Seorang pria mengenakan kaca mata hitam nampak berdiri diam di depan pintu keluar bandara. Pria tersebut bahkan tak mengindahkan saat beberapa orang tak sengaja menabraknya dari arah belakang. Meski tertutup kaca mata, gurat kesedihan jelas terlihat di balik layar berwarna hitam tersebut. Dan nama pria itu sendiri adalah Bern Wufien Ma, putra sulung dari pasangan Gabrielle Shaquille Ma dan Eleanor Young.
Setelah insiden Amora yang meninggal setelah jatuh ke sungai, Bern memutuskan untuk pindah ke luar negeri. Hatinya terlalu sakit menerima kenyataan pahit tersebut, terlebih lagi setelah dia mendengar pengakuan saudara kembarnya yang ternyata telah merencanakan pembunuhan tersebut jauh sebelum Amora datang ke hidupnya. Membuat Bern kian merasa kecewa akan kenyataan yang terjadi. Namun, setelah hampir tiga tahun lebih berlalu Bern akhirnya memutuskan untuk kembali lagi ke Shanghai. Tujuannya adalah satu. Dia merindukan Amora-nya, wanita pertama yang telah berhasil membuatnya jatuh cinta setengah mati.
Amora, maafkan aku karena baru sekarang aku memiliki keberanian untuk berkunjung ke rumah barumu. Kepergianmu membuatku merasa sangat amat terpuruk. Tolong jangan marah ya ....
Setelah menarik dan membuang nafas beberapa kali, Bern melangkah pergi dari depan pintu bandara. Dia berjalan menuju parkiran tempat di mana dia telah meminta seseorang untuk mengantarkannya ke apartemen yang akan di tempati. Dan orang itu adalah Andreas, sepupunya.
"Halo, Bung. Apa kabar?" sapa Andreas setelah menurunkan kaca mobil. Dia kemudian tersenyum saat pria berkaca mata hitam di hadapannya hanya diam tak menyahut. "Kau masih sama seperti dulu, Bern. Dingin dan tidak banyak bicara!"
"Jangan membual. Cepat buka pintunya dan biarkan aku masuk ke dalam. Aku lelah," sahut Bern dingin.
"Oh, jadi kau lelah ya?"
Sambil terus tertawa, Andreas menekan tombol untuk membuka pintu mobil kemudian terus memperhatikan Bern yang kini sudah duduk di sebelahnya.
"Karena aku merindukanmu, jadi aku sengaja tidak membawa mobil kemari. Tolong berikan aku tumpangan ya. Atau jika tidak keberatan segelas wine aku rasa akan jauh lebih baik. Bagaimana?" tanya Andreas mencoba memecah keheningan di dalam mobil.
"Terserah kau saja."
"Klab atau apartemen?"
"Apartemen." Bern menjawab singkat. Dia kemudian menoleh. "Karl tidak menghancurkan rumahku, bukan?"
Tak langsung menjawab, Andreas memilih untuk melajukan mobil menuju jalan raya. Menjadi salah satu saksi dari tragedi menyedihkan di keluarga Ma, membuat Andreas harus pandai-pandai memilih kata jika sedang bicara dengan Bern, Karl, dan juga Flowrence. Masing-masing dari ketiga orang ini menyimpan luka yang begitu dalam, hingga tak bisa dengan mudah di ajak bicara sembarangan. Terlebih lagi Karl. Sebagai pelaku utama atas kegaduhan yang terjadi, pria jenaka itu kini berubah seribu kali lebih dingin dari Bern. Jarang bicara, sedikit-sedikit marah, dan yang lebih buruk lagi adalah sikap Karl yang selalu menjauh dari semua orang. Satu-satunya keluarga yang bisa berbicara dengan manusia satu itu hanyalah ibu dan adiknya seorang. Selain itu, pasti di tolak.
"Bern, aku tahu kau masih belum bisa menerima kematian Amora. Akan tetapi ketahuilah, Karl sama sekali tak membunuhnya. Amora jatuh dari lantai dua rumahmu adalah karena kondisi tubuhnya yang sangat lemah. Dan kecelakaan itu, itu juga bukan perbuatan Karl. Tiga tahun, Bern. Tiga tahun kau menghilang tanpa kabar. Kau bahkan sama sekali tak mau menampakkan diri saat Kakek dan Nenekmu meninggal. Jangan egois, oke?" ucap Andreas mencoba untuk menyadarkan Bern.
