NovelToon NovelToon

Istri Yang Terzolimi

ternyata aku dibohongi oleh suamiku

Pagi ini aku masih sibuk di belakang aku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku.

Seperti biasa aku selalu mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan kedua tanganku ini tanpa sedikit ku aku pernah mengeluh, Aku sudah biasa bangun pagi-pagi disaat semua penghuni rumah masih terlelap.

Begitu pun pagi ini aku bangun di saat jam masih menunjuk angka 03:30 langka pertama aku menuju kamar mandi untuk membersih kan diri lansung berwuduk, Keluar dari kamar mandi seperti biasa aku melaksanakan sholat malam dua rokaat seleai sohat aku menyempatkan diri untuk membaca alquran dan berzikir sebentar, Sehabis baca alquran aku mulai disibuk kan dengan pekerjaan untuk persiapan kantinku.

Tidak terasa waktu terus berjalan di mesjid yang tidak jauh dari rumahku azan subuh bekumandang dengan sangat merdu membuat yang mendengarnya terlena dan sejuk dihati. Aku menghentikan sejenak kesibukanku dan lansung menunaikan shalat subuh dua rokaat.

Setelah melaksanakan sholat subuh aku memebangun kan suamiku

"mas" aku membangunkan suamiku sambil mengoyangkan sedikit badan nya

"hmm" dia mengeliat has orang bangun tidur, Aku menunggu 2 menit tidak ada gerakan menunjukkan kalau dia sudah bangun.

"Mas" aku mengulagi membangunkan suamiku lagi

"hmm kenapa to dek mas masih ngantuk" jawab nya dengan suara has orang bangun tidur

"bangun sholat subuh" ujarku lagi.

Suamiku duduk dengan mata masih terpejam aku tersenyum melihat tingkah suamiku

"mas" aku memanggil suamiku lagi, sepertinya dia masih berada di alam mimpi

"hah".. Jawabnya seperti tekejut dan mulai membuka matanya

"Ada apa dek?" tanyanya lagi

"subuh" jawabku

"ya bentar lagi lima menit lagi" ucap nya sambil bersiap mau merebahkan tubuhnya lagi. Dengan sigap aku tangkap tangan nya

"nggak ada.. Nggak ada lima menit lima menitan.." Jawab ku sambil menarik tangannya untuk bangun. Setelah bangun aku dorang dengan lembut badannya tarik untuk pergi kekamar mandi.

Dan aku beranjak menuju kedapur untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda, Sekalian membuat sarapan dan beres-beres.

Jam sudah menunjuk angka 06:30 sarapan sudah siap dimeja makan dengan menu seadanya nasi goreng telor mata sapi kesukaan gadis kecilku kami sarapan bersama.

"maam yang banyak ya supaya anak ayah cepet besar" ujar usamiku kepada anak semata wayang kami yang baru berumur 5 tahun

"ya ayah.. Ayah juga maam nya yang bangak supaya semangat kerjanya cari uang" ucar raisya. Aku hanya tersenyum melihat kelakuan anak dan suamiku.

Aku membawa semua barang-barang yang akan ku jual ke kantin di depan rumah.

Setelah anak dan suami sarapan aku membawa bekas piring kotor kebelakang sementara suamiku kekamar mungkin mengambil tas kerjanya yang telah aku siapkan tadi setelah aku sholat subuh.

"dek uang bulanan mas tarok di meja rias, ya. Mas berangkat kerja dulu" pamit suamiku yang sudah siap berangkat kerja

"ya mas.. Sekalian antar raisya kesekolah ya.." jawabku.

Aku yang sedang menyucipirng bekas sarapan tadi menoleh , lalu tersenyum dan mengangguk.

"mas hati-hati ya" ucapku lagi

"itu sudah mas lebihin tuk beli lipstik untukmu" dia berkata sambil memainkan alisnya kebiasan menggodaku, aku hanya tersenyum melihat kelakuan suamiku

"jangan lupa belinya yang merah merona, mas paling suka liat kamu pake yang warna itu telihat seksi" sambungnya lagi sebelum melangkah keluar

"Jangan lupa pintunya di tutup"ucapku sambil memonyongkan bibir , tanda mengejek nya. Tidak berapalama terdengar deruan motornya meninggalkan halaman rumah menuju kantor tempat dia kerja sambil mengantar raisya kesekolah.

