"Jova, bisa duduk sebentar!" Janu menatap putri sulungnya dengan tatapan yang serius.
Jovanka Livy Ardilla atau lebih sering disapa Jova, yang saat itu baru pulang bekerja pun tanpa bertanya langsung mengikuti apa kemauan sang ayah.
"Ada apa Yah, kok sepertinya serius sekali?" tanya Jova, dengan pandangan yang diarahkan bergantian dari ayah dan ibunya yang duduk di hadapannya.
"Pak Guntoro meminta kamu menikah dengan anaknya!" jelas Janu dengan suara lirih.
Jova pun hanya tersenyum sinis. Dia bahkan sudah tidak kaget pasalnya memang dari awal gadis itu sudah menduga tidak mungkin juragan Guntoro memberikan pinjaman uang pada keluarganya dalam jumlah yang banyak, tanpa syarat yang sulit. Lagi, bukan hanya keluarga mereka yang jadi korban perjodohan juragan Guntoro untuk anaknya.
Sebelumnya sudah ada beberapa keluarga yang menjadi korbanya, tetapi keluarga sebelumnya menolak perjodohan paksa tersebut dan lebih memilih mengembalikan uang-uang atas bantuan juragan Guntoro meskipun resikonya bunganya berkali-kali lipat, dan itu pun terjadi pada keluarga Jova ia harus mengembalikan uang yang di pinjam dalam jumlah yang berkali-kali lipat.
"Jova tidak mau Yah, apa Ayah tidak mendengar kabar yang berhembus kalau anaknya juragan Guntoro itu adalah orang yang tempremen, senang menyiksa bawahanya?" tanya Jova dengan tatapan yang masih bersikap tenang mencoba bernegosiasi dengan sang ayah. Jova tahu ayahnya adalah orang yang bijak, sehingga bisa diajak bernegosiasi.
"Ayah sudah dengar, tetapi kita bisa apa? Hutang-hutang Ayah sudah sangat banyak, dan cara satu-satunya untuk melunasi hutang itu adalah dengan cara menikahkan kamu."
"Lalu Ayah masih tega mengumpankan anaknya pada orang gila seperti keluarga mereka, bahkan juragan Guntoro saja sudah terkenal bengis, bagaimana dengaan anaknya? Ayah ingin aku menanggung hutang-hutang Ayah dengan nyawaku? Apa Ayah senang kalau lihat Jova menderita?" tanya Jova dengan suara yang parau dan berat. Sesak yang dia rasakan ketika sang ayahnya sendiri menjadikanya anak gadis penebus hutang. Menjual anak dengan berkedok pernikahan.
Plakkk... Janu menampar pipi putrinya dengan keras.
Jova yang baru kali ini ditampar oleh sang ayah pun tercengang, tanganya mengusap pipi yang terasa panas. Sekejap kemudian Jova merasakan kedua kelopak matanya menghangat, tanpa sadar dari sudut bola matanya menetes butiran bening dengan pelan, dan elegan.
"Kenapa Ayah sekarang berbeda, tega menampar anak sendiri, hanya karena Jova menolak untuk menikah dengan anak Pak Guntoro? Di mana Ayah yang penyayang dan sabar selama ini?" isak Jova, tanganya masih memegangi pipinya yang terasa panas dan memerah.
"Ayah melakukan ini karena terpaksa, hutang Ayahmu sudah terlalu banyak, dan Guntoro menginginkan kamu sebagai menantunya, dan hutang-hutang kita lunas, apa Ayah terlalu kejam?"
"Iyah, Ayah kejam. Ayah tega menjual kebahagiaan putrinya demi setumpuk rupiah," balas Jova dengan suara yang tak kalah meninggi.