"Tapi dia sudah menargetkan Amora sebelum mengirimnya datang ke rumahku. Bahkan si brengsek itu juga telah mengatur rencana untuk membunuh adikku. Masih kau membelanya, Yas?" bentak Bern dengan sengitnya. "Oke aku akui aku memang belum bisa menerima kematian Amora. Bahkan sampai aku matipun aku akan tetap menganggap Amora masih hidup. Namun, untuk memaafkan perbuatan Karl, aku tidak bisa melakukannya. Gara-gara keserakahannya Amora jadi meninggal seperti ini. Dan gara-gara kekejamannya juga semua anggota keluargaku jadi terbelenggu kesedihan. Kau tidak mungkin lupa dengan kejadian waktu itu, kan?"
"Karl sudah sangat menderita selama tiga tahun terakhir ini, Bern. Berbaikanlah. Biar bagaimana pun kalian itu saudara, kembar pula. Melunaklah sedikit!"
"Sampai aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau Amora masih hidup, saat itulah aku baru akan memaafkannya. Jika tidak, selamanya aku akan menganggap Karl sebagai musuh. Camkan itu!"
Bern tidak tahu kalau Tuhan telah menakdirkan skenario indah untuk hubungan cintanya dengan Amora. Hanya saja untuk meraih semua itu, Tuhan telah merenggut seluruh kebahagiaan yang harusnya dirasakan oleh Flowrence dan Oliver. Awal yang pahit memang. Namun, Tuhan tak pernah tidur. Setelah semua karma berhasil di tebus, kini tiba saatnya untuk ketiga penanggung dosa meraih kebahagiaan masing-masing. Dengan segala hormat dan kasih sayang, emak menyambut omelan kalian di novel ini. Hehe, maaf ya karena novel Love Story: Gabrielle dan Eleanor masih belum di tamatkan. Ini adalah titik terberat bagi emak untuk mencari moment yg tepat setiap kali mau menamatkan satu cerita. Mohon kalian paham ya. Tapi emak janji emak bakalan tetap terusin sampe tamat meskipun seri novel BKF sudah muncul satu. Yg Karl sama Flow nyusul ya. 🙏🙏🙏
Lanjut lagi bestie...
"Bagaimana keadaan Flow? Apa dia sudah bisa mengingat masa lalunya?" tanya Bern setelah berhasil menenangkan diri. Tiga tahun berada di luar negeri, tiga tahun itu pula Bern tak pernah menghubungi keluarganya. Kekecewaan begitu kuat membelenggu hati, hingga membuat Bern benar-benar menutup mata atas apa yang terjadi di keluarganya.
"Aku rasa yang paling menyedihkan di sini adalah Flow, Bern. Saat kecelakaan itu terjadi, dia sedang berusaha menyelamatkan Amora dari kematian. Mungkin yang membuatnya menjadi lupa ingatan adalah karena dia merasa bersalah telah gagal membawa Amora pergi ke rumah sakit. Walaupun pemikiran Flow tidak sama seperti para gadis seusianya, tapi aku tahu kalau dia itu sebenarnya bisa berpikir dewasa. Kemungkinan seperti ini bisa saja terjadi, bukan?" jawab Andreas. Dia lalu menghela nafas berat. "Pulanglah ke rumah. Aku tahu perbuatan Karl dulu sangatlah kelewatan, aku tidak bisa membenarkannya. Akan tetapi ada alasan kenapa dia bisa sampai melakukan semua itu. Bern, sejahat apapun perbuatan Karl, dia tetap adikmu. Jadi sebenci apapun kau terhadapnya, cobalah ingat-ingat perjuangan Ayah dan Ibumu dalam membesarkan kalian bertiga. Paman Gabrielle dan Bibi Elea pasti menderita batin melihat hubungan anak-anaknya menjadi rusak seperti sekarang. Kau yang tertua, jadi selesaikanlah kesalah-pahaman ini layaknya pria sejati. Oke?"
"Apa aku masih bisa menatap Karl setelah semua yang terjadi, Yas?"
"Bisa." Andreas yakin. "Kau pasti bisa, Bern. Kau di didik dengan sangat baik oleh Paman Gabrielle dan juga Bibi Elea. Aku yakin kau pasti bisa menyelesaikan permasalahan ini. Jangan khawatir, ada aku di belakangmu!"
"Inikah caramu membujukku?"
Bern tersenyum. Dia bangga mempunyai sepupu yang bisa mengerti dirinya.
"Bukan caraku, tapi memang sudah seharusnya kulakukan sejak dulu. Sayangnya kau membatu, jadi baru sekarang aku bisa mengatakannya. Kau sialan sekali, bukan?"
"Mungkin."