Setelah mencuci piring aku bernjak menuju kamar mandi menambil cucian yang aku cuci sore kemaran untuk menjemurnya. Aku mencuci denan kedua tanganku, secara manual.

Setelah menjemur cucian aku melangkah masuk kerumah, langkah kaki terayun menuju kamar tidur. Kuamabil amplop yang berisi uang bulana dari suamiku. Kubuka amplop tersebut didalamnya terdapat enam lembar uang seratusan dan satu lembar uang lima puluhan. Aku tersenym kecut. Aku mengingat permintaannya sebalum berangkat untu membeli lipstik berwarna merah cabe.

Memang dia melibihi lima puluh ribu karna biasanya di hanya memberi uang untuk kebutuhan sehari-hari hanya dua puluh ribu. Dia memberkan jatah belanja dua puluh ribu. Untuk uang jajan anakku termasuk dalam uang belanja sehari-hari. Uang dari mas satria tidaklah cukup.

Untung nya orang tuaku memberi sepetak sawah dan halaman belakang rumah ku bisa ku manfatkan untuk menanam cabe dan syuran, seperti daun singkong bayam dan kangkung. Sehingga untuk kebutuh sehari-hari tidak perlu di beli selain minyak sayur dan garam.

Aku nggak pernah tau berap gaji suamiku perbulan, dimana dia bekerja, dan apa propesinya. Yang aku tau suamiku punya cicilan di bank sebelum kami menikah dan setelah kami menikah dia memperpanjang pinjamannya untuk membli satu hektar lahan di dekat rumah orang tuanya. Aku nggak pernah tau pakah cicilan itu sudah lunas apa belum dia tidak pernah menerangkan dan aku tidak pernah bertanya.

Sedangkan uang bonus dari perusahan tempat dia bekerja kami sepakat untuk menyimpannya di bank, untuk jaga-jaga siapa tau suatu saat butuh duit mendadak. Untuk memenuhi kebutuhan sehari hari aku membuat kue-kue,gorengan,bronis,dan bermacam ragam makanan ringan lain nya aku titip di warung-warung. Alhamdulilah, hasilnya aku tukar sama keperluan dapur dan aku juga membuka sejenis kantin kebetulan di depan rumahku ada SD jadi aku bisa buka kantin jualan dari pagi sampai anak-anak pulang sekolah.

Kujalan semua dengan penuh rasa ikhlas sekali pun berat aku rasa. Karna aku percaya, Suami ku telah berbuat yang terbaik untuk keluarga kecil kami. Mungkin tuhan hanya memberi rizki kepadanya hanya sebatas ini.

"Gaji mas cuma satu juta dek dua rastu mas berikan sama ibu. sisanya buat ongkos mas buat beli bensin, ya? Makanya mas sering nginap dirumah ibu biar irit bensin kalau dari sini kan jauh. Mas yakin kamu bisa mengatur keuangan di rumah kita dengan baik."

Begitulah kira-kira yang selalu di ucapkan di saat aku berkeluh kesah, dan aku selalu percaya padanya. Karna aku yakin dia adalah laki-laki yang baik taat beribadah serta memiliku jiwa sosial yang tingi, dan dia juga termasuk orang yang terpelajar.

Selama ini keluarga mas satria menganggap aku bahagia memiliki suami yang terpelajar dan punya pekerjaan tetap sebelum menikah. Semua kebutuhanku tercukupi dengan gaji mas satria. Aku tak pernah menjelaskan apa pun kepda mereka.

Karna kewajiban istiri menjaga marwah suaminya biarlah apa yang terjadi di dalam rumah kami hanya kami yang tau. Tak sepatutnya menceritakan urusan rumah tangga kepada orang lain. Sekali pun itu adalah keluarga kita sendiri. Berat ringannya cobaan hidup cukup kita saja yang tau. Aku tidak ingin harga diri suamiku jatuh di hadapan keluarga besarnya.

***

Pada suatu siang, setelah dagangan ku habis aku berniat membersih kan ruang kerja suamiku. Kubereskan buku yang berserakan di atas meja kerjanya kertas-kertas yang berserakan di lantai ku masuk kan kedalam tong sampah berkas-berkas aku susun di atas meja. tiba-tiba rekening gaji tejatuh dari dalam sebuah map, entah terdorong apa, pelan-pelan aku buka buku rekening tesebut. Telihat rentetan tertera angka nominal gaji yang diterima oleh suamiku setiap bulan berjumlah lima belas juta.

