"Mari bercerai." Sebuah suara datar nan dingin datang dari mulut Alina. Dia sudah menikah selama tiga tahun di keluarga Louis. Tetapi kenyataan pahit menamparnya. Dia telah menikah tetapi dia tidak dianggap oleh suaminya. Wanita mana yang tidak tersakiti jika diperlakukan seperti itu.
Leonel Louis Maxwel menaikkan alisnya. Dia mendongak dan menatap dingin ke arah wanita yang berdiri dihadapannya. Tangannya terhenti bekerja. Keningnya berkerut dalam.
Alina dapat melihat mata hitam nan tajam itu menatapnya dingin. Ia seolah merasakan perasaan yang dingin dan segera menoleh ke arah lain.
"Kenapa?" Dia ingin tau alasan yang tepat. Kenapa dia ingin bercerai?
Auranya yang mendominasi dengan suara rendah membuat jantung Alina menggigil. Alina menggigit bibir bawahnya dan kemudian ia berkata dengan lirih.
"Aku tidak mencintaimu." Sahutnya dengan tegas.
Pria itu tidak menanggapi. Dia lanjut bekerja. Seolah ucapan Alina adalah lelucon yang tidak perlu di dengarkan. Alina tidak mendapatkan respon. Membuat jantung Alina bergetar tak menentu. Dia mengerutkan dahinya bertanya tanya.
Sebelum pergi menemui pria itu dia sudah menyiapkan sebuah berkas di tangannya. Kemudian dia mengambil dari dalam tas tangannya lalu menaruh berkas itu tepat di hadapan pria itu.
"Aku sudah menyiapkannya. Kau hanya perlu tanda tangan. Dan mengenai properti. Aku tidak membutuhkannya." Ucapnya.
Pria itu kembali menghentikan tangannya dan dipaksa untuk melihat berkas itu. Pria itu seolah dirinya di rendahkan. Seorang wanita yang tidak sepadan dengannya malah menceraikannya. Dia adalah pria terkuat. Tidak ada yang berani membantahnya dan wanita ini malah membuatnya rendah diri. Amarah di dalam pria itu melonjak dan merasa kesal dengan sikap wanita ini. Dia menggertakkan giginya.
"Alina!" Ucap Pria itu dengan suara lirih.
Tubuh Alina bergetar kala pria itu mengucapkan namanya dengan jelas. Ini pertama kalinya dia dipanggil seperti itu. Pria yang berstatus suami selama tiga tahun itu telah hidup di luar negeri setelah upacara pernikahannya. Meninggalkan Alina hidup di dalam negeri dengan properti rumah yang sudah disediakan.
Di dalam rumah itu, dia hanya menunggu kedatangan suaminya untuk pulang. Dia masih berharap jika sang suami itu masih perduli padanya. Namun kenyataannya di luar negeri dia mendengar desas desus jika sang pria telah memiliki putra dengan wanita lain.
Hati Alina merasa hancur. Sekarang hanya bisa melakukan seperti ini. Dia menikah karena dipaksa kedua orang tuanya. Mereka berkata jika dia menikah ke dalam keluarga Louis, dia tak akan kekurangan apapun dalam harta dan tahta. Tetapi di luar akan hal itu, perasaan yang seharusnya terakit dalam perahu harus hancur bersamaan dengan berita itu.
Alina merasa gugup kala mata Leonel berubah merah. Dia menatapnya dengan tajam.
"Tidak ada kata perceraian dalam kamusku. Pergilah!." Ujar Leonel. Ia meraih berkas itu dan melemparnya ke dalam tempat sampah. Tepat saat itu manik matanya yang coklat bertemu dengan mata hitam Leonel. Alina sempat tertegun menatap manik mata Leonel.
Kemudian kesadarannya kembali tersadar kala Leonel membuang berkas itu ke dalam tempat sampah.
"Leonel. Apa maksudmu dengan membuang berkas itu. Jika kau tidak mau menceraikanku. Sebaiknya kau segera pulang. Kau anggap apa diriku selama tiga tahun ini." Alina berkata lirih. Air mata nya berkumpul di pelupuk matanya. Dia sangat sakit hati.
Selama tiga tahun ini wanita itu telah mengorbankan waktu. Dia menikah di usia masih muda. Mengorbankan segalanya demi menempuh kehidupan pernikahan ini tetapi pria itu telah mematahkan segalanya.
Dia tidak mengerti, kenapa pria itu tidak menganggap keberadaan dirinya tetapi enggan untuk menceraikannya.
Alis pria itu saling bertaut. Wajahnya menghitam. Alina menyadari perubahan wajah pria itu. Punggungnya semakin gemetar ketakutan. Dia perlahan mundur.
"Kamu keterlaluan."Setelah itu Alina hendak pergi, Tetapi sedetik kemudian pria itu meraih pergelangan tangannya dan menyeretnya keluar dari ruangan kerja.
Antara ruang kerja dan kamar utama tidak terlalu jauh. Pria itu dengan langkah besar menarik Alina masuk ke dalam kamar utama.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Alina dengan kepanikan di matanya.
Pria itu tidak menjawab, ia menarik dasi yang melilit lehernya dan melemparnya asal. Alina semakin panik. Ia melangkah mundur.
"Leonel!" Alina ingin menghentikannya tetapi tangan pria itu kembali terulur lalu melemparnya ke ranjang.
Alina merasakan sakit pada punggungnya. Tetapi dia harus menahannya dan segera bangkit terduduk. Tetapi ia sudah menemukan Leonel membuang jas yang membalut kemeja putihnya. Kini tangannya teralih kepada kancing kemeja itu dan membukanya satu persatu.
Alina semakin panik dan mundur. Tetapi punggungnya terhalang oleh papan ranjang. Leonel tertawa dan itu terdengar mengerikan di telinga Alina.
"Leonel! Hentikan! Berhenti di sana!" Alina berkata dengan suara meninggi. Matanya terpejam dan tangannya terulur ke depan.