"Ayahmu melakukan ini demi adikmu Jova. ayah terlilit hutang bukan untuk kesenangan ayah semata, tetapi adik kamu sakit. Kami membutuhkan banyak uang untuk pengobatanya, maka dari itu ayah terpaksa berhutang. Andai Tuhan tidak memberikan ujian dengan sakit adik kamu, ayah juga tidak mau berhutang. Orang tua mana yang tega membiarkan anaknya sakit. Andai posisi kamu dibalik berada di posisi adik kamu, ayah juga akan melakukan hal yang sama, berjuang untuk kesembuhan anak-anak ayah, meskipun berhutang."
Janu menghela nafasnya dalam, dan menghembuskan perlahan. Sementara Jova pun bergeming tak berani memberikan perlawanan lagi. Memang benar kondisi adiknya yang mengindap pernyakit gagal ginjal membutuhkan uang yang tidak sedikit, belum setiap satu minggu sekali harus melakukan dua kali cuci darah dan uang yang digunakan tidaklah sedikit. Jova pun sangat paham dengan kondisi itu.
Jova memakluminya hutang-hutang yang ayahnya lakukan untuk keperluan pengobatan adiknya, Jini. Bahkan Jini sudah beberapa kali menyerah, karena dirinya juga mungkin sangat sadar dan menganggap bahwa kehadiran di keluarganya hanya menjadi beban untuk keluarganya.
Namun, pengorbanan Janu tidak bisa diremehkan dia rela berhutang agar pengobatan Jini bisa terus berlanjut.
"Tapi apa tidak ada cara lain Yah, Jova juga selama ini bekerja, dan Jova juga sedang berusaha menulis novel diaplikasi novel online, yang mungkin hasilnya nanti bisa digunakan untuk membantu pengobatan Jini dan mencicil hutang-hutang kita," usul Jova, kali ini nada bicaranya tidak setegang tadi. Jova sadar tidak seharusnya ia berkata dengan suara tinggi, apalagi yang jadi lawan bicaranya adalah ayah kandungnya sendiri.
"Kerja? Berapa gajih kamu sebagai pekerja toko online? Dua juta. Untuk ongkos dan makan sudah satu juta, kamu hanya kasih sama Ibu kamu satu juta, dan untuk cuci darah adik kamu satu kali biyayanya lima ratus ribu sebulan delapan kali cuci darah kamu kalikan sendiri, untuk membeli obat, vitamin, belum apabila adik kamu harus transfusi darah sedang darah adik kamu golongan darahnya sulit dan langka, sekali beli darah satu katong satu juta kadang sekali transfusi darah bisa habis empat kantong. Uang dari mana Jova? Penulis novel? Dapat apa kamu, selama ini nulis, hanya buang-buang waktu."
Entah sudah berapa kali Janu menjabarkan biaya pengobatan Jini yang tidaklah murah, oleh sebab itu Janu terlilit hutang pada tuan Guntoro seorang konglomerat di kotanya, dan sarat untuk melunasi hutang dia menjodohkan Jova dengan putranya yang di gadang-gadang seorang pengusaha kaya raya di kota besar.
Namun, kabar yang berhembus anaknya itu sangat kejam dan sesuka hatinya memperlakukan karyawan ataupun pembantu atau malah istrinya, itulah sebabnya diusianya yang menginjak tiga puluh lima tahun dia tidak kunjung menikah, sedangkan laki-laki sebayanya sudah memiliki anak usia SMP.
Kali ini Jova yang sesak dengan ucapan ayahnya yang hampir seratus persen benar, dirinya sebagai pegawai di toko online gajih hanya dua juta dan sebagai penulis novel pun ia tidak seberuntung yang lainya. Jova masih baru dan belum sama sekali merasakan gajihan hingga ia bisa menujukan pada sang ayah hasilnya. Ia tujuan menulis memang sekedar hobby tetapi tidak memungkiri ia juga mengharapkan gaji.
"Tapi kalau nanti Jova menikah sama anak orang kaya itu, dan di kota dianiyaya seperti kisah di novel-novel gimana Yah?"
Bahkan Jova belum menikah dengan anak orang kaya itu dia sudah membayangkan kisahnya sedramatis novel mafia yang disiksa dan hanya di jadikan budak s*k setelah itu di campakan begitu saja tanpa nafkah yang layak. Efek ia yang terlalu sering membaca novel dengan kisah yang cukup sadis.
