Rama dan Rima, jika di sandingkan nama mereka terlihat merdu di dengar. Entah kebetulan atau memang takdir Tuhan menjadikan mereka sepasang kekasih. Di karunia wajah yang mirip walau tak sedarah membuat semua yang memandang mengatakan dengan yakin jika mereka berjodoh.
"Rima, sebentar lagi kita akan lulus. Apakah kita masih bisa bersama?" tanya Rama.
Gadis cantik itu menatap kekasihnya dengan penuh arti, sejujurnya ini juga menjadi tanda tanya besar di lubuk hatinya yang paling dalam. sorot matanya tajam, mencoba membayangkan masa depan.
"Aku juga tidak tahu. Apa yang akan kamu lakukan setelah kita lulus?"
Rama menggeleng cepat, ia belum ada pandangan sama sekali untuk masa depannya. Dia yang terlahir dari keluarga broken home karena ayah dan ibunya bercerai di saat dirinya masih kecil, membuatnya tumbuh menjadi anak yang kurang kasih sayang. Ia menjadi pendiam dan jarang bersosialisasi. Ia mulai kembali ceria setahun belakangan ini, karena orang tuanya memutuskan untuk rujuk kembali.
"Mungkin aku akan bekerja," jawab Rama.
"Bukankah orang tua mu mampu, mengapa kamu tidak kuliah saja?" tanya Rima.
"Aku tidak berminat, menurut ku itu membuang-buang waktu. Aku bisa mendapatkan pekerjaan tanpa harus kuliah," jawab Rama.
"Rama, kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Kalau menurut ku lebih baik kamu melanjutkan pendidikan, kamu harusnya bisa memanfaatkan itu semua. Aku saja yang sebenarnya ingin lanjut kuliah, tidak seberuntung diri mu,"
Rima tertunduk sedih. Cita-citanya sebenarnya tidak muluk-muluk, dirinya hanya ingin mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Namun sepertinya dia seperti pungguk merindukan bulan, suatu keinginan yang tidak mungkin ia gapai karena faktor keadaan.
Bagaimana berani dia bermimpi setinggi itu, sedangkan saat ini saja ia dan keluarganya hanya tinggal di kosan satu petak saja. Empat orang tidur bertumpuk dalam satu kamar, semua aktivitas bahkan mereka lakukan dalam ruangan tersebut.
"Sudahlah Rima, biar takdir menjalankan perannya. Aku tidak ingin berencana jika semua itu akan gagal, lebih baik aku jalani saja seperti air yang mengalir,"
Bel tanda masuk segera berbunyi, anak-anak segera berlarian memasuki kelas masing-masing. Begitu juga dengan keduanya, mereka menuju kelas yang sama. Ya, mereka adalah teman sekelas selama satu tahun ini. Pertemuan yang intens membuat keduanya mulai tumbuh getaran cinta. Mereka sama dengan anak sekolah pada umumnya, mengalami putus-nyambung dalam hubungan percintaan mereka.
☆☆☆
Sore harinya.
Mentari mulai terbenam, menyisakan warna jingga dengan siluet awan yang begitu indah. Burung-burung beterbangan kembali ke peraduannya. Samar-samar bayangan rembulan mulai muncul menggantikan singgasana mentari yang tergeser.
"Halo Rima, nanti malam kita jalan ya," ucap Rama.
"Boleh, memangnya kita mau kemana?" tanya Rima.
"Ada deh, pokoknya kamu pasti senang," jawab Rama berteka-teki.
"Aduh kamu bikin aku penasaran deh. Ya sudah, sehabis magrib jemput aku ya,"
Sebenarnya pergi bersama bukan hal yang spesial bagi keduanya, mereka kerap jalan bersama selama ini. Tapi kata-kata Rama yang menekankan kata "Kamu pasti senang" telah memberi ribuan semangat di dadanya.
Gadis cantik itu membersihkan diri dengan semangat, ia jangkau setiap inci tubuhnya dengan sabun favoritnya. Rima Menggunakan pakaian terbaik yang ia punya, seolah hari ini adalah hari yang paling spesial baginya.
"Sayang, kamu mau kemana kok cantik dan wangi sekali?" tanya ibunya yang baru saja pulang bekerja.
"Mau pergi sama Rama, Bu," jawab Rima dengan senyum merekah.
"Jaga diri baik-baik ya, kalian masih muda dan memiliki masa depan yang panjang. Jangan sampai salah langkah karena waktu takkan kembali," pesan ibunya.