Badan ku tiba-tiba lemas seketika dadaku bergemuruh hebat. Dari sudut netra ini mulai memanas. aku teliti angka yang tertera di buku rekening tersebut gaji suamiku setiap bulan kalau-kalau tadi aku salah lihat. Aku mulai gugup lalu terjatuh lemas di atas lantai. Isak tangisku mulai keluar dari bibirku ini. Sekali lagi kulihat tansaksi uang tiap bulan yang masuk kerekening tersebut. Untuk memastikan lagi kalau aku salah lihat. Deretan angka tersebut tak berubah dari yang pertama aku liaht. Sukses membuat dada ini sesak ternyata selama ini aku di bohongi oleh suamiku.

Dalam sekejap, luluh lantah semua kepercayaan yang aku berikan kepadanya. Dia selalu mengatakan sisa gajinya hanya satu juta. Tapi ternyata selama 6 tahun pernikahan selalu hidup dalam kebohongan. Aku di bohongi di paksa berjuang sendiri demi terpenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Dan dengan itu aku tahu, hanya seper delapn uang bonus dia berika padaku untuk di tabung.

Mengapa dia begutu tega membohongi aku mentah-mentah. Membiarkan aku berjuang sendiri. Kemana dia hamburkan uang gajinya selama ini? Dada ini sungguh sesak tak percaya kalau dia setega itu kepada ku.

Kuhapus air mataku, kulanjut beres-beres di ruang kerjanya. Setelah semua rapi aku melangkahkan kaki keluar dari ruang tersebut dan membakar semua kertas-kertas yang ada di tong sampah.

Untuk menghilangkan rasa kecewa aku melangkah mengambil sapu lidi untuk membersih kan sekitar rumah ku yang sudah banyak daun yang berguguran kemudian membakarnya.

Setelah semua sampak daun sudah habis dimakan api aku melangkah menuju keteras rumah. Tidak terasa air mata ini pun mengalir tanpa bisa dicegah.

Aku masuk kedalam rumah nggak enak dilihat tetangga kalau aku menangis di teras rumah. Aku duduk di karpet di depan tv. Aku masih terisak dengan segala kepedihan yang mendera.

Memoriku berputar kembalim mengingat kejadian-kejadian yang telah berlalu. Batapa berat perjuangan yang kani lalui bersama.

Bersambung.

suamiku pergi dari rumah

Meski sebagian keluarga besar mas Satria menggap aku wanita paling beruntung mendapatkan suami yang kerjanya dikantoran. Tapi mereka tak pernah tau bahwa berjalannya roda ekonomi kami, ada jerih payahku di dalamnya.

"mbak Santi pasti senang ya punya suami seperti mas Satria, gajinya besar belum lagi bonusnya. Wah kalau aku yang jadi mbak mah sudah gonta-ganti perhiasan mbak" Teringat kata-kata Rima adik sepupunya mas Satria yang penampilannya yang modis kala itu.

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Takku bantah maupun mengiya kan. Sekali lagi demi menjaga marwah suami dan tak terpikir oleh ku tentang ucapannya aku hanya menganggap agin lalu. Andai aku mengtakan sebenarnya pun, akankah meraka percaya dengan ucapan ku. Yang ikut serta membanting tulang demi untuk mencari sesuap nasi?

Mengingat sosok mas Satria orang yang begitu sangat di agungkan dan di sanjungkan dalam keluarga mereka.

dada ini tersa semakin sesak. Namun, aku segera menguasai diri. Aku harus cari tau kemana uang mas Satria selama ini ia sembunyikan. Kepada siap uang itu dia berikan? Dan aku tak boleh menghadapi semua ini dengan keadaan ku yang di penuhi dengan emosi. Karna nanti bisa berakibat fatal.

Lagi-lagi., omongan keluarganya yang aku takutkan dan permasalahannya akan menjadi rumit kalau urusan rumah tangga sudah di campuri oleh keluarga.

Jujur saja keluarga mas satria tidak pernah menyukai diriku, dan sering kali keluar kalimat-kalimat yang begitu menggores relung hati ini. Namun, tidak pernak sekali pun mulut ini tergerak untuk aku menjawab ucapan mereka.