"Kamu punya Tuhan, berdoalah dan berprasangkalah yang baik-baik maka Allah akan berikan yang baik pula."
"Udah Yah, jangan paksa Jova untuk menikah dengan anak orang kaya itu. Ibu juga takut kalau dia akan sengsara nantinya. Biar ibu ikuti saran dokter saja untuk jual ginjal ibu yang sebelah, kan ibu sehat tidak merokok, tinggal cari yang beli maka hutang-hutang kita lunas."
Deg!!!
Jantung Jova seolah berhenti, kala mendengar penutura ibunya.
...****************...
Salam kenal dari Othor, semoga kalian suka dengan kisah ini. Sara dan kritikan silakan tinggalkan di kolom komentar yah.
Jangan lupa ikut kisah novel baru other dan beri dukungan yah.
Yuk kenal sama othur kemarin sore follow
Ig :Onasih_Abilcake
fb : Ci Osyih Onasih Aenta
Happy Reading....
"Udah Yah, jangan paksa Jova untuk menikah dengan anak orang kaya itu. Ibu juga takut kalau dia akan sengsara nantinya. Biar ibu ikuti saran dokter saja untuk jual ginjal ibu yang sebelah, kan ibu sehat tidak merokok, tinggal cari yang beli maka hutang-hutang kita lunas."
Deg!!!
Jantung Jova seolah berhenti, kala mendengar penuturan ibunya. Gadis itu mengangkat wajahnya perlahan, dan pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata sang ayah. Ada tanya dari pandangan mereka.
"Ibu apa yang Ibu katakan? Apa Ibu tidak tahu apa bahayanya menjadi pendonor ginjal? Andai berhasil kita dapat uang setara dan badan tetap bisa sehat, dan kalau gagal, ibu akan jadi pesakitan seperti Jini, belum resiko nyawa. Ayah tidak akan membiarkan hal itu terjadi," bentak Janu dengan suara yang meninggi.
Lagi, air mata Jova tidak bisa dibendung. Ketika sang ibu mereka rela mengorbankan ginjalnya untuk membayar hutang-hutang keluarga. Lalu dia sebagai anak tidak bisa berkorban untuk keluarganya.
"Kita akan jual rumah ini untuk membayar hutang-hutang ayah," ucap Janu dengan suara yang bergetar.
Ini adalah rumah peninggalan kakek, dan nenek mereka. Bahkan kalau dijual pun belum tentu akan lunas hutang-hutang mereka.
"Jova mau menikah dengan anak juragan Guntoro, Yah, Bu," ucap Jova yakin, tanganya mengusap air mata yang menetes di pipinya dan mencoba membuat garis lengkung di bibirnya dengan samar, bahkan senyum yang terpaksa tidak bisa menyembunyikan kesedihanya.
Lasmi menatap Jova dengan tatapan yang dalam. "Ibu, dan Ayah tidak mau membuat kaliana menderita, dengan menanggung hutang-hutang kami," balas Lasmi. "Kalian anak-anak kami sepatutnya kami melindungi dan mencukupi kebutuhan kalian, bukan meminta kalian untuk melunasi hutang kami. Hutang ini tanggung jawab kami."
"Jova ikhlas Ibu, bukanya Ayah tadi berkata kalau kita ada Tuhan yang pasti akan melindungin kita dimanapun kita berada? Lalu kenapa Jova harus ragu dengan bantuan Tuhan. Ibu tenang saja Jova akan baik-baik saja." Kini gantian Jova yang menatap Lasmi dengan yakin.
"Andai ayah punya pekerjaan yang tetap seperti orang lain, kalian pasti tidak menderita seperti ini. Semua ini karena ayah yang tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga kalian harus ikut menderita seperti ini."