"Kenapa? Bukankah ini yang kau maksud." Leonel menyeringai. Tangannya telah berhasil membuka semua kancing kemeja yang terakhir. Terlihat dadanya yang kuat dari balik kemejanya yang terbuka. Alina membuka mata dan melihat dada Leonel yang kuat. Dia tertegun sejenak tetapi ia harus menarik kesadarannya.
"Leonel. Kau...Kau tidak boleh seperti ini. Jika kau melakukannya, Kau sama saja telah melakukam kekerasan dalam rumah tangga." Ucap Alina dengan terbata.
"Oh ya." Leonel berkata dengan senyum semakin menakutkan.
Alina menatap pria itu dengan tajam penuh kewaspadaan. Ia menarik ponselnya dari dalam tas dan segera menghubungi polisi melalui balik punggungnya. "Leonel, jika kau berani. Aku akan berteriak." Ucap Alina dalam kepanikan.
Pria itu kemudian tertawa. "Teriaklah. Disini tidak akan ada yang dengar teriakanmu meski kau berteriak sampai tenggorokanmu putus." Ujar Leonel menghentikan tawanya dan berkata dengan keji. Kemudian ia berlalu dan masuk ke dalam kamar mandi.
Alina tertegun sejenak. Kemudian ia kembali menatap ponselnya. Terdengar suara dari sebrang berucap berulang kali. Alina mematikan telepon. Menyimpan kembali ke dalam tas. Ia segera bangkit dari atas ranjang. Sebelum Leonel keluar dari dalam kamar mandi, ia harus segera melarikan diri.
Tanpa merapikan penampilannya, Alina berjalan menuju ke sebuah pintu keluar. Tetapi saat memegang gagang pintu dan menariknya. Pintu itu telah di kunci.
"Sialan!" Alina mendesis dengan pelan. Matanya memerah karena marah. Tetapi ia masih dalam kepanikan yang luar biasa. Ia mencari celah untuk bisa keluar dari dalam kamar itu. Matanya menelisik ke seluruh ruangan kamar yang luas nan mewah itu.
Ia menyadari kala ia menelisik ruang kamar itu terlihat sangat mewah dan luas. Berbeda dengan kamar utama yang ia miliki di dalam negeri. Ia tertegun sejenak.
Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Alina menarik kesadarannya dan mencari apapun alat untuk melindungi dirinya. Dan pandangannya menemukan sebuah kayu pemukul bola baseball di lemari kaca. Ia segera mengambilnya dan menyimpannya di samping tubuhnya.
Leonel keluar dengan handuk sebatas pinggang melilit tubuhnya. Ia bersiul santai. Alina yang berada dipojokan menyaksikan tubuh Leonel yang bertelanjang dada. Ia terpesona dengan tubuh Leonel yang tampak seksi.
Rambutnya terlihat berantakan. Apalagi ada tetesan air yang menetes dari rambutnya yang basah. Ia terlihat semakin tampan. Alina mengedipkan matanya tampak terpesona.
Leonel tersenyum menyeringai dan mengganti pakaiannya dengan santai. Alina membelalakkan matanya kala pria itu malah membuka handuk yang menutupi bagian pentingnya tanpa rasa malu. Alina segera membalikkan badannya dan mendesis kesal.
"Kenapa kau menghadap ke sana. Bukankah aku adalah suamimu?" Leonel berkata menyeringai.
Tetapi Alina tidak menjawab. Dia merutuki dirinya, karena harus menemui pria itu. Leonel telah selesai berpakaian. Dia kemudian duduk di sofa dan memandang Alina yang masih menghadap ke tembok.
"Aku sudah selesai." Ungkapnya.
Alina merasa ragu untuk berbalik. Ia mengeratkan pegangan pada pemukul base ball.
Leonel melirik ke arah tangan Alina yang sepertinya sedang memegang sesuatu di balik tubuhnya. "Apakah aku semenankutkan itu, sampai kau harus memukulku dengan kayu." Leonel mengerutkan bibirnya. Wajahnya berubah jelek seolah mencibir dirinya sendiri.
Alina tidak berkata apapun, hanya melirik sebilah kayu yang ia pegang.
"Siapa yang melakukan kekerasan? Apakah aku harus menelepon polisi." Leonel membalikkan perkataan Alina.
Alina mengerutkan bibirnya dan perlahan melepas pegangan pada kayu itu. Ia berbalik badan dan meningkatkan kewaspadaan.
"Leonel, kenapa kau mengurungku disini? Mengenai yang aku katakan tadi. Anggap aku tidak mengatakan apapun. Biarkan aku pergi!" Ucap Alina.
Leonel menaikkan alisnya sebelah. Lalu tersenyum ringan.
"Oh ya!" Leonel merubah wajahnya menjadi tegas dan arogan. "Apakah sebelum ini, kau tidak memikirkan apapun hal lain?"
Alina menatap wajah itu dengan ketakutan yang mendalam. Dia hanya ingin bercerai.
Leonel menatapnya dengan kesal karena Alina tak menjawab. Ia melipat tangannya ke depan dada.
"Jika kita bercerai. Sesuatu akan terjadi pada perusahaan ayahmu. Apa kau tau itu?" Leonel berkata dengan sengaja.
Alina menolehkan kepala tak mengerti. "Kau mengancam dengan perusahaan ayahku." Ucap Alina dengan nada bertanya.
"Hahaha...." Leonel tertawa hingga matanya berair.
"Tanyakan hal itu kepada ayahmu." Leonel segera bangkit dari duduknya. Lalu membuka pintu yang telah ia kunci.
Tubuh Alina merosot ke bawah. Karena rasa kepanikannya yang menguasai tubuhnya sehingga ia merasa lemas. Dia tak percaya dengan kata yang dilontarkan Leonel. Alina segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi ayahnya yang berada di dalam negeri.
Telepon segera tersambung. Dengan cepat Ayah Alina segera mengangkatnya. "Ayah!"
"Alina? Apa yang terjadi?" Hendro merasa panik kala ia di telepon oleh putrinya. Suara Alina terdengar serak. Jadi ia menghawatirkan keadaan putrinya.
Alina meneteskan air matanya. Tetapi ia harus bertanya satu hal. "Ayah, aku tidak apa apa. Hanya saja ada pertanyaan yang harus kau jawab."