Kadang berbagai macam hinaan yang mereka lontarkan tapi tetap aku menggap merka adalah orang tua yang wajib di hormati. Dari rahim beliaulah lahirnya suamiku. Aku manyayagi suamiku berati aku juga wajib menyayangi mereka walau mereka tidak pernah menyukai diri ini.

"Biarkan saja Satria pulang kesini. Kasian kalau harus pulang pergi dari rumah kalian itu sangat jauh. Aku meghawatirkan kesehatannya dan keselamatan dirinya mengendarai motor menempuh perjalanan yang jauh. Aku nggak tega cukup saja dia pulang satu kali seminggu atau dua kali seminggu untuk mengunjungimu" ujar ibu pada suatu hari waktu itu.

"Tapi aku lagi hamil bu" jawabku

"loh, apa hubungannya hamil sama kepulangan Satria? saya dulu pas waktu hamil Denis juga sering di tinggak sama bapaknya sampai sekarang baik-baik saja. Sudah ah jangan manja" ucap ibu mertuaku dengan ketus

Ucapan itu selalu terngiang di telinga ini ketika aku hamil Raisya masuk ke lima bulan. Kadang kala hinaan cacian bahkan makian yang sering aku dapat kan dari keluarga suamiku.

Salahkah bila dalam keadan aku hamil ingin selalu bersama suami?

"maksud ibu itu baik dek, ibu sangat sayang sama mas ibu hawatir kalau mas kenapa-kenapa, ibu itu sayang sekali sama mas. Makanya, dia bicara seperti itu. udah nggak apa-apa. jangan di masukin ke hati yaa? Yang pentingkan mas tetap pulang mas akan usahakan dua kali seminggu atau tiga kali seminggu. Jangan sedih ya? Ibu hamil nggak boleh sedih di buat bahagia saja ya sayang" mas Satria berusaha membujuk ku.

"Mas kenapa nggak mencari kantakan saja didekat kantor mu biar aku bisa ikut tinggal disana" usul ku pada suatu hari

"kalau kita cari kontrakan trus rumah ini siapa yang nunggu? Kan sayang kalau di biarkan kosong dan lagi mau dapat uang dari mana untuk membayar kontakan makan sehari-hari saja kita susah" jawabnya.

Ya suamiku bekerja tak jauh dari tempat tinggal orang tianya hanya sekitar 30 menit dari rumah sedang kan kalau dari rumah kami, dia harus menempuh perjalajan lebih kurang 5 jam perjalanan.

"atau gimana kalau aku ikut tinggal di rumah ibu mas" usulku lagi

"dek mas yakin kamu nggak bakalan tahan tinggal sama ibu. kadang ke rumah ibu cuma untuk main saja kamu malah ngeluh kalau sudah dirumah" jawabnya lagi, ya keluarga suamiku gak ada yang suka sama aku bahkan kadang tak jarang aku mendapat cacian tapi aku diamkan saja, semua keluarga suamiku nggak pernah menyukaiku, kecuali mas denis anak pertama di keluarga suamiku dia tidak pernah mau ikut campur dalam urusanku dia pun selalu enak di ajak ngobrol bahkan pernah mas denis menegas kan bahwa aku nggak perlu ambil pusing atas ucapan ibuk karna beliau memang orang nya seperti itu.

Aku hanya menjawab dengan senyuman. Walau pun dalam keluarga suamiku banyak yang nggak suka tapi setidak nya masi ada yang menggap aku ada.

Tidak berapa lama Raisya pulang kerumah setelah pulang sekolah tadi dia lansung di jemput sama mbah kakung nya. Membuat aku sadar dari segala lamunanku. dia terlihat kaget melihat mataku yang sembab.

"Ibu kenapa? Ibu habis nangis? Siapa yang jahatin ibu" bermacam pertanyaan yang di lontarkan putriku

"iya, sayang. Tadi ibu habis baca novel online, cerita nya sedih sekali" jawabku berbohong.

bagai manapun keadaanku, aku tidak ingin anakku yang bari berusia 5 tahun harus mengerti beban hidupku.

"sayang kamu ganti bajunya dulu ya habis itu makan" ucapku Raisya melangkah meninggalkanku menuju kekamar tidurnya untuk mengganti pakayannya.

