Pukul lima petang, Laisa baru turun dari mobil travel yang membawanya pulang ke kampung halamannya. Desa Arga makmur, desa transmigrasi tahun 1970-an semasa pemerintahan presiden kedua Indonesia. Desa tempat Laisa dilahirkan dan bertumbuh.
Sudah setahun lamanya, Laisa kembali menginjakkan kaki ke desa tempat dimana keluarganya tinggal menetap. Tentu hatinya sangat senang. Perlahan Laisa menghirup udara yang dirindukannya. Matanya menatap jeli kearah rumahnya. Ada yang aneh dan tentu berubah. Tenda mewah berdiri kokoh. Terdapat panggung dan pelaminannya. Hati Laisa bertanya-tanya, "Siapa yang akan menikah?"
Suara cempreng Sarah mengudara, membuat Laisa berlari kecil. Lalu memeluk tubuh tua perempuan yang melahirkannya. Tangis haru melingkupi keduanya. Sarah mengajak putrinya ke dalam rumah. Lagi-lagi Laisa terkejut, rumahnya sudah di dekorasi dengan cantik menurut matanya. Laisa ingin bertanya pada mamanya namun Sarah menyuruhnya untuk bersih-bersih karena sebentar lagi magrib akan datang.
Usai sholat, Laisa kembali dikejutkan dengan penuhnya ibu-ibu, tante-tantenya di dapur milik sang mama. Jangan lupakan halaman belakang rumahnya di sulap menjadi dapur dadakan. Dapur dadakan itu dipenuhi bapak-bapak dan ibu-ibu yang memasak dengan kesibukannya sendiri-sendiri.
Mulut Laisa tentu gatal ingin bertanya, namun lagi-lagi gagal karena dia harus menyalami satu-persatu saudara ibu dan ayahnya itu.
"Kamu udah besar Ca, cantik juga anggun." Ucap tante Mia.
"Makasih tante."
Laisa menjauh dari kerumunan ibu-ibu setelah usai mengisi perut. Mamanya juga memerintahkannya untuk segera istirahat. Laisa tentu menerimanya dengan anggukan. Tentu saja tubuhnya letih setelah menempuh perjalanan sembilan jam lamanya.
Sementara itu di lain tempat sosok lelaki berperawakan tinggi dibuat terkejut oleh kedua orang tuannya. Mereka memintanya besok pukul 9 pagi untuk menikahi seorang gadis yang tidak dikenalnya. Sang ayah mengancam akan menghilangkan nyawa jika permintaannya tidak dituruti, sedang ibunya tidak mau membelanya. Kedua orangtuanya berdalih sudah cukup sabar dengannya yang belum kunjung membawa wanita untuk dinikahi untuk membuat cucu-cucu ucul.
Papanya mengatakan jika dia akan bahagia menikahi perempuan itu, sedangkan sang mama berucap jika perempuan itu sosok menantu idamannya. Ketika ditanya alasannya kedua orangtuanya sepakat mengatakan jika dirinya memang sudah dijodohkan sejak kecil. Apalagi sekarang di usianya yang menginjak 27 tahun masih menyandang predikat lelaki tanpa pasangan.
"Seandainya kamu punya pacar, papa juga tidak akan menikahkan mu dengan anak teman papa. Walaupun kalian memang dari kecil dijodohkan." Ucap Wandra pada sang putra.
Laki-laki itu mengacak rambutnya tanda kesal, "tapi kenapa harus besok? Rai butuh mengenal dulu perempuan itu pa."
Dengan angkuh Wandra berkata pada anaknya, "Setelah menikah kalian akan saling mengenal juga toh. Lagian papa dan mamamu ini sudah tidak sabar untuk menimang cucu-cucu ucul."
"Betul yang diucapkan papamu sayang. Lagian kalian berteman kok dulu, meski tidak begitu akrab."
"Ma, pa, gimana kalau Rai tidak cocok dengan perempuan itu." Protesnya ingin membatalkan rencana konyol kedua orangtuanya.
