"THA! BANGUN, NAK!"
Mama Thalita mengguncang bahu putrinya yang masih berselancar ke alam mimpi. Gadis itu menggeliat, mengubah posisi, menarik selimut dan kembali mendengkur. Sang Mama menjadi gemas, kemudian menarik selimut putrinya dengan kesal.
"BANGUN, THA!! DEASY HILANG!!"
"Hah? Apa, Ma? Deasy hilang? Kok bisa sih, masa iya dia udah gede gitu diculik?"
Thalita segera bangun dan memberondong mamanya dengan pertanyaan beruntun. Kalimat Deasy hilang, membuatnya kehilangan rasa kantuk. Ya, Deasy adalah sahabat Thalita sejak mereka memakai seragam putih dan merah hati. Sudah belasan tahun. Bahkan kini, setelah mereka tak lagi memakai seragam, mereka tetap bersahabat karib.
Thalita dan Deasy bagai kembar siam. Kemana-mana selalu berdua. Kecuali ketika sedang di rumah masing-masing, baru mereka berpisah. Kalimat Deasy hilang, seolah kalimat yang sangat mengejutkan bagi Thalita.
Kemarin sore, saat terakhir kali mereka bertemu, Thalita menurunkan Deasy di depan pagar rumahnya. Gadis itu bahkan baru beranjak pergi, ketika sahabatnya itu masuk ke dalam rumah. Sejak itu, mereka tak lagi berkomunikasi. Chat dan telepon Thalita tak mendapat respon. Thalita mengira Deasy sedang sibuk. Sibuk pacaran.
"Iya, Tha. Ini asisten di rumahnya barusan nelpon Mama. Dia nanyain apa Deasy nginap di sini. Dari semalam dia gak pulang, makanya asisten Deasy jadi panik."
"Udah coba hubungi pacarnya belum, Ma?"
"Katanya sih udah. Si Moses bilang, dia gak lagi sama Deasy. Bahkan belum ketemu dari seminggu yang lalu."
Thalita mengerutkan dahi. Memang benar kata mamanya, Deasy memang terakhir kali ketemu Moses seminggu yang lalu. Malah Thalita yang mengantarkan Deasy ke rumah Moses."
"Kemana ya, tuh anak? Dari semalam juga Thalita hubungi dia, tapi gak ada respon, Ma. Thalita kira dia lagi sibuk."
"Dia lagi gak ada masalah kan, Tha?"
"Maksud, Mama?"
"Ya kali aja Deasy ada cerita sama kamu, kalau lagi ada masalah sama keluarganya. Terus memutuskan pergi dari rumah."
"Gak ada kok, Ma. Hubungan Deasy sama keluarganya baik-baik aja. Malah mama Deasy nyuruh anaknya buat bawa pacar e ke rumah. Mau kenalan gitu, dan itu bikin Deasy happy banget."
"Sekarang kamu mandi deh, Tha! Kita ke rumah Deasy. Sebentar lagi mama papanya datang, ini masih di perjalanan."
Thalita segera beranjak ke kamar mandi. Rasa khawatirnya pada sang sahabat, mengalahkan rasa malasnya untuk mandi. Sepuluh menit kemudian, Thalita sudah siap dengan motor maticnya. Tinggal menunggu mamanya yang sedang dandan.
"Ayo,Ma! Cepetan, keburu siang nih, tar rejekinya dipatuk ayam!"
Mama Thalita seketika menjitak kepala anak gadisnya, karena mengutip kalimat yang sering digunakannya saat membangunkan Thalita. Mama segera naik ke boncengan motor Thalita, dan keduanya segera melaju menuju rumah Deasy.
Di rumah Deasy, tampak papa dan mama gadis itu sudah sampai. Mama Deasy menangis di pelukan suaminya. Papa Deasy juga tampak beberapa kali mengusap matanya. Keduanya sama-sama menangis. Maklum, Deasy anak mereka satu-satunya. Kabar hilangnya Deasy, merupakan pukulan tersendiri bagi keduanya.
"Siang, Om, Tante!" sapa Thalita sambil mencium tangan papa mama Deasy.
"Thalita! Kamu gak tau Deasy pergi kemana, Nak?"
Mama Deasy, Tante Anna, memeluk Thalita dengan erat sambil terus menangis. Membuat gadis itu turut meneteskan air mata. Thalita tipe cewek yang gampang sekali merasa sedih dan terharu. Tak heran, dalam beberapa saat kemudian, Thalita dan Tante Anna menangis sambil berpelukan.
"Deasy gak ada cerita sama Mbak, belakangan ini?" tanya Om Henoch pada mama Thalita.
"Gak ada, Mas. Sama Thalita juga gak ada cerita apa-apa," jawab Mama.
Tampak Om Henoch menghela napas. Pria itu sedang bingung, tak tau lagi harus mencari anaknya kemana lagi.
"Belum lapor polisi, Mas?" tanya Mama.
"Belum, Mbak. Kan harus nunggu 48 jam dulu, baru seseorang bisa dinyatakan hilang."
"Benar juga sih. Ponselnya tak bisa dihubungi? Kata Thalita semalam masih bisa, tapi Deasy gak respon waktu dichat dan ditelepon."
"Iya, Mbak. Sedari sore juga aku telpon, Deasy gak angkat. Makanya mamanya dan aku jadi punya firasat gak enak."
Mendung terlihat jelas di wajah Om Henoch, membuat Mama menepuk bahunya pelan. Thalita dan Tante Anna masih menangis sambil berpelukan.
"Oh iya, Mas. Kata Thalita, Deasy itu punya pacar. Apa sudah tanya sama pacarnya?"
"Belum, Mbak. Aku baru tau nih, kalau anakku punya pacar. Thalita tau rumah cowoknya Deasy?"
"Tau, Om. Apa Om mau Thalita antar ke sana?"
"Iya, Tha, boleh! Yuk kita berangkat!"
"Mama ikut, Pa!" Tante Anna kembali bersemangat. Mudah-mudahan Deasy ditemukan di rumah pacarnya.
"Aku juga ikut, boleh?" Mama juga ingin ikut.
"Ayo deh, kita bawa mobil aja! Thalita, kamu di depan sama Om, ya! Kan kamu penunjuk jalan."
"Siap, Om!"
Mereka berempat segera pergi, menggunakan mobil yang disupiri papa Deasy langsung. Tak lama mereka sampai di rumah Moses. Sebuah rumah yang terbilang mewah, tapi bangunannya sudah agak kuno. Moses sendiri yang membukakan gerbang.
"Maaf menggangu ya, Bang Moses! Ini Om dan Tante mau ketemu Abang," kata Thalita.
Moses terbatuk, tampaknya cowok itu sedang kurang sehat. Wajahnya tampak pucat, hidung meler, dan batuk-batuk kecil di sela dia berbicara.
"Silakan, Om, Tante! Maaf, tempatnya berantakan! Silakan masuk!"
"Kok sepi, Bang? Bik Sari kemana?" tanya Thalita.
Sejauh ini, cuma Thalita dan Moses yang ngobrol, para orang tua hanya diam dan tersenyum. Mengangguk dan menggeleng juga kalau diajak ngobrol, kayak Om yang rambutnya kriwil dan suka muncul di acara televisi.
"Bik Sari ijin pulang, ibunya lagi sakit. Sudah seminggu ini Bik Sari di kampung."
"Oh, pantesan sepi. Kalau gitu, boleh Thalita bantu bikin minum, Bang?"
"Wah, makasih lho, Tha! Tadinya juga aku mau minta tolong, tapi gak enak. Hehehe."
"Kayak sama siapa aja. Aku ke dapur dulu, Bang."
Thalita memang sering datang ke rumah ini, tentu saja bersama Deasy. Moses mempunyai sebuah perpustakaan dengan koleksi buku yang lumayan banyak. Thalita betah sekali di tempat itu. Karenanya, Thalita selalu bersemangat setiap kali Deasy mengajaknya ke rumah ini.
Saat berjalan ke dapur, Thalita melewati perpustakaan yang biasa dia kunjungi. Pintunya sedikit terbuka, mungkin Moses tadi sedang berada di sana, ketika Thalita menelepon memberi tau kedatangannya dan orang tua Deasy.
Tiba-tiba angin dingin bertiup entah darimana datangnya. Membuat bulu tengkuk Thalita berdiri. Ada rasa ngeri yang tiba-tiba dirasakan gadis itu. Hanya sekejap. Selanjutnya sudah menghilang lagi. Thalita melanjutkan langkahnya menuju dapur. Memasak air, dan membuat teh hangat untuk semua orang di rumah itu.
Deasy terlahir sebagai anak tunggal, dari sebuah keluarga yang tergila-gila dengan kata 'kerja'. Kedua orang tuanya sibuk mengejar karier, dan sering pergi ke luar kota. Kadang sampai berhari-hari. Deasy kecil sering merasa kesepian, karena itu, dia lebih banyak berada di rumah Thalita. Mereka sama-sama anak tunggal, cuma bedanya, mama Thalita bukanlah wanita karier. Beliau adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Karena itu, Thalita tak pernah merasa kesepian seperti Deasy.
Deasy sudah dianggap seperti anak sendiri oleh mama Thalita. Kadang, Mama membelikan barang yang sama, saat membeli untuk Thalita. Kedekatan keduanya, tentu saja pernah membuat Thalita kecil merajuk, bocah itu tak mau berbagi mama. Tapi, Tante Anna, mama Deasy, juga sering berbuat sama, membelikan oleh-oleh buat Thalita, sama dengan punya Deasy, cuma beda warna. Deasy suka warna merah, Thalita suka warna biru.
Kadang, mama Thalita terlihat lebih menyayangi Deasy, daripada anaknya sendiri. Mama Thalita akan sangat panik, saat Deasy terluka, meski itu hanya sebuah luka kecil. Bahkan ketika Deasy bersin, mama Thalita akan segera membawanya ke dokter. Lebay? Begitulah adanya.
"Anak Mama itu Deasy atau Thalita sih, Ma? Kok Mama lebih sayang ke dia daripada ke aku."
Protes Thalita kala itu, saat Mama memilihkan duri ikan buat Deasy, tapi membiarkan Thalita makan sendiri.
"Kamu kan sudah pinter makan ikan, Tha, sedang Deasy belum terbiasa. Kan kasian kalau sampai tertelan durinya," jawab Mama.
Thalita kesal, sampai punya niat sengaja menelan duri, agar mendapat perhatian dari mamanya. Tapi saat teringat sakitnya tertelan duri ikan, Thalita mengurungkan niatnya. Yang bisa Thalita perbuat, hanya merajuk, hingga sang Mama kembali perhatian padanya, bukan Deasy.
Pernah juga, Deasy membuat ulah agar papa dan mamanya tak jadi pergi. Gadis cilik itu sengaja bermain hujan, agar terkena flu. Tapi, harapannya tak terwujud, bukannya terkena flu, Deasy malah terkena jewer papanya. Deasy merasa kesal sekali.
Pernah juga Deasy berniat pergi dari rumah. Gadis cilik itu sudah memasukkan beberapa baju dan mainan, ke dalam ransel sekolahnya. Membongkar celengan agar punya duit buat bekal minggat. Tujuan Deasy cuma satu, rumah Thalita. Deasy akan memohon pada mama Thalita untuk mengadopsi dirinya. Ya, di rumah Thalita selalu ada mama yang menyayangi dirinya. Deasy tak akan merasa kesepian lagi.
Deasy juga sempat berpikiran, untuk meminta Thalita untuk tukar posisi. Mereka akan bertukar keluarga, karena Deasy melihat mamanya lebih sayang pada Thalita daripada pada dirinya. Mungkin saja mereka tertukar di rumah sakit ketika lahir. Tapi itu sangat tidak mungkin, selisih usia Thalita dan Deasy lima bulan, jadi tak mungkin lahir barengan.
Beranjak remaja, Deasy dan Thalita bagai saudara kembar, beda ayah dan ibu. Keduanya sering memakai barang-barang yang sama, seperti anak panti, hehehe.
Sifat Thalita yang tengil, berbanding terbalik dengan sifat Deasy yang kalem. Karena itu, Deasy sering berperan sebagai kakak bagi Thalita. Deasy lebih banyak mengalah.
"Des, aku pinjam sepatu kamu yang warna biru, dong!"
"Sepatu biru yang mana, Tha?"
"Itu lho, yang kemarin kita beli di mall."
"Yah, gimana sih? Itu kan masih baru, aku belum pakai, masa kamu pinjem?" keluh Deasy.
"Boleh apa gak? Gitu aja jawabnya panjang bener, muter-muter."
"Gak."
"Ketus amat! Dasar pelit, bilang gak boleh aja pakai muter-muter dulu."
"Haduh, Tha. Jawab panjang dibilang muter-muter, pendek dibilang ketus. Serba salah!"
"Abis kamu pelit, pinjam aja gak boleh!"
"Lagian, yang dipinjam sepatu baru. Yang punya juga belum pakai sama sekali. Itu namanya kurang ajar."
Saat berantem seperti itu, Deasy lebih memilih untuk menghindari Thalita. Deasy akan pulang ke rumahnya, dan tak akan muncul di rumah Thalita sampai beberapa hari mendatang. Setelah dirasa mereka sama-sama tenang, baru Deasy sering berkunjung ke rumah Thalita lagi.
Saat Deasy mulai duduk di bangku SMP, kedua orang tuanya semakin jarang di rumah. Lebih sering ke luar kota atau luar negeri untuk berbisnis. Deasy yang selalu kesepian, lebih banyak membuat ulah, untuk memancing perhatian orang tuanya.
Deasy suka datang terlambat ke sekolah. Rok seragamnya juga dibikin pendek, sepuluh senti di atas lutut. Akibatnya, orang tua Deasy dipanggil ke sekolah untuk mendapat teguran. Bukannya sedih, Deasy justru terlihat bahagia, melihat orang tuanya keluar dari ruangan kepala sekolah dengan wajah kusut.
"Kenapa senyum-senyum, Des?" tanya Thalita sambil menepuk bahu Deasy.
"Lihat! Wajah emak dan bapakku kusut banget. Kayak daster katun yang gak diseterika.
"Kamu bikin ulah apalagi?"
"Cuma telat datang ke sekolah gara-gara banjir."
"Hah? Ngarang banget! Mana ada banjir di musim kemarau kayak gini?"
"Hahaha, itu kan alasanku ke Wakasek kesiswaan, waktu beliau nanyain kenapa rok yang ku pakai pendek banget."
"Dasar, Deasy! Cepetan tobat! Kasian emak sama bapakmu, dipanggil-panggil mulu."
"Biarin aja deh, Tha. Biar mereka tau, anaknya ini masih sekolah di sini, belum dikeluarkan."
Masih banyak ulah Deasy yang lain, yang membuat orang tuanya harus bolak-balik datang ke sekolah. Thalita juga sering mengingatkan, tapi Deasy tetap bandel.
Saat SMA, Deasy sering sekali gonta-ganti pacar. Bahkan ada yang bertahan cuma tiga hari. Mereka putus, karena Deasy merasa bosan. Pacarnya terlalu suka ngatur. Itu jawaban yang dikatakan Deasy, setiap ada yang bertanya kenapa putus.
Pacar terakhir Deasy adalah Moses. Seorang mahasiswa yatim piatu, tapi kaya raya, yang dikenalnya saat di halte bus. Moses membuat Deasy merasa nyaman, karena itu, hubungan mereka berjalan lebih dari dua tahun.
Moses hanya tinggal berdua dengan asisten rumah tangganya. Wanita tua yang biasa dipanggil Bik Sari. Bik Sari mulai bekerja di rumah Moses sejak kedua orang tua cowok itu meninggal akibat kecelakaan mobil. Mengantikan asisten sebelumnya yang memutuskan untuk pensiun, mereka masih berkerabat.
Deasy kerap mengajak Thalita berkunjung ke rumah Moses. Di sana ada perpustakaan yang membuat Thalita merasa betah. Jadi, setiap Deasy pacaran dengan Moses, Thalita akan membaca buku sepuasnya di perpustakaan. Moses membuat peraturan, buku-buku di perpus, tak boleh dibawa keluar dari ruangan itu.
Peraturan yang menurut Thalita sangat aneh, tapi gadis itu bisa menerima, saat Moses mengatakan alasannya. Moses sangat menyayangi buku-bukunya, dan tak mau kehilangan buku-buku itu. Takutnya sang peminjam lalai, dan tak mengembalikan buku milik Moses ke tempat semula. Masuk akal juga.
Demi boleh membaca di perpustakaan yang terbilang lengkap itu, Thalita menyanggupi semua peraturan yang dibuat pemiliknya. Padahal ... kadang Thalita merasa ngeri, ketika sendirian di dalam perpustakaan yang sunyi itu.
Sore itu, Deasy pulang dari sekolah sudah terlalu sore. Cewek itu sengaja tak segera pulang ke rumah, toh di rumah juga dia akan sendirian. Sepi. Kedua orang tuanya sudah pamit pergi ke luar kota, untuk beberapa hari ke depan.
Thalita juga sedang tidak masuk sekolah hari ini. Ada sepupunya yang menikah dan tinggal di luar kota. Pastilah Thalita dan keluarganya menginap di sana. Dan hal yang sangat lucu, kalau Deasy minta untuk diajak.
Deasy memutuskan pulang dengan naik angkot saja. Setidaknya nanti di angkot, dia tidak hanya berdua dengan sopir, pasti ada penumpang lain. Deasy tak suka sepi, karena gadis itu terlalu sering merasa kesepian.
Hampir magrib, suasana gelap mulai melingkupi halte depan sekolah Deasy. Apalagi gerimis yang mulai bertambah lebat turun. Membuat suasana semakin muram. Deasy memandang ke sekeliling, sepi. Gadis itu mulai bergidik ngeri. Untuk sekedar mengusir sepi, Deasy memutar musik dari ponselnya.
Keasikan Deasy mendengarkan lagu, sedikit terusik dengan kedatangan beberapa pemuda ke halte itu. Mereka berlari-lari kecil, menghindari gerimis, dan berteduh di halte yang sama dengan Deasy. Awalnya, Deasy merasa tak peduli. Tapi ketika mereka mulai berbisik-bisik, dan sesekali melirik ke arahnya, membuat gadis itu merasa sedikit gelisah.
"Ah, kemana semua sih Kang Angkot? Apa mereka lagi mogok narik? Kok dari tadi gak ada angkot lewat?" batin Deasy.
Para pemuda itu semakin sering mencuri pandang ke arah Deasy, sambil berbisik-bisik, membuat gadis itu sedikit gelisah. Deasy menggeser duduknya ke ujung bangku halte, agar menambah sedikit jarak dari mereka.
"Apa aku pesan taksi aja, ya? Ngeri banget lama-lama sama mereka. Jangan-jangan mereka punya niat gak baik. Mana tampangnya serem-serem lagi. Haduh, gimana nih kalau aku diculik?" berbagai pemikiran berkelebat di benak Deasy.
"Sendirian ya, Neng? Mau Aak temani, gak?" salah seorang dari mereka berjalan mendekati Deasy.
"Makasih, Ak! Aku lagi nunggu pacar aku, kok. Sebentar lagi dia sampai, masih di jalan," dusta Deasy.
"Tenang aja, Neng, gak usah takut sama kami! Kami ini orang baik kok. Ya kan, Kawan?" satu lagi berjalan mendekati Deasy. Di belakangnya, yang lain mulai mengikuti.
Gemetar, itu yang dirasakan Deasy. Gadis itu mulai dilanda rasa takut. Tempat itu sepi, jika ada yang berniat buruk padanya, pasti sulit mendapat pertolongan. Ingin rasanya Deasy lari dari tempat itu, tapi kakinya terasa terbuat dari agar-agar, lemas.
"Bener, Neng. Wajah kita aja kok yang kelihatan sangar, tapi hati kita mah lembut, kayak gulali," kata yang lain dan disambut tawa teman-temannya.
Deasy semakin ketakutan. Gadis itu berharap mempunyai ilmu menghilang, yang membuatnya bisa lolos dari mereka, para preman.
"Neng, pacarnya masih lama? Mabar dulu yuk sama Aak, buat mengisi waktu."
Cowok yang menyebut diri sebagai Aak, duduk di sebelah Deasy. Bau badannya yang aduhai, segera memenuhi indra pencium gadis itu. Membuat mual dan ingin muntah. Entah berapa tahun mahluk itu tidak mandi. Deasy segera mengeluarkan masker dari dalam tasnya, kemudian mengenakannya.
"Bro! Si Eneng pasti mabok tuh, cium bau badan elo, makanya pakai masker. Hahaha."
"Enggaklah, Bro. Si Eneng cuma takut kena covid, mungkin karena belum vaksin. Bau badan gua wangi gini kok, mana mungkin bikin si Eneng mabok," yang diledek membela diri.