Andreas terkekeh. Satu tangannya bergerak menepuk bahu Bern. Dia bangga karena pola pikir sepupunya semakin bertambah dewasa.
"Perlu mengundang kedua bajingan tengik itu tidak? Oliver dan Russel, mungkin mereka akan senang jika tahu kau sudah kembali ke Shanghai. Bagaimana?" tanya Andreas menawarkan.
"Terserah kau saja. Aku mau tidur. Lelah." Jawab Bern sebelum memejamkan mata.
"Dasar beruang kutub kau!"
Bern hanya tersenyum saat di katai beruang kutub. Hingga tak berapa lama kemudian dia sudah terhanyut dalam dunia mimpi, mengabaikan rasa perih yang tengah menggerogoti jiwanya yang terluka rindu.
***
"Cheerrssss!"
Reiden, Cio, Andreas dan juga Bern mengangkat gelas mereka ke atas sebelum sama-sama meneguk habis minuman milik mereka. Begitu mendapat kabar kalau Bern telah kembali, Cio dan Reiden bergegas pergi menghampiri. Karena pribadi mereka yang urakan dan juga terkenal sebagai pria-pria pemuas ranjang, Reiden dan Cio datang dengan membawa alkohol yang sangat luar biasa banyak. Awalnya mereka juga membawa beberapa wanita dengan pakaian yang sangat luar biasa seksi, tapi begitu melihat tampang Bern yang seperti akan menelan mereka, dengan sangat terpaksa wanita seksi itu di pulangkan ke ranjang apartemen milik mereka. Menyebalkan sekali, bukan?
"Akhirnya setelah tiga tahun kita bisa berkumpul lagi seperti dulu. Aku benar-benar sangat merindukanmu, Bern!" ucap Cio sambil tersenyum lebar. Lebar sekali, sampai membuat pria di sebelahnya bergidik geli.
"Jangan tersenyum seperti itu. Kau membuatku mual!" ejek Bern. Dia bicara tanpa menunjukkan reaksi apapun di wajahnya. Dingin, juga datar.
"Cihhh, aku pikir setelah tinggal di negara bule kau sudah merubah cara berpikirmu. Ternyata sama saja. Kau masih beruang kutub yang sangat menjengkelkan, Bern. Huh!"
Bern tersenyum tipis. Dia lalu mengisi gelasnya dengan minuman, menyesapnya perlahan sambil memikirkan sesuatu.
Dulu kami kemana-mana selalu bertujuh. Meski sebentar lagi Oliver dan Russel akan segera datang, mereka tidak akan bisa membuat formasi kembali lengkap. Karl, haruskah aku mengundangnya juga? Tapi apa aku siap? Bagaimana jika aku tak bisa mengendalikan diri kemudian menyerangnya? Bukankah itu akan menyakiti perasaan banyak orang?
"Jangan melamun di tengah-tengah suasana happy begini, Bern. Buang jauh-jauh semua kesedihan yang membelenggu hatimu. Bersenang-senanglah. Oke?" bisik Andreas sambil menyikut lengan Bern.
"Hanya merasa tidak lengkap saja, Yas." Bern menyahut lirih.
"Apa kau ingin aku mengundangnya?"
"Tidak usah. Biarkan seperti ini dulu. Tunggu setelah aku siap, aku akan pergi menemuinya sendiri."
"Good. Aku tahu kau bukan pecundang. Pertahankan!"
Andreas tertawa saat Bern meninju lengannya kuat. Hingga tak berapa lama kemudian bel apartemen berbunyi. Tahu siapa yang datang, Andreas segera beranjak untuk membukanya. Dia lalu menarik nafas panjang saat mendapati dua orang pria yang sedang saling melayangkan tatapan tajam.
"Ayolah, kawan. Bern baru saja kembali ke negara ini. Simpan dulu ego dan emosi kalian. Bisa?" tegur Andreas jengah melihat pertikaian antara Oliver dan Russel yang tak kunjung usai.
"Kalau aku tahu pengkhianat ini juga di undang, aku tidak akan sudi datang kemari, Yas. Menghirup udara yang sama dengannya membuatku merasa mual!" sahut Oliver dengan sengitnya.
"Kau pikir aku suka berada di tempat yang ada kau di dalamnya?" Russel mencibir penuh ejek. "Aku seribu kali lebih tak sudi kalau kau mau tahu!"
Heran karena Andreas tak kunjung kembali setelah membuka pintu, Bern memutuskan untuk pergi menghampiri. Dia tak mempedulikan kelakuan Reiden dan Cio yang sedang bernyanyi menggunakan suara mereka yang terdengar seperti katak sedang menjemput ajal. Menjijikkan, tapi mereka adalah sepupunya sendiri. Hmmm.