"Yah, bukanya Ayah selalu berkata pada kami agar kami selalu percaya akan takdir. Sekarang Ayah jangan berkata seperti itu, Ayah dan Ibu cukup doakan Jova agar ini adalah takdir Tuhan yang terbaik untuk kita semua."
Jova melihat ada garis bahagia di wajah kedua orang tuanya. Meskipun tidak dipungkiri hatinya sendiri gamang. Gadis itu bahkan tidak bisa melihat ada warna di masa depannya, ia hanya melihat satu warna yaitu kegelapan.
Jova kembali menyunggingkan senyumnya. "Kalau gitu, Jova masuk kamar dulu Bu, Yah, mau mandi cape."
Gadis itu beranjak dari duduknya, dan mengayunkan kaki menuju kamarnya.
"Yeh, akhirnya bisa nikah juga," gumam Jova, dengan merentangkan tanganya, ini adalah cara Jova agar orang tuanya menganggap kalau dirinya tidak terpaksa melakukan ini semua, meskipun lagi-lagi memang dirnya terpaksa melakukan ini semua.
Namun, biarlah ia berkorban untuk keluarganya. Sudah sepatutnya ia membalas bakti kedua orang tuanya.
Lagi, Jova harus dikejutkan dengan wajah sedih Jini, bahkan Jova melihat aliran air mata di pipi mulus sang adik.
"Maafkan Jini, Kak. Gara-gara Jini yang sakit, Kakak jadi nanggung ini semua," isak Jini, pandangan matanya tidak berani menatap Jova.
"Hai... Kakak ikhlas melakukanya, kakak tidak pernah menyalahkan Jini, sekarang yang Jini harus lakukan adalah Jini semangat untuk sembuh. Jangan buat kami sedih dengan Jini yang seperti ini. Apa yang aku lakukan ini tidak gratis. Ingat kamu harus bayar lunas dengan kesembuhamu," ucap Jova dengan mengusap rambut sang adik yang dengan sengaja di potong menyerupai laki-laki. Dengan alasan gerah dan nyaman dengan rambut pendeknya.
Meskipun berambut cepak dia tetaplah gadis feminim yang cantik.
"Tapi gimana kalau ternyata apa yang Kakak sudah lakukan dan juga Ayah dan Ibu lakukan untuk kesembuhan Jini, tapi Allah tidak juga mengangkat sakit Jini?" tanya gadis kecil itu dengan senyum getirnya.
"Kakak tahu perjuangan kamu sampai detik ini sudah sangat luar biasa, tetapi ayolah semangat terus sampai kamu sembuh. Kita sama-sama berjuang gimana? Kakak berjuang di rumah tangga nanti dengan keluarga baru kakak, dan kamu berjuang untuk sembuh," tawar Jova dengan suara semangat, agar Jini juga semangat lagi.
"Baiklah Jini terima tantangan Kakak, tapi bagaimana kalau ternyata Jini yang kalah dan tidak pernah akan sembuh?" lirih Jini, kadang dia yang merasakan sakit juga lelah untuk berjuang terus menerus.
"Kakak akan marah, marah banget, bahkan kakak juga akan menyerah untuk berjuang," balas Jova, tanganya menarik tubuh Jini gadis yang saat ini usianya menginjak lima belas tahun lima, dan lima bulan lalu dokter mendiagnosa sakit gagal ginjal.
Sejak saat itu perekonomian keluarga mereka jungkir balik, bahkan Jini harus berhenti sekolah padahal seharusnya di tahun ini ia lulus dari sekolah menengah pertama.
Takdir Tuhan memang tidak bisa ditebak. Jini memang sering sakit-sakitan bahkan sejak kecil daya tahan tubuhnya lemah, tetapi baru di ketahui sakitnya setelah semuanya parah.
Keluarga Jova pun harus berhutang ke sana ke mari untuk biaya Jini berobat, hingga datanglah bantuan dengan dalih suka rela dari juragan Guntoro, padahal mereka tinggal di desa yang berbeda, meskipun masih satu kota. Dengan alasan kepepet Janu pun menerima pinjaman tanpa bunga tanpa syarat dari juragan kaya raya itu.
