NovelToon NovelToon

THE SECRET OF LOVE IN THE DANDELION

BUKAN PANGERAN

Keysa mengucek matanya berkali-kali kemudian mengerjap bingung. "Terasa nyata sekali! Argh keterlaluan!" keluhnya, sebelum akhirnya ia memilih untuk keluar dari dalam gelungan selimut yang nyaman pun menghangatkan.

Matanya melirik jam dinding yang tergantung di sudut kamar, baru menunjukan pukul 04.00 WIB. Ia pun melangkah menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya untuk membasuh wajah.

"Cowok sialan!" desisnya kesal, sambil mengusap wajah dengan kasar. "Kenapa kamu selalu mengganggu waktu tidurku, hah? Baru juga jam empat pagi! Setiap hari aku tidak bisa tidur dengan tenang karena kamu selalu muncul dan membuat keonaran di dalam mimpiku. Kamu itu ... sangat meresahkan!" Keysa berbicara seorang diri dan menunjuk pantulan dirinya di cermin yang terdapat di atas wastafel.

Tidak ada yang menyahut untuk menjawab semua keluhan yang keluar dari bibirnya. Hanya ada bayangan dirinya yang memelototi dirinya yang lain dengan tatapan kesal. Beberapa menit kemudian tatapan itu melembut dan ia pun tersipu.

Refleks, Keysa menutup wajah dengan kedua telapak tangan sebelum akhirnya ia tertawa kegirangan dan melompat-lompat riang sembari kembali ke atas tempat tidur.

Berkali-kali Keysa memukul kepalanya sambil terkekeh. Terkadang gadis cantik itu bingung dengan apa yang sedang terjadi kepada dirinya, di satu sisi ia kesal karena setiap hari selalu mendapat mimpi yang sama, tetapi di sisi lain, ia menyukai mimpinya. Mimpi itu selain sangat menyebalkan tetapi juga sangat mengasyikan.

Keysa dalam beberapa minggu terakhir ini selalu memimpikan sesuatu yang konyol. Bertemu dengan seorang pria yang memiliki paras luar biasa. Jauh dari kata tampan karena pria itu ....

Lebih dari tampan!

Sangat tampan!

Memesona mungkin adalah kata yang paling tepat.

Pria itu memiliki wajah bak pangeran yang ada di buku dongengnya semasa kecil, tetapi terkadang terlihat seperti peri yang bersinar mengagumkan. Bukankah itu semua sangat konyol?

Keysa sadar bahwa dirinya bukan anak kecil lagi yang selalu memimpikan pangeran tampan atau pun peri. Seharusnya ia memimpikan aktor favoritnya yang sangat mengagumkan. Bukannya pria dengan dandanan norak seperti yang ada di buku dongeng yang sekarang pasti sudah berdebu di dalam gudang.

Keysa menutup wajahnya dengan bantal. Berusaha menghalau bayangan pria aneh itu dari dalam kepalanya.

"Dandelion ini bisa menari!" ujar sebuah suara.

"Hah, mana bisa!" seru Keysa, tidak percaya.

"Lihatlah. Aku akan memainkan musik dan dia akan menari!" ujar suara itu lagi. "Lalu saat mereka mulai menari, izinkan aku menciummu."

Kedua pipi Keysa merona. "Tidak mau!"

"Kenapa tidak? Aku tampan dan--"

"Jangan banyak bicara. Cepat buat mereka menari," sahut Keysa

"Aha, kamu sungguh tidak sabaran. Apa kamu berharap agar aku segera menciummu?" suara itu terdengar semakin dekat di telinga Keysa.

Heeemm ....

Heeemm ....

Pria itu mulai bergumam. Gumaman yang terdengar begitu menyentuh. Membentuk sebuah melodi indah yang tidak asing di telinga Keysa.

"Canon!" ucap Keysa. "Ini musik favoritku!"