"Iya, Bu,"
Tin... tin...
Suara klakson mengalihkan perhatian mereka.
Rama turun dari motor Ninjanya, ia menyalami kedua orang tua kekasihnya dengan sopan. Setelah berpamitan mereka bergegas meninggalkan tempat itu dengan perasaan berbunga-bunga.
Tangan mulus Rima merangkul tubuh kekasihnya, menghilangkan jarak antara tubuh keduanya. Darah muda mereka berdesir, ada rasa hangat yang mengalir ke sekujur tubuh mereka. Wangi parfum masing-masing makin membuat mereka betah berada dalam keadaan itu.
"Rama, kita mau kemana?" tanya Rima.
Gadis itu bingung kemana kekasihnya akan mengajaknya pergi, karena dari tadi mereka hanya berkendara tak tentu arah.
"Nanti kamu juga akan tahu," jawab Rama.
Setelah hampir satu jam berkendara, mereka sampai di sebuah taman yang indah dan romantis. Banyak pasangan muda yang sedang memadu kasih di sana. Rama membawanya agak jauh dari pasangan-pasangan itu.
"Ini tempat apa?" tanya Rima.
"Ya tempat orang pacaran, tempat orang memadu kasih," jawab Rama.
Wajah Rima merona, ia merasa senang juga takut dalam waktu yang bersamaan. Mereka duduk di bawah pohon palem, dalam pencahayaan bulan yang temaram dan gemerlap bintang. Hati keduanya berdegup kencang, baru kali ini mereka berpacaran di tempat sepi seperti ini.
"Rima, apakah kamu benar-benar mencintai ku?"
Rama menggenggam kedua tangan kekasihnya, tatapannya tajam menyorot manik indah gadis cantik di depannya. Wajah mereka kian dekat, namun saat Rama makin mendekatkan wajahnya Rima mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Tentu saja aku mencintai mu, kenapa kamu masih saja bertanya sih," jawab Rima sedikit kesal.
"Apa buktinya?"
Rima kini menatap tajam ke arah kekasihnya.
"Apa selama ini kebersamaan kita bukan bukti untuk mu?"
Rama menggeleng cepat, bukan bukti itu yang ia harapkan.
"Kamu bisa saja meninggalkan dan melupakan aku begitu saja, karena tidak ada ikatan yang kuat antara kita," ucap Rama.
"Apa sih maksud mu, aku sungguh tidak mengerti?"
Rima kesal karena Rama terlalu banyak berteka-teki.
"Serahkan semua yang kamu miliki kepada ku, maka kita akan terikat selamanya," jawab Rima.
"Tapi aku tidak punya apa-apa? Apa yang harus aku berikan?" tanya Rima.
"Jika aku punya sesuatu yang berharga, pasti aku rela memberinya untuk mu," imbuhnya.
Rama tersenyum, ia segera menarik tangan kekasihnya dan menaiki motornya lagi. Rima menurut saja walau tidak tahu akan kemana. Mereka berhenti di sebuah kawasan yang tampak seperti kontrakan atau tempat kos bagi Rima. Kekasihnya tampak berbicara dengan seseorang, mungkin dia pemilik atau karyawan tempat itu.
"Rama, ini tempat apa?" tanya Rima.
Rima mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tampak sebuah kamar tidur, kamar mandi dan lainnya. Ruangan ini lebih besar dari kosannya.
"Aku ingin kamu menyerahkan milik mu yang paling berharga, aku ingin kita terikat selamanya,"
Rama mulai mendekati kekasihnya, ia mulai mencium bibir gadis itu dengan lembut. Awalnya Rima menolak, namun ciuman dan sentuhan kekasihnya membuat dirinya bagai tersengat listrik. Ini lebih jauh dari apa yang pernah mereka lakukan.
Tanpa mereka sadar mereka telah berada di atas kasur. Ranjang itu menjadi saksi gelora cinta keduanya. Rama yang belajar semuanya dari video biru yang ditontonnya, mengaplikasikan keahliannya. Ia mengabsen setiap inci tubuh kekasihnya.
"Akh... Jangan Rama, jangan sampai bawah," pinta Rima dalam sela rintihannya.
"Tapi, milik ku ingin sekali berjumpa dengan milik mu," ucap Rama.
Rama ******* bibir Rima untuk membungkamnya agar tidak bersuara. Ia terus menyerang Rima sampai ada yang berkedut di bawah sana.