Meskipin Janu dan Lasmi juga curiga bahwa rasanya sangat mustahil orang kaya seperti Guntoro meminjamkan uangnya cuma-cuma. Belakangan baru diketahui kalau mereka menginginkan Jova anak sulung mereka sebagai istri dari anaknya yang dikenal perjaka tua, yang bernama Felix.
"Tapi Kakak juga janji yah, kalau Kakak akan berjuang demi kebahagiaan Kakak," lirih Jini, tangan kecil yang kurus mengusap sisa air matanya.
"Siap adik kecil." Jova meberikan simbol hormat dengan badan yang tegap. Jini pun terkekeh samar melihat kakaknya yang bersemangat itu.
"Kita berjuang bareng." Jini membentuk simbol semangat dengan membentuk sebelah tanganya membetuk sikut.
"Siapa takut."
Ini adalah janji mereka untuk berjuang, dan tentunya untuk saling mendukung, memberikan kekuatan satu sama lain.
Pandangan Jova menatap langit-langit rumahnya yang sudah banyak lubang di mana-mana, ini adalah rumah peninggalan dari kakek dan neneknya dulu, sehingga sudah tidak aneh lagi ketika terdapat banyak lubang di atap rumah mereka.
Merenovasi rumah adalah impian orang tuanya yang sudah lama diucapkan, tetapi sampai detik ini mereka belum bisa mewujudkanya. Meskipun apabila musim penghujan tiba, bocor sudah menjadi hal yang biasa. Mereka akan menggunakan wadah untuk menadahi air yang masuk lewat celah-celah atap rumahnya.
Tubuh Jova dimiringkan, melihat tubuh adiknya yang sedang tidur di sampingannya. Jini sebenarnya ada kamar sendiri, tetapi sejak sakit orang tua mereka meminta Jini untuk tidur bersama Jova, dengan alasan takut terjadi apa apa.
"Besok keluarga Guntoro akan datang untuk menentukan hari pernikahan, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima perjaka tua itu sebagai suamiku," gumam Jova dalam kesunyian malam. Malam ini ia bahkan tidak bisa tidur, pikiranya melalang buana entah ke mana, memikirkan perjodohan ini.
Mulai dari membayangkan laki-laki yang akan menjadi suaminya yang jaraknya lima belas tahun denganya. Laki-laki tua dan galak ada dalam bayanganya. Hingga gadis itu bergidig sendiri membayangkan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Belum galak dan pasti sangat menyebalkan, bau badan, dan ngorok kalau tidur.
Jova menggosok-gosok wajahnya dengan kedua telapak tanganya.
"Amit... Amit..." Ia menepis pikiranya yang membayangkan sosok mengerikan itu. Hingga pagi menjelang ia baru bisa memejamkan matanya.
Di tempat berbeda.
[Kalau kamu mau tanda tangan Bapak. Besok jam tiga sore kamu harus sudah ada di rumah. Bapak sudah mendapatkan calon istri buat kamu. Tidak ada alasan, dan tidak ada penolakan.] Itu adalah pesan yang barusan dibaca oleh Felix.
Brakkk... Felix membanting ponselnya.
“Sumpah demi apa pun kalau bukan karena butuh tanda tangan Bapak, aku nggak mau nikah apalagi karena perjodohan,” geram Felix.
Tidak berbeda dengan Jova, Felix juga membayangkan hal yang sama, bagaimana rupa wanita yang akan jadi istrinya.
“Gadis kampung, pasti pendek, jelek, item, rambut seperti mie, dan norak,” gerundel Felix. “Amit-amit, nasib gue buruk amat.”
...****************...
"Jova, kamu ingat nanti sore keluarga calon suami kamu akan datang, kamu jangan lembur, jangan pura-pura menghindar," pesan Lasmi sebelum Jova berangkat kerja.