"HAHAHAHA."
Tawa membahana para preman, semakin membuat Deasy ketakutan. Gadis itu tetap diam, dan wajahnya sudah berubah menjadi pucat, seputih kapas.
"Udah, Bro! Jangan ganggu, lihat, si Eneng takut sama kalian."
"Enggak kan, Neng? Kita kan ramah, baik hati, tidak sombong dan rajin menabung. Jangan takut sama kita ini, Neng!"
"Halah! Lagak lo, rajin menabung, nabung di ******? Hahahaha."
"HAHAHAHAHA."
Tawa membahana kembali memenuhi halte, membuat Deasy mengernyit ngeri. Apalagi gerimis semakin lebat saja, dan tak satupun angkot yang lewat. Para preman semakin mendekat ke arah Deasy, membuat gadis itu menggigil ketakutan.
Tiba-tiba...
CITTTT
"Sayang, maaf ya nunggu lama. Ayo masuk!"
Sebuah mobil mewah berhenti di depan halte. Seorang pemuda cakep, menurunkan kaca mobil dan menyuruh Deasy masuk. Deasy yang merasa tidak mengenal pemuda itu, hanya melongo.
"Haduh, Sayang, kok malah bengong sih? Ayo cepat masuk!" kali ini, sang Pemuda membukakan pintu depan, dan menyuruh Deasy masuk dan duduk di sebelahnya.
Segera Deasy tersadar, dan masuk ke dalam mobil. Yang penting selamat dulu dari gangguan para preman. Yang lain dipikir nanti. Para preman cuma melongo, memandang mobil mewah itu melaju, sambil membawa Deasy.
"Kenalkan, namaku Moses. Maaf ya, tadi aku panggil kamu sayang. Biar mereka yakin aja kita ini pasangan. Aku lihat mereka membuatmu gak nyaman."
"Ah, terima kasih Bang Moses. Entah gimana nasib Deasy kalau tadi Abang gak nolongin."
"Sama-sama, Deasy. Aku antar pulang ya! Rumah kamu dimana?"
"Di jalan Baronang, Bang. Dekat kedai mie ayam Kang Brewox. Abang tau?"
"Tau kok, Abang sering makan di situ, mie ayamnya enak. Pantesan Abang tadi merasa familiar waktu lihat kamu. Mungkin Abang pernah lihat kamu saat makan mie ayam."
"Mungkin juga, Bang. Aku juga sering ke kedai itu, barangkali kita memang pernah ketemu."
Deasy merasa aman, karena ternyata orang baik yang menolongnya. Dari tampangnya juga, Moses tak kelihatan seperti pemuda yang urakan. Pemuda ini tampak sangat sopan.
"Kenapa kamu jam segini masih di halte? Masih pakai seragam sekolah juga, kamu baru pulang?"
"Iya, Bang. Tadi habis rapat OSIS, makanya pulang kesorean. Mana nunggu angkot gak ada yang lewat dari tadi."
"Lain kali, mending naik taksi aja, kalau pulang kesorean! Halte tempat kamu nunggu angkot tadi, sangat rawan. Sering jadi tempat nongkrong para preman. Bahaya!"
"Iya, Bang. Lain kali Deasy naik taksi aja, kalau pulang telat lagi."
"Iya, mending begitu. Eh, maaf ya, Des! Abang jadi bawel sama kamu. Padahal baru kenal. Maklum, Abang ini anak tunggal, Abang pengen banget punya adik biar bisa dibaweli, tapi Tuhan tidak mengijinkan."
"Mungkin Tuhan tidak mengabulkan doa Abang, karena tujuannya kurang baik. Masa pengen punya adik buat dibawali, lucu sekali. Hihihihi."
Deasy tertawa cekikikan, sedang Moses tergelak mendengar omongan Deasy. Keduanya kemudian terlibat obrolan yang sangat akrab. Moses sempat meminta nomer ponsel Deasy, dan dengan senang hati, gadis itu mengetikkannya di ponsel pintar milik Moses.
Tak terasa, mereka sudah sampai di depan rumah Deasy. Gadis itu segera turun dan menawari Moses untuk singgah. Cowok itu menolak, dengan alasan sudah malam, dan berjanji lain kali akan menghubungi Deasy lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!