"Apa?! Anak saya dikeluarkan dari sekolah?"
....
"Tapi anak saya 2 bulan lagi kelulusan,pak!"
....
"Baik,pak!"
Tuut..tuut..
Telefon terputus. Ntah apa yang terjadi sehingga Ayah terlihat emosi. Intinya saat ini Maira ataupun Maura sedang cemas setelah mendengar percakapan sang Ayah ditelefon tadi.
"Dari siapa,yah?"tanya Maira khawatir.
"Kepala sekolah. Apa benar tadi malam kamu masih ikut balapan liar dan menabrak wali kelasmu?" Tanya Ayah menatap tajam ke arah Maira.
"Eh..eee...enggak kok. Maira tadi malem cuma ke Bioskop aja. Mungkin itu Maura yang ikut balap liar." Tuduh Maira dan bersikap seolah tak bersalah.
"Bohong! Jelas-jelas tadi malam Maura main catur sama Ayah." Sanggah Maura tak mau disalahkan.
Suasana hening seketika. Ayah segera duduk dan mengusap dada kirinya yang terasa sakit sambil menatap Maira berharap putrinya bisa jujur atas apa yang telah diperbuat olehnya dan berani bertanggung jawab.
"Iya iyaaa... Tadi malem Maira gak sengaja ketemu temen-temen dijalan, ya mau gak mau Maira harus temuin mereka dong, yah. Kan mereka teman-teman Maira" Ucap Maira dengan wajah datar.
Melihat tingkah putrinya yang belum bersikap dewasa, sang Ayah sangat kecewa. Dan tak bisa lagi berkata-kata. Ia pun memutuskan untuk istirahat sebentar di kamarnya.
"Kenapa sih kamu selalu nuduh aku?" Maura beranjak dari tempat duduknya menghampiri kembarannya.
Maira hanya diam dan langsung memindah-mindah channel TV yang sedari tadi menyala dengan remot ditangannya. Tak ada rasa bersalah diwajahnya. Seolah yang telah dilakukannya adalah batas wajar seorang anak yang kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya. Terlebih lagi setelah pasca kebakaran itu yang membuatnya tak semangat lagi untuk melanjutkan hidup.
*Tujuh tahun yang lalu...
Pukul 02.00 WIB,Maira terbangun dari tidur pulasnya karena tak tahan menahan buang air kecil. Karena takut untuk menuju ke kamar kecil, ia pun berniat untuk membangunkan Maura yang sedang tertidur disebelahnya.
Namun, niat untuk membangunkan saudarinya itu gagal setelah melihat sesosok bayangan hitam melewati pintu kamarnya. Rasa penasaran pun menghantui dirinya dan segera berlari menuju ruang tengah. Karena merasa mendengar sesuatu, Maura pun terbangun dan langsung mengikuti Maira dengan terkantuk-kantuk.
Tercium aroma aneh dari dapur hingga serasa menusuk rongga hidung keduanya. Dan terlihat gumpalan asap yang sepertinya berasal dari arah dapur. "Apa ini?jangan-jangan?!" Batin Maira dan langsung berlari menggenggam tangan saudarinya menuju ke arah dapur.
"Bunda!!" Teriak kedua gadis kecil itu dan langsung berlari menuju sang bunda yang sudah terkapar lemas.
Tak buang-buang waktu lagi, Maura pun membuang rasa kantuknya dan berlari keluar rumah mencari pertolongan warga. Tak banyak warga yang datang,sebab ini sudah tengah malam. Setelah 10 menit api berhasil dipadamkan, sang bunda dan Maira pun berhasil dikeluarkan dari rumah.
"Bunda!"Teriak Maura cemas dan langsung menghampiri sang bunda yang sudah terbaring lemas diatas tanah serta luka bakar turut menyelimuti sekujur tubuhnya. Sang bunda pun menggenggam tangan Maira dan Maura sembari tersenyum. "Nak, dengar baik-baik pesan bunda! Bahwa kalian harus berjanji untuk menjadi anak yang baik, sholehah, pintar, dan dapat membanggakan orang tua. Hanya kalian anak-anak bunda yang paling bunda sayang. Apapun yang terjadi kelak, hubungan persaudaraan kalian jangan sampai putus. Belajarlah mengalah sampai tak seorangpun bisa mengalahkan kalian. Turunkan ego kalian. Dan jangan lupa sering-sering berkunjung ke makam bunda nanti, ya!" Ucap bunda terisak diakhiri senyum.
Tak ada hal yang mampu dikatakan Maira ataupun Maura, mereka hanya bisa mengangguk pertanda 'iya'. Tangis mereka pun mulai pecah ketika melihat sang bunda memejamkan mata untuk selamanya.
Enam bulan kemudian setelah Maira dikeluarkan dari sekolahnya, kini ia banyak menghabiskan waktu seharian dikamar. Ntah apa saja yang dilakukan olehnya, yang jelas kamarnya tidak pernah terlihat rapih sekalipun.
Sedangkan Maura kini melanjutkan pendidikannya di sebuah Universitas ternama yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Hal ini ia lakukan karena permintaan Maira yang tidak ingin dunia luar tahu bahwa ia memiliki saudari kembar. Maura mengambil jurusan sastra jepang itupun atas permintaan Maira, supaya saat Maira menonton anime ataupun membaca manga, Maura bisa membantu menerjemahkannya.
Merasa bosan mengurung diri dirumah, Maira memberikan tawaran pada Maura untuk bertukar peran setelah hampir setahun mereka tidak pernah melakukannya lagi. Maura berkali-kali menolak tawaran itu, namun karena tak tega melihat saudarinya terus menerus mengurung diri dikamar, ia pun akhirnya mengijinkan Maira untuk bertukar peran sementara.
"Oke,makasih ya Maura! Loe emang adek plus saudari yang baek buat gue." Maira pun langsung memeluk saudarinya erat. "Oh iya,,untuk hal ini ayah jangan sampe tau, ya!" Lanjut Maira dan melepaskan pelukannya.
"Tapi ada syaratnya, lho! Kamu harus bersikap sama sepertiku. Harus sopan dalam berbicara dan pakai pakaian milikku dan usahakan memakai baju lengan panjang untuk menutupi tato dilenganmu dan kamu harus.."
"Dan..dan..dan.. ah! Ikhlas gak sih, loe?!" Potong Maira tak ingin mendengar lebih banyak lagi. Ia sangat tidak suka diperingatkan ataupun dinasehati siapapun.
Maura mengangkat salah satu alisnya menatap heran. Tapi itu tidak masalah, karena setiap hari selalu menghadapi saudarinya ini.
***
Hari ini Maira pergi kekampus menggantikan Maura dengan menggunakan jaket berbahan levis serta rok selutut bernuansa merah. Tak lupa ia mengenakan topi fedora merah favoritenya.
Pagi ini Maura belum bangun, Maira tak ingin membuang-buang waktu hanya untuk membangunkan sang adik.
Ups!
Ada satu hal yang terlewatkan,yaitu tahi lalat dileher kiri. Hal itulah yang hanya bisa membedakan ciri fisik keduanya. Maira pun segera menggambar tahi lalat kecil dengan menggunakan pena.
"Oke! Semua dah beres. Tinggal capcus!"
Maira pun langsung mengambil tas dan keluar kamar menuju garasi mobil.
Sesampainya disekolah,teman-teman kampus Maura dibuat kaget dengan penampilan Maira yang sedang menyamar sebagai Maura. Penampilan Maira sangat elegan dibandingkan dengan Maura. Sepanjang jalan menuju kelas, tak sedikit para mahasiswa memerhatikan Maura versi baru ini.
Setibanya dikelas, ia langsung mengambil tempat duduk paling belakang. Ia sadar bahwa dirinya tidak terlalu pintar. Terlebih lagi ia harus dikeluarkan sebelum kelulusan SMA, jadi ia hanya lulus SMP saja.
"Ohayou gozaimasu!" (Selamat pagi) Ucap dosen ketika memasuki ruang kelas.
"Ohayou gozaimasu,sensei!" (Selamat pagi,dosen!) Ucap seluruh mahasiswa dikelas dan langsung merapihkan duduknya.
***
"Hoaaam!!" Maura terbangun dan meregangkan tangan dan tubuhnya yang terasa kaku.
Saat ini waktu menunjukkan pukul 09.24 WIB. Ia baru ingat bahwa hari ini sedang bertukar peran dengan saudari kembarnya. Ntah mengapa rasa gelisah menyelimuti dirinya. Ia takut jika Maira melakukan hal aneh dan membuat kekacauan di kampus. Terlebih lagi pakaian yang sudah disiapkan Maura di atas kasur tidak dikenakan oleh Maira.
"Kira-kira apa yang dipakai Maira?"gumam Maura dan menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal.
Maura masih tidak merasakan ketenangan sejak Maira menggantikan posisinya. Ia terus mondar-mandir memikirkan apa yang akan terjadi saat ini di kampusnya. Dan ia tahu bahwa Maira tidak terlalu fasih bahasa jepang. Bagaimana jika nilai dikelas Maura tiba-tiba turun karena Maira?
Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB. Terdengar suara langkah kaki menuju kamar yang sedang didiami oleh Maura.
Cklekk..
"Hai-hai!" Sorak Maira saat pintu berhasil dibuka.
Melihat kedatangan Maira, Maura pun langsung berjalan kearahnya.
"Gimana keadaan kampus tadi?" Tanya Maura cemas ketika melihat pakaian yang digunakan oleh kembarannya itu. Selama ini Maura tidak pernah mengenakan rok pendek seperti yang dikenakan oleh Maira.
"Tadi...."
"Tadi..gue gak sengaja berantem sama anak dosen." Maira memajukan bibir bawahnya dan menjewer kedua telinganya berharap Maura bisa memaafkannya. Maura yang mendengar berita tersebut, seketika terduduk lemas ditepi kasur. Ia menatap Maira, tapi ia sendiri tak tahu tatapan apa yang pantas untuk diberikan pada kembarannya itu. Ia pun tertunduk kecewa dan mengacak-acak rambutnya dengan gelisah.
Chiko Arthaven, anak seorang dosen yang mengajar dikampusnya. Usianya 3 tahun lebih tua dari mereka dan sedang memasuki semester 5. Selain itu, Chiko merupakan presiden mahasiswa dikampusnya. Sejak masa ospek, Maura dan Chiko tidak pernah akur. Namun, Maura mulai berusaha memperbaiki hubungan ini perlahan-lahan. Namun, Maira menghancurkan kerja kerasnya.
"Selain itu? Kamu gak melakukan hal yang aneh-aneh lagi,kan?" Maura mengangkat pandangannya yang tertunduk kecewa.
"Ada lagi,kok. Tenang aja!" Jawab Maira dengan sedikit cengiran dan mulai duduk disebelah Maura. "Tadi, gue ditanya dosen tentang penggunaan partikel bahasa jepang. Terus gue jawab asal aja,kan loe belum ngajarin gue tentang itu. Eh gue malah dimarah sama dosen. Ya loe tau sendiri 'kan kalo gue gak suka dimarahin? Jadinya gue lempar pake sepatu tuh dosen loe,tapi untungnya gak kena. Kabar baiknya loe dapet SP 1. Hahaha...."lanjutnya diakhiri tawa.
Maura merasa pusing, kaget, lemah, letih, lesu, pegal-pegal, sesak nafas, sakit perut dan semua jenis-jenis penyakit serasa bertamu ketubuhnya. Ia pun merebahkan setengah tubuhnya ke kasur sambil menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.
"Tapi loe tenang aja! Gue bakal perbaiki semuanya. Tapi, loe harus kasih gue waktu seminggu buat jadi diri loe?" Ucap Maira berusaha menenangkan. Namun tidak bagi Maura,itu adalah perkataan yang membuat dirinya bertambah shok.
"ENGGAK!! Aku gak setuju sama saran kamu. Gimana kalau rencana kamu itu gak berhasil? Mau tarok mana mukaku,Mai??"jawab Maura kesal dan langsung kembali duduk memeluk bantal.
"Loe tega ya sama kembaran loe sendiri? Almarhumah bunda kan bilang kalau kita harus saling mendukung." Maira bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar kamar.
"Oke oke! Silahkan kalau kamu masih mau ke kampus besok." Maura memutar bola matanya malas dan kembali merebahkan tubuhnya. "Tapi,jangan melakukan kesalahan yang sama lagi! Kalau masih,cukup! Aku gak mau tuker-tukeran peran lagi."
Maira yang mendengar kabar ini langsung bersorak dan langsung mengecup pipi Maura yang masih terlihat kesal.
"Iiii...baik banet ci kamyuh!" Maira mencubit pipi Maura gemas. Namun tak seperti hari biasa, Maura tak membalas cubitan itu dan masih merasa kesal.
***
Malam yang sunyi, hanya suara jangkrik yang berderik lirih menenangkan lamunan Maura tentang Kampusnya. Ia sangat merindukan sahabat-sahabatnya, sekaligus mata kuliah yang sangat ia sukai.
Maura masih termenung di rooftop, ia masih memikirkan sampai kapan sandiwara ini akan berlanjut. Ia takut jika keputusannya ini bisa mengecewakan puluhan orang.
Secangkir kopi turut menemani rasa bimbangnya. Ia menyeruput sedikit demi sedikit dengan sesekali mengetuk samping cangkir seperti menekan piano dengan jari-jarinya.
Ia membuka Whatsapp. Tak ada notifikasi chat dari siapapun. Justru yang ia dapati adalah story Whatsapp salah satu sahabatnya yang mengumbar kebahagiaannya dengan Maira. Sebuah foto di caffe dekat sekolah, Maira dan para sahabat Maura sedang berpose bergaya layaknya sedang makan. Maura sedikit iri sebab yang bersama mereka bukan dirinya, tetapi kembarannya sendiri.
Drtt..drtt..drtt
Gawainya berdering. Ia kira itu pesan chat sahabat-sahabatnya, namun hanya sebuah notifikasi followers baru diakun Instagramnya. Ia pun tak mengecek siapakah orang yang baru saja memfollownya. "Mungkin cuman akun IG Ollshop." Batin Maura.
Ia mematikan gawainya dan seketika dikejutkan oleh Maira yang sedari tadi menyaksikan dirinya yang tak jelas melakukan apa.
"Lagi bete?" Tanya Maira singkat dan berjalan menuju Maura untuk meminum secangkir kopi yang belum terhabiskan oleh Maura dan ia pun ikut duduk disebelah saudarinya itu.
Maura tak menjawab,ia hanya tersenyum kecil dan menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal.
"Oiya,gue lupa cerita sama loe kalo Whatsapp loe gue ganti sama nomor Whatsapp gue. Jadi gue bilang kalo nomor loe itu udah gak aktif. Jadi mereka kalau chat Whatsapp ke nomor gue. Kalau IG sih gak gue ganti, soalnya followers gue 5 kali lebih banyak daripada loe." Ucap Maira santai dan mengangkat kedua kakinya diatas meja tempat Maira meletakkan kopi setelah meminumnya.
Maura tak menjawab juga, ia lebih memilih masuk kekamarnya yang terhubung dengan rooftop. Merasa tidak enak dengan saudarinya, Maira pun mengikutinya dan meminta penjelasan apa yang terjadi sehingga Maura tak ingin bicara dengan dirinya.
"Aku lagi gak enak badan aja, Mai. Aku gak marah sama kamu, kok." Tukas Maura berbohong.
"Kamu serius?"
"Iya." Jawab Maura dan memeluk saudarinya itu.
"Maaf ya, ra! Hari ini gue ceroboh banget, ngelakuin kesalahan berulang-ulang yang buat loe jadi malu. Tapi gue janji kok, gue bakal normalin semua kayak dulu lagi. Janji deh!" Maira melepaskan pelukannya dan tersenyum.
"Iya,Mai. Apapun demi kebahagiaan kamu,vakan aku lakuin kok! Aku cuma gak mau gara-gara egoku kita jadi berantem dan terpisah."
Mendengar perkataan Maura, Maira sedikit merasa bersalah. Namun ia tak ingin jika hanya Maura sendiri yang bahagia, dirinya juga harus bahagia walaupun harus merebut kebahagiaan adiknya.
"Kenapa sih kamu gak mau dunia tau kalau kita ini kembar?" Tanya Maura masih bingung dengan rencana saudarinya yang sudah dijalankan bertahun-tahun sejak peristiwa kebakaran itu.
"Ya ampun!! Tadi ada tugas dari senpai (dosen), tapi loe tau kan gue gak tau materi kuliah loe? Jadi, loe yang kerjain ya! Gue mau tidur dulu, ngantuk berat. Bukunya ada diatas meja belajar loe. Bye!" Maira berusaha mengalihkan pembicaraan dan segera pergi keluar kamar saudarinya itu.
"Maaf ya, ra! Saat ini gue belum mau kasih tau loe alasannya. Gue pengen loe tau sendiri di waktu yang tepat." Batin Maira.
Kini ia terduduk dibalik pintu kamarnya. Ia berfikir sejahat apakah kira-kira dirinya yang tak ingin dunia tahu bahwa dirinya memiliki seorang saudari yang baik.
Ia sadar bahwa dirinya masih bersikap egois, tak sedewasa seperti pemikiran adiknya. Jika waktu dapat diputar kembali,ia tidak ingin melakukan sandiwara ini. Namun, sekarang ia tidak ingin menghentikannya. Karena perjuangan yang telah ia lakukan selama ini akan berakhir sia-sia.
Ia bangkit dan membuka jendela kamarnya lebar-lebar dan membiarkan angin masuk bertamu menghamburkan kertas-kertas yang berserakan dikamarnya. Ia butuh ketenangan walau dia sadar bahwa dirinya perebut ketenangan jiwa yang lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!