"Baik Bu, Jova tidak akan membuat Ibu, dan Bapak malu," balas Jova dengan sisa menguapnya. Yah, gimana tidak mengantuk dia tidur hanya dua jam, itu semua gara-gara dirinya membayangkan laki-laki tua yang akan menjadi suaminya.
Huaaa... Huaaa... Entah berapa kali Jova menguap karena jam tidur yang hanya dua jam itu.
"Jo, kamu nguap mulu, awas nanti salah masukin barang, bisa dikomplein oleh customer. Mending customer pengertian, kalau yang bawel minta tukar barang, kembalikan uang, kasih ulasan bintang satu, kamu potong gajih lagi." Sumi menyikut Jova yang matanya merah dan berair karena nahan ngantuk.
"Ih amit-amit Sum, udah gajih kecil masa di potong," balas Jova, ia bahkan sudah jingkrak-jingkrak agar rasa ngantuknya hilang, tapi paling beberapa menit ajah setelah itu ia kembali ngantuk lagi.
"Makanya kerjanya yang benar, jangan ngantuk, mana yang salah satu orang yang di marahin semua, kan gak asik banget," balas Sumi, rekan kerja satu bagian denganya. Sumi memang bawel dan berisik, tetapi dia adalah teman terbaik Jova.
Jova sendiri bekerja disalah satu toko online terbesar di kotanya, di bagian paking barang untuk dikirimkan ke customer, resikonya besar. Salah masukin warna, tipe dan lain sebagainya maka akibat yang ditanggung adalah potong gajih dengan harga barang yang salah itu. Maka dari itu Jova dan teman-temanya harus super teliti.
"Sum, sebentar lagi aku kayaknya mau nikah deh," lirih Jova, sekalian biar ngak ngantuk dia coba membahas si perjaka tua yang akan menjadi suaminya.
"Hah, serius? Mau nikah sama siapa kamu?" tanya Sumi kaget, bahkan saking kagetnya dua biji matanya hampir loncat.
Wajar Sumi bertanya seperti itu, pasalnya dari sekian temanya yang paling setia menjomblo adalah Jova. Gadis usia 23 tahun itu tidak pernah pacaran, alasanya dosa. Padahal memang tidak ada yang mau, mungkin karena keluarga Jova miskin. Dan Jova sendiri keseharianya keluar hanya kerja selepas kerja akan sibuk dengan dunia listernasi-nya yang belakangan dia gelutinya. Sekedar menyalurkan hobby-nya dan syukur-syukur bisa terkenal seperti yang lainya, dan menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk membantu perekonomian keluarganya.
"Tapi kamu jangan bilang kesiapa-siapa yah," lirih Jova dengan mengacungkan cutter di tanganya.
"Iya, bawel banget sih, lagian kapan aku bocor," dengus Sumi dengan menahan tangan Jova yang tengah memegang cutter agar turun ke bawah. Ngeri juga main ngacungin benda tajem, setan lewat wasallam.
"Sama anaknya Juragan Guntoro."
“Apah!!! Kamu mau nikah sama anak Juragan Guntoro." Suara Sumi justru menggelegar, sehingga rekan satu bagian yang sedang peking pesanan customer menatap Jova dan Sumi dengan heran.
Buru-buru Jova membekap mulut Sumi yang lancang itu.
"Histtt... dibilang jangan bilang-bilang malah bikin pengumuman. Dasar Sumi ini memang menyebalkan sekali," umpat Jova pada temanya, tentu di dalam hatinya.
"Maaf teman-teman, Sumi ini memang tukang halu. Lanjut kerja saja," ucap Jova tanganya masih membekap mulut Sumi yang lancang itu. Sumi sendiri malah terkekeh seolah ia senang dengan kemarahan Jova.
Entah berapa kali Jova melirik jam di ponselnya. Bukan karena gadis itu ingin buru-buru pulang, tapi ia berharap jamnya berhenti sehingga ia tidak akan bertemu dengan keluarga calon suaminya.