"Benarkah? Ini juga favoritku, kamu juga ... favoritku!" kemudian tanpa aba-aba bibir dari si pemilik gumaman indah itu menyentuh bibirnya.

"Argh, kasar sekali. Sakit. Aduuh sakit, sakit sekali!" rintih Keysa di dalam hati

"Mama, Keysa mimpi jorok. Bibirnya monyong-monyong, Ma!"

Keysa terbangun, dan meringis melihat jepitan pakaian menempel anggun di atas bibirnya.

"Adindaaa!" teriaknya.

***

"Kenapa mata kamu? Hitam gitu, udah kayak kuntilanak saja!" tanya Amelia.

Saat ini Keysa dan Amelia sedang berjalan di koridor kampus menuju kelas mereka. Keysa memang masih menyandang status sebagai mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri di kota itu.

Keysa menghentikan langkahnya lalu mengambil cermin kecil dari dalam tas yang ia kenakan. Ia mendekatkan cermin itu pada wajahnya dan memperhatikan kedua matanya dengan saksama.

"Benar, ada lingkar hitam menyeramkan!" keluhnya. Lalu mengeluarkan krim mata dan menutul-nutulkannya dengan lembut tepat di bawah matanya.

"Begadang lagi, ya?" Amelia kembali bertanya.

"Iya, semalam baca buku karena tidak bisa tidur!"

"Bagus dong, rajin baca buku. Supaya semakin pintar," timpal Amelia.

"Suatu hari nanti aku pasti akan menulis buku juga. Kamu tahu 'kan, daya imajinasiku tinggi," ujar Keysa, menyombongkan diri.

"Ya, ya, aku tahu. Kamu suka berkhayal hingga tengah malam dan akhirnya malah begadang!"

Keysa menghampiri kursi yang terletak di sepanjang koridor, lalu duduk dengan nyaman. Gadis cantik berambut panjang itu menghela napas dengan kesal. "Ini gara-gara mimpi sialan yang selalu hadir di setiap malam-malam yang kulalui." ujarnya dengan dramatis. "Seandainya aku tidak mengalami mimpi-mimpi itu. Aku pasti akan tidur dengan nyenyak dan tidak terbangun tengah malam."

"Heem, mulai deh bahasanya! Memangnya mimpi apa?" Amelia terlihat antusias.

"Ya, mimpi! Setiap malam aku selalu memimpikan seorang pria tampan ... uum, pangeran! Lebih tepatnya pangeran tampan yang tiba-tiba menghampiriku dan menuntut ciuman pertama dari seorang cinta sejati."

"Pangeran yang menuntut ciuman dari cinta sejati biasanya memiliki paras yang jelek, Key. Lalu saat kamu mulai menciumnya barulah dia akan berubah menjadi tampan. Jika di awal mimpi dia sudah tampan, maka bisa dipastikan saat kamu menciumnya, pangeranmu itu akan kembali berubah menjadi katak, kelelawar, atau apalah!" Amelia menjelaskan dengan serius.

"Bagitu, ya?" Keysa menggigit bibir bawahnya, membuatnya semakin terlihat menggemaskan.

Amelia mengangguk. "Ya. Maka, saat pangeran itu datang lagi untuk meminta sebuah ciuman, jangan kamu cium. Bisa-bisa dia kembali berubah menjadi jelek! Atau bisa jadi pangeran itu hanya beralasan saja agar dia dapat menciummu." Amelia tergelak melihat ekspresi Keysa.

Keysa mengangguk bersemangat. "Baiklah, akan aku catat, bisa buat ide tulisanku nanti! Judulnya 'Pangeran Ganjen'. Gimana? Mungkin si pangeran memang bukan dalam misi untuk mencari ciuman cinta sejati. Si pangeran cuma ganjen dan mata keranjang sehingga memiliki hobi untuk mengoleksi rasa bibir semua perempuan."