"Laisa, Laisa namanya. Laisa itu cantik anaknya. Papa yakin kamu akan bahagia jika bersamanya."
"Betul yang dikatakan papamu sayang. Mama percaya kamu akan bahagia jika punya istri sebaik Laisa." Ucap Leha berharap.
"Baiklah-baiklah Rai akan menikahi Laisa-Laisa itu." Ucapnya dengan terpaksa. "Papa gak perlu bunuh diri di pohon toge segala buat ngancam Rai. Rai akan menikahinya besok." Lanjutnya membuat kedua orang tuanya menjerit bahagia. Sepasang paru baya itu berpelukan mesra karena akhirnya putra pertamanya itu menyetujui permintaan mereka. "Akhirnya kita akan punya cucu ucul ma." Jerit Wandra di pelukan Leha.
Laisa menggerutu kesal. Pasalnya sejak subuh dia sudah dipaksa mandi. Mana dinginnya membekukan tubuh. Kekesalannya bertambah, Laisa dipaksa mengenakan kebaya putih. Kebaya itu memang cantik, Laisa tentu tidak keberatan mengenakannya namun pertanyaannya untuk apa dia memakainya. Belum lagi muka dan rambutnya dipermak habis oleh tante Susi yang merupakan MUA langganan sang mama.
"Kamu memang cantik Laisa." Puji tante Susi pada anak perempuan sahabatnya itu.
"Makasih tante Uci, tapi Ica memang cantik dari kecil." Senyum mengembang di wajah oval nya.
"Tan sebenarnya ini ada acara apa si Tan? Kok Ica didandani kayak gini." Tanyanya penasaran.
"Jadi Ica belom tahu?" Ucap tante Susi, Laisa menggeleng lemah. "Belom Tan, Ica kan baru pulang sore kemaren. Tahu-tahu rumah Ica ramai dan ada tenda juga pelaminannya. Emang siapa si Tan yang bakal dikawinin?" Tanyanya polos.
Susi terdiam, dia tidak ingin salah bicara. Tugasnya di sini cuma mendandani Ica. Dia tidak bisa mengatakan jika Ica lah yang akan dinikahkan, toh semua orang juga merahasiakannya.
Laisa dikejutkan oleh kedua sepupunya. "Kak Ica ayo turun, mempelai laki-lakinya udah selesai mengucap ijab kabulnya." Ucap Raya menarik Laisa dibantu dengan Rani. "Ayo kak Ica buruan, om Tante dan tamu-tamu udah nungguin kak Ica."
Laisa hanya menurut saja, dia belum sadar jika dirinya didudukan disamping pria yang berhadapan dengan sang ayah. Otaknya masih berkelana mencerna apa yang terjadi. Tangannya disuruh mengambil pulpen untuk membubuhkan tanda tangan di sebua kertas. Laisa juga menurut saja. Laisa masih belum mengerti dengan apa yang terjadi.
Laisa masih belum mengerti dengan ucapan penghulu. "Silahkan mempelai perempuan sambut tangan suaminya." Namun Laisa masih cuek saja, toh dia tidak merasa punya suami. Namun lelaki di sampingnya menaruh tangan di depan mukanya. "Apa ini?"
"Cium," Pria itu mengambil tangan kanan Laisa mengajak bersalaman kemudian mendorong tangan keduanya ke muka Laisa. Kemudian lelaki itu menarik tubuh Laisa menghadap kearahnya. Lalu sebua ciuman mendarat ke keningnya.
Reflek tangan Laisa menampar pipi sang lelaki. "Kurang ajar kamu yah. Gue bukan perempuan murahan." Ucapnya marah. Lelaki itu tentu tak terima dengan perlakuan Laisa. Dia juga ingin melayangkan tangannya ke pipi Laisa namun saat mata mereka bertemu, betapa terkejutnya keduanya.
"Kamu," ucap mereka bersama.
Bersambung...
"Kamu," Ucap mereka bersama saling menunjuk satu sama lain.
Laisa mendekatkan tubuhnya pada sosok laki-laki yang dengan tega mencuri keningnya dengan ciuman.
"Elo ngapain cium kening gue mesum. Jijik tahu!" Laisa berdecak kesal
"Eh cewek gila, gue juga jijik kali cium kening situ."
"Terus kalo jijik ngapain elo cium?"
"Disuruh pak penghulu." Laki-laki itu tertawa menunjuk penghulu tak berdosa.
Laisa mendekati pria paru baya berpeci itu, "Pak, ya Alloh. Bapak paham agama kan? Bersentuhan antar laki dan perempuan itu dilarang pak dalam agama." Ucap Laisa sok bijak, "ini ya Alloh bapak malah nyuruh curut ini cium kening perawan gue." Laisa memegang keningnya yang tak suci lagi. "Pak, tobat pak."
Rai mendekat kearah penghulu, "gak usah diladeni pak, dia gila." Ucap Rai pada penghulu itu.
Kemudian mulut Rai berucap, "gue kalo cium Laisa dosa gak saudara-saudara?"
Teriak orang di ruangan itu menggema mengatakan tidak.
"Tuh elo denger Laisa, gak dosa kali gue cium elo." Ucapnya tertawa senang.
"Elo sarap yah?" Tanya Laisa kesal.
"Gue gak sarap, tapi elo harus dikasih pelajaran. Berani sekali tangan cantik elo nempel dimuka tampan gue."
"Elo, kurang ajar cium gue." Laisa berteriak didepan wajah Rai.
"Eh cewek bego, elo itu halal buat gue. Mau gue cium, ***** atau gue bawak ke ranjang gak ada yang bakal melarang." Ucapnya penuh keyakinan. "Kalo elo gak percaya tanya aja sama bokap nyokap elo."
Laisa yang kesal menginjak kaki Rai, "mesum." Ucapnya berlari kearah orang tuanya. Maksud hati ingin mengadu namun sang ayah membenarkan ucapan pria menyebalkan.
"Om setuju, bawa aja anak om ke ranjang Rai." Ucap Lemba, "Biar kita cepat dapet cucu." Kompak kedua pasang suami istri berujar yang tidak lain tidak bukan adalah orang tua Laisa dan Raika.
"Gue bawa dulu anak om yah!" Raika menarik tangan Laisa menuju kamar sang gadis. Sementara para tamu undangan masih bingung dengan pertunjukan dua keluarga yang telah bersatu itu.
"Misi berhasil," Wandra dan Lembah bertos ria, kemudian keduanya berpelukan. Begitu juga dengan Leha dan Sarah mereka bahagia akhirnya bisa jadi besan.
"Elo ngapain tarik-tarik gue!" Laisa melepaskan tangannya dari cengkram Raika setelah sampai di kamarnya.
"Gue gak nyangka ternyata elo suka sama gue! Sampai bokap elo maksa bokap gue buat nikahin kita." Ucap Raika duduk di ranjang queen sizenya Laisa. Matanya memandang seluruh penjuru kamar itu. Ada beberapa foto terpajang di sana. Foto saat Laisa Tk, saat Laisa SD dan foto SMP mereka, Laisa yang tersenyum sedang dirinya memasang wajah sok coll. Selebihnya foto Laisa SMA dan kuliah. Tangan Raika menarik bingkai foto dia dan Laisa. "Elo suka gue dari SMP?" Tanyanya lagi menunjukan foto dia dan Laisa.
Laisa menatap jengkel Raika, teman sekelasnya itu, "Gak usah kepedean deh elo." Ucapnya, "Tuh liat, mereka juga gue pajang." Laisa menunjukan fotonya dengan teman mereka waktu SMP. "Lagian ngapain gue suka sama cowok kerempeng macam elo. Dih najis, Amit-amit!" Laisa mengetok-ngetok meja sambil berdecak jijik.
"Alah Lais ngaku aja deh elo. Elo maksa om Limba ngebujuk bokap buat nikahin kita kan?"
"Nikah?" Ucap Laisa, "eh tunggu dulu, dari kemaren sore pas gue balik ke rumah ada tenda, terus elo bilang nikah, emang siapa sih yang nikah?"
Raika tertawa geli, kemudian dia memasang wajah seriusnya, "jadi dari tadi otak elo, elo bawa kemana neng? Kok gak sadar situ udah jadi bininya gue."
"Apa bini elo?"
"Iye bini Raika Laksamana." Raika tersenyum menang, pikirnya tidak buruk juga punya istri macam Laisa, teman sekelasnya waktu SMP. Lagian sepertinya perempuan itu mencintainya, Raika berpikir, akan mudah untuknya mencintai orang didepannya.
"Gue gak mau sama elo." Ucap Laisa yang baru sah dinikahi oleh Raika itu.
"Cuih, apalagi gue. Gue gak sudi punya istri macam elo." Raika menatap wanita dihadapannya dengan kesal.
"Ya udah cerain gue sekarang juga!" Pinta Laisa pada suami beberapa menitnya itu.
Raika nampak berpikir, "gak mau, enak aja. Gue belum ***-*** sama elo, gue belum cicip syurga dunia. Gak sudi gue jadi duda perjaka."
"Raika, gue gorok juga elo."
Setelah perdebatan panjang mereka di dalam kamar, keduanya lagi-lagi meberengut kesal. Mereka disuruh mengenakan baju adat setempat yang buat gerah dan berat. Belum lagi mereka berdua harus duduk di pelaminan dengan wajah pura-pura bahagia. Padahal hati nyes nyesek sekali.
"Selamat yah bro, gak nyangka gue kalian jodoh." Ucap Davin teman mereka saat SMP.
"Selamat pak Raika dan Ibu, semoga jadi keluarga samawa." Ucap pak Rosyid, teman mengajar Raika sekaligus guru Raika dan Laisa saat SMP.
"Raika, akhirnya kamu menikah juga. Ibu turut senang. Bimbing istrimu kejalan yang benar." Bu Ratu menyalami Raika kemudian Laisa. Bu Ratu juga guru keduanya saat SMP.
Sayang sungguh sayang tidak ada yang mengenal Laisa, Laisa pun lupa-lupa ingat sama mereka. Tepatnya memang Laisa melupakan mereka dan dulunya saat masih smp, Laisa murid biasa saja, tidak dikenal. Dalam hatinya membatin, "Gak ada satupun temen gue yang ngucapin selamat gitu, semuanya teman Raika.
Enam pasang manusia menaiki pelaminan. Laisa tahu, para wanitanya adalah sahabat suaminya itu. Laisa juga heran kenapa Raika lebih akrab sama perempuan saat SMP.
"Selamat yah Rai. Ternyata kamu yang duluan dari kita." Ucap mereka kompak, "Selamat juga Ica, semoga elo betah jadi istrinya Sahabat kita satu ini."
Ucap Tari tersenyum memeluk Laisa.
"Selamat yah Ica, tenang aja Rai kita ini baik kok sama perempuan." Giliran Riska memeluk tubuh Laisa.
"Kamu jangan khawatir Ca, Rai orangnya royal kok. Dia sering jajanin kita, otomatis elo sebagai istri pasti dijajani juga." Monik bersuara.
"Gue gak nyangka elo berdua jodoh. Rai itu udah lama jomblonya Ca." Mena menyalami Ica kemudian memeluk teman SMPnya itu.
"Ca, Rai kalo tidur suka ngorok." Medina ikut berkoar.
Laisa hanya tersenyum, sedang Rai merasa dongkol dengan sahabat-sahabatnya itu.
"Selamat Laisa Raika, semoga segera memberikan kami ponakan." Ucap pasangan dari sahabatnya Raika tersebut. Kemudian mereka berfoto dengan pengantin. Laisa tersenyum tipis, dalam hatinya membatin, "Gue gak sudi jadi istri Raika."
Laisa menertawakan dirinya sendiri. Kok dia bodoh sekali, jika telah ditipu mentah-mentah sama mama dan papanya. Faktanya kepulangannya sore kemaren membuat paginya dia jadi istri Raika. Padahal harusnya dia curiga saat tenda itu berdiri didepan rumahnya, terus saat kebaya putih menempel di tubuhnya. Laisa juga belum paham saat itu dia tengah dinikahkan dengan teman semasa SMPnya.
Berbicara tentang suaminya itu, Raika Laksamana. Banyak yang berubah dari dirinya, dulu lelaki itu kurus kerempeng sekarang bobot tubuhnya berisi. Sedikit lebih tampan saat dia dewasa, menurut Laisa. Laisa, Raika perna akrab saat mos sekolah namun entah angin apa keduanya menjauh seakan tak saling kenal. Lalu setelah lulus SMP mereka kembali bertemu saat dirinya telah sah jadi istri Raika.
"Seharusnya gue gak pulang kemaren." Jerit Laisa dalam hati, tentu dia menyesal dan menyalahkan semua orang atas perubahan statusnya itu.
Bersambung...
Laisa memberungut sebal. Dia kecewa pada semua orang, apalagi mama papanya. Dua orang malaikatnya itu bahkan tampak tak merasa bersalah. Mereka ketawa penuh suka cita dengan besan barunya. Laisa menuju meja makan di mana dua pasang yang resmi besanan itu berada. Laisa mah bodoh amat dengan Raika yang masih tidur nyenyak di ranjangnya. "Rai mana ca?" Tanya mamanya.
Laisa mengedikan bahu, dia sibuk mengisi piringnya dengan nasi goreng. Laisa lapar pemirsa. Belum makan, bahkan dari kemaren dan semalam suami kurang ajarnya itu dengan tidak tahu dirinya meminta jatahnya. Dengan berat hati Laisa memberinya. Raika yang dikasih jatah tidak cukup sekali, dia terus dan terus membuat Laisa tidak dapat tidur hingga pukul tiga pagi. Laisa tentu langsung mandi mengabaikan bagian bawahnya yang masih sakit. Terus dia tidur sebentar di sofa kecilnya. Laisa mana sudi satu ranjang dengan Raika. Saat subuh Laisa kembali membuka matanya untuk wudhu dan sholat subuh. Usai solat Laisa mengecek handphonenya. Beberapa notifikasi dari sahabatnya muncul. Tentu mereka ingin tahu kapan bisa meet time lagi.
Laisa sedih, hidupnya tidak akan sebebas dulu lagi.
"Ca, suamimu mana?" Tanya mama Rai.
"Tidur." Jawabnya singkat.
"Kamu itu Ca, pamali ngisi perut dulu sebelum suami. Bangunin suami kamu sana. Perempuan itu harus ngurus suaminya dengan benar."
"Hem."
"Yang dibilang mamamu benar Ca. Tante nikahin Rai sama kamu biar dia keurus."
"Ica bukan baby sitersnya Rai." Jawab Laisa ketus mengunyah makanannya.
"Lah siapa bilang kamu baby sitersnya Rai!" Leha berdecak kesal, menantunya cari gara-gara.
"Ca siapa yang ngajarin kamu kurang ajar!" Lemba menaikan suaranya.
"Kami ini nanya baik-baik sama kamu, di mana Rai? Kok kamu malah terkesan tidak peduli dengan suamimu itu." Sindir Leha menahan amarahnya.
"Ica memang tidak peduli."
"Ya Allah Ca, mama papa gak ngajarin kamu begini nak."
"Apa Ica gak punya pilihan?" Tanyanya pada kedua orangtuanya itu.
"Apa Ica boneka kalian? Ica boneka kan pa, ma? Yang gak punya hati dan perasaan. Kenapa kalian nikahin Ica, tapi sedikitpun tidak meminta persetujuan Ica? Kenapa Ma, Pa?" Semua orang terdiam, seharusnya memang Laisa diberitahu terlebih dahulu.
Raika yang melihatnya murka, Laisa sama sekali tidak sopan kepada empat orang tua itu.
"Laisa kamu ini kenapa? Berteriak-teriak tidak jelas. Kalau bicara dengan orang tua itu yang sopan."
Laisa mendelik malas kearah Raika, "kenapa? Elo juga mau jadiin gue boneka?"
"Laisa, mama papa cuma mau ngelakuin yang terbaik buat kamu nak." Ucap Lembah.
"Kami tidak ingin kamu salah jalan nak." Ucap Sarah.
Laisa memandang kedua orang tuanya dengan pandangan terluka, memang Laisa melakukan apa hingga dia salah jalan. Laisa selalu menuruti maunya mama papanya, meski tanpa persetujuan langsung dari kedua orang tuanya. Kali ini pun begitu, tiba-tiba gak ada angin gak ada hujan, dia dinikahkan dengan Raika.
Setidaknya kedua orangtuanya itu meminta persetujuannya dulu. Atau paling tidak mengatakan keputusan mereka. Laisa merasa ditipu mentah-mentah. Laisa berlari ke kamarnya. Pikirnya satu Laisa harus kembali ke tempatnya, tempat di mana dia tinggal beberapa tahun ini.
Dengan tergesa-gesa Laisa menaruh baju-bajunya ke dalam koper. Jangan kira Laisa akan menangis, Laisa, dia tidak ingin terlihat lemah dimata siapapun.
"Mau ke mana kamu Ca?" Tanya papanya saat Laisa melewati mereka.
"Pulang."
"Pulang ke mana?"
"Ke kosan Ica."
"Kamu tidak ku izinkan pergi ke kota Ca." Rai yang berbicara.
"Apa hak lo?"
"Gue suami lo brengsek. Lo ikut gue sekarang. Ma, pa, om, tante Rai bawa Ica ke rumah Rai." Rai menarik tangan Laisa agar mengikutinya. Kemudian dengan kasar dia menyuruh Laisa masuk ke mobilnya.
"Masuk cepat! Elo emang harus dikasarin biar nurut."
Mobil Raika menuju tempat di mana dia tinggal. Desa itu bahkan belum terjamah listrik. Laisa tidak bisa membayangkan jika dia akan hidup di desa Raika. Laisa tidak mau, namun dia tidak dapat menolak. Raika sekarang imamnya.
"Gue gak mau tinggal di sini Ka?"
"Elo istri gue, elo harus tinggal bareng gue."
"Tapi Ka, gue gak mau tinggal di sini."
Raika membawa Laisa ke dalam rumahnya. Rumah yang dibangunnya dua tahun lalu. Yang memang dipersembahkan untuk anak istrinya. Rumah tingkat dua itu, sebenarnya sangat nyaman untuk ditinggali. Namun kendalanya desa ini PLN belum tersedia, listrik hidup saat malam tiba. Laisa tidak mempermasalahkan listriknya namun jika signal ilang-ilangan dan susah untuk mencharger handphone juga laptopnya. Itu yang menjadi masalah Laisa. Laisa bekerja di internet. Kalo tinggal di desa ini mana bisa Laisa kerja.
Laisa menurut saja saat suaminya itu mengajaknya ke kamar milik pria itu. "Bisa gak Ka, kita tinggal di kota aja?" Tanyanya ragu-ragu.
"Kenapa? Kerjaan aku tu di sini Ca. Kalau di kota aku mau kerja apa?"
"Banyak Ka, kamu bisa bawa mobil kan? Kamu jadi driver online aja." Usulnya pada suaminya itu.
"Enak aja kamu ngomong?" Raika mendengus sebal.
"Lah napa itu kan halal, lagian untungnya lumayan loh." Ujar Laisa.
"Gak mau Ca. Aku gak mau, enakan hidup di desa. Paginya aku bisa ngajar di sekolah. Sorenya bisa berladang dan berternak."
"Aku gak mau Ka, di sini gak ada wifi. Aku gak perlu wifi deh. Listrik sini saja belum masuk."
"Salah siapa mau jadi istriku?"
"Ih siapa yang mau jadi istri elo."
Kalau boleh memilih, Laisa belum mau menikah.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!