Hendro bernafas lega. Lantas terseyum meski Alina tak dapat melihatnya. "Katakanlah?" Sahutnya.
"Apakah pernikahanku adalah pernikahan bisnis?" Tanya Alina.
Hendro tertegun sejenak. Bagaimana dia menanyakan akan hal ini? Apa yang terjadi. Hendro menghembuskan nafasnya dengan perlahan. "Kenapa?" Kening Hendro berkerut dalam.
"Tidak apa apa. Hanya asal bertanya." Sahut Alina.
Hendro menatap lurus ke depan kemudian segera menjawab Setelah beberapa detik. "Jangan pikirkan apapun yang membuat pikiranmu terbebani. Lebih baik kau jalani kehidupanmu dengan baik."
Alina tidak mendapatkan jawaban pasti dari Hendro. Tetapi dari suaranya yang seakan terbebani. Ia merasa curiga. Ia menyimpan teleponnya kembali ke dalam tas. Ia segera keluar dari dalam kamar itu.
Saat keluar kamar. Ia tertegun sejenak kala melihat megahnya rumah itu. Tadi saat pertama datang, dia tidak memperhatikan hal ini. Di dalam pikirannya ia hanya ingin bercerai. Tetapi setelah melihat seluruh ruangan melalui lantai dua dia ternganga dengan isi rumah itu.
"Nona. Lewat sini. Anda sudah ditunggu tuan muda di meja makan. Tuan ingin mengajak anda makan siang bersama." Suara seorang pelayan menyadarkan lamunanannya. Alina mengerutkan alisnya.
Kenapa pria itu malah mengajaknya makan siang. Alina merasa ada tidak beres. Ia melirik ke arah pelayan itu. Pelayan itu masih membungkuk mempersilahkan. Alina mendesah pelan.
"Baiklah." Alina mengangkat kakinya dan mengikuti langkah pelayan itu. Mereka menuruni tangga dan menuju ke arah ruang makan yang berada di samping kanan. Ruang makan itu terlihat luas. Terlihat ada sepuluh pelayan yang berjajar di pinggir. Hidangannya juga beragam. Nampak Leonel sedang duduk di kursi kepala keluarga dengan kepala tertunduk sedang membaca koran.
Saat langkah Alina memasuki ruang makan. Pelayan segera membungkuk dan melaporkan kedatangannya. Leonel segera melipat korannya dan memberikannya kepada pelayan.
"Duduklah. Kita makan bersama." Ujar Leonel.
"Leonel. Aku tak mengerti pemikiranmu. Apa maksudmu semua ini." Alina tak mengindahkan perintah Leonel. Dia bertanya dengan kesal.
"Jika kau ingin tau jawabannya. Maka patuhi perkataanku." Leonel berkata dengan dingin. Alina menghembuskan nafas lelah lalu mengikuti perintah Leonel. Seorang pelayan menarik kursi di samping kanan Leonel. Alina segera duduk di sana.
Pelayan segera maju dan mengambilkan makanan ke hadapan Leonel. Kemudian beralih mengambilkan makanan kepada Alina. Setelah selesai. Leonel menaikkan tangannya tanda pelayan harus pergi dari sana. Leonel menaikkan kedua tangannya dan menautkannya di bawah dagunya. Ia menatap Alina dengan kedua bola matanya yang hitam.
"Kau ingin aku anggap sebagai istri, bukan? Seharusnya kau harus menyadari sesuatu. Kau harus patuh kepadaku. Jika tidak. Maka perusahaan ayahmu yang akan hancur."
"Jadi kau menekanku di bawah perusahaan ayahku. Pernikahan macam apa jika seperti ini?" Alina merasa kesal dengan jawaban pria itu.
Leonel tersenyum mengejek. "Tiga tahun yang lalu, perusahaan ayahmu bangkrut. Dia datang kepadaku di saat semua perusahan lain tidak mau membantunya. Saat itu dia mengatakan aku harus menikahi putrinya dengan imbalan menginfestasikan uangku satu triliun ke dalam perusahaanmu. Sekarang apa kau sudah menemukan jawabannya?" Alis Leonel terangkat sebelah.
Alina terperangah. Ayahnya berkata demikian hanya demi mendapatkan uang satu triliun. "Jadi ini adalah sebuah pernikahan bisnis?" Alina tak menyangka jika ayahnya tega seperti itu.
"Tepat sekali!" Saut Leonel dengan tegas. Ia mengerti sekarang jika pria itu tidak menghiraukannya selama ini. Alina merasa punggungnya tidak ada tulangnya. Tangannya terkepal erat karena hal yang tak terduga ini.
"Sekarang kau pilih, bercerai atau tidak?" Leonel berkata dengan penuh arti.
Alina menaikkan tatapannya dan mata coklatnya kembali bertemu dengan mata hitam Leonel. Leonel tertawa sinis, membuat Alina merasa terpojok dan tidak mempunyai harga diri. Alina hanya mampu meremas tangannya dengan kuat.
"Kau harus menerima setiap momen di mana aku harus membawa wanita lain ke dalam rumah setiap harinya. Alina!" Ujar Leonel.
Alina membeku.
Leonel kemudian bangkit dari tempat duduknya setelah menyesap kopinya yang mendingin. Ia juga tak mempunyai selera makan sama sekali setelah melakukan perbincangan. Leonel meninggalkan Alina yang termenung sendirian di meja makan.
Sekarang ia mengerti. Alina meneteskan air matanya tanpa ia sadari. Alina segera bangkit dari tempat duduknya tanpa mau menyuap makanan yang dihidangkan dihadapannya. Ia keluar dari rumah mewah itu dan pergi menuju ke bandara internasional. Ia akan kembali ke negaranya malam ini tanpa mau memikirkan lagi pembahasan perceraian.
Saat tiba di negara kelahirannya sudah tengah malam. Alina langsung masuk ke dalam mobil yang telah disiapkan untuknya.