"Kenapa waktu serasa cepat sekali sih, udah jam empat ajah. Itu tandanya aku harus pulang bertemu dengan calon suami, perjaka tua itu," gerundel Jova. Dalam ingatanya sudah membayangkan wajah anak dari juragan Guntoro.
Jova pun sudah tebak, bahwa wajahnya pasti sangat jelek, dan tua itu sebabnya laki-laki itu tidak laku, dan itu juga penyebab tetangga sebelumnya yang dijodohkan dengan laki-laki yang bernama Felix lebih memilih mundur.
"Jov, kamu nggak lembur?" tanya Sumi. Biasanya gadis itu nomor satu rajin kalau ada lemburan.
Senyum masam tersungging dari bibir Jova. "Aku izin tidak ikut lembur dulu Sum. Sayang sih lumayan buat beli cilok, tapi badan aku lemes banget, pengin tidur," lirih jova sembari merapihkan meja kerjanya.
"Ya udah kalau gitu kamu hati-hati. Istirahat yang banyak, jangan mikirin anak juragan kaya itu. Terus kalau mau nikah aku undang-undang yah," kelakar Sumi, dia memang teman yang sangat iseng. Jova pun lebih baik buru-buru pergi, dari pada Sumi terus-terusan meledeknya.
Dengan tubuh yang lemas, sejak tadi pagi Lasmi mengatkan kalau keluarga calon suaminya akan datang, Jova jadi tidak bernafsu makan. Dalam otaknya hanya ada laki-laki tua yang akan jadi suaminya, tua, jelek, nyebelin, dan pelit seolah menjadi momok paling menakutkan untuk Jova.
Lagi, perjalanan pulang pun terasa cepat sekali. Padahal Jova ingin lebih lama untuk menyiapkan mentalnya. Namun, semesta tidak mendukungnya, justru gadis itu merasa hari ini terasa sangat singkat.
Dengan kaki yang berat Jova mengayunkan kakinya menuju rumah. Jantungnya sudah tidak bisa diajak bekerja sama. Ingin dia tetap tenang dan biasa saja, tetap jantungnya berhianat, justru berdetak lebih cepat dan tubuhnya memanas seketika, hingga dia merasakan tubuhnya gemetar. Padahal ia baru melihat barisan mobil di halaman rumahnya. Belum bertemu calon suaminya.
'Tenang Jova tenang, belum tentu perjaka tua ada di dalam sana,' batin Jova menenangkan hatinya yang bergemuruh.
"Assalamualakum," ucap Jova dengan sopan. Beberapa tamu langsung menghentikan obrolan mereka, dan semuanya menatap pada Jova yang tengah berdiri di ambang pintu.
"Wallaikumsallam. Akhirnya kamu datang juga Jo, kenalin ini calon keluarga suami kamu." Janu beranjak dari duduknya dan mengampiri Jova, gadis itu pun bersalaman dengan tamu yang di sebut-sebut keluarga calon suaminya.
Kedua mata Jova awas melihat setiap tamu yang hadir, tetapi ia tidak melihat ada laki-laki tua, dan jelek seperti yang ada dalam bayanganya. hanya ada tiga laki-laki yang satu sudah setengah sepuh dia adalah juragan Guntoro, dan satu lagi laki-laki tua juga, tetapi tidak setua juragan Guntoro. Sementara satu lagi, laki-laki tampan, tapi jangan ditanya sudah pasti dia bukan calon suaminya. Itu yang ada dalam bayangan Jova. Laki-laki itu terlalu muda untuk umur 38 tahun.
Gadis itu menghirup nafas lega karena pasti calon suaminya tidak ikut datang ke rumah. Jova sendiri memilih duduk di samping Lasmi. Tanpa terlibat obrolan apapun. Ia akan berbicara apabila ditanya selebihnya ia serahkan pada orang tuanya dan calon keluarga suaminya sebagai keputusan akhirnya.
"Om, Pah. Apa kita boleh mengobrol berdua dulu, untuk pengenalan. Rasanya terlalu lucu kalau kita akan menikah, tetapi tidak saling kenal." Suara berat dan tegas berhasil menarik perhatian Jova. Gadis itu yang sedari tadi lebih banyak menunduk pun seketika mengangkat wajahnya.