Amelia memutar matanya dengan malas, karena lagi-lagi Keysa ingin membuat karangan berdasarkan hasil obrolan mereka. "Iiih apaan, sih. Membicarakan apa pun sama kamu pasti kamu jadiin bahan tulisan. Males ah!" Amelia bangkit berdiri kemudian pergi meninggalkan Keysa yang mengekor sambil terus berbicara tidak jelas.

"Atau dia bukan pangeran, Mel. Iya 'kan? Bukan pangeran!" teriak Keysa sembari tertawa melihat Amelia yang pergi dengan wajah cemberut. Ia tahu jika sahabatnya itu pasti masih marah padanya, karena beberapa hari yang lalu ia memasukan hasil curhatan Amelia yang telah ia modifikasi sedemikian rupa hingga menjadi cerita pendek ke dalam situs internet universitas.

Mau bagaimana lagi? Keysa suka menulis, dan ia suka menulis kisah nyata. Tidak peduli bahwa cerita itu adalah sebuah rahasia yang harus dijaganya.

Bersambung.

Bersambung.

SUARA ITU, SUARA SIAPA?

Adinda menatap Keysa dengan tatapan ngeri. Bagaimana tidak, jika Kakaknya itu terus memelototinya tanpa henti.

Keysa terlihat masih kesal sekali karena pagi tadi Adinda menjepitkan jepitan pakaian di bibirnya. Membuyarkan mimpi indah yang sedang ia nikmati.

Padahal sedikit lagi ia akan merasakan ciuman pertamanya.

Ya, walaupun hanya di dalam mimpi, tetap saja ciuman itu sangat ia nantikan.

Adinda membuang muka. Walaupun dirinya merasa takut, tetapi tidak sedikit pun ia merasa bersalah akan tindakan yang telah ia lakukan.

Adinda Kanaya adalah adik Keysa yang baru berusia sepuluh tahun. Gadis kecil berambut ikal itu merupakan anak yang jahil dan periang. Sama seperti Keysa yang juga memiliki sikap periang dan sedikit jahil. Sehingga saat sang adik menjahili Keysa, ibunya selalu mengatakan, "Jangan marah, itu adalah karma buatmu!"

Jika Adinda memiliki rambut ikal yang panjang dan mata sipit, tidak dengan Keysa yang memiliki rambut lurus dan bermata besar. Secara keseluruhan mereka berdua memang cantik.

Keysa dan Adinda hanya tinggal dengan ibu mereka di sebuah rumah kecil peninggalan ayah mereka di pinggiran kota. Ayah mereka telah tiada sejak bertahun-tahun yang lalu. Bukan karena meninggal, tetapi lebih menyedihkan daripada itu--tidak mengetahui kabar dari orang yang disayangi adalah sesuatu yang sangat menyedihkan, bukan?

Mario--Ayah Keysa--menghilang tanpa jejak di sebuah perkebunan bunga mawar tempatnya bekerja. Mario merupakan seorang pekerja di sebuah perkebunan bunga mawar yang terletak tidak jauh dari kediaman mereka.

Setiap hari Mario bertugas untuk merawat kebun bunga mawar tersebut, lalu memanennya dan membawanya ke sebuah toko bunga yang berada di kota.

Dulu, saat sang ayah masih ada, Keysa dan juga Adinda senang sekali jika saatnya tiba untuk memanen dan membawa mawar-mawar itu ke kota.

Keysa yang saat itu masih berusia lima belas tahun tidak merasa malu untuk duduk di bagian belakang mobil pick up yang mengangkut bunga-bunga itu ke kota, sementara ayah, ibu dan Adinda yang saat itu masih kecil duduk di bagian depan mobil.

Keysa menyukai bunga, karena berada di antara bunga-bunga membuatnya merasa dekat dengan sang ayah. Terkadang Keysa masih berharap suatu saat nanti dapat menemukan ayahnya tengah bersembunyi di balik semak mawar sambil tersenyum kepadanya dan mengatakan 'Baiklah, aku menyerah. Kamu menemukanku, Key!'

Akan tetapi, Keysa sadar itu semua tidak mungkin. Walaupun begitu, ia tetap memilih untuk meneruskan pekerjaan sang Ayah di perkebunan itu. Jika sedang tidak ada mata kuliah, ia akan menghabiskan waktu seharian di perkebunan mawar untuk bekerja dan tentu saja untuk mencari dan menemukan keberadaan sang ayah.

"Jangan sinis-sinis sama adik sendiri. Tidak baik!" Rosalyn menyentuh pundak keysa dengan lembut, membuatnya mengalihkan pandangan dari Adinda.

"Iya, Ma. Kak Key daritadi pelototin Dinda terus. Dinda takut tahu!" ujar Adinda dengan wajah memelas yang bisa membuat siapa saja luluh saat melihatnya.

"Siapa suruh tadi pagi Dinda jepit mulut Kak Key pakai jepitan jemuran, hah?!" Keysa menggebrak meja yang ada di hadapannya.

"Aaaw, Ma, sakit!" Keysa menyentuh pipinya yang baru saja mendapat cubitan gemas dari sang ibu.

"Sudah mama bilang, jangan jahat-jahat sama adik sendiri. Lagi pula, Dinda bilang sama mama kalau kamu mimpi jorok. Apa betul?" tembak Rosalyn.

"Aah, tidak! Dinda bohong, Ma!" kilah Keysa.

"Tidak, kok. Kak Key yang bohong. Dinda lihat sendiri Kak Key mulutnya monyong begini, nih!" Adinda kemudian memonyongkan bibirnya, memperagakan di depan sang ibu bagaimana posisi bibir Keysa pagi tadi.

"Iiih, Adinda!" Keysa segera berlari mengejar adiknya yang tiba-tiba saja bangkit dari duduknya dan melarikan diri ke halaman depan rumah.

Rosalyn tertawa melihat tingkah kedua putrinya. "Hai, Key. Kamu itu sudah berusia dua puluh tahun. Apa tidak malu lari-larian di luar begitu!" teriaknya, yang sudah pasti tidak dihiraukan oleh Keysa dan juga Adinda.

Mereka berdua terus berlari di sepanjang jalan setapak desa kecil itu. Orang-orang yang melihat mereka hanya bisa tersenyum dan menunjuk-nunjuk keduanya dengan gemas dan kagum. Mereka memang sangat disukai oleh warga desa, selain paras mereka yang cantik, Keysa dan Adinda terkenal ramah dan suka menolong. Itulah sebabnya, mereka sangat dicintai oleh warga desa.

Keysa dan Adinda terus berlari hingga tiba di perkebunan mawar tempat Keysa bekerja.

"Keluarlah, Adinda. Aku tahu kamu bersembunyi!" teriak Keysa, saat Adinda tak lagi nampak olehnya. "Ayolaaah, kata mama kalau main sembunyi-sembunyian di waktu senja begini, kamu bakalan disembunyiin setan!" teriak Keysa lagi.

Keysa melangkah dengan hati-hati di antara semak mawar, takut jika ia merusak bunga-bunga cantik itu dengan tidak sengaja. Tak lama kemudian ia mendengar suara gemeresik dari semak mawar putih yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Dind!" seru Keysa.

'Kamu sudah besar, kenapa masih main lari-larian? Tidak malu?'

Deg!

Keysa menghentikan langkahnya. Matanya membulat sempurna dan mengedar ke sana-kemari. Mencari asal suara itu.

'Kelopak bunga mawar itu bisa menari saat aku menggumamkan musik favoritmu! Saat mereka mulai menari bolehkah aku menciummu?'

"Tidak," sahut Keysa dengan suara pelan.

'Kenapa tidak? Aku tampan dan aku--'

"Daaar!"

Keysa terlonjak, ia menoleh dan melihat Adinda berdiri tepat di belakangnya dengan seringai lebar yang menyebalkan.

"Kakak melamun? Kata mama, kalau melamun di senja hari begini bisa kesambet loh!" ujar Adinda.

"Dind, kamu dengar suara tadi?" tanya Keysa.

"Suara apa? Dinda tidak dengar suara apa-apa?" jawab Dinda.

"Serius?"

"Dua rius, Kak! Yuuk pulang, Kak Key bikin Dinda merinding aja." Gadis kecil itu kemudian menarik tangan Keysa keluar dari area perkebunan mawar.

Keysa diam saja, membiarkan Dinda menuntunnya. Karena jika menuruti keinginan hatinya, jujur saja ia sama sekali tidak ingin pergi dari sana. Ia akan terus berada di sana dan mencari jawaban dari pertanyaan yang sangat mengganggu hati dan pikirannya. 'Suara itu, suara siapa?'

Bersambung.

SEPERTI DUA DUNIA

Kedua pemuda mengenakan pakaian serba putih dan masing-masing menggenggam sebilah pedang panjang terlihat berjalan menuju sebuah sungai yang terletak tidak jauh dari hadapan mereka.

Kedua pemuda itu secara bersamaan mengayunkan pedang untuk menyingkirkan rerumputan liar yang menghalangi jalan di depan mereka.

Mereka adalah Zayan dan Aidan. Dua prajurit kebanggaan kota Flos Terra, yang juga merupakan anak dari raja di kota tersebut.

Zayan memiliki wajah yang paling tampan dari semua prajurit yang ada, bukan hanya terkenal tampan di kalangan prajurit. Zayan juga sangat populer di kalangan gadis-gadis musim gugur dan gadis musim semi.

Gadis mana yang tidak mengenalinya, hampir setiap langkahnya selalu menjadi pusat perhatian.

Wajahnya lonjong dengan tulang pipi yang terlihat tegas, kulitnya berwarna kuning langsat, terlihat berkilau saat tertimpa sinar matahari, bibirnya tipis, hidung lancip dan mata sendu dengan bola mata berwarna coklat, mampu menghipnotis siapa pun yang melihatnya. Sementara bentuk tubuhnya sangatlah proporsional, tingginya mencapai 170 cm, dengan otot yang terlihat menonjol di bagian lengan dan perut.

Berbeda dengan Aidan yang walaupun tampan, tetapi akan terlihat biasa saja saat bersanding dengan Zayan. Hal itu terkadang membuatnya merasa kesal. Mereka memang satu ayah, tetapi berbeda ibu. Jika Zayan hannyalah seorang putra dari seorang selir, berbeda dengan Aidan yang merupakan putra dari seorang permaisuri.

Meskipun demikian, mereka berdua sangatlah akrab. Bisa dikatakan mereka tak terpisahkan. Di mana ada Zayan maka di situ pula ada Aidan. Mereka selalu bertarung bersama saat wilayah mereka sedang berperang dan selalu bersantai bersama saat wilayah mereka berada dalam kondisi yang baik-baik saja.

"Pedang ini ditempa oleh pembuat pedang terbaik di Oppidum Gladio. Membutuhkan waktu yang lama dengan harga yang juga sangat mahal. Sungguh sangat memalukan ia akhirnya hanya menjadi pemotong rumput liar di tepian sungai!" keluh Aidan.

Zayan tertawa mendengar keluhan dari saudaranya. "Seharusnya kamu bersyukur pedang gagahmu itu hanya bertugas untuk membersihkan rumput. Itu artinya wilayah kita sedang dalam keadaan yang baik-baik saja!"

"Tetap saja, ini seperti ... sebuah pelecehan!"

Zayan kembali tertawa. "Aku dengar Rex Regum akan tiba pada musim gugur tahun ini, apa kabar itu benar?" tanya Zayan.

"Entahlah. Para gadis akan memancarkan auranya pada akhir musim semi, bukan? Aku rasa dirinya tidak akan kembali sebelum waktu itu!" jawab Aidan.