Mobil melaju meninggalkan pelataran bandara menuju ke area perumahan elit di tengah kota metro. Dia adalah nyonya muda di keluarga Louis. Meskipun begitu, ia tak pernah kekurangan apapun. Hanya saja selama tiga tahun itu dia tidak dapat bertemu ataupun berbicara langsung dengan suaminya.
Ini adalah pertemuan pertamanya setelah tiga tahun tak pernah bertemu. Namun keinginannya untuk bercerai harus dipupuskan oleh pria itu yang menolaknya dengan keras. Satu trilirun! Di dalam benaknya sedang memikirkan hal ini. Jika satu triliun ini bisa ia dapatkan. Kemungkinan untuk bercirai pasti ada peluang.
Lalu? Apa yang akan dia lakukan untuk mendapatkan uang satu triliun itu. Satu triliun adalah uang yang tidak sedikit.
Mungkin karena hal inilah, Leonel tidak mau menceraikannya. Pria sepertinya tidak mau rugi. Jika dipikirkan kembali. Dibandingkan dengan perusahaan ayahny, satu triliun ini tidak bisa di dapatkannya dari perusahaan ayahnya meski sudah diakuisisi. Sebab itu Leonel enggan melepas dirinya.
Sampai disini. Alina merasakan sakit kepala. Kenapa dia tidak tau? Sampai di kediamannya. Mobil telah terhenti di depan rumah elit yang biasa ia tinggali. Sang sopir membukakan pintu, Alina segera keluar.
Saat memasuki rumah, Bik Muna yang ditugaskan untuk melayaninya segera menyambutnya dan bertanya.
"Nona, apakah perlu saya menyiapkan makanan?" tanya Bik Muna.
Sejak kejadian di luar negeri itu, ia tidak selera makan. Sekarang ia merasa sangat lapar. "Iya." Sahut Alina mengangguk.
Bik Muna mengangguk dan segera pergi setelah menjawab. Alina segera menaiki tangga menuju kamar utama.
Di dalam kamar utama itu, terpajang sebuah foto pernikahannya tiga tahun yang lalu bersama Leonel. Dirinya yang saat itu masih belia harus dinikahkan dengan pria dewasa yang berusia 29 tahun. Tentu saja umur mereka memiliki jarak 9 tahun.
Sebuah pasangan yang tidak setara. Dia seperti anak kecil yang masih memerlukan ibunya. Sementara Leonel adalah pria dewasa yang mapan dan sukses dalam bisnisnya. Alina tertawa mengejek dirinya sendiri.
Dia terlalu naif sehingga harus mendatangi pria itu meminta pertanggungjawabannya tanpa memikirkan hal lain. Seharusnya ia mempertimbangkan terlebih dahulu sebelum menemui pria itu.
Pria itu sangat sulit dihadapi.
Alina mengalihkan padangannya dari foto pernikahannya. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi. Setelah ini, ia harus mencari sebuah pekerjaan. Dia harus mengumpulkan uang sebanyak yang ia bisa.
Seusai mandi dan berganti pakaian. Ia kembali menuruni tangga. Di ruang makan Bik Muna masih setia menunggu sambil tangannya meletakkan susu hangat di atas meja. Di atas meja itu terdapat beragam hidangan makanan lezat.
Alina menarik sebuah kursi dan duduk di sana. Ia segera menyantap makanan yang disiapkan oleh Bik Muna kepadanya. Bik Muna setelah meletakkan segelas susu di hadapan Alina, ia hendak pergi namuan dicegah oleh Alina.
"Bik Muna. Temani aku makan." Ucap Alina.
Bik Muna tertegun sesaat kemudian membalikkan badannya. Dan ia segera menolak permintaan Alina. "Tidak Nona. Saya tidak diperbolehkan tuan untuk ikut duduk ataupun makan bersama majikan." Tolak Bik Muna.
Alina mengerutkan dahi. Pantas saja setelah menyiapkan makanan Bik Muna memilih pergi dan makan di tempat yang sudah disediakan khusus pembantu.
Alina melirik seluruh meja makan yang penuh hidangan. "Bik Muna, aku tinggal seorang diri disini selama bertahun tahun. Aku merasa kesepian tanpa ada keluarga yang menemani. Bik Muna adalah orang tua yang tinggal disini. Bisakah Bik Muna menganggap aku anakmu. Jangan pandang aku sebagai majikan." Ucap Alina dengan sedih.
Setelah pertemuannya dengan Leonel, hati Alina terasa rumit.
Bik Muna terdiam sesaat menimang perkataan Alina. Alina memang terlihat menyedihkan. Bik Muna teringat ketika pertama kalinya gadis itu datang dengan pakaian pengantin yang indah. Wajahnya terlihat berseri seri dan bersinar cerah. Tetapi setelah acara pernikahan selesai, Leonel meninggalkannya selama bertahun tahun.
Gadis itu saat itu masih berumur dua puluh tahunan dan dipaksa menikah dengan pria dewasa seperti Leonel. Alina selalu kesepian menunggu suaminya pulang setiap malam. Hati Bik Muna merasa iba ketika melihat pemandangan ini setiap malam.
"Bik Muna. Bagaimana?" Lamunan Bik Muna seketika buyar oleh panggilan Alina. Tatapannya tersirat penuh harapan. Bik Muna adalah wanita paruh baya yang sudah berumur. Jika diperkirakan mungkin umurnya saat ini sudah hampir lima puluh tahunan.
"Nona Alina, seharusnya anda tidak pantas berbuat seperti ini. Saya sudah belasan tahun merawat rumah ini dengan baik. Peraturan di rumah ini cukup jelas untuk tidak melakukan hal yang tidak boleh dilanggar. Terlebih menganggap majikan sendiri sebagai putrinya ataupun sebagai teman." Meskipun ada rasa iba di dalam hatinya, tetapi Bik Muna mengatakan hal itu dengan tegas.
Di dalam peraturan itu, ia hanya boleh bekerja dan melayani rumah ini dengan baik. Jika memiliki pemikiran lain di batas kendalinya maka dia tidak boleh lagi bekerja di sana. Selain itu, pemilik rumah itu menawarkan gaji yang tinggi. Jika ia melanggar peraturan itu maka batas waktunya untuk bekerja akan terhenti. Dan dia tidak akan mempunyai penghasilan lagi.