Tidak berapa lama, Raisya keluar dari kamar tidurnya menuju ke meja makan, aku mengambil makanan untuk Raisya.

***

Hari ini jadwal mas Satria pulang kerumahku. Ya ini adalah rumahku karena rumah ini diberikan oleh orang tuaku. Mereka membuat rumah ini setelah aku dan mas Satria baru menikah. Jarak dengan rumah orang tuaku sekitar lima rumah dari rumah ku.

beberapa menit kemudian terdengar bunyi suara motor mas Satria berhenti di depan rumahku. Aku melangkah keluar menyambut kepulangan suami ku.

Aku tidak lansung menanyakan tentang perihal buku rekening yang kutemukan tadi siang. Aku menunggu waktu yang tepat untuk membahas masalh ini, aku pun berusaha untuk mengontrol emosiku.

Setelah anak aku menidurkan gadis kecilku, dan kami berdua tengah menonton televisi, barulah aku menyusun kalimat yang aku rasa pas untukku membahas tentang buku rekening, lebih tepatnya mengintrogasinya.

"mas" aku mulai mambuka pebicaraan

"hmm" dia hanya bergumam

"tadi saat aku bersih-bersih aku menemukan ini" kuberikan buku rekening miliknya itu.

Buku rekening tersebut sebelumnya sudah aku simpan dibawah karpet yang sengaja digunakan saat kami menonton TV.

Wajah mas satria terlihat pucat. Tangannya bergetar saat memegang benda berharga miliknya tersebut.

"Ka-kamu nemu dimana dek?" Tanyanya dengan nada terbata-bata.

"di dalam map yang ada di ruang kerjamu tadi aku bersih-bersih disana" jawabku santai

"kenapa kamu pucat seperti itu mas? Apa karna isi buku itu berbeda dengan yang kamu ceritakan mas? " tanya ku lagi, sambil menatap tajam wajah suamiku

"tega kamu mas! Aku seperti di paksa kerja banting tulang, berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita, sekarang aku tanya kamu kemanakan semua uang itu?" tanyaku sambil tapapan tajam kearah nya.

Dia terdiam tidak menjawab dengan kepala tertunduk, dia memainkan kuku-kukunya.

Bersambung.

awal kebangkittan

"aku berikan kepada ibu dek aku kasian kepada ibu yang harus membiayai kulyahnya Gita banting tulang sendirian semenjak sepeninggalan bapak ibu harus berjuang untuk menguliahkan gita" jawabnya lirih, setelah sekian lama terdiam.

Ku hembus nafas kasar. Lalu mencoba mengontrol emosi gemuruh di dalam dada ini. Dengan menarik nafas kembali secara pelan-pelan.

"sebagian uang bonusnya juga?"aku kembali menyelidiki. Sembari menatapnya tajam Dia mengangguk.

"Begini dek, mas jadi beginikan karna jasa ibu yang berjuang kan, kamukan hanya mendapat kan senangnya saja dek, ibu yang telah berjuang sehingga mas bisa sekolah dan bisa di titik seperti sekarang ini. Jadi kamu harus terima ya? Jangan egois gitulah. seharusnya kamu bersyukur dapat memiliki suami mapan seperti mas ini.dan kehidupanmu juga terjamin"jelasnya terdengar agak ketus.

"Apa? Beruntung kerena hidupku terjamin? apa aku nggak salah dengar mas? Kalau kehidupanku terjamin, seharusnya aku tak susah payah jualan dong mas" cerca ku tanpa memberi ruang mas satria untuk mejawab.

"itu sudah nasibmu coba kamu seperti aku yang punya karir bagus kehidupan mapan, jadi kamu nggak perlu mengemis nafkah dariku, kalau kamu susah payah jualan itu sudah nasipmu. Bahkan aku nggak tau berapa hasil kamu jualan dalam sehari" ucap mas santria dengan enteng.

Netra ini tiba- tiba memanas. Suamiku yang selama ini yang selalu bertutur sapa lembut yang selalu menyayangi aku dan taisya tiba-tiba mengluarkan kata-kata yang sungguh kasar dan tajam bagai belati malam ini.