'Astaga, apa dia calon suami aku kenapa bisa tampan. Bukannya seharusnya jelek, dan tua?' batin Jova, otaknya seketika tidak bisa berpikir dengan jernih.
Lasmi pun berbisik pada Jova agar putri sulungnya mengikuti laki-laki tampan itu. Bak kerbau dicocok hidungnya, Jova pun tidak bisa protes, ia mengikuti calon suaminya yang sudah lebih dulu duduk di bawah pohon jambu. Memang di sana ada bale, biasa dipakai buat santai.
Dengan langkah berat, dan perasaan yang berkecamuk. Jova pun mengikuti laki-laki itu untuk duduk di bawah pohon jambu. Gadis itu beberapa kali menghela nafas panjang berharap mengurangi rasa gugupnya.
"Apa Anda adalah anak Juragan Guntoro yang bernama Felix?" tanya Jova, memulai obrolan.
"Apa aku harus menunjukan kartu identitasku?" tanya balik laki-laki yang duduk di samping Jova. Nada bicaranya kurang enak didengar membuat Jova bisa menyimpulkan kalau laki-laki itu memang galak dan sangat menyebalkan.
"Ah, tidak usah. Aku hanya kaget, kirain yang bernama Felix itu sudah tua dan juga..."Jova tidak melanjutkan ucapanya, karena Felix sendiri sudah menatapnya dengan tajam seolah ia sedang meguliti tubuh Jova.
“Maaf.” Jova menundukan pandangan. Mengalah adalah cara paling baik menghadapi calon suami yang galak.
"Aku juga tidak menyangka, ternyata cewek yang jadi pilihan Papah, pendek, dekil dan bawel. Aku pikir setara dengan Chelsea Islan, taunya lebih mirip pembantu di rumah. Cewek kayak gini juga di Jakarta banyak, tidak harus jauh-jauh untuk nemuinya," jawab Felix, pandanganya masih menatap Jova yang sedang menunduk.
Sedetik kemudian Jova mengangkat wajahnya. Ia akui mulut Felix memang keterlaluan. Pantas saja tidak laku.
"Memang yah, uang tidak bisa membeli attitude. Anda kaya dan berpendidikan, tapi sayang mulutnya suka menyakiti perasaan orang lain." Jova sebenarnya tidak kaget dengan ucapan calon suaminya. Orang-orang tidak salah menilainya, dan Jova bisa menilai gimana watak calon suaminya. Meskipun baru bertemu, sekilas saja sudah bisa menyimpulkan bahwa calon suaminya memiliki sifat yang buruk.
Belum menikah saja kesabaranya langsung dikuras, gimana kalau sudah nikah. Mungkin ia akan menjadi manusia hanya berbalut tulang dan kulit karena tekanan batin.
"Tapi itu kenyataan kamu memang seperti itu kan. Tinggi satu meter kotor, kulit juga... kamu bisa lihat sendiri gimana kulit kamu. Bawel, aku rasa kamu bisa ukur kamu bawel atau tidak, tapi menurut aku kamu bawel, dan itu bukan kriteria cewek buat jadi pendamping hidupku."
Jova pun akui memang yang dikatakan laki-laki itu benar, ia hitam, pendek dan bawel. "Terus mau kamu apa? Apa mau batalin pernikahan ini? Caranya gimana? Aku akan sangat senang kalau kamu dan orang tua kamu mau membatalkan pernikahan ini," cecar Jova, kalau dibatalin sih ini kemauan Jova banget.
“Enak saja, enggak lah lagian aku gak bakal sia-siakan kesempatan emas ini. Harta dapat, pembantu gratis juga dapat.” Felix membalas pertanyaan Jova, dengan bibir tersenyum sinis.
“Sudah aku duga laki-laki ini emang licik.”
#Sabar Jova, ini ujian....
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!