Terlebih Bik Muna memiliki anak di desa. Anaknya memiliki penyakit kronis selama bertahun tahun. Dia berjuang selama bertahun tahun itu untuk menngobati anaknya yang sakit. Jadi, selama ia mematuhi peraturan ini. Maka dia akan tetap tinggal. Dan uangnya dapat ia kirim ke desa dan menyelamatkan anaknya yang sakit.
Setelah berkata dengan tegas, Bik Muna segera meninggalkan Alina sendirian di ruang makan. Alina tertegun sesaat dengan perkataan Bik Muna. Apalagi ia mengatakannya dengan wajah yang tanpa ekspresi. Persis dengan Leonel yang tidak mempunyai Ekspresi.
Mungkin, Selama di sini Bik Muna selalu mendapatkan ketegasan dari Leonel sehingga dia juga mempunyai ketegasan yang sama.
Alina menatap kosong punggung Bik Muna yang menjauh. Ia merasa kesepian. Ia hanya mampu menundukkan kepalanya dan memulai makan.
Dalam keheningan itu, dia merasa hampa. Di ruang makan yang luas itu serta meja makan yang besar. Dia seorang diri memakan makanannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul satu dinihari. Setelah selesai makan, ia lekas kembali menuju kamarnya. Bik Muna yang merapikan meja makan dan memasukkan makanan yang tersisa ke dalam kulkas.
Setelah perbincangannya dengan Bik Muna, Alina tidak lagi meminta Bik Muna untuk menemaninya. Dia terus merasa kesepian setiap hari di dalam rumah yang besar itu tanpa memiliki kegiatan.
Matahari mulai terbit dari ufuk timur. Mata Alina berkedip kala sinar mentari menyinari wajahnya melalui celah gorden jendela. Ia merasa tak nyaman akan hal itu. Meskipun enggan untuk bangun, tetapi karena rasa tak nyamannya ia pun terpaksa bangun.
Terdengar deringan telepon di sebelahnya. Ia menguap sebentar dan menggeliat. Ia menoleh dan melihat nama yang berada di papan layar depan pada ponselnya. Wajahnya tersenyum. Itu adalah mama Leonel. Selena.
Meskipun dia tidak pernah bertemu dengan Leonel atau apakah pria itu menganggapnya sebagai istrinya atau tidak. Tetapi keluarganya menganggapnya sebagai menantu di keluarga Louis.
Alina segera mengangkat telepon itu.
"Halo." terdengar suara yang halus dan lembut dari ujung telepon.
Selama mereka masih menganggapnya sebagai menantu di keluarga Louis, mereka akan selalu bersikap baik kepadanya. Alina sudah terbiasa dengan keluarganya. Dia selalu bersama mereka ketika hari libur. Dia juga sudah mempelajari tentang tata krama selama masuk ke dalam keluarga Louis. Ada yang tidak boleh dan ada yang boleh. Jadi ia sudah tau akan hal itu.
"Mama!" Suara Alina terdengar hangat.
Selena tersenyum dari sebrang sana, Meskipun Alina tidak dapat melihatnya. Tetapi Alina dapat merasakan kebaikan Selena. Selena tidak memiliki seorang putri. Ketika Alina menjadi menantunya, dia sudah merasa tak kesepian lagi. Alina adalah wanita yang mudah menyesuaikan diri. Termasuk dengan Selena yang bisa mengobrolkan apapun sehingga mereka mudah akrab.
"Alina. Malam ini adalah ulang tahun perusahaan. Mari kita pergi berbelanja." Selena berkata dengan lembut.
Pesta? Malam ini. Kenapa ia baru tau sekarang. Setidaknya jika ada perayaan dia mengetahui sebelumnya. Tahun tahun sebelumnya, Dia tidak selalu datang ke acara pesta karena ia selalu bentrok dengan kegiatannya di luar kota. Atau seringnya dia selalu mendapat tugas di luar daerah. Karena ia sudah lulus, jadi ia mendapatkan kesempatan untuk pergi.
"Baiklah ma." Jawab Alina.
Selena menganggk. "Oke. Sopir akan menjemput kamu sejam lagi. Bersiaplah." Ujar Selena.
Setelah mengakhiri panggilan dengan Selena. Alina melirik jam yang tergantung di dinding. Ternyata sudah jam sembilan pagi. Ia lekas pergi mandi dan berpakaian sopan. Tak lupa untuk menguncir rambutnya dengan dikuncir kuda.
Ia menuruni tangga, dan Bik Muna sudah menyiapkan sarapan. Alina pergi ke ruang makan dan menyantap sedikit makanan. Setelah selesai makan, tepat sopir yang akan menjemputnya telah sampai.
Alina segera pergi dengan mobil yang di berikan oleh Selena. Di sebuah perbelanjaan pusat kota, Selena dan Alina bertemu.
Malam ini adalah pesta perayaan ulang tahun perusahaan yang ke 150 tahun. Perusahaan ini adalah perusahaan yang didirikan oleh nenek moyang keluarga Louis. Karena sudah berdiri selama lebih 100 tahun. Maka perayaan ini akan dibuat megah.
Selain itu, keluarga Louis akan mengumumkan secara resmi akan pernikahan Leonel dan Alina.
Tiga tahun yang lalu pernikahan mereka tidak terlalu diadakan pesta. Yang penting mereka sah secara agama dan negara. Acaranya hanya dihadiri oleh kerabat terdekat dan kolega bisnis yang penting penting saja. Tidak ada yang tau tentang kebenaran pernikahan mereka.
"Mama!" Alina menyebut Selena dengan mama ketika mereka saling bertemu.
"Alina, sudah satu bulan kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu. Apakah kau baik baik saja?" Tanya Selena seraya memeluk satu sama lain dengan Alina.
"Tentu saja, Alina baik baik saja. Hanya saja, Alina sudah tidak memiliki kegiatan setelah lulus." Jawab Alina dan pelukan mereka saling terlepas.