"mas, seorang istri itu wajib kamu nafkahi. Uang suami berarti uang istri juga. Sedangkan uang istri milik sendiri, tapi nyatanya selama ini kamu ikut makan dari uang yang aku peroleh dari jualan. Aku tidak melarang kamu memberi uang sama ibu tapi tolong jujur. Dan lihat dulu keadan anak dan istrimu mas. Sementara ibu hidup sengan bekecukupan bahkan mewah. Emangnya kamu nggak bisa menukar nominal uang yang di berikan kepada ibu untuk aku dan raisya, bahkan kamu memberikan uang gaji mu untuk kami tidak sampai sepuluh parsen dari uang gajimu kamu anggap aku ini apa mas? Trus sisa uang bonus yang kamu berikan kepada ku kamu kamu berikan kepada ibumu juga mas,kamu anggap aku istrimu nggak sih mas?" Tanyaku sambil menahan sesak didada.

"ya buat ibu, emang kenapa ada yang salah? teserah aku dong. Itu kan uang aku, kenapa kamu yang sewot dan yang aku kasihkan juga kepada ibuku. Wanita yang telah melahirkan ku. Kenapa malah kamu yang sewot? Itu pun kalau kamu masih mau menjadi istriku, kamu harus nurut" ucapnya sinis.

Selepas bicara seperti itu, dia bangkit masuk kamar untuk mengambil jaket, lalu keluar dan terdengar dia sepertinya pergi mengendarai motornya.

Kulihat tas dan helemny juga nggak ada di meja. Sepertinya dia pulang kerumah orang tuanya.

Sepeninggalan mas satria, aku masih terpaku. Tak percaya bila dia tega mengatakan kata-kata yang begitu menyakitkan kepadaku. apakah ini sisi lain dari dirnya yang tidak aku ketahui? Aku hanya tau kehidupan nya di rumah. Di luar sana, tidak pernah aku tau apa yang di lakukannya serta bagaimana perilakunya.

Saat asyik dengan pemikiranku tiba-tiba gawaiku berbunyi menanda kan kalau ada panggilan masuk. dari nomor bapakku,

"Assalamualaikum pak" sapaku ketika panggilan tersambung

"waalaikuksalam nak," jawab seseorang di seberang sana, ternyta ibuku yang menelpon

"ya bu ada apa?" tanyaku,

"nak,kamu disuruh kerumah sama bapak sekarang, ada paemasalahan penting yang harus dibahas katanya" jawab ibuku

"tapi buk kalau sekarang Raisya sudah bobok dari tadi sehabis magrib" jawabku

" ya sudah kalau begitu biar ibu dan bapak saja yang kesana ya sudah ya assalamualaikum"ibu mengakhiri panggilan

"waalaikumsalam" jawabku ketika panggilan telah terputus.

***

Tidak berapa lama terdengat ketukan pintu

Tok

Tok

Dengan langka lesu aku melanggkah kearah pintu sambil memposisikan diri supaya bapak dan ibuku tidak tau kalau aku baru saja bertengkar sama mas satria. Setelah merasa siap barulah aku membuka pintu ibu dan bapakku sudah di depen pintu dan mempersilahkan orang tuaku untuk masuk kerumah, aku membawa bapak dam ibuku keruang tengah duduk dikarpet depan tv, aku melanggkah kebelakang membuat segelas kopi dan secangkir teh untuk kedua orang tua ku.

Setelah di ruang tengah aku meletakan kopi dan teh untuk bapak dan ibuku dan mempersilah kan keduanya untuk minum minuman yang aku suguhkan untuk keduanya.

"ada apa bu katanya tadi ada masalah penting yang akan di bicarakan sama Santi?" tanyaku setelah lama menunggu bapak dan ibuku menceritakan masalah yang dimaksud tapi belum ada di antara mereka yang mulai pembicaran

"jadi gini tanah milik bapak yang warisan dari mbahmu mau di jual.lagi pula juga tidak ada yang nguris karna jauh" ujar bapak mulai bersuara

"tanah kosong itu pak?" tanyaku

"iya mana lagi, hanya itu kan yang bapak punya" jawba bapak. Memang bapak punya lahan kosong sekitar kurang lebih empat hektar selain sawah yang di bagi dua denganku. Dulu pernah aku di pinta untuk mengelolanya, namun, karna pertama jauh dan kedua belum ada modal untuk beli bibit sawit, dan juga untuk upah orang yang bekerja membuka lahan tesebut.

