wanita yang sering dipanggil Nyonya Irish itu mendekati Evelyn. Matanya menyelusuri setiap lekuk tubuh Evelyn, dari atas sampai bawah. Hingga senyuman itu terukir di bibirnya. "Bagus. Sepertinya dia akan sangat cocok. Penampilan dan keterampilannya juga bisa diasah nanti."
"Markus. Panggil Josh ke sini!" perintah Tuan Luise.
Evelyn menghela napas. "Siapa lagi Josh? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa aku akan menjadi budak di rumah ini? Atau... Aku akan menjadi istri kedua pria tua ini," batinnya.
Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar menuruni tangga. Evelyn dengan cepat melirik ke arah tangga dan melihat seorang pria yang dirinya perkiraan berumur di atas tiga puluh tahun.
"Ada apa? Kenapa Daddy memanggilku?" tanya pria tampan nan gagah itu dengan tatapan tegasnya.
"Josh. Kau akan segera menikah. Daddy sudah membawa calon untukmu dan Mommy sudah menyetujui."
Sontak manik mata Evelyn membulat, begitupun dengan pria bernama Josh itu tampak terkejut.
"What? Aku tidak akan menikah! Apalagi dengan wanita sembarangan. Lagipula siapa wanitanya?"
"Dia," tunjuk Tuan Luise pada Evelyn.
Pria bernama lengkap Joshi William Dexter berusia tiga puluh dua tahun itu menggeleng. "No! Aku tidak akan menikah dengan siapapun! Apalagi dengan wanita lusuh dan kotor seperti dia!"
Bak tersambar petir, hati Evelyn sakit setelah mendapat hinaan dari pria pemilik mata berwarna biru itu.
"Mommy akan mengubah penampilannya Josh. Bahkan Daddy membeli wanita ini cukup mahal. Dia telah lama hidup susah bersama kedua orang tuanya yg cukup miskin, jadi akan sangat cocok denganmu yang menyukai wanita polos," ucap Nyonya Irish meyakinkan sang anak.
"Tidak, Mom! Josh tidak sudi menikah dengan wanita seperti dia. Pria macam apa yang mau menikah dengan wanita miskin!"
"Josh! Jika kau tidak mau menuruti perintah Daddy! Maka bersiaplah untuk keluar dari rumah ini! Daddy tidak akan pernah memberikan saham atau harta warisan untukmu!" tekan Tuan Luise.
"Dad! Apa Daddy tega menelantarkan aku hanya karena wanita miskin ini?!"
"Setuju atau tidak! Itu keputusan Daddy! Kau bisa memilihnya saat ini!" tegas Tuan Luise lagi dengan mata setengah melotot.
"Oke! Aku akan menikah dengannya!" jawab Josh dengan napas yang memburu menahan amarah.
***
Keesokan harinya, saat ia dan Evelyn bertemu di bawah tangga, dengan sengaja Josh mendorong tubuh wanita itu hingga kakinya terkilir. Pelayan yang melihat itu segera menghampiri Evelyn dan mencoba mengobatinya.
"Sabar ya, Nona. Tuan muda Josh memang keras," ucap salah satu pelayan.
Namun, beberapa menit kemudian Josh kembali menghampiri para pelayan yang tengah mengolesi minyak urut pada pergelangan kaki Evelyn.
"Pelayan! Di mana Mommy?" tanya Josh.
"Nyonya Irish tengah pergi, Tuan. Ada perjamuan di rumah teman lamanya."
Bisa dilihat, senyum devil itu menghias di bibir Josh. "Evelyn! Bersihkan semua ruangan ini tanpa terkecuali! Kalian, para pelayan, jangan ada yang membantu dia jika tidak mau dipecat!"
Ketiga pelayan itu menunduk. Mereka tidak bisa melawan sang tuan muda dengan ancamannya. Evelyn pun dengan cepat segera bangkit, meski kakinya masih terasa sakit.
"Bersihkan setiap lantai yang telah kau injak! Karena aku tidak sudi rumahku kotor karena kau!" tegas Josh dengan kembali naik ke lantai dua.
Evelyn menghela napas dan mencoba memberi senyum pada ketiga pelayan itu. "Tidak apa-apa, saya akan baik-baik saja."
Sudah sekitar dua jam Evelyn membersihkan setiap ruangan dan mencuci semua lantai. Akhirnya tugasnya pun selesai dan tubuhnya sudah sangat pegal. Ia pun hendak berjalan menuju kamarnya untuk beristirahat.
Namun, Josh sudah menunggu di depan pintu kamarnya. "Cuci kamar mandi di lantai dua! Temanku akan datang, dan kamar mandi itu kotor!" perintahnya dengan bibir yang tersungging.
Secara tidak langsung, Josh memperlakukan Evelyn seperti seorang pembantu.
"Wanita miskin sepertimu, sangat pantas diperlakukan seperti itu!" dengusnya lagi.
Perih. Itu yang Evelyn rasakan. Dadanya sesak, mendengar setiap kata hinaan dari Josh. Tapi, ia tentu tidak bisa membalasnya. Dengan langkah gontai, Evelyn berjalan menuju kamar mandi.
Ia masuk dengan menatap ruangan tidak memiliki penerangan itu, mungkin lampunya sudah rusak dan lupa diganti, pikirnya.
Trek!
Manik mata Evelyn membulat. Ia segera membalikan tubuhnya menghadap pintu kamar mandi yang sudah tertutup. Dengan cepat ia mencoba membukanya, tapi tidak bisa. Seseorang pasti menguncinya dari luar.
"Tolong! Tolong buka pintunya! Saya... Saya takut..."
"Evelyn...!"
"Evelyn...!"
Beberapa kali Nyonya Irish memanggil Evelyn, tapi wanita itu tak kunjung menjawab.
"Nina. Apa kau tahu di mana Evelyn? Kenapa dia tidak menjawab setelah beberapa kali saya panggil?" tanya Nyonya Irish pada salah satu pelayannya yang tengah berjalan.
"Saya tidak tahu, Nyonya. Tapi, tadi... Nona Evelyn tengah membersihkan lantai, dan setelahnya naik ke lantai dua menuju kamar," jawab Nina, tampak gugup dan menunduk.
"Maksudmu? Membersihkan lantai bagaimana?!"
"Itu, Nyonya. Tuan Muda yang memerintahkan Nona Evelyn."
"Astaga, Joshi!" geram Nyonya Irish sembari berjalan menaiki anak tangga untuk mencari sang anak.
"Josh...! Joshi...!" panggil Nyonya Irish beberapa kali saat tiba di lantai dua. Ia berjalan menuju kamarnya dan membuka pintu, tapi tidak menemukan anak itu.
"Astaga, kau di mana Josh!"
"Mom!"
Tiba-tiba Josh muncul dari arah balkon.
"Kau dari mana saja Josh? Apa maksudmu dengan menyuruh Evelyn membersihkan semua ruangan? Dan sekarang, di mana dia?" tanya Nyonya Irish dengan menyipitkan matanya penuh curiga.
"Ti-tidak, Mom! Aku tidak menyuruhnya membersihkan ruangan. Aku juga tidak tahu dia di mana," jawab Josh dengan gelagapan.
Kegugupan Josh membuat Nyonya Irish menaruh rasa curiga. Ia menyipitkan matanya melihat gelagat yang tidak beres dari sang anak. "Kau pasti tahu di mana Evelyn, Josh. Katakan pada Mommy, di mana anak itu!"
"Tidak tahu, Mom. Aku benar-benar tidak tahu di mana wanita miskin itu."
"Josh!"
Mata Nyonya Irish melotot. Ia tahu anaknya tengah berbohong, jadi dirinya sedikit marah. "Katakan pada Mommy, sebelum Daddy datang!" tekannya.
Namun, tiba-tiba suara teriakan terdengar mengejutkan dari arah ujung lantai dua. Nyonya Irish yang terkejut sekaligus penasaran pun segera berjalan menghampiri. Josh ikut mengekor di belakang sang ibu.
"Kenapa Nina?! Ada apa?" tanya Nyonya Irish saat mendapati sang pelayan tengah mematung di depan sebuah kamar mandi.
"No-nona Eve...," lirih Nina dengan menunjuk ke dalam kamar mandi.
Melihat itu, Nyonya Irish pun segera memeriksa apa yang sebenarnya dilihat oleh sang pelayan. Lalu, seketika manik matanya membulat sempurna, ketika melihat tubuh Evelyn yang sudah terkulai lemas di dalam sana.
"Evelyn!"
Nyonya Irish segera masuk dengan perasaan khawatirnya. "Nina! Cepat panggilkan Markus! Josh! Bantu angkat tubuh Evelyn!" perintahnya.
Mendengar itu Josh segera mendekat dengan perasaan tak acuh. Ia tahu, setelahnya pasti sang ibu akan menghukumnya jika dilihat dari tatapan marah yang dilayangkan ke arahnya.
"Tunggu apa lagi, Josh! Gendong dia, bawa keluar dari kamar mandi!" bentak Nyonya Irish.
Dengan cepat Josh pun menggendong Evelyn yang belum sadarkan diri itu. Ia merasa risih dan tak suka harus menggendong wanita miskin itu.
"Nina! Cepat! Persiapkan mobilnya, kita akan membawa Evelyn ke rumah sakit!" teriak Nyonya Irish saat sang pelayan tak kunjung datang membawa Markus.
"Mom! Tidak usah khawatir seperti itu, dia tidak apa-apa. Dia hanya pingsan biasa, nanti juga sadar," ucap Josh saat melihat sang ibu begitu mengkhawatirkan wanita yang masih berada dalam gendongannya.
"Tidak apa-apa matamu, Josh! Lihat baik-baik! Dia pingsan, dan itu pasti karena ulahmu!" tegas Nyonya Irish setengah melotot.
"Kau pasti menguncinya kan? Tidak mungkin dia masuk begitu saja ke kamar mandi yang sudah tiga bulan belum di perbaiki!" sambungnya.
Josh menunduk, seolah membenarkan apa yang ibunya tuduhkan. Ya, memang benar dia yang mengurung Evelyn tiga jam lalu di kamar mandi itu.
***
Setelah dua hari lalu Evelyn pingsan karena terkunci di kamar mandi dan Tuan Luise memarahi Josh habis-habisan. Mereka akhirnya mempercepat hari pernikahan.
Besok Josh dan Evelyn akan menikah dan hari ini semuanya tengah dipersiapkan. Kareanya itu, Josh saat ini tengah mengendap untuk keluar dari rumahnya.
"Tuan muda!"
Manik mata Josh membulat kala sebuah suara memergokinya yang tengah berjalan pelan di arah belakang.
"Tuan muda mau ke mana? Kenapa ada di belakang?" tanya Nina yang kebetulan akan mengambil sesuatu di gudang.
"Aku mau ke taman belakang, hanya saja ingin lewat sini. Pergi sana! Mommy mungkin sudah menunggumu, tadi dia sempat mencarimu Nina!"
Mendengar itu Nina segera mengangguk dan menunduk. Lalu dengan cepat mengambil sesuatu dari gudang dan pergi. Sedangkan Josh, ia terus berjalan mengendap hingga sampai di pintu belakang dan berhasil keluar dari halaman rumahnya.
"Akhirnya!"
Dengan cepat Josh menghampiri sebuah mobil yang mungkin sudah lama menunggunya.
"Silakan masuk Tuan," ucap pria itu. Josh pun masuk dengan cepat.
Mobil yang saat ini dikendarai oleh sang asisten bernama Eric itu meluncur menyusuri jalanan sempit daerah terbelakang dari dekat rumah Josh. Hingga mereka sampai di jalan raya.
Kini, mobil yang membawa Josh pun telah tiba di sebuah apartemen yang cukup terkenal di kota Vallenta. Ia bergegas turun dan meninggalkan sang asisten yang hendak memarkirkan mobilnya.
Josh dengan cepat berlari masuk dan naik ke lantai 20. Sampai tiba di depan sebuah pintu berpelakat nomor 2034.
Beberapa kali ia menekan bel, namun tidak kunjung mendapat respon. Hingga beberapa menit kemudian pintu apartemen itu terbuka dan seorang wanita berpakaian minim muncul.
"Hi, sweetie. Kenapa lama sekali membukakan pintu?" tanya Josh dengan merangsek masuk sembari memeluk tubuh wanita yang diketahui adalah kekasihnya selama satu tahun ini.
"Maaf, Josh, aku sedang berganti pakaian," balasnya dengan tersenyum simpul mencoba menggoda sang kekasih.
"Stop, Rose," ucap Josh yang sedikit terengah-engah karena sedikit terangsang. "Ada yang ingin aku bicarakan," sambungnya dengan menuntun wanita itu ke sofa hingga keduanya duduk.
"Apa, honey? Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya wanita bernama Rose itu dengan nada menggoda.
"Aku akan menikah."
"Apa? Kau mengajakku menikah secepat itu? Apa keluargamu akan menerimaku?" Rose terlihat bingung sekaligus bahagia mendengarkannya.
"Bukan denganmu, Rose."
Seketika senyum di bibir Rose luntur. Tubuhnya mulai menjauh perlahan dari pria itu.
"Rose, dengarkan aku. Ini hanya sementara, aku harus menikahi wanita itu atas permintaan Daddy. Setelah pernikahan itu berjalan satu tahun dan aku mendapat perusahaan itu, aku akan meninggalkannya lalu menikahimu."
Rose masih mematung. Tidak memberi respon apapun pada sang kekasih.
"Aku serius Rose. Itu janjiku, kau harus bertahan selama satu tahun, oke? Demi masa depan kita?"
***
Evelyn berjalan gontai dengan gaun pengantin yang belum sempat dirinya lepas setelah melakukan janji suci pernikahan satu jam lalu.
Kini, dirinya dan Josh telah sampai di rumah yang telah dihadiahkan oleh Tuan Luise dan Nyonya Irish. Nina, sang pelayan kesayangan Nyonya Irish diperintahkan ikut ke rumah ini untuk menjaga Evelyn juga Josh.
Dengan perasaan kosong dan hampa, Evelyn masuk ke dalam kamar diikuti dengan Nina dibelakangnya yang membawa koper juga barang-barang miliknya.
"Nona, mari, saya bantu untuk membuka gaunnya," ucap Nina.
Evelyn hanya menurut tanpa mengelak. Ia benar-benar merasa kosong, seolah dirinya telah mati beberapa hari lalu setelah kepergiannya dari rumah.
Jiwa yang kosong, itulah Evelyn sekarang. Tidak ada ekspresi senyum dan sedih yang dirinya tampakkan.
Ketukan pintu mengejutkan Nina, juga Evelyn yang tengah melamun. Nina pun dengan cepat segera membuka pintu.
"Nona Evelyn, Tuan Josh memanggil Anda. Dia ada di kolam renang di halaman belakang," ucap Eric sang asisten Josh.
Mendengar itu, Evelyn pun segera berjalan tanpa ragu menemui pria yang baru satu jam lalu menjadi suaminya.
Tempatnya hanya suami palsu dan ini bukan pernikahan impiannya. Ia diperlakukan seperti barang, sebuah objek alat tukar untuk melunasi hutang sang ayah. Jadi, masuk akal jika dirinya saat ini memilih menjadi mayat hidup tanpa perasaan.
Sesampainya di belakang. Evelyn melihat Josh yang tengah duduk bersantai di kursi pinggir kolam.
"Ada apa, Tuan? Kenapa Anda memanggil saya?" tanya Evelyn tampak dingin. Seolah tidak ada gairah untuk berinteraksi dengan pria yang ada di hadapannya.
"Kau mungkin sudah menjadi istriku di atas kertas juga di hadapan kedua orang tuaku. Tapi, jauh di dalam hatiku kau hanya seorang wanita miskin yang tidak layak dicintai! Jadi, kau tidak perlu berlagak menjadi seorang istri di depanku. Karena aku akan membawa seseorang yang sangat aku cintai masuk ke dalam rumah ini," tegas Josh kemudian bangkit dari duduknya.
"Aku mempunyai standar yang layak untuk siapa yang akan aku masukan ke dalam hidupku! Dan kau! Kau tidak layak untuk itu!"
Byuurr!
Josh mendorong tubuh Evelyn ke dalam kolam, lalu berjalan pergi meninggalkannya tanpa menoleh kembali ke belakang.
Nina yang melihat kejadian itu seketika terkejut. Sang tuan muda yang melewatinya pun terlihat menatap tajam.
Lalu, dengan cepat Nina berlari menghampiri Evelyn yang hampir tenggelam. Ya, Evelyn tidak bisa berenang. Nina dengan kepanikannya seketika langsung berteriak, hingga Eric berlari menghampiri mereka.
Dengan cepat Eric pun melompat masuk ke dalam kolam untuk menyelamatkan sang nona muda.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!