"Tidak apa apa. Kau adalah nyonya muda dikeluarga Louis." Sahut Selena sambil tertawa. "Baiklah ayo pergi. Mama sudah memerintahkan budi untuk mempersipkan gaunnya."
Kedua wanita yang berbeda umur itu masuk ke dalam pusat perbelanjaan di kota metro. Banyak para pengunjung lain menatap mereka dengan perasaan terkagum. Meskipun Selena sudah memasuki kepala empat tetapi wajah cantiknya tidak menampakkan umurnya yang lebih dari seperempat abad.
Alina dan Selena berjalan berdampingan. Di belakangnya pengawal wanita mengikuti. Sampai di sebuah pintu toko yang biasa menjadi langganan Selena, Budi sudah berada di depan pintu dan di belakangnya beberapa jajaran anak buahnya berdiri dengan tegap.
Ketika Selena dan Alina sudah mulai nampak, terlihat Budi menyunggingkan senyuman dan segera maju untuk menyambutnya.
"Nyonya Selena!" Ucap Budi menyapa Selena.
"Budi." Selena tersenyum lalu melirik Alina yang berada di sampingnya. "Kenalkan, ini Alina. Istri dari Leonel Maxwel Louis. Kau harus melayaninya dengan baik." Ucap Selena.
Budi mendengar pemberitaan ini merasa terkejut. Tatapannya menuju ke arah Alina yang terlihat menyunggingkan senyum ramah di wajahnya. Ia Menelisik tubuh Alina dan pakaian yang dikenakan oleh gadis itu secara seksama. Dia akui, jika wanita ini memang sangat cantik. Penampilannya juga lumayan oke. Hanya saja, sebagai istri dari Leonel, dia tampak terlalu masih muda. Dan Seharusnya dia lebih pantas untuk dijadikan sebagai adiknya.
"Nyonya muda Louis. Selamat datang. Saya adalah Budi, sekaligus perancang busana di sini." Ucap Budi seraya memperkenalkan diri.
Alina menatap pria yang bertubuh kekar itu dengan seksama, kemudian ia menyunggingkan senyuman. "Iya."
"Nyonya Selena, nona Alina. Mari silahkan masuk. Saya sudah menyiapkan gaun sesuai perintah anda." Budi beralih kepada Selena dan mempersilahkan masuk. Pelayan itu segera menyingkir dan mengambilkan gaun yang telah disiapkan Budi sebelum mereka datang.
Selena dan Alina melangkahkan kakinya mengikuti langkah Budi yang masuk ke dalam toko. Di dalam toko itu tersedia sofa yang panjang dan sebuah meja. Budi memerintahkan kepada salah satu pelayan untuk membuatkan minuman kepada kedua tamunya. Selena dan Alina duduk di sofa panjang sementara Budi berdiri.
Seorang pelayan datang dengan mendorong rak pakaian. Budi segera maju dan mengambil salah satu gaun dari sana. "Nyonya Selena, ini adalah gaun dengan bahan beludru yang mewah."
Selena mengangguk dan memuji keindahan gaun itu. "Sangat bagus." kemudian ia menoleh ke arah Alina. "Alina, apa kau suka?" Tanya Selena.
Alina melihat gaun dengan bahan beludru itu terlihat bagus dan indah. Ia tidak bisa menahan untuk tidak memujinya. "Bagus sekali tetapi menurutku itu tidak sesuai dengan usiaku." Sahut Alina.
Budi memperlihatkan senyuman masam. Gadis ini malah tidak menyukai gaun yang ia rancang. Budi meletakkan gaun itu ke tempat semula. Lalu mengambil gaun lainnya yang berada di sebelahnya.
"Bagaimana jika gaun yang ini? Bahannya dari satin lembut. Saya membawanya dari luar negeri." Budi kembali memperlihatkan gaun yang berada ditangannya.
Gaun itu berwarna hitam nan panjang. Terlihat sangat sopan dan elegan. Di bagian punggungnya nampak terbuka dan di bagian dadanya terlalu rendah. Namun dibagian bawah gaun itu ada manik manik yang berkilau membuat gaun itu semakin indah dan mewah.
"Bagaimana menurutmu Alina?" Selena bertanya kepada Alina lagi.
"Mama, gaun ini sangat bagus dan indah. Tetapi jika Alina yang memakainya sungguh tidak cocok dibadan Alina." Sahut Alina.
"Nona Alina. Bagaimana kau menilai jika gaunku tidak cocok pada tubuhmu, anda belum mencobanya." Budi sangat geram dan segera menyela perkataan Selena.
"Benar apa yang dikatakan Budi. Kau belum mencobanya. Mungkin saja gaun ini akan cocok jika kau sudah mengenakannya." Tambah Selena.
"Tidak ma, aku ingin gaun yang berwarna peach itu." Alina sudah tidak bisa menahan lagi dan segera menunjuk ke sebuah gaun yang berada di sampingnya lagi. Gaun itu berwarna peach dan berbentuk sabrina. Sangat cocok jika dikenakan oleh tubuhnya.
Budi tersenyum senang, kemudian ia mengambilkan gaun itu. "Benar benar pilihan yang sempurna." Budi bergumam rendah kemudian mengambil gaun yang di maksud Alina.
Gaun itu terbuat dari tile yang berkualitas tinggi dengan bordiran pada bunga di bagian dadanya. Gaun ini terlihat elegan dan mewah. Di bagian bawahnya ada motif bling bling sehingga nampak berkilau. Alina pergi ke sebuah kamar pas. Sedangkan pelayan membawakan gaun itu hingga ke dalam.
Beberapa lama kemudian, Alina keluar dengan gaun di tubuhnya. Sangat cocok dengan usianya yang masih muda. Selena tersenyum melihat kecantikan Alina yang terpancar pada wajahnya. Juga pada gaun itu.
"Bungkus gaun itu dan kirimkan ke alamatku." Gumam Selena yang mengacu pada Budi sebagai perintah.
"Baik Nyonya."
Budi menaikkan tangannya kepada pelayan untuk membungkus gaun yang di pilih Alina. Alina kembali masuk ke dalam kamar pas dan mengganti pakaiannya dengan pakaian semula. Selena juga memilihkan sepatu hak tinggi kepada Alina. Setelah menghabiskan beberapa jam hanya dengan memilih pakaian. Kini mereka beralih kepada sebuah salon yang berada di sana.
"Alina, kita butuh spa untul merilekskan tubuh kita." Ucap Selena kemudian ia membawanya masuk ke dalam salon itu. Di sana sudah di sambut oleh pemilik salon. Dan membawanya kepada kursi santai.
Di dalam salon itu, Tubuh Alina dan Selena dipijat.
Alina merasa sangat enak dan nyaman. Selama bersama Selena, ia selalu mendapatkan layanan terbaik di salon ini. Dia juga sudah terbiasa pergi ke sana selama mengenal Selena.
Sampai jam 5 sore, akhirnya mereka selesai. Mereka kembali ke kediaman keluarga besar Louis Dengan wajah yang nampak segar.
"Alina, pergilah mandi dan berdandan. Di kamar atas adalah kamar Leonel. Kau bisa menggunakannya." Selena memberitaukannya ketika mereka telah sampai di kediaman mereka.
Alina hanya mengangguk. Seorang pelayan datang dan mengantarkan Alina ke kamar pribadi Leonel.
Meskipun ia sering berkunjung ke sana. Ini pertama kalinya dia memasuki kamar Leonel. Dulu semasa dia masih berkuliah, dia akan pulang di sore hari. Jadi ia sama sekali tidak mengetahui kamar itu.
Sampai di kamar itu, nampak terlihat jelas jika kamar itu berdinding putih dan abu abu. Menandakan jika si pemilik kamar adalah orang yang berhati dingin. Alina sudah merasa sangat lelah jadi tidak memperhatikan seisi ruangan kamar itu.
Dia hanya ingin mandi. Jadi ia bergegas masuk ke dalam kamar mandi dan menyalakan air pada kran shower. Setelah beberapa menit, Alina sudah selesai mandi. Ia keluar dengan handuk kimono yang melilit tubuhnya. Rambutnya terlihat basah karena guyuran air.
Namun ia terbelak kala ada seorang pria yang tengah memandangnya. Pria itu memiliki postur tubuh yang mencapai 175 cm.
"Kamu..."
...****************...
Leonel kembali setelah menetap tiga tahun di luar negeri. Sebenarnya ia merasa enggan untuk kembali kalau tidak mengingat dia sudah menikah. Ach, andai saja Alina tidak datang menemuinya waktu itu mungkin dia lupa jika dia sudah menikah.
Dan tepat saat merayakan hari ulang tahun perusahaan nenek moyangnya yang ke seratus lima puluh ini akhirnya dia kembali. Di tahun tahun sebelmnya. Ia sering merayakannya di luar negeri. Kali ini ia mendapat kejutan besar sehingga ia memutuskan untuk kembali.
Dia tak berpikir panjang dan memasuki kamar pribadinya. Namun ia tertegun sesaat ketika mendengar suara air shower di kamar mandi menyala.
Mungkinkah, ini hadiah yang dimaksud oleh sahabatnya?
Leonel suka bergonta ganti wanita. Jadi sahabatnya telah menyiapkannya untuknya. Leonel tersenym menyeringai dan memikirkan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Ia membuang asal mantel yang masih melekat pada tubuhnya.
Tepat saat itu, pintu kamar mandi terbuka. Seorang wanita tengah selesai mandi dengan berbalut handuk kimono. Rambut panjangnya terlihat basah. Alina menyadari jika di dalam ruangan itu ada seseorang kemudian ia dapat melihat seseorang tengah berdiri tegap di tengah ruangan, ia menatap seseorang itu lalu menyadari jika seseorang itu adalah Leonel. Matanya terbelak karena terkejut.
"Kamu...."
Ketika Leonel memikirkan tentang pemikirannya, dia tersentak kala melihat seorang gadis itu adalah Alina. Alina terlihat baru saja selesai mandi. Dia mengenakan handuk kimono dan rambut panjangnya basah. Dia menatap Alina dari ujung rambut hingga kakinya. Timbul perasaan yang bergelora di dalam hatinya.
Leonel melihat Alina yang juga kaget akan kedatangannya. Ia pun tersenym smirk.
"Hadiah yang sangat bagus." Puji Leonel melirik seluruh tubuh Alina dengan suara rendah. Perlahan kakinya maju selangkah demi selangkah.
Alina yang melihat Leonel mendekatinya, ia tampak ketakutan. "Leonel! Apa yang ingin kau lakukan?" Alina sangat panik dan melihat langkah itu semakin mendekat.
Leonel tampak tersenyum tetapi sangat menakutkan. Alina merasa takut ia melangkah mundur selangkah demi selangkah.
"Leonel! Berhenti di sana!" Suara Alina meninggi dan langkah Leonel pun terhenti.
"Aku hanya numpang mandi di kamarmu. Kau jangan salah paham." Suara Alina tampak bergetar. Ia sangat takut jika Leonel salah paham kepadanya.
"Oh ya?" Dia seolah bertanya tetapi di dalam perkataannya sangat suram. Ia mengerutkan wajahnya dan memancarkan sifat dingin. "Andai waktu itu kau tidak datang kepadaku. Mungkin aku lupa jika aku telah menikah." Leonel melirik tubuh Alina. Di dalam mata Alina terpancar sorot kepanikan.
Leonel kembali tersenyum dan menatapnya dengan mesum. "Kau datang kepadaku dan sekarang aku tidak akan melepasmu lagi."
Setelah mengatakan hal itu, dia mencekal tangan Alina dengan cepat dan melemparnya ke atas ranjang. Satu persatu tangannya membuka kancing kemeja yang melekat pada tubuhnya.
Alina merasakan sakit pada punggungnya. Namun ia harus tetap bertahan dan lepas dari pria itu. "Leonel!" Alina berseru.
Tetapi Leonel seolah tak mendengarnya. Ia melemparkan kemejanya setelah berhasil membuka kancing terakhir. Terlihat dada ratanya yang menonjol penuh otot yang kuat.
Alina menelan ludahnya dengan kasar.