"Ada apa ini?"
Perdebatan antara Oliver dan Russel langsung terhenti begitu mereka mendengar suara dingin milik Bern. Segera keduanya memasang tampang seperti tidak terjadi apa-apa.
"Bern, apa kabar?"
Oliver yang pertama kali menyapa. Dia menabrak bahu Russel saat akan masuk kemudian memeluk sepupunya yang baru saja kembali dari luar negeri. Sungguh merindu. Terbiasa bersama-sama sejak kecil, membuat Oliver benar-benar sangat merindukan si beruang kutub ini. Rasanya seperti mimpi bisa memeluknya kembali seperti sekarang. Sungguh.
"Apa kau berniat meremukkan tubuhku, Oliver?" tegur Bern merasa sesak saat Oliver memeluknya dengan sangat erat.
"Upp, sorry." Oliver mengurai pelukan. "Kapan kau pulang? Flow tahu tidak mengenai kepulanganmu?"
"Lebih baik kau jangan memberitahunya dulu. Bukankah dia masih belum bisa mengingat masa lalunya? Mungkin saja dia sudah lupa siapa aku. Iya, kan?" jawab Bern berusaha untuk tidak menampilkan ekpresi sedih.
Hening. Russel langsung memalingkan muka ke arah lain saat Oliver meliriknya tajam. Dia sudah bisa menebak apa yang akan di katakan oleh pria ini.
"Ingatan Flow memang belum kembali, Bern. Dan sayangnya ada seseorang yang berusaha mengambil kesempatan itu untuk merusak hubunganku dengan adikmu. Orang ini dengan tidak tahu malunya berdiri di tengah-tengah hubungan kami. Lucu sekali, bukan?" sindir Oliver.
"Kau bicara apa, Oliver? Siapa orang yang kau maksud?"
"Ekhmmm Oliver. Kita berkumpul di sini adalah untuk bersenang-senang. Jadi bisakah jangan memancing keributan dulu? Biarkan sepupu kita istirahat sejenak dan menikmati kebersamaan yang sudah dilewatkannya selama tiga tahun terakhir. Bisa?" lerai Andreas langsung menengahi saat suasana mulai memanas. Dia tidak akan membiarkan ketenangan Bern terganggu gara-gara permasalahan yang terjadi antara Oliver dengan Russel.
"Aku setuju denganmu, Yas," sahut Russel santai. Dia berjalan menghampiri Bern kemudian memeluknya sebentar. "Senang bisa berjumpa kembali denganmu, Bern. Walau jijik mengakuinya, aku akan tetap bilang kalau aku sedikit merindukanmu."
"Permisi, aku mau muntah dulu."
Bern melenggang masuk setelah mendengar perkataan Russel. Dia kemudian menggelengkan kepala melihat Reiden yang sudah melepas kemejanya. Sedangkan Cio, begundal itu kini sedang melakukan panggilan video bersama seorang wanita. Luar biasa sekali mereka. Huh.
"Ingat, kalau kalian sampai berani membuat masalah, percayalah. Aku akan mencekoki kalian sampai mabuk kemudian membuang kalian di pinggir hutan. Mau?" ancam Andreas sambil menarik kerah belakang baju dua sepupunya yang bersiap akan masuk.
"Tergantung. Kalau pengkhianat ini tak memprovokasi lebih dulu, aku mungkin bisa bertahan sampai akhir," sahut Oliver enggan untuk berdamai meski hanya sejenak. Dia tak sudi melakukannya.
"Aku bukan pecundang yang tidak punya malu. Kau tenang saja, Yas. Malam ini aku tidak akan membiarkan Bern tahu kalau Flow dan aku ....
"Diam kau, keparat!"
Russel kicep. Dia kemudian mengangguk setelah di semprot oleh Andreas. Setelah itu mereka bertiga sama-sama menghampiri Bern yang sedang duduk sambil memijit pinggiran kepalanya.
"Yas, sejak kapan Reiden dan Cio jadi seperti ini? Mereka mabok lem apa bagaimana?" tanya Oliver syok melihat keadaan dua pria yang masing-masing sudah teler karena terlalu banyak meminum alkohol.
"Biarkan saja mereka mau apa. Selama tidak mati, kita tidak perlu menghentikannya. Kalian kan tahu sendiri kalau Cio dan Reiden selalu bertingkah seperti orang kurang waras jika sudah berada di bawah pengaruh minuman alkohol. Cueki saