NovelToon NovelToon

Anakku, Bukan Anakku

Bab 1. Ingin Jumpa

Ceklek

"Mau ngapain kau kesini?" hardik wanita cantik yang baru saja membuka pintu.

"Aku... "

"Apa? Masih berani kamu datang ke sini? Nggak malu apa?"

"Dek, please. Aku mohon sama kamu. Aku ingin bertemu dengan Awal," mohon wanita yang memanggil lawan bicaranya itu adik.

Ya, adiknya bernama Kaifiya. Sementara dia sendiri bernama Daniela.

"Fiya, kakak mohon. Pertemukan aku dengan Awal. Aku begitu merindukannya." Wanita itu menangis tergugu.

"Kenapa? Untuk apa kau ingin bertemu dia? Hah?"

Sampai saat ini Kaifiya masih marah dengan sang kakak. Marah sekali.

"Kau yang berbuat, tapi aku yang harus menanggung akibatnya. Bahkan sampai sekarang kau nggak tau dimana lelaki brengssek itu, kan? Taunya hanya mencetak saja," hardik Fiya dengan emosi yang membara.

Ela terpaku di tempatnya. Ia menundukkan wajah dengan air mata yang masih mengalir deras.

"Awal lagi tidur. Pulang lah. Aku nggak mau kau mengganggu anakku," titah Fiya dengan suara agak keras.

Daniela sungguh tersentak mendengar penuturan dari Fiya. Apa dia bilang? Anakku? Jadi dia sudah mengklaim kalau Nawal Kahla adalah anaknya?

Kaifiya menamai anak yang masih merah itu dengan nama Nawal Kahla, yang berarti hadiah yang cantik dengan bentuk tubuh yang bagus.

"Dia anakku, Fiya. Bukan anakmu," batin Ela menjerit.

Sebagai ibu dari bayi yang masih merah itu ia tak mempunyai hak lagi untuk dipanggil atau untuk menyandang status sebagai ibu dari anak kandung dia sendiri setelah ia menyerahkan bayi itu kepada adiknya sendiri.

Iya mengabaikan perasaan bayi Awal, lebih memilih kehidupannya dan juga demi menjaga nama baik keluarganya.

Sakit rasanya, sangat sakit. Saat ia tak bisa dengan bebas memanggil anaknya, mencium anaknya dengan bebas dan memeluk anaknya hanya untuk sekedar melepas rindu saja.

"Kakak mohon, Fiya. Ijinkan kakak bertemu Awal."

"Nggak. Aku tetap nggak mau. Aku nggak mau kau berpengaruh buruk pada anakku. Aku nggak mau gara-gara ketemu kau.. " Fiya melotot pada Ela. "anakku jadi menurut sifat egois mu. Aku nggak mau itu. Titik."

Ia mendekat ke pintu dan hendak menutup pintu itu.

"Pergilah, sebelum aku menggunakan kekerasan!"

"Tega sekali kamu, Fiya. Kamu pisahkan aku dengan anakku," ucap Daniela dengan tangis yang sudah semakin pecah.

"Apa kau bilang? Tega? Di sini siapa sebenarnya yang tega? Hah? Aku?" hardik Fiya. Pipinya memerah menahan amarah.

"Aku yang sudah mencoba menjadi pemecah masalah mu, sekarang kau bilang aku yang memisahkan kau dari anakmu? Ingat, kak! Ingat! Siapa dulu yang menolak baby Awal? Siapa yang tak ingin gagal pernikahannya hanya karena adanya baby Nawal? Siapa? Hah?" ujar Fiya meluap-luap.

"Kuingat kan kalau kakak lupa ...."

"Tapi, Fi..." Isak tangis itupun terdengar jelas di indera pendengaran Fiya.

"Hentikan tangis palsu mu itu. Aku nggak akan terpengaruh. Karena semua yang kau ucapkan aku udah nggak percaya lagi," sela Fiya.

Bahkan ia tak menghormati lagi kakaknya karena terlalu marah bercampur kesal. Ia menyebutkan kau kau kepada sang kakak.

Kakak yang ia anggap selama ini bisa sebagai contoh untuknya dan juga untuk adiknya yang paling kecil, Elfan Trio Ondos. Mereka terdiri dari tiga bersaudara. Daniela sebagai yang sulung, Kaifiya sebagai anak kedua dan Elfan lah sebagai anak ke tiga atau si bungsu.

"Selama ini aku mendengar semua perkataan mu. Aku menghormati mu sebagai kakakku. Tapi sekarang tidak. Semua yang kau janjikan non sense. Itu hanya janji palsu," timpal Fiya.

"Apa maksud mu, Fiya. Aku janji apa ke kamu?"

"Hmmm. Pura-pura lupa atau memang sengaja lupa. Biar aku ingatkan." Fiya geram atas sikap sang kakak.

"Kakak kan yang pernah berjanji ke aku, ke mama bahkan ke adek kalau kakak akan pulang ke rumah kita, kakak akan menemani mama setelah bapak tiada? Masih ingat?"

Ela terdiam. Kembali tertunduk. Ia mengingat kembali apa yang pernah ia ucapkan. Seketika ia tersadar. Kalimat yang baru saja Fiya ucapkan seolah berputar dibenaknya.

Hanya penyesalan lah yang ia rasakan sekarang.

"Sekarang apa? Hah?" hardik Fiya.

"Bukannya menemani mama, malah membuat masalah baru yang mencoreng keluarga. Mempermalukan mama di depan khalayak ramai. Itu yang kau ucap membahagiakan? Hah?"

Suara Fiya meninggi kembali. Emosinya masih belum mereda. Rasanya sulit sekali melupakan momen itu.

"Sok polos padahal munafik. Sok menasihati aku dulu, kalau pacaran jangan dekat - dekat. Jangan pulang malam-malam. Jangan mau dicium."

Fiya menirukan gaya sang kakak ketika menginginkannya pada saat itu. Bahkan semua ucapan kakaknya waktu itu, ia review ulang.

"Nyatanya apa? Huh. Pulang - pulang ke Indo malah bawa benih yang tak tau benih siapa. Dan nggak jujur lagi dari awal. Ini kakak panutan itu? Ini yang kakak ajarkan sama kami?"

Brakk

Fiya menutupkan pintu dengan kasar. Tak mau ia semakin marah lagi kepada sang kakak. Walau bagaimanapun Ela adalah kakaknya, satu ayah satu ibu, kakak kandungnya sendiri.

Sementara Ela masih berdiri mematung di depan pintu itu. Pupus sudah harapannya untuk bertemu dengan putrinya kecilnya tersebut. Padahal rindunya sudah tak tertahankan.

Beberapa tahun tak bertemu, ditambah lagi sampai sekarang ia dan sang suami - Hanai belum juga memiliki keturunan, membuat hati Ela semakin sakit, kesepian.

Hanya penyesalan saat ini yang bergelayut dalam hatinya. Putri yang dulunya ia tolak untuk ia besarkan, sekarang tidak bisa ia temui. Hanya bisa menangis, meratap atas semua apa yang terjadi padanya.

Bahkan sampai saat ini, rahasia kebenaran tentang Fiya yang sudah punya anak, rahasia tentang Awal, masih tersimpan dengan rapi di hati mama Basagita, Fiya, Arion - suami Fiya yang ia panggil sebagai kuda laut, si kakak atau Ela, dan yang terakhir Elfan sebagai keluarga inti.

Bahkan Hanai tak tau sama sekali perkara itu. Begitu pun dengan mertua Daniela.

Beberapa saat kemudian, Daniela pun meninggalkan rumah Fiya lalu menaiki taksi hendak pulang ke rumahnya. Ia pulang dengan tangan kosong. Bahkan tanpa bertemu Awal walau sedetik pun.

Ibu mana yang tak luka bila tak bisa bertemu dengan anak yang lahir dari rahimnya? Anak mana yang tidak akan terluka bila sang ibu menolak membesarkan dia? Suatu saat nanti Awal akan berpikiran seperti itu.

Lalu, apakah rahasia yang sudah disimpan rapi selama ini akan tetap terjaga dengan baik? Akankah dengan adanya Nawal, Arion dan Fiya akan memiliki keturunan? Lantas apakah Ela bahagia setelah ia menyerahkan putrinya kepada sang adik?

Hanya takdir sang Khalik yang menentukan segalanya. Sebagai manusia hanya bisa mengikuti alurnya dan menerima dengan lapang dada.

****

Sementara Hanai, sedang mondar-mandir di dalam rumahnya menunggu Ela yang tak kunjung kembali. Entah kemana wanita itu, istrinya itu, dia pun tak tahu.

Bab 2. Surat Perjanjian

"Sebelum kamu tanda tangan, baca terlebih dahulu. Sekiranya ada yang tidak sesuai dengan keinginan mu, akan kita ubah lagi," ucap seorang wanita muda - kira-kira berusia 26

tahun dengan tegas. Pandangannya dingin.

"Kenapa harus pakai surat perjanjian? Apakah tidak bisa kuberikan saja. Kau tenang saja, aku tidak akan menuntut, aku tidak akan meminta dia kembali."

"Tidak, bisa! Aku nggak mau, suatu saat nanti, kamu menuntut dan meminta dia kembali. Jadi, perjanjian ini harus tetap ada. Harus ada tanda tangan pihak pertama dan pihak kedua."

"Tapi kan.... Kamu adik aku?"

"Aku tau itu. Jelas sangat tau. Tetapi, di dalam sebuah perjanjian, tak ada yang namanya kakak, adik. Iya, kan KAKAK?"

Wanita itu menekankan suara pada kata kakak.

"Kakak yang nggak bisa mempertanggungjawabkan omongan," timpalnya lagi.

"Sekarang, tanda tangan! Atau...." Ia sengaja menghentikan ucapannya. Ia ingin melihat reaksi dari kakaknya itu.

"Atau apa?" tanya Daniela.

Ya, dia adalah Daniela. Seorang gadis dengan tubuh sedikit berisi, kulit sawo matang ciri khas negara +62, tinggi semampai, rambut panjang lurus dan hitam mengkilap.

"Atau pernikahan mu akan batal. Aku akan membongkar semua kebohongan yang kamu sembunyikan dari calon suamimu dan calon mertuamu."

Deg

Terkejut Ela mendengar ancaman dari Kaifiya, si gadis berwatak judes, berkulit putih dan berbadan aduhai. Hanya selisih dua tahun jaraknya dengan Ela.

"Jangan, Fiya. Aku mohon! Tolong jangan beritahu mereka. Aku nggak mau pernikahan ku gagal. Aku mohon."

"Semua tergantung padamu, kakakku. Kalau kamu tanda tangan, maka hidupmu aman. Aku juga akan membayar, memberi tebusan sesuai dengan harganya. Kamu tenang saja. Itu juga jelas tertulis di surat itu. Maka bacalah!"

Pernikahan yang tinggal menunggu hari, sudah di depan mata. Dan tentunya undangan sudah disebar ke seluruh keluarga, sahabat dan rekan-rekan kerja. Pernikahan yang diimpikan oleh Daniela dengan pria yang ia cintai dan yang mencintainya juga.

Daniela memegang kertas itu dengan tangan bergetar. Ia meneliti dengan seksama. Memang, semua isinya sesuai dengan yang mereka sepakati. Tetapi, ia merasa berat dan bimbang. Satu sisi ia mempertaruhkan masa depan, harga diri keluarganya. Dan di sisi lain, ia tak ingin kehilangan bayi yang baru saja ia lahirkan.

Bayi yang masih merah itu, sedang di pertaruhkan saat ini antara ibu kandungnya dan saudari dari ibu kandungnya sendiri, adik kandungnya.

Entah apa yang membuat Fiya bersama suami, hingga saat ini - di pernikahan yang ke lima tahun, tak kunjung dikaruniai seorang anak. Bahkan mereka sudah melakukan berbagai jenis pengobatan, baik secara medis maupun tradisional. Tapi tampaknya Fiya dan suami harus tetap bersabar.

"Pilihan ada di tanganmu, Ela Memperjuangkan Awal atau melanjutkan pernikahan dengan Hanai"

Semakin terdesak Ela dengan perkataan yang menohok dari Fiya. Ibu mana yang mau berpisah dari anaknya? Tetapi, dia masih belum siap memberitahu kepada calon suaminya tentang bayi itu. Ia tak ingin pernikahan yang sudah direncakan gagal.

"Awal? Kenapa jadi Awal namanya?"

"Iya, aku mengganti namanya. Sesuai yang aku mau."

"Tapi kan, dia masih anakku."

"Sekarang. Tetapi tidak lagi setelah kamu tanda tangan surat itu."

"Atau, kamu mau ibu malu dengan terbongkar kejadian yang sebenarnya ke calon besannya? Kamu mau ibu hancur? Kamu mau ibu menderita?"

Daniela menggeleng.

"Sama. Aku juga. Aku yang tak berbuat apa-apa, tapi aku yang harus menanggung semuanya. Pikir, kak. Pikir. Sudah cukup ibu merasakan sakit dan malu saat kamu menyembunyikan kehamilan mu. Jangan tambahi lagi, Ela. Aku mohon."

Fiya bahkan tak menambahkan embel-embel pada nama kakaknya itu.

Daniela menimang-nimang ucapan Kaifiya. Semua yang adiknya bilang itu benar. Ia tak ingin ibunya lebih menderita lagi. Baru-baru ini, ia telah kehilangan cintanya untuk selamanya, kemudian ditambah dengan kehamilannya tanpa suami. Cukup, dia tak ingin lagi ibunya menderita.

"Sudahlah, Ela. Jangan kelamaan berpikir. Jangan sampai dinding rumah ini berbicara dan menyebarkan semua perdebatan kita hari ini. Kalau aku sih, nggak masalah. Nggak ngaruh denganku. Tapi kamu dan ibu."

Daniela mengambil bolpoin yang disodorkan Fiya kepadanya. Disaksikan oleh ibu Basagita yang dari tadi diam membisu, Arion- suami dari Kaifiya

Daniela akhirnya menandatangani surat itu dengan derai air mata.

Terpaksa ia melepaskan darah dagingnya sendiri kepada Kaifiya, adiknya sendiri demi bisa menikahi pria. Demi semua pernikahan yang sudah di depan mata. Sebuah syarat yang tak bisa ia tolak.

"Maafin mama, nak. Mama sudah egois. Tapi mama nggak ada pilihan lain, sayang. Mama harap kelak kita akan bertemu. Dan mama akan kembali padamu, kembali memeluk mu," batin Ela menangis.

"Ma..." Daniela mengiba kepada sang ibu. Air matanya sudah mulai luluh setelah sekian lama ia tahan.

Ia memeluk erat sang mama.

"Maafin Ela ya, ma. Ela telah menyakiti mama," ucapnya terbata. Ia menangis tergugu di pelukan sang bunda.

Ibu Basagita juga menangis tanpa suara.

Kehilangan suami sangatlah meninggalkan luka dalam batinnya. Meninggalkan sepi yang tiada tara. Tak ada lagi teman cerita, tak ada lagi sosok bertukar pikiran. Tak ada lagi teman bercanda dan mengadu.

Disaat seperti ini, ia membutuhkan itu. Semakin luluh air matanya kala mengingat suami tercinta.

Fiya yang melihat itu tak sanggup. Ia turut memeluk mama serta kakaknya itu. Ia bisa merasakan kesedihan sang ibu. Tapi ia hanya bisa membantu dengan membawa pergi bayi Awal - anak dari Daniela demi menutupi aib keluarganya.

Ini juga sudah disetujui ibunya, suaminya dan mertuanya. Akan tetapi, rahasia ini ditutup rapat. Hanya mereka yang tau, tidak dengan calon suami Ela dan keluarganya.

"Mama, aku akan membawa jauh bayi Awal. Aku nggak akan biarin orang lain tau bahwa dia adalah anak dari kakakku. Aku nggak mau keluarga kita malu, ma," batin Fiya menangis pilu.

Arion - suaminya mencoba menenangkannya seraya memeluknya erat. Berharap dengan begitu ia akan memberi kekuatan pada sang istri.

To be continue

Bab 3. Sejauh Mungkin

Fiya merampas kertas itu dari tangan Ela dengan kasar. Bukan ia tak sayang pada kakaknya itu. Bukan pula ia bermaksud berbuat kasar, namun untuk saat ini ia begitu kesal, marah, kasihan, berbaur menjadi satu.

Kakak yang selama ini ia anggap polos, lugu, pulang - pulang dari negeri orang malah membawa kehamilan, menghadirkan seorang bayi tanpa ayah. Bahkan mereka tak tau kalau dia sedang mengandung. Sungguh Daniela pintar sekali menyembunyikan semua itu.

Hati siapa yang tak teriris? Siapa yang tak marah? Terlebih Daniela tak jujur dari awal kehamilan dia. Dan yang lebih perih lagi, Daniela tak ada kontak dengan pria itu.

"Dalam beberapa hari, kami akan pergi. Membawa Awal pergi sejauh mungkin," ucapnya Fiya.

Ela menangis tergugu. Mama dan Fiya tak tega rasanya melihat itu. Tapi, apa mau dibuat. Nasi sudah menjadi bubur. Mereka tak bisa mengembalikan lagi keadaan.

"Makanya, kalau berbuat sesuatu itu ya dipikir! Jangan karena rasanya enak, jadi lupa daratan. Kemana kita harus mencari lelaki itu, hah?" Kesal Fiya. Ia masih belum bisa tenang. Kesal rasanya.

Mulut Ela seakan-akan susah untuk digerakkan, seolah ada yang menguncinya dengan kuat. Ia menerawang kejadian kala itu, bersama pria dari kenegaraan Bangladesh, dengan tubuh tinggi, tegap, besar dan brewok sebagai pemanisnya. Entah kenapa ia terjerat akan pesonanya.

"Seandainya mama tidak mengijinkan mu untuk bekerja kesana, ini semua tidak akan terjadi." Tiba-tiba mama Gita berujar, mengawali bicara setelah sekian lama membisu.

"Mama..... yang salah..... disini," ucapnya dengan terbata dengan air mata yang mengalir deras. Ia sesenggukan, bahkan Fiya bisa melihat dengan jelas bahu mama yang bergetar.

"Mama, jangan bicara begitu, ma. Semua ini salah Ela. Bukannya kita sudah mewanti-wanti dia selama di sana? Dianya aja yang nggak bisa dinasehati," celetuk Fiya.

Kaifiya masih terus memojokkan dan menyalahkan semuanya kepada Daniela, kakaknya itu. Fiya mendekati ibunya, lalu memeluknya kembali.

"Mama tenang aja, aku akan menyayangi Awal sama seperti aku menyayangi anakku sendiri. Dia akan aku anggap seperti anakku yang lahir dari rahimku. Mertuaku setuju, dan suamiku Arion juga setuju, ma. Mereka bilang, itu masih keluarga jadi nggak apa-apa."

"Iya, ma. Mama jangan khawatir. Kami akan menjaganya dengan baik. Kami akan berusaha menjadi orang tua yang baik untuk Nawal," timpal Arion yang sedari tadi membisu. Ia mendekati istrinya, menggenggam tangan Fiya.

Sementara Ela masih mematung, masih setia dengan pikiran yang melanglang buana ke negeri sebelah, berkelana dengan masa lalu yang kelam itu. Bahkan ia tak menyimak lagi obrolan antara mama dan Fiya, adiknya itu.

"Ela" panggil Fiya.

"Kak Ela!" panggilnya lagi. Tapi Ela tak menyahut.

Akhirnya Fiya menepuk bahu kakaknya itu pelan.

"I-iya, Fi. Kenapa?"

"Kenapa? kenapa? Kamu melamun? Kamu masih memikirkan cowok itu? Kamu masih mengharapkan dia?" cerca Fiya. .

"Bu-bukan, Fi, tapi... . Aku.... "

"Ngapain kamu pikirkan lagi dia? Dia aja belum tentu mikirin kamu. Aku heran sama kamu, masih saja kamu peduli dengan dia yang sudah merenggut kehormatan mu. Masih ngarep?"

Ela menggeleng.

"Udah lah. Nggak usah mikirin lagi si banci itu. Sekarang yang harus kamu pikirkan adalah, pernikahan mu yang sudah semakin dekat."

"Iya, Fi."

"Besok kami akan pergi."

"Apa? Besok? Kenapa cepat sekali Fiya? Dan kenapa tiba-tiba?" Ela memberondong sang adik dengan banyak pertanyaan.

"Heh, nggak usah ngegas gitu. Aku kan tadi udah bilang, makanya jangan menghayal."

"Tapi, Fi boleh nggak aku bersama baby Awal sebentar lagi. Aku..."

"Tidak boleh. Kalau kamu bersama Awal lebih lama, aku takut kamu berubah pikiran. Yang ada nanti pernikahan kamu batal. Aku juga nggak mau Awal lama-lama sama kamu. Karena sekarang dia sudah menjadi anakku. Bukan anakmu lagi," ujar Fiya dengan penekanan.

"Kamu mau tetangga semua tau kalau kamu punya anak sebelum menikah? Kamu mau mama malu? Jika awal terlalu lama disini, apa yang kita sembunyikan akan terendus," timpal Fiya lagi.

Sakit, tentu saja. Semudah itu sang adik menghujam belati di dalam dada Ela. Yang tega memisahkan seorang bayi dari ibu kandungnya. Bahkan bayi itu masih umur sehari di dunia ini. Apakah ia, Ela sebagai ibu kandung tak berhak menyandang jabatan ibu untuk baby Awal?

Bukankah memang tak ada yang bisa memisahkan anak dari ibu atau sebaliknya ibu dari anaknya?

Kembali air mata Ela berurai, bahkan tak terbendung. Rasanya dunianya runtuh. Tapi ia dihadapkan dengan dua pilihan sekarang. Bersama dengan putrinya atau, gagal menikah dengan pujaan hatinya dan nama baik keluarganya jadi taruhan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!