Langkah Leonel semakin maju. Alina semakin ketakutan melihat Leonel yang semakin mendekat. Ia pun mundur selangkah setiap satu langkah Leonel.
Leonel seolah mendapatkan mainan baru dan sangat menarik. Melihat wajah Alina yang ketakutan ia malah merasa senang. "Leonel!" Alina berseru marah dan menggertakkan giginya. Tetapi Leonel malah tertawa.
"Ada apa Alina sayang?" Leonel terbahak.
"Aku akan mengganti uang mu satu triliun itu. Lalu kau ceraikan aku. Maka kau tidak akan terbebani dan kau bisa melakukan apapun dengan wanita lain. Tetapi jangan kepadaku." Ucap Alina cepat.
Leonel menaikkan alisnya sebelah. "Menurutmu, apakah kau mampu mendapatkan uang satu triliun itu? Atau kau ingin mendapatkannya dengan cara seperti ini?"
Ketika Alina ingin membalas ucapan Leonel, Leonel tak memberinya ruang untuk membantahnya lagi dan meraup bibir ranum Alina dengan cepat dan kasar. Alina hanya bersikap pasif dan tidak membalasnya. Ia merasa kesal. Meskipun ia mendorong beberapa kali dada Leonel tetapi ia tetap kalah dengan tenaga Leonel yang semakin bertenaga.
Leonel sangat menikmati rasa rasberry pada bibir wanita itu. Apalagi ia dapat mencium aroma sabun segar yang membuatnya dimabuk kepayang. Leonel tidak bisa melepaskan tubuh gadis ini yang menurutnya sangat unik. Sangat berbeda ketika ia melakukannya dengan banyak wanita. Jadi ia tak mampu untuk melepaskannya. Ia menginginkan lebih pada wanita itu.
Satu jam kemudian.
Tubuh Alina merasa remuk redam karena ulah Leonel yang membuatnya lemas. Pria itu benar benar sangat buas dalam urusan ranjang.
Ia menoleh ke arah pintu kamar mandi yang tertutup dan suara air shower yang menyala. Ia mengepalkan tangannya sangat kuat hingga memutih. Di dalam hatinya, Gadis itu mengutuk pria yang sedang mandi itu.
Beberapa menit kemudian Leonel keluar dengan handuk yang melilit tubuhnya. Ia melirik ke arah ranjang dan tersenyum simpul. "Mandilah! Sejam lagi, kita harus segera turun dan menyambut para tamu." Ujarnya dengan ringan.
Mata Alina memerah. Andai saja di negara ini tidak harus patuh hukum, mungkin ia sudah membunuhnya. Alina menyeret tubuhnya yang lelah menuju kamar mandi.
Leonel tampak sudah rapi mengenakan stelan jas yang mewah keluar dari ruang walk in closet. Matanya menoleh sekilas ke atas ranjang yang sudah tak bertuan. Namun tatapan matanya memicing kala menemukan darah yang masih basah di atas seprai. Ia tertegun sejenak. Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar mandi yang tertutup.
Masih perawan?" Ia menebak di dalam hati hampir tak percaya. Wanita sekarang mana mungkin masih perawan di era jaman modern seperti ini. Namun ia merasa bangga, apalagi yang ia anggap hanyalah sebagai pengisi rumahnya ternyata menjaga keperawanannya dengan baik. "Pantas saja terasa sempit?" ia berkata dalam hati dan tersenyum simpul.
Sedetik kemudian pintu kamar mandi terbuka menampakkan wajah Alina yang nampak segar. Aroma sabun segera menguar ke dalam indra penciuman Leonel. Leonel hampir saja tak bisa menahan hasratnya lagi jika saja dia tidak memikirkan tentang keterlambatannya. Jadi ia tidak mau memandang wajah Alina.
"Segera ganti pakaianmu dan aku akan menunggumu di luar." Titah Leonel. Leonel segera pergi dari dalam kamar dan tidak lupa menutup pintu.
Alina berjalan tertatih karena di bawah sana masih terasa sakit. Namun apadaya. Pesta malam ini menantikan kehadirannya. Mau tak mau ia harus datang. Dia mengenakan gaun yang disediakan oleh Selena juga menggunakan riasan tipis pada wajahnya. Ia hanya merapikan sedikit rambutnya yang panjang. Setelah itu ia segera keluar.
Di luar kamar, Leonel menunggu Alina. Tak berapa lama Alina membuka pintu. Leonel yang nampak cemas segera menoleh kala mendengar derit pintu yang terbuka. Alina nampak cantik nan anggun dengan balutan gaun sabrina selutut dengan hiasan bordiran bunga di bagian dadanya. Leonel tak menyangka jika Alina akan secantik ini.
"Ayo, para tamu telah menunggu kita." Namun Leonel tetap berkata dingin. Lalu membawa Alina pergi.
Di dalam mobil itu, Alina dan Leonel sama sama diam. Leonel sibuk dengan telepon pada genggamannya sementara Alina sibuk dengan pikirannya. Saat hampir sampai di palataran perusahaan Louis corp, Leonel segera menyimpam ponselnya.
"Leonel!" sepertinya Alina memiliki kesempatan kali ini untuk berbicara dengan Leonel.
Leonel hanya berdehem sekilas dan fokus kepada jalanan yang nampak ramai oleh para wartawan.
"Aku ingin bicara denganmu!" Ungkap Alina.
"Katakanlah!"
Alina meremas kedua tangannya di atas pangkuannya. "Kenapa kau tak mau menceraikanku?" Alina bertanya dengan takut takut.
Leonel yang awalnya fokus pada jalanan yang kendaraannya melaju sedikit melambat membuatnya menoleh. Ia menaikkan alisnya dan menatap Alina dengan serius.
"Jika pernikahan ini hanyalah pernikahan bisnis, Maka aku akan mencari uang satu triliun itu untuk menggantinya. Jangan memaksaku hidup pada keadaan ini. Aku tak sanggup." Alina mengungkap isi hatinya.
"Katakan itu pada ibu." Leonel segera menjawab dengan rasional.
Alina termangu.
Mana mungkin ia berani mengatakan hal ini pada Selena.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!