"Ya, aku pikir juga begitu. Dia tidak akan melewatkan kesempatan untuk memikat gadis-gadis itu dengan ketampanannya."

"Yap, setelah pengkhianatan yang dilakukan Yasmin, aku rasa dia tidak akan berhenti membuat dirinya dikerumuni oleh gadis muda. Bentuk pembalasan dendam yang sempurna!" Aidan terkekeh, lalu kembali mengayunkan pedang panjangnya.

"Jangan, Aidan!" Zayan menangkap pedang itu di udara sebelum menyabet rerumputan yang ada di depannya, membuat tangannya terluka.

"Hai, apa yang kamu lakukan, Zayan?" Aidan terkejut melihat darah segar mengalir dari telapak tangan saudaranya.

Zayan tidak menghiraukan keterkejutan yang terlihat jelas di wajah Aidan. Ia menunduk kemudian menyentuh sesuatu yang tersembunyi di balik rerumputan. "Dandelion. Mereka bisa menari!"

"Astaga, Za. Jangan mulai! Cepat bangkit dan ayo kita temui tabib. Tanganmu harus segera disembuhkan! Bagaimana kamu bisa memegang pedang jika tanganmu terluka seperti itu. Ingat, musuh bisa tiba kapan saja, di mana saja dan dari mana saja." Aidan menarik lengan Zayan dengan paksa. Lalu beranjak pergi meninggalkan semak dandelion yang tiba-tiba berubah menjadi berwarna merah karena tetesan darah dari telapak tangan Zayan.

***

"Aaw!" Keysa melepas pensil yang tadi sedang berusaha ia runcingkan menggunakan sebuah silet. Tanpa sengaja silet itu melukai jarinya, membuat sketsa yang sedari tadi ia buat dengan susah payah terkena noda darah. "Yaaaah, rusak!" keluhnya.

Amelia mengerutkan alisnya. "Seharusnya kamu mengkhawatirkan tanganmu. Bukan gambarmu!"

"Tetap saja gambar ini lebih sayang. Dandelionnya hampir sempurna, Mel. Tapi sekarang rusak," lirihnya.

"Kamu bisa gambar yang baru. Lagi pula kenapa harus dandelion? Gambar saja mawar, lebih simpel 'kan?" ujar Amelia.

"Karena dandelion bisa menari. Begitu kata peri yang selalu hadir di dalam mimpiku," jawab Keysa yang hanya disambut oleh galengan kepala oleh Amelia.

Saat ini mereka sedang berada di sebuah kamar kos milik Amelia yang terletak tidak jauh dari kampus. Saat jadwal mata kuliah sedang Padat, Keysa akan memilih untuk menginap di kamar kos milik Amelia.

Bukan tanpa alasan, mengingat jarak antara kampus dan juga tempat tinggalnya yang sangat jauh, maka menumpang di kediaman Amelia merupakan cara terbaik yang bisa ia lakukan.

"Kamu terlalu banyak membaca novel, sehingga kamu selalu saja berkhayal! Peri? Mana ada, Key!"

"Kamu memang tidak akan percaya jika kamu belum melihatnya secara langsung. Lain kali saat mood-ku sedang bagus, akan aku gambarkan bagaimana rupanya," ujar Keysa bersemangat.

"Ya, ya, semoga peri itu setampan V BTS!" sahut Amelia, skeptis.

"V BTS saja lewaat, tahuuu! Pokoknya peri ini lebih tampan dari V. Aku dua rius!"

"Ya, ya, baiklah. Tolong gambarkan lengkap dengan sayapnya."

Keysa menggigit ujung pensilnya. "Peri ini tidak punya sayap, Mel."

"Kalau begitu dia bukan peri!" jawab Amelia santai.

"Terus apa dong?"

"Dia itu hanya separuh khayalanmu yang tidak bisa kamu kendalikan," ujar Amelia kemudian bangkit dari lantai dan berjalan menuju tempat tidur kecil yang ada di kamar itu.

"Dia bukan bagian dari khayalanku, Mel. Aku yakin. Saat di perkebunan mawar kemarin sore pun aku mendengar suaranya. Aku ... aku ...."

"Jangan kebanyakan 'aku'. Ayo tidur, besok ada kelas pagi dengan Pak Edwin. Bisa kena semprot kalau sampai terlambat."

***

Keysa memetik bunga Dandelion dan meniupnya dengan lembut. Helai halus berwarna putih kemudian beterbangan dengan anggun. Berbaur bersama angin yang berembus dengan lembut.

Keysa memperhatikannya sambil tersenyum, angin terasa sejuk sekali, belum lagi matahari yang bersinar sangat cerah membuat suasana menjadi semakin terasa indah. Panas memang, tetapi tetap terasa sejuk.

"Ehem!" terdengar suara seseorang mengagetkannya.

"Kamu!" seru Keysa.

"Hai!" pria yang berpenampilan bagai seorang peri berbaju besi itu melambai dan tersenyum kepada Keysa.

Waktu terasa berhenti saat kesunyian hadir di antara mereka, hanya sorot mata kagum yang terpancar dari kedua makhluk berbeda dunia itu.

"Sedang apa kamu di sini?" tanya Keysa kemudian.

"Aku yang seharusnya bertanya. Kamu sedang apa di sini. Ini wilayahku. Kamu tidak seharusnya berada di sini," sahut pria itu yang tak lain adalah Zayan.

"Wilayahmu?" Keysa terlihat bingung.

"Ya, wilayahku."

"Tepatnya kita sedang berada di mana sekarang?" tanya Keysa, sambil mengedarkan pandangannya. Belum lagi Zayan menjawab pertanyaannya, ia kembali berseru. "Waaah!" Ia baru menyadari bahwa dirinya berada di sebuah padang yang luas, di sisi tempatnya berdiri merupakan padang dandelion yang sangat luas, sementara jauh di depan sana merupakan perkebunan mawar dengan pemandangan yang sangat tidak asing baginya.

Keysa mengerjap, tidak habis pikir dengan apa yang ia lihat. Dunia yang ia lihat sekarang seperti dunia nyata dan dunia lain yang saling berdampingan tanpa garis pembatas.

Di tempatnya berdiri terdapat ribuan atau bahkan ratusan ribu dandelion yang terlihat indah tertimpa sinar matahari dan bergerak lembut tertiup angin, sementara di sisi lain--di perkebunan mawar--terlihat gelap, hanya cahaya bulan yang menerangi ribuan bunga mawar yang terhampar bagai karpet merah di bumi. Gelap, merah, misterius.

"Bukankah kamu berasal dari sana? Aku melihatmu berlarian beberapa hari yang lalu dengan gadis kecil berambut ikal," ucap Zayan.

"Jadi itu kamu? Yang kudengar saat itu nyata?" tanya Keysa.

"Apa menurutmu aku tidak nyata. Bukankah kita sudah bertemu berkali-kali. Aku pikir kamu memang tahu cara datang kemari, itulah sebabnya kamu selalu datang." Zayan mengerutkan dahinya.

"Tunggu dulu." Keysa mendekat ke arah Zayan. "Coba pukul aku?" pintanya kemudian.

"Hah! Untuk apa?" Zayan terlihat bingung.

"Pukul saja, cepat!"

Plak!

"Key, bangun, sudah pagi. Kita hampir telat."

Keysa membuka kedua matanya dan merasa kesal sekali mendapati Amelia sedang memukul-mukul pipinya, berusaha untuk membangunkannya.

"Kenapa kamu bangunkan aku, Meeeel!" rengeknya, lalu kembali berbaring dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. "Kami bahkan belum berkenalan!"

Amelia yang sudah hafal dengan tingkah Keysa menarik tangan Keysa dengan paksa. "Banguuun cepat! Jangan mulai menghayal lagi, Keeey!"

"Iiih, Ameeeel!"

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!