"Jadi katanya di dekat situ akan di bangun pabrik kelapa sawit dan perusahan itu mau membeli lahan bapak, dan beberapa lahan yang lain yang berada di sekitar lahan bapak, dengan harga yang tinggi. Maka ibu dan bapak menyruh kamu untuk mengurusnya nanti. Karna menurut bapak dan ibu juga lebih baik tanah itu di jual dan uang nya bisa kamu gunakan., karna itu juga untuk mu. Karna kamu anak bapak dan ibu satu-satunya. Mungkin nanti bisa untuk buka usaha kamu dan suamimu!" jelas bapak panjang lebar

"baik pak nanti Santi akan uruskan semuanya" jawabku.

Setelah bapak dan ibuku memberi kabar tentang lahan tesebut mereka memutuskan untuk kembali kerumah meraka.

Aku harus merahasiakan ini dari mas Satria. Mungkin ini jawaban dari doa-doa ku selama ini.sepaninggalan orang tuaku setelah mengunci pintu dan memeriksa jendela semua sudah terkuci, aku melangkah menuju kekamar tidur. Kupandangi wajah polos putriku yang sedang terlep aku husap lembut rambutnya.

"sebentar lagi kita akan keluar dari penderitaan ini nak" ucapku lirih.

Ku baringkan badanku disamping gadis kecilku, kami sudah terbias setiap malam hanya tidur berdua karna mas satria banya menghabiskan waktu dirumah orang tuanya. Perlahan rasa ngantuk mulai menyerang dalam beberapa detik kemudian aku pun terlelap.

Aku terbangun jam 04:00 pagi ini aku terbangun agak kesiangan. Ku ayunkan langkah kaki ini menuju kamar mandi untuk membersih diri masih ada waktu aku untuk melakukan sholat tahajud. Aku buru-buru menyudahi mandi dan kemudian melaksanakan sholat tahajud. Seperti biasa aku sempatkan membaca alquran dan berzikir sebentar terus bersiap untuk persiapan kantinku.

Jam menunjukkan angka 06:00 aku membangunkan Raisya memandikan menyiapkan bekal dia untuk sekolah raisya sekolah di sebuah taman kanak-kanak yang ada di daerah ku.

Tidak berpa lama bapak pun datang denga motor kesayangannya untuk mengantar cucu satu-satunya ke kesekolah.

Disaat kantin ku sedang ramainya pembeli anak-anak SD gawai ku berdering kubiarkan saja niat ku kalau memang penting aku menunggu kantin agak sepi baru akan ku telpon kembali. Terdengar bel tabda masuk di gedung SD didepan rumahku semua anak-anak berhamburan memasuki gerabang halaman sekolah mereka.

Disaat bersamaat gawaiku kembali berdering

Kriiing..

Kriiing..

Aku amati panggilan masuk nomor baru, dengan sedikit ragu aku menghubungkan panggilannya.

"Assalmualaiku" sapaku di saat panggilan telah terhubung

"waalaikumsalam, Santi sayangku, apa kabar? Sudah lama aku nggak tau kabar kamu. Kamu mehiang bagai ditelan bumi, tadi iseng-iseng ku buka grup wa SMA kita, eh aku lihat ada fotomu. Maklumlah kita sekolah zaman dulu belum ada HP. Jadi begitu lulus, aku kehilangn jejak kamu"cecer yang di seberang telpon

Suara di seberang telpon terus terdengar tanpa memberi jeda untuk aku menjawabnya. Aku tau siapa dia. Kebiasan dari sekolah dulu tak pernah berubah kalau sudang ngomong susah untuk berhenti.

Tiga tahun kami bersama satu kelas satu meja,membuat aku tak bisa melupakan spesies yang satu ini. Afifah, gadis mungil yang kecepatan bicara nya melebihi kilat. Gadis yang baik hati yang dengan senang hati selalu menolang siapa saja. Teman sekaligus saudara bagiku. Tetapi harus berpisah disaat kami lulus.

Dia berasal dari kabupaten lain, HP adalah barang langka waktu itu. Hanya dari kalangan orang berada yang memiliki barang yang berharga tersebut. Itu pun belum secanggih sekarang. Untuk fitur dan aplikasinya. Waktu itu afifah sudah memilikinya tapi aku belum. Sempat dia memberi nomor agar aku menghubunginya namun nomornya hilang.

"halo.halo ini Santi kan? Kamu masih dengarin aku kan?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!