"Rama, a-ku ma-u pipis," ucap Rima dengan terengah-engah.
"Akh..."
Seulas senyum penuh kemenangan tersungging di sudut bibir pria itu, ia berhasil memuaskan kekasihnya. Dengan tetap tak henti memberi sentuhan dan kecupan yang membuat Rima hingga merem melek, padahal ia baru saja mengeluarkan lahar panasnya. Pria itu segera memposisikan rudalnya tepat di depan gua milik Rima.
"Rama... sakit," rintih Rima.
"Hanya sebentar, setelah itu akan enak,"
"Akh..."
Dalam sekali hentakan pria itu berhasil menjebol gawang pertahanan Rima yang memang telah basah. Ia memompa perlahan. Des*h*n dan er*ng*n saling bersahutan keluar dari mulut keduanya.
"Rama, aku m-au pi-pis lagi," ucap Rima.
"Keluarkan saja Sayang, aku juga mau keluar,"
"Tidak, nanti ka-surnya ba-sah,"
Rima berkata dengan polosnya, karena ini memang yang pertama untuknya.
"Akh..."
Mereka memekik bersamaan, Rama mengeluarkan lahar panasnya di dalam. Sementara Rima begitu lemas setelah berhasil melakukan pelepasannya yang kedua. Karena kelelahan keduanya tertidur sejenak.
Beberapa saat kemudian, Rima bangun terlebih dahulu. Bagian bawahnya terasa perih sekali, ia berusaha bangkit untuk ke kamar mandi membersihkan sisa penyatuan tadi. Ia terhenyak tatkala melihat noda merah di seprei putih nan bersih itu.
"Oh, tidak," pekiknya.
Rima menangis di dalam kamar mandi, ia basuh seluruh tubuhnya dengan penuh rasa jijik. Kesuciannya telah terenggut oleh pria yang ia cintai. Entah bagaimana nasibnya kedepannya. Apa yang akan terjadi jika sampai dirinya tidak berjodoh dengan Rama.
"Ya Tuhan, maafkan aku yang terlalu lemah ini. Apa yang harus ku katakan kepada kedua orang tua ku, hiks... hiks,"
Rima terus menangis sampai Rama terbangun dan mendengar samar-samar suaranya bercampur dengan suara gemericik air. Dengan masih bertel*nj*ng bulat ia menghampiri kekasihnya itu.
"Rima kamu kenapa menangis?" tanya Rama.
"Pergi kamu... kenapa kamu begitu tega merenggut segalanya dari ku?"
Rima mengusir pria itu, ia menepis tangan Rama ketika coba menenangkannya.
"Maafkan aku Rima, aku melakukannya karena aku mencintai mu. Aku tidak mau kehilangan mu, aku akan bertanggung jawab Rima," ucap Rama.
"Aku harus berkata apa kepada orang tua ku, bagaimana jika aku hamil Rama? Aku masih muda, masa depan ku akan hancur jika sampai aku mengandung,"
Rima masih meratap, duduk dengan memeluk kedua lututnya di lantai kamar mandi yang dingin. Ia tak mau menatap kekasihnya, ia risih melihat pria itu bug*l di depannya.
"Kita akan hadapi semua bersama-sama, aku janji pada mu,"
Rama ikut duduk di depan gadis itu dan memeluknya. Rima menjadi sedikit tenang, ia berharap apa yang di katakan pria itu bukan sekadar bualan untuk membuatnya tenang. Rama membantu Rima berdiri, ia membantu gadis itu membersihkan tubuhnya.
Naluri kejantanannya mulai bangkit kembali, ia mencium bibir kekasihnya dengan lembut.
"Jangan lakukan lagi, aku mohon," pinta Rima.
Namun Rama yang terlanjur bern*fs*, tidak memperdulikan ucapan kekasihnya. Ia terus memberikan sentuhan dan kecupan hingga membuat Rima kembali melayang dan pasrah.
☆☆☆
Beberapa saat kemudian.
"Rama ayo cepat, ini sudah malam. Ayah pasti memarahi ku kali ini," ujar Rima penuh rasa gelisah.
"Tenang saja, nanti bilang saja motornya mogok sehingga harus di perbaiki dulu. Nanti aku juga akan membantu mu bicara," jawab Rama.
Motor melaju dengan kecepatan tinggi membuat Rima makin mempererat pelukannya. Sekitar 40 menit mereka akhirnya sampai di depan kosan Rima.
Tok... tok... tok...
Rima mengetuk pintu dengan gelisah, ia takut ayahnya yang membuka pintu.
"Kamu darimana saja Rima, ayah mu dari tadi menanyakan kamu. Ponsel mu tidak bisa di hubungi, kami semua sangat kuatir dengan keadaan mu,"
Untung saja ternyata ibunya yang membuka pintu, ia merasa sedikit tenang. Ibunya tidak sesadis ayahnya yang lebih ringan tangan saat ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya.
"Maaf Bu, tadi motornya mogok," jawab Rima.
"Iya Tante, mohon maaf kami pulang malam. Tadi motornya mogok jadi harus di perbaiki dulu," sahut Rama.
"Ya sudah tidak apa-apa, lain kali jika ada masalah jangan lupa beri kabar agar yang di rumah tidak kuatir. Terima kasih Rama sudah mengantar Rima kembali,"
Rama pun segera berpamitan dan berlalu dari tempat itu.
☆☆☆
Malam semakin larut, hawa dingin mulai menusuk tulang. Kosan yang hanya satu petak membuat Rima tidak punya privasi, rasa gelisah yang melingkupi hatinya karena kejadian tadi membuat netranya tidak bisa terpejam. Ada rasa gelisah dan takut dalam waktu yang bersamaan ia rasakan.
'Bagaimana jika aku hamil, aku begitu takut. Tapi rasa itu tidak bisa aku pungkiri, begitu nikmat dan membuat ketagihan. Oh tidak, apa yang baru saja ku pikirkan,' batin Rima sembari memukul-mukul kepalanya sendiri karena bisa berpikir kotor.
☆☆☆
Keesokan harinya.
Rima dan Rama pergi ke sekolah seperti biasanya. Namun tidak seperti biasanya, hari ini mereka lebih banyak diam dan tidak terlalu berinteraksi dengan sekitarnya. Kejadian itu meninggalkan rasa cemas yang membuat mereka tidak bisa hidup dengan tenang lagi.
"Rima, apa kamu masih memikirkan kejadian semalam?" tanya Rama.
Rima mengangguk, rasa penasaran dan nikmat membuat mereka berdua melakukan dosa besar. Iya, mereka sadar jika tidak sepantasnya mereka melakukannya sebelum menikah. Namun godaan setan kala itu begitu maha dasyatnya hingga membuat keduanya terlena.
"Aku akan menikahi mu jika kamu hamil," ucap Rama.
Rima menatap pria itu tajam.
"Jika aku hamil? Lalu bagaimana jika ternyata aku tidak hamil, apa kamu akan meninggalkan ku setelah semua ini?" tanya Rima serius.
Titik-titik air mulai membasahi manik matanya yang indah. Ada rasa sakit yang ia rasakan namun tak dapat di ungkapkan.
"Bukan begitu, maksud ku kita akan segera menikah jika memang kamu hamil. Tapi jika tidak, kita akan bekerja dulu mengumpulkan uang, baru kita akan menikah,"
Rama menjawab kesalah pahaman tadi. Rima diam, ia menyeka air matanya yang sempat memenuhi netranya.
"Jangan pernah tinggalkan aku Rama, semua telah aku berikan kepada mu," pinta Rima.
"Tidak akan, aku akan selalu melindungi dan menjaga mu,"
Rama mengusap rambut kekasihnya dengan lembut. Pria itu makin mencintai Rima setelah kejadian semalam. Kejadian itu menegaskan kepemilikannya atas gadis itu. Ini memang adalah rencananya untuk mengikat gadis itu, ia tidak ingin Rima pergi meninggalkannya suatu saat nanti.
"Rima, apa kamu ingin melakukan seperti semalam lagi?" tanya Rama.
"Apa? Tidak... sebaiknya kita melakukannya setelah menikah, cukup semalam saja," ucap Rima dengan gugup.
Sebenarnya Rama hanya ingin menggoda Rima, ia ingin tahu reaksi kekasihnya itu. Ternyata Rima menanggapinya dengan serius.
Jujur dalam sanubarinya, Rima begitu menikmati semuanya walau ia tahu ia salah. Namun melakukannya bersama pria yang sangat ia cintai membuatnya lupa segalanya.
Terkadang begitulah hidup, kita tidak mampu bertahan jika di suguhkan dengan kenikmatan dunia. Walaupun kita sadar jika itu hanya semu, tetap saja kita terjebak dan akan mengkambing hitamkan setan sebagai penggoda abadi.
Sebulan kemudian.
Hari kelulusan mereka sudah hampir lewat sebulan. Rama dan Rima mulai sibuk mencari kerja. Namun begitu keduanya masih kerap berhubungan melalui pesan. Ya, mereka masih berpacaran hingga saat ini.
"Danu, kita mau melamar pekerjaan di mana lagi? Aku sudah menyiapkan 4 lamaran kerja,"
Danu adalah teman sekelasnya saat di sekolah, karena mereka bertetangga cukup dekat membuat keduanya cukup sering berinteraksi. Danu juga bukan tipe pemilih dalam mencari pekerjaan, jadi sangat cocok berteman dengan Rima yang juga demikian. Berbeda dengan Rama yang memang dari keluarga berada, ia selalu memilih-milih pekerjaan. Hal itu membuat Rima selalu bersama Danu dalam mencari pekerjaan.
"Kita coba saja menaruh lamaran di pabrik, di sekitar sini kan banyak. Ya siapa tahu keterima, lumayan juga gajinya," jawab Danu.
"Ok baiklah, aku ikut saja. Yang penting segera dapat pekerjaan. Aku kasihan kepada ibu yang berjuang sendiri banting tulang. Sementara ayah ku, kamu tahu sendiri ia lebih suka bermalas-malasan dan keluyuran tidak jelas,"
Memang Beberapa minggu belakangan ini hidup Rima semakin tidak karuan, ayahnya sudah tidak bekerja lagi. Kedua orang tuanya sering bertengkar, bahkan ibunya kadang juga menerima pukulan dari ayahnya. Jika begitu Rima dan adik laki-lakinya yang bernama Rendi hanya bisa meringkuk di pojok kamar, mereka tidak berani melerai apalagi membela ibunya.
Pernah suatu ketika mereka mencoba membela ibunya, namun ikut di pukul oleh ayahnya. Bahkan ibunya di pukul membabi buta hingga bibirnya mengeluarkan darah segar. Semua tetangga tidak ada yang berani ikut campur karena hapal dengan perangai ayahnya yang sangat kasar dan terkenal nekad.
"Wah alhamdulilah lamarannya sudah habis, semoga ada yang di panggil ya," ucap Rima.
"Iya, amin. Aku lelah sekali Rim, kita istirahat dulu di warung itu ya, aku haus ingin beli es," ajak Danu.
"Boleh, aku juga haus," balas Rima.
Mereka segera memesan dua gelas es teh manis, sembari menunggu mereka bercerita sambil memakan gorengan.
"Bagaimana hubungan mu dengan Rama? Apa kalian masih pacaran?" tanya Danu.
"Masih, tapi sejak kelulusan aku belum pernah bertemu lagi. Kita hanya berhubungan lewat ponsel, katanya dia sedang sibuk mencari pekerjaan," jawab Rima.
"Sayang sekali ya dia tidak lanjut kuliah, padahal orang tuanya sangat mampu. Coba kita ya yang dapat kesempatan begitu, pasti tidak mungkin di sia-siakan,"
"Iya, aku juga sudah pernah menasehatinya. Tapi entahlah, sepertinya dia memang tidak berminat kuliah,"
Mereka terus mengobrol dan sesekali bercanda, keduanya terlihat begitu gembira.
☆☆☆
Sementara itu di tempat lain di sudut kota yang sama.
Rama tengah asyik bermain game di ponselnya. Setelah lulus sekolah dia memang lebih banyak di rumah menikmati fasilitas yang di sediakan orang tuanya, hanya sesekali saja ia mencoba mencari pekerjaan, sisanya hanya ia habiskan untuk menikmati hidupnya dengan bermalas-malasan.
Tring... tring... tring...
"Ah sial, jadi kalah deh. Ada apa sih orang ini telepon?"
Dengan sedikit menggerutu ia mengangkat telepon dari teman sekolahnya dulu.
"Ada apa sih Dimas, ganggu orang lagi nge-game saja kamu?" tanya Rama.
"Kamu masih pacaran sama Rima tidak?" tanya Dimas.
"Buat apa kamu tanya hal itu, itu bukan urusan mu," jawab Rama ketus.
"Hei bukan begitu. Aku tidak ada maksud apa-apa, hanya saja aku melihat Rima sedang jalan sama Danu. Mereka terlihat bahagia sekali," ucap Dimas.
"Jangan mengarang kamu, mana mungkin Rima jalan sama Danu," balas Rama tidak percaya.
"Ok, aku akan foto mereka lalu aku kirim pada mu,"
Tut, tut, tut...
Belum mengatakan sesuatu, panggilan sudah di putus sepihak. Hati Rama menolak percaya, namun tidak mungkin juga Dimas berbohong. Tidak akan ada untungnya bagi temannya itu untuk membual.
Tring... tring...
Dua buah notifikasi masuk di ponselnya. Dengan hati berdebar ia membuka pesan dari Dimas. Tampak sebuah foto memperlihatkan kekasihnya sedang tertawa bersama pria bernama Danu itu. Tidak ada hal yang berlebihan memang, tapi baginya itu sudah menyakiti hatinya.
Rama bergegas menghubungi Rima, namun tidak di angkat. Hatinya makin panas, dengan gusar ia bergegas mengambil helm untuk menyusul mereka.
"Rama kamu mau kemana?" tanya ayahnya.
"Keluar sebentar, Yah" jawabnya tanpa menoleh.
Motornya segera melaju dengan kecepatan tinggi. Hanya beberapa menit dia sudah sampai di warung itu, namun mereka sudah pergi.
"Rama..." teriak Dimas.
"Kamu cari mereka kan? Mereka baru saja pergi, sepertinya mau pulang. Kalau kamu cepat pasti bisa mengejar," ucap Dimas.
"Ok, terima kasih ya,"
Rama segera melajukan motornya kembali, benar saja dia melihat kekasihnya tengah berboncengan dengan Danu. Tanpa banyak bicara dia segera memotong jalan mereka.
Ciiittt...
Terdengar suara rem motor yang di injak begitu dalam hingga menimbulkan suara berdecit.
"Rama? Apa-apaan sih, itu bahaya tahu," ucap Danu geram.
"Kenapa kamu bisa jalan bersama kekasih ku?" tanya Rama penuh emosi.
"Sudah Rama, jangan ribut. Kita hanya melamar kerja bersama, kamu kan tidak pernah mau jika ku ajak,"
Rima mencoba menengahi, ia tidak mau jika sampai mereka berkelahi karena salah paham.
"Lalu kenapa ponsel mu tidak bisa di hubungi, kamu sengaja bukan?"
"Ponsel ku kehabisan baterai, ini juga kita akan pulang. Untuk apa aku berbohong,"
Rama menghampiri Rima dan mengajaknya naik motornya.
"Biar aku yang mengantarnya pulang, awas jika kamu berani mendekatinya," ancam Rama.
Rima memberi kode agar Danu pulang duluan, sementara dia di bonceng Rama dengan motornya.
"Kita mau kemana, bukannya tadi kamu bilang akan mengantar ku pulang?" tanya Rima.
"Kamu harus aku hukum, kamu sudah berani jalan dengan laki-laki lain," jawab Rama.
"Apa? Yang benar saja Rama, kami hanya menaruh lamaran pekerjaan. Kamu jangan aneh-aneh, kamu mau hukum aku bagaimana?"
Rima terlihat begitu ketakutan, ia takut Rama akan memukulnya seperti yang ayahnya lakukan terhadap ibunya. Wajahnya berubah pias membayangkan hal itu.
"Aku tidak peduli, aku akan tetap menghukum mu," jawab Rama.
"Mau hukum aku bagaimana? Kamu akan membawa ku kemana, Rama?"
Rima mulai terisak, ia merasa sangat takut karena semakin jauh dari rumahnya. Bagaimana nasibnya jika sampai Rama berbuat nekad kepadanya?
Setelah berjalan cukup jauh, motor pun berhenti melaju. Rima sangat ingat ini adalah tempat yang sama kala kekasihnya merenggut segalanya dari hidupnya.
'Oh tidak, apa dia akan memukul ku atau mengajak ku berbuat dosa lagi?' batin Rima.
"Rama, kenapa kita kesini lagi?" tanya Rima sembari berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Rama.
"Diam, sudah ku bilang aku akan menghukum mu,"
Rama menyeret Rima di sepanjang koridor, sebelum menghempaskannya ke atas kasur di kamar itu.
"Jangan Rama, apa yang akan kamu lakukan,"
Rima sangat ketakutan melihat kekasihnya membuka sabuk di celananya kemudian menghampirinya. Ia takut pria itu akan memukulkan sabuk itu ke tubuhnya.
"Jangan..."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!