NovelToon NovelToon

Duplicated World

01| Where i am?

"Sampai di sini saja pelajaran yang bisa bapak berikan. Ingat, materi yang sudah diberikan tolong dipelajari kembali setelah pulang ke rumah. Sebentar lagi bel, segera masukan semua barang-barang kalian ke dalam tas."

Setelah mengucapkan salam, mereka berhamburan keluar kelas. Seorang gadis dengan rambut diikat berjalan keluar dengan malas.

Setibanya di rumah, dia menatap seisi ruangan yang teramat ramai. Matanya menangkap sosok yang selama ini dia hindari. Sosok tersebut tersenyum dan berjalan ke arahnya.

   "Mau apa lo ke sini?" tanyanya dengan wajah teramat kesal. Jelas sekali bahwa dia membenci sosok itu.

   "Tentu saja menengok calon istriku!" sahutnya sembari hendak merangkul tubuh gadis itu, tetapi dia dengan cekatan menghindar.

   "Sampai mati, gue gak sudi nikah sama orang yang udah ngebuat kakak gue koma di rumah sakit selama sebulan. Lihat aja, gue bakalan kabur saat malam pertunangan dan lo nggak bakalan bisa nyari gue bahkan anak buah lo sekalipun!" ancamnya yang kemudian menginjak kaki pria tersebut, lalu berjalan menaiki anak tangga menuju kamar.

Setibanya di kamar, dia menatap boneka yang sudah duduk rapi di atas nakas menghadap ke arah ranjang.

   "Siapa yang lancang naroh boneka di kamar gue? Gak tau apa gue paling benci sama ini benda!"

Dia mengambil boneka tersebut dan melemparnya keluar dari jendela. Lelah menyerang seluruh tubuh, matanya perlahan tertutup. Suara bising antara pertemuan dua keluarga pun terdengar semakin samar.

.

.

.

   "Oh, dia sadar ketua!"

   "Jangan berisik, kamu bisa membuatnya terkejut."

   "Ketua, bagaimana kalau dia jahat?"

   "Singkirkan pikiran jelekmu itu. Keturunan asli Kusuma tidak ada yang seperti itu."

   "Ketua, tap-"

   "Eung! Gue di mana?" lenguhnya dengan mencoba memperjelas penglihatannya hingga terlihat dua pria asing tengah menatapnya.

    "Agghh!" teriaknya terkejut, mereka pun tak kalah terkejutnya.

   "Langit, tolong jaga dia sebentar. Aku akan memanggil tuan besar!"

   "Siap ketua!"

Setelah kepergian pria yang diperkirakan berumur empat puluh tahunan, tinggallah mereka berdua dengan kecanggungan yang menyelimuti ruangan bernuansa putih tersebut.

   "Gue di mana?" tanyanya lagi penuh selidik. Jelas ini bukan kamarnya.

   "Biar ketua sama tuan besar yang jelasin, gue mana ada hak buat itu!" ucapnya yang langsung menoleh ke arah lain.

Beberapa menit kemudian datanglah dua pria dengan penampilan yang berbeda. Pria bernama Langit itu segera membungkuk kala seorang pria dengan sebutan tuan besar masuk paling akhir.

Tuan besar itu berjalan dan mendekat ke ranjang pasien milik gadis tersebut. Dia tersenyum kala melihat perempuan yang selama ini dicarinya.

    "Akhirnya saya menemukan kamu juga!"

Diketahui bernama Kara melongo menatap pria yang wajahnya terlihat masih muda.

   "Maaf, anda siapa?" tanyanya mencoba sopan.

Pria itu tersenyum sebelum akhirnya memperkenalkan dirinya.

   "Saya Hendra Kusuma, salah satu petinggi di negara ini. Kamu akan saya bawa ke rumah agar lebih nyaman mengobrolnya dan tentu banyak pertanyaan yang terlintas di pikiran kamu."

Setibanya di sebuah kekediaman yang teramat besar, Kara hanya bisa menelan salivanya kasar. Saat masuk, dia dimanjakan dengan pemandangan banyaknya foto-foto dan ukiran-ukiran yang unik terpajang di mana-mana.

   "Mari duduk!"

Kara duduk dengan sopannya, matanya masih sibuk melihat ke sana dan ke mari. Hendra hanya bisa tersenyum dan kemudian berdehem untuk mengalihkan perhatian Kara.

 

    "Baiklah, sebutkan pertanyaan pertama?"

Kara akhirnya menatap Hendra dan mulai bertanya.

   "Saya ada di mana dan mengapa tempat ini berbeda? Tempat saya tinggal lebih damai dibandingan dengan di sini. Tadi sempat saya melihat sekilas beberapa anak kecil secara terang-terangan menyerang orang dewasa bahkan tak segan untuk saling melukai."

   "Dunia ini memang berbeda. Bumi memiliki duplikat yang entah siapa pembuatnya. Sayangnya kami juga tidak tahu bagaimana kehidupan di bumi yang asli. Kami sudah ada di sini sejak bumi duplikat ini diciptakan, tetapi kami manusia sama seperti kamu."

   "Di sini tindakan kriminal tingkat bawah tidak akan diurus oleh pihak kepolisian, mereka lebih memetingkan kasus tingkat C sampai A. Memang terkesan aneh, tetapi inilah yang terjadi."

Hendra seperti menunjukan raut wajah kegelisahan, Kara yang motebane cepat peka pun langsung bertanya.

   "Mengapa wajah anda kelihatan sangat khawatir begitu?"

Hendra pun tersenyum.

   "Ada satu rahasia yang hanya diketahui oleh ibumu dan saya. Jika kamu sudah siap mendengarnya, saya bisa menceritakannya kapan saja dan mungkin kamu akan membenci saya. Tidak apa-apa, yang terpenting saya masih bisa melihat kamu."

    "Anda kenal ibu saya dan rahasia apa yang anda maksud? Saya bersedia untuk mendengarnya sekarang."

Kara tipekal manusia yang tak sabaran jika sudah diberitahu ada sebuah rahasia. Bahkan jika itu nanti bisa menyakiti dirinya sendiri.

    "Mari ikut saya, tapi tolong untuk sembunyikan rasa keterkejutanmu, ya?"

Akhirnya Kara hanya mengangguk, demi memuaskan rasa penasaran dia harus melakukan apapun.

Mereka tiba di depan sebuah kamar, Kara mengernyitkan dahi. Pintu dibuka oleh Hendra dan menampilkan sosok gadis cantik dengan rambut tergerai sedang duduk menatap jendela.

   "Apa dia anak anda?" tanyanya penasaran.

   "Benar. Sebentar!"

Hendra berjalan mendekati putrinya, dia menepuk pelan pundaknya hingga gadis itu menoleh menatapnya. Kara yang baru pertama kali melihat wajahnya langsung terkejut dan membeku di tempat. Detik berikutnya pandangan keduanya saling bertemu.

Gadis itu yang semula hanya menatap datar pada sang ayah berubah menjadi tersenyum sumringah saat melihat Kara.

   "Kak Kara?"

Gadis itu berlari dan memeluk tubuh beku Kara, dia shock. Bagaimana tidak? Wajah gadis itu terlihat seperti dirinya, bahkan tidak ada celah yang bisa membedakan keduanya.

    "Akhirnya cerita papa nggak bohong soal kakak!"

Gadis itu masih setia memeluk Kara, Hendra berjalan mendekati gadis itu yang masih terkejut.

    "Biar saya jelaskan, lebih baik kita duduk dulu. Kana, ayo lepaskan dulu pelukannya. Papa perlu menjelaskan semuanya pada Kara!"

Gadis bernama Kana itu menolak dengan menggeleng.

   "Nggak mau, nanti kak Kara pergi ninggalin kita."

    "Nggak sayang, dia nggak akan ninggalin Kana. Papa perlu mengatakan semuanya tanpa terkecuali, karena dia perlu tahu. Rahasia yang sudah disembunyikan sejak dulu harus terbongkar sekarang. Papa nggak mau ada penyesalan dikemudian hari."

Akhirnya Kana mau mengerti dan melepaskan pelukannya. Kara pun dimintai duduk di tepi ranjang diikuti dengan yang lainnya.

FLASHBACK ON

Beberapa belas tahun silam, pergeseran antara dua bumi terjadi. Seorang gadis cantik dengan rambut sebahu tak sengaja tertelan oleh sesuatu berwarna ungu kepekatan. Tubuhnya terasa seperti sedang terapung di atas atas air dan begitu tersadar, dia sudah berada di sebuah kamar.

Dia mengerjap beberapa kali hingga seorang remaja laki-laki memasuki kamar tersebut dan meletakan bubur di atas meja.

    "Oh, kamu sudah sadar?"

    "Eum, aku di mana?"

Gadis cantik itu mencoba untuk bediri dan sadar saat tahu ada perban dikepalanya.

   "Aku menemukanmu didekat sungai, jadi aku membawamu ke mari. Apa masih ada bagian tubuh lainnya yang sakit?"

    "Hanya kepalaku saja. Ngomong-ngomong mengapa rasanya asing?"

Dia menatap ke arah luar jendela dan melihat pemandangan yang menurutnya asing.

   "Beberapa waktu lalu ada pergeseran antara dua bumi terjadi. Antara bumi dari kamu berasal dan bumi yang sekarang kau pijak. Terdengar tidak masuk akal, tetapi kamu tenang saja. Kamu akan aman jika berada di sini." 

    "Bolehkah aku mengetahui namamu?" tanya si gadis dengan sedikit rasa malu.

    "Panggil saja aku Hendra. Kamu?"

    "Aku Ani, terima kasih sudah mau menolongku."

Setelah beberapa tahun kemudian, keduanya dinyatakan telah sah secara hukum dalam sebuah pernikahan. Hingga setengah tahun menikah, mereka akhirnya dikaruniai oleh dua anak kembar. Namun, karena suatu masalah tiba-tiba saja Ani serta salah satu anak kembar yang tengah dia gendong di taman menghilang secara tiba-tiba.

Hendra yang mendapatkan kabar dari orang suruhannya pun panik setengah mati sembari berlari menuju taman dengan menggendong salah satu anak kembarnya.

Bertahun-tahun hingga dia tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang dikenal dengan nama Kana.

Hendra sejak dulu sudah menunggu yang namanya pergeseran antara dua bumi, hanya saja hal itu tak kunjung terjadi membuatnya berputus asa. Setiap malam selalu memikirkan sang istri dan anaknya yang satu.

Hingga beberapa hari yang lalu dia mendapat kabar bahwa pergeseran itu akhirnya terjadi lagi dan menciptakan jalan untuk pergi ke bumi yang asli. Sayangnya, saat itu Kana sedang dalam masa terburuk karena dirinya sering mendapatkan bulian dari teman-teman di sekolahnya.

Sampai ada seseorang yang memberitahukannya bahwa di dekat danau ada seorang perempuan yang wajahnya mirip dengan Kana sedang terbaring tak berdaya. Hendra yang kala itu sedang menyuapi sang putri, langsung meninggalkan piringnya dan menitipkan Kana pada maid.

Di sinilah dia sekarang, Kara. Gadis yang selama ini terpisah dengan ayah kandungnya. Dulu dia sering menanyakan tentang keberadaan sang ayah, sayangnya Ani selalu menukar topik pembicaraan.

FLASHBACK OFF

Kara menatap Hendra tak percaya sembari menggeleng, sementara yang ditatap hanya tersenyum paham. Selama ini Kara selalu mendambakan seorang ayah dalam keluarganya dan memeluknya dengan erat.

Air matanya lolos begitu saja, Kana yang melihat itu sigap mengelapnya dan memeluk Kara.

    "Kakak pasti sedih karena terpisah dari kita. Papa tiap hari selalu merenung di balkon kamarnya terus natap langit, papa juga pernah cerita kalau sebenarnya aku punya saudara kembar dan mama. Ternyata ucapan papa memang nggak bohong, apalagi wajah kita mirip. Makasih Tuhan!" 

    "Selama ini ... Kara selalu nanya ke mama soal papa dan jawaban mama adalah nukar topik pembicaraan. Kara sering ditanyain soal papa sama temen-temen, tapi Kara jawab kalau papa lagi kerja di luar negeri. Eh, nggak taunya papa Kara ada di sini."

    "Kara emang seneng bisa ketemu sama kalian tapi di sisi lain kecewa sama takdir. Kenapa harus memisahkan kita? Terlebih Kara tumbuh selama tujuh belas tahun tanpa adanya sosok papa. Begitu juga dengan Kana, dia sampai sebesar ini tanpa sosok mama."

   "Kita sama-sama tersiksa, tapi terima kasih Tuhan udah mau buat takdir Kara datang ke sini. Kalau nggak sampai matipun Kara nggak bakalan tau siapa papa Kara dan punya saudari kembar. Terlebih Kara mau dijodohin sama orang yang Kara nggak suka."

   "Oh iya, mama ada adopsi anak laki-laki yang jadi kakak Kara di sana. Sayangnya dia koma gara-gara orang yang mau dijodohin sama Kara!"

Mendengar itu, rahang Hendra mengeras. Bagaimana bisa keluarga dari pihak istrinya berniat menjodohkan putri sulung dengan orang yang sudah mencelakakan anak adopsi Ani.

   "Ngomong-ngomong kak Kara sudah makan? Ayo kita makan bareng."

Kana spontan menarik lengan Kara dan mengajaknya ke dapur. Yah, Hendra bisa melihat bagaimana riangnya putri bungsunya telah kembali ceria.

Dia tahu, Tuhan pasti sengaja mengirimkan Kara agar membantu Kana untuk menyelesaikan masalah.

Bersambung...

02| Disguised as Kana

Malam itu Kana meminta Kara untuk tidur di kamarnya saja. Tentu saja gadis itu dengan senang hati menerimanya. Di atas kasur, terlihat Kana memeluk sang kakak tanpa mau melepasnya dan tanpa sadar sudah terlelap.

Kara menatap sebuah bingkai foto yang berada di atas meja, dengan susah payah dia mengambil foto tersebut dan akhirnya berada digenggamannya.

Sepasang suami istri dengan anak kembar digendongan masing-masing membuat bibir Kara melengkung ke atas. Ani ternyata sangat cantik saat muda.

   "Mama, sekarang kara udah tau alasan mama selalu nggak mau cerita soal papa. Maafin Kara yang dulu pernah marah dan gak mau pulang ke rumah hanya karena mama nggak pernah cerita soal papa."

Tak terasa air matanya mengalir. Bayangan wajah Ani yang setiap malam selalu menangis secara diam-diam di dalam kamar membuat hati Kara tersayat. Dia pernah memergoki perempuan itu menangis dengan beberapa kali menyebut nama seseorang yang asing baginya.

Keesokan harinya, Hendra memasuki kamar para putrinya yang kebetulan tak dikunci.

   "Ayo princess kecil papa bangun. Kana, kamu harus pergi ke sekolah. Sudah seminggu kamu absen, nanti papa bisa dapat panggilan dari guru."

Kara bangun lebih dulu dan disusul oleh Kana. Setelah merasa nyawanya terkumpulkan, dia kembali memeluk Kara.

   "Nggak mau. Nanti mereka buli Kana lagi. Kana mau di sini aja, sama kak Kara lebih aman."

Hendra tahu betul, putrinya itu menjadi pendiam semenjak dirinya dibuli. Sudah menggunakan jalur hukum untuk membuat jera para pelaku, nyatanya mereka masih gencar membuli gadis malang itu.

Pernah sekali Kana sampai harus dilarikan ke rumah sakit akibat luka fisik yang lumayan parah dibagian kepalanya. Semalam Hendra juga sudah menceritakan hal buruk yang menimpa Kana.

Mendengar itu jelas Kara menjadi kesal dan berniat untuk membalas perbuatan mereka bahkan bila perlu membuat mereka merasa bahwa mati lebih baik daripada hidup.

   "Papa, biar Kara yang gantiin Kana sekolah sekalian mau lihat manusia-manusia macam apa yang hobinya membuli orang. Kara pastiin dengan kedatangan Kara kali ini, bakalan buat para pembuat onar jadi jera."

Hendra khawatir sekaligus senang. Khawatir karena takut jika Kara tidak tahan dibuli dan senang, dia bisa melihat putri sulungnya yang benar-benar menjaga sang adik.

   "Kakak serius mau kasih mereka pelajaran?" tanya Kana dengan menatap wajah cantik Kara.

   "Tantu saja. Kakak akan buat mereka menyesal sudah membuli adik kakak yang cantik ini, jadi kamu harus diam di dalam rumah. Kakak juga janji bakalan langsung pulang ke rumah setelah selesai jam sekolah."

   "Hmm ... Kakak harus hati-hati sama cowo yang namanya Arkan."

   "Memangnya dia kenapa?"

Hendra kemudian menjawab pertanyaan Kara.

   "Arkan adalah kekasih Kana yang secara terang-terangan berselingkuh dengan sahabat Kana. Papa sudah pernah menyuruh dia untuk putus dengan Kana, tetapi dia justru mengancam adikmu. Kamu harus hati-hati dengan dia, apalagi ayahnya adalah salah satu pengusaha terbesar di negara ini."

Mendengar itu Kara hanya tersenyum, rasanya hidupnya lebih menantang dari sebelumnya. Apalagi dunia yang dia tinggali sekarang jauh berbeda dengan aslinya. Sungguh berbanding terbalik.

.

.

.

Di sebuah sekolah swasta, telah ramai dengan para penghuninya. Sebuah mobil ferrari terparkir di depan gerbang sekolahan itu. Begitu sang supir membuka pintunya, seorang gadis cantik dengan wajah yang tak asing keluar. Bukan sedikti, tetapi banyak yang langsung menatap ke arahnya.

Seorang pria tampan juga turun dari pintu sebelah dan langsung menghampiri gadis itu.

   "Kita ke kelas!" ucapnya santai yang kemudian berjalan lebih dulu.

Sepanjang jalan menuju kelas, dirinya menjadi pembicaraan banyak siswa. Setibanya di kelas, dia langsung mencari tempat duduk sang adik yang memiliki banyak coretan kata umpatan. Kursinya berada di pojok belakang. Kelas masih lumayan sepi jadi dia menyingkirkan beberapa kursi dan meja agar miliknya berada di pertengahan.

Pria yang tadi bersamanya hanya bisa melongo, apalagi beberapa teman kelasnya. Dia meletakan tas dan segera duduk.

   "Lo balik aja ke kelas," ucapnya yang kemudian diangguki oleh pria tampan itu.

Beberapa menit kemudian bel berbunyi tanda bahwa seluruh siswa harus masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Datanglah orang yang paling ditunggu-tunggu oleh gadis tadi.

Sepasang kekasih yang tidak tahu malu saling merangkul masuk ke dalam kelas. Tatapan keduanya saling bertemu, gadis itu hanya tersenyum tipis sembari mengedipkan mata sebelah ke pria tadi.

   "Wih, tumben buruk rupa masuk."

Dia melepas rangkulan dan berjalan ke arah meja Kara.

   "Kenapa? Kangen, ya?" tanyanya dengan melipat kedua tangan di depan dada.

Seisi kelas termasuk sahabat Kana terkejut mendengar jawaban dari gadis itu.

   "Naj*s banget gue kangenin manusia kayak lo."

Mendengar itu beberapa orang tertawa.

   "Kalo kangen bilang aja, nggak usah munafik sayang."

Merasa ada yang janggal, pria itu menjadi naik pitam. Biasanya Kana akan menunduk dan memulai menangis, pasrah menerima semua hinaan.

   "Duh, yang kayak gini jadi rebutan cewe-cewe? Harusnya ditinggin lagi, lah standarnya. Rendah banget!"

Ada sekitar lima siswa yang secara ssmbunyi-sembunyi tertawa mendengar ucapan sarkas Kara. Mereka memang sudah sangat kesal dengan perbuatan buruk Arkan yang seolah-seolah dialah penguasa di sekolahan itu.

   "Lo ... Oh, udah berani ngelawan?" Arkan menatap nyalang ke arah Kara yang sayangnya dibalas dengan tatapan mengintimidasi.

   "Mulai detik ini kita nggak ada hubungan apapun. Coba aja kalo lo berani ngancem gue."

Bibirnya tersungging sebuah senyuman membuat seseorang yang sejak tadi memperhatikan akhirnya turun tangan.

   "Wah, gak tau diri. Masih untung lo dijadiin pacar sama Arkan, bersyukur dong!"

Kara pun menatap gadis yang menjadi sahabat adiknya.

   "Naj*s banget dijadiin pacar sama dia. Kalian cocok, deh."

   "Iya dong kita cocok."

   "Sama-sama murahan!"

Mendengar itu hampir saja gadis tadi menampar Kara yang untungnya langsung ditahan oleh Arkan.

   "Sekarang juga gue tunggu lo di belakang sekolah. Kalo nggak dateng, tau sendiri akibatnya!"

Setelah Arkan dan gadis tadi berjalan keluar dari kelas, guru pun berjalan masuk. Bel keluar main terdengar, Kara dengan santai memasukan alat tulis ke dalam tas dan melenggang pergi menuju kantin.

Saat memasuki area itu, semua mata tertuju padanya. Berjalan tanpa menatap ke arah lain, Kara sekarang dipandang berbeda. Mereka mengira dia adalah Kana karena wajah yang teramat mirip.

Setelah memesan, dia memilih tempat yang untungnya masih ada yang kosong. Beberapa menit menunggu, akhirnya pesanannya tiba.

Baru saja akan menyendokan nasi goreng ke dalam mulut, seseorang menggebrak mejanya dengan kasar. Kara menutup mata sebentar sembari meletakan sendok di atas piring.

Begitu dia membuka mata, netranya saling bertubrukan dengan manik cokelat milik seorang gadis. Wajahnya terlihat sombong dan tersungging sebuah senyuman menghina.

   "Ternyata babu sekolah udah balik lagi. Gue kirain lo bakalan takut buat sekolah!"

Sembari tersenyum dan menyilangkan kedua tangan di depan dada, Kara berucap. "Duh, iya, nih. Babu sekolah yang bahkan lebih dihormati dari pada lo yang taunya ngebuli orang."

Seisi kantin dibuat terkejut dengan ucapan Kara.

   "Apa dia sudah gila?"

   "Darimana keberaniannya?"

   "Tamatlah sudah."

Begitulah ocehan mereka mengenai Kara yang notebane tidak suka ditindas.

   "Hei, lo udah berani sekarang ngejawab ucapan gue?" tanyanya sedikit geram.

   "Berani dong. Masa sama cecunguk modelan kayak gini harus takut?"

Lagi-lagi mereka dibuat shock. Sungguh dia akan benar-benar tamat kali ini.

   "Lo ... "

   "Kaget, ya gue bisa ngelawan? Sejujurnya dari dulu juga gue bisa ngelawan lo yang modal ngadu ke orang tua, sayangnya gue mau lihat seberapa jauh lo bisa ngambil tindakan ini. Ternyata nyali lo gede juga, papa gue sampek ngasih peringatan pun nggak ngaruh."

Kara berdiri dan langsung berhadapan dengan gadis di depannya.

    "Kali ini gue yang bakalan mastiin lo buat jera ngebuli siapapun. Kejahatan di dunia palsu ini pasti bisa gue atasi."

Mendengar itu sontak membuat mereka kompak membeku di tempat. Ada satu rahasia besar tentang dunia yang sedang Kara tempati. Bahkan Hendra sendiri enggan memberitahukannya karena takut jika sang anak akn semakin nekat atau justru mencari perkara dan membuatnya benar-benar dalam bahaya.

Kara pulang dengan perasaan tenang. Di sebelahnya ada Langit yang sedang sibuk bertelponan dengan seseorang yang disebut sebagai ketua. Dia sesekali terkejut dan menatap Kara membuat gadis itu kebingungan.

   "Kenapa lo dari tadi ngeliatin gue kayak gitu?" tanyanya risih.

Langit sendiri menjadi kikuk dan meminta maaf.

    "Udahlah. Pak, tolong anterin ke toserba. Saya mau beli jajan buat Kana."

Mereka akhirnya berhenti dan Kara meminta langit untuk menunggunya di mobil saja, sementara dirinya berjalan turun dengan santai memasuki toserba itu.

Di saat akan mengambil satu snack yang kelihatan sangat lezat, seseorang lebih dulu merebutnya. Kara masih bersabar dan mencari snack yang lain.

Begitu dia melihat snack yang lezat lagi hendak mengambilnya, sayangnya ada yang lebih dulu meraihnya membuat kesabaran Kara sudah berada di ambang batas. Dua menarik napas dan membuangnya secara perlahan, lalu mencoba mengambil satu gosokan panci dan menengok ke arah kiri. Terlihat ada seorang pria tampan yang hendak ikutan mengambil gosokan itu membuat Kara melotot ke arahnya.

   "Ngapain lo ngikutin gue mulu?" tanyanya kesal. Pria itu sendiri langsung membenarkan posisi kerah seragam yang berbeda dengan milik Kara.

   "Pede lo. Siapa juga yang ngikutin lo!"

Dia berjalan lebih dulu menuju kasir. Setelah mengambil beberapa snack dan es krim lalu membayar, Kara kembali ke dalam mobil.

Setibanya di rumah, ternyata Kana sudah menunggu dengan raut wajah tak tenangnya. Kara keluar dengan menenteng dua kresek sedang dan berjalan masuk. Dihampirinya Kana yang menatapnya dengan senyuman melebar.

    "Kakak pulang."

Bersambung...

03| Perverted teacher

Malam itu Kara dan Kana sedang asik duduk dibalkon kamar sembari tertawa riang. Kara sendiri menceritakan bagaimana sosok ibu yang selalu dia bayangkan.

Disela-sela suara tawa, telinga mereka menangkap bunyi suara ketukan dari pintu kamar. Kara menyuruh Kana untuk menunggu sementara dirinya berjalan membuka pintu.

Begitu terbuka, terlihat Hendra menatap putrinya dengan wajah khawatir.

   "Papa kenapa?" tanyanya dengan sesekali menatap ke arah belakang Hendra.

   "Arkan ada di bawah. Kalau kamu nggak mau ketemu sama dia bilang aja, biar papa yang hadapi Arkan."

   "Nggak perlu. Papa jagain aja Kana dan suruh dia jangan keluar apapun yang terjadi, Arkan biar Kara yang urus. Liat dia bakalan bisa apa!"

Hendra hanya mengangguk dan masuk menemui Kana, sementara Kara berjalan dengan wajah angkuh menuju ruang tamu. Di sana sudah ada Arkan yang duduk seorang diri dengan raut wajah kesal sekaligus gelisah.

Melihat Kara yang sudah mendekat, dia sontak berdiri dan pandangan matanya dan lepas dari gadis cantik itu.

Kara pun memilih duduk tepat di depannya dan menatap remeh Arkan sekaligus tersenyum tipis.

   "Tumben sekali tuan muda satu ini mau menemui orang sepertiku malam-malam. Apakah anda sedang bermasalah dengan kekasihmu itu?" tanyanya dengan nada sarkas.

   "Kenapa tadi lo nggak dateng ke belakang sekolah?" tanyanya dengan kedua tangan yang sudah terkepal sempurna.

   "Urusan sekolah lebih penting daripada ngurusin manusia kayak lo. Lagipula gue alergi sama manusia-manusia manipulatif kayak lo."

Selama di balkon, Kana juga menceritakan tentang kehidupan bersekolah dan sifat asli dari Arkan.

    "Gue tanya. Apa alasan lo gak mau ngelepas gue dan malah terang-terangan pacaran sama si jal*ng itu?"

    "Lo itu cuma mainan gue. Gak boleh lepas dari gue dan cuma gue yang boleh nyiksa lo. Sekarang lo ikut gue, kita ke basecamp!"

Mendengar itu Kara masih setia mempertahankan senyuman manisnya.

    "Lo pikir gue bakalan setuju?"

    "Gue gak butuh persetujuan dari lo!" Begitu Arkan hendak berdiri, Kara mengambil sebuah pemukul bisball yang ternyata telah dia siapkan dari sebelum berangkat sekolah.

    "Lo maju selangkah, lantai rumah ini bakalan penuh sama darah lo!" ancamnya.

Arkan tersenyum miring, menurutnya gadis itu semakin berbeda dan sangat menguji kesabaran. Tanpa pikir panjang dia berjalan dan hendak meraih tangan Kara yang sayangnya gadis itu lebih dulu menghantamkan pemukul tersebut ke tangan lalu kaki membuatnya mengaduh kesakitan.

    "Lo pikir gue cuma ngancem doang?"

Dia meletakan pemukul itu di atas pundaknya dan berjalan mendekati Arkan.

    "Jangan kira cuma lo doang yang bisa main tangan. Ini peringatan pertama gue, sekali lo nyari masalah sama gue atau bahkan bikin ulah di sekolah, bukan cuma kaki sama tangan lo yang kena. Oh iya, tolong kasih peringatan ke temen-temen lo yang suka ngebuli orang. Malaikat maut mereka udah datang!"

Kara menendang pelan tubuh Arkan dan memanggil seseorang yang sejak tadi memperhatikan mereka dari arah dapur.

    "Kembalikan dia ke asalnya. Rumah ini nggak boleh ada hama. Setelah itu ganti sofa bekas dia duduk."

Dia memberikan pemukul bisball ke laki-laki paruh baya yang diketahui adalah tangan kanan dari Hendra. Dia sudah melayani keluarga Kusuma selama hampir dua puluh tahun lamanya.

Setelah Arkan pulang dalam keadaan tidak baik-baik saja, Kara berjalan ke arah kamar dan melihat Kana sudah menangis ketakutan. Dia takut jika Arkan akan menyiksa Kara yang sebenarnya adalah sebaliknya.

Pintu terbuka dan Kara tersenyum simpul.

   "Selagi ada kakak, semuanya akan baik-baik saja. Bahkan penjahat bayaran pun akan kakak tangani biar keluarga kakak selamat!"

.

.

.

Kara berangkat sekolah seperti biasa yang berbeda adalah dia menjadi topik hangat. Begitu akan tiba di kelas, dia melihat Arkan menggunakan kursi roda yang dibantu dengan kekasihnya.

Kara tentu tersenyum licik dan menatapnya dengan penuh hinaan.

   "Duh, kok tiba-tiba pake kursi roda?" ejeknya yang membuat Arkan hampir saja melompat dan mencekik Kara saat itu juga.

   "Kenapa? Apa kurang pukulan gue semalam?"

Begitu memasuki kelas, beberapa teman-teman kelasnya mulai merapat dan bertanya. Mereka sangat kagum dengan perubahan Kara, padahal tidak ada yang berubah dari dirinya.

    "Makasih Kana, karena lo kita semua jadi sedikit merasa aman. Selama ini sekolah kita hidup dalam bayang-bayang gila Arkan yang selalu nyuruh ini itu ke anak-anak. Banyak yang udah jadi korban bahkan gak sanggup terus bunuh diri."

Kara sedikit spechless mendengar ucapan salah satu dari mereka. Separah itukah Arkan?

   "Lo tau sendiri gimana sistem hukum di negara kita. Mereka yang gak beruang bakalan dibiarin membusuk sementara yang beruang bakalan dianggap segalanya. Proses hukumnya pun akan lebih cepat apalagi kalau berkuasa."

   "Dengar-dengar katanya kita bakalan kedatangan guru baru, laki-laki. Cuma banyak rumor yang bilang kalau dia mesum!"

Kara hanya menyimak pembicaraan mereka yang lumayan menarik. Dia bisa mendapatkan informasi dari mereka.

    "Oh, gue juga dapat info itu dari temen di sekolah lain. Sebelum dipecat, dia lebih dulu mengundurkan diri dan mencoba menjadi guru di sini."

   "Semoga aja dia gak macem-macem sama kita, apalagi guru itu gak mandang gender katanya. Ngeri!"

   "Gila banget."

Baru saja mereka bergosip sudah ada pengumuman mengenai perekrutan guru baru. Kara hanya mengangguk-angguk melihat cara kerja sekolah ini.

Semua siswa diharapkan berkumpul di aula, Kara pun penasaran dengan siapa guru baru yang mesum itu. Dia memilih tempat duduk paling depan agar lebih leluasa melihatnya.

Setelah penyambutan kepala sekolah, barulah si guru baru itu mengeluarkan batang hidungnya. Kara bisa melihat manik berbinar dari guru mesum itu yang seakan senang memiliki banyak mangsa di sini.

Sistem di sekolahan itu adalah ketika ada guru baru maka diwajibkan untuk para siswa berkumpul dalam satu aula agar bisa mengenal guru tersebut. Peraturan baru menurut Kara lumayan bagus dan sedikit lebay.

Setelah perkenalan dan bercerita sedikit demi sedikit, akhirnya mereka dibubarkan. 

Kara sengaja berjalan lebih pelan dan melihat bagaimana si guru baru bernama Irwan itu mencari mangsa.

Dia sendiri berjalan tepat di belakang Irwan dan memperhatikan gerak-geriknya. Beberapa siswa laki-laki menghampiri guru itu dan bertanya mengenai bagaimana cara menaklukan hati perempuan.

Dia sedikit merinding mendengar percakapan mereka hingga tiba di kelas. Kara menatap teman-teman perempuannya dan tersenyum.

    "Ternyata pak Irwan lebih mesum dari yang gue kira!" ucapnya yang kemudian ikut bergabung dengan beberapa gadis yang tadi pagi mendekatinya.

   "Lo diapain sama guru mesum itu?" tanya mereka spontan.

   "Dia gak bakal berani macem-macem sama gue cuma tadi gue denger percakapannya sama beberapa anak laki-laki. Lagian kepala sekolah kenapa bisa nerima guru modelan kayak dia?"

Seorang gadis dengan kacamata bulatnya mulai menyela.

   "Denger-denger kepala sekolah gak mempermasalahkan kemesumannya, soalnya pak Irwan terbilang guru yang cukup pintar dalam mengajar."

Kara manggut-manggut tanda paham.

   "Pasti itu kepala sekolah dikasih uang suapan. Cuih, kenapa juga papa nyekolahin Kana di sini." Kara sendiri membatin dengan memikirkan rencana kedepannya.

Bel keluar main berbunyi, dia dan beberapa gadis berjalan menuju kantin. Saat akan menuruni anak tangga, beberapa anak laki-laki sengaja mengibas rok salah satu dari mereka dan tertawa senang.

   "Ahaha, warnanya apa?"

  

    "Item cuy!"

Gadis yang menjadi korban itupun berbalik dan menampar salah satu laki-laki itu dengan wajah menahan air mata.

   "Tangan lo gak berpendidikan banget."

Akhirnya ributlah daerah situ membuat Kara membuang pandangannya malas. Dia akhirnya menyela dengan menatap para pria itu dengan tajam.

   "Sekali lagi kalian gangguin anak-anak cewek, gue pastiin kalian gak bakalan bisa kencing buat selamanya."

Kara menarik tangan gadis tadi dan membawanya ke kantin, diikuti dengan yang lainnya. Beberapa pria itu menelan saliva, melihat bagaimana raut wajah serius gadis tadi. Apalagi kabar tentang patah tulang pada kaki Arkan disebabkan oleh Kara.

Di kantin Kara menatap Arkan yang sedang susah payah membenarkan posisi duduk. Sembari menikmati bakmi, mereka bergosip.

    "Kana, makasih banget lo udah mau bantuin gue. Sumpah, selama ini nggak pernah ada yang kayak gini dan baru aja kejadian!" ucapnya yang menunduk menahan malu dan sakit hati.

   "Santai aja. Orang-orang kayak mereka gak pantes buat dikasih maaf. Otak mereka yang kotor, hobinya nontonin film dewasa jadilah pikirannya mesum terus. Nanti kalau begitu barulah mereka nyalahin korban yang katanya pakaiannya menggoda."

   "Gue mau lihat seberapa lama guru mesum itu bertahan dan ngehasut anak laki-laki di sekolah ini untuk berbuat kurang ajar."

Sepulang sekolah Kara sengaja pulang telat walaupun Langit sudah dia suruh untuk menunggu di mobil. Begitu buku dan lainnya telah dia masukan ke dalam tas, Kara tak sengaja melihat seorang siswi dari kelas sebelah berjalan entah ke mana.

Penasaran, dia segera menyambar tas dan mengendap-endap mengikuti gadis tadi. Mereka tiba pada sebuah gudang yang di mana tempat tersebut hampir tidak pernah dijamah oleh manusia kecuali satpam.

Pintu terkunci dan Kara hanya bisa mendengar saja. Walaupun lumayan samar, telinganya masih berfungsi dengan baik.

Dia mendengar suara seorang pria yang seperti memaksa gadis tadi untuk melepas pakaiannya. Ada tolakan hingga membuat guru mesum itu mengamuk dan menampar pipi siswinya sendiri.

Kara merasa geram dan hendak memergoki, sayangnya suara Langit benar-benar mengganggu suasana.

   "Ngapain di sini?"

Beruntung Langit tak menyebutkan nama Kara, kalau tidak dia pasti akan menjadi incaran guru mesun tersebut. Gudang pun seketika hening, Kara menggeram dan bergegas menarik lengan Langit untuk menjauh.

Setelah tiba di mobil, Kara menatap kesal pada spion membuat Langit kebingungan.

   "Sial. Padahal sebentar lagi udah bisa jadiin bukti kelakuan bejat guru mesum itu!" ucapnya. Langit sendiri hanya menggaruk kepalanya tak paham.

   "Pak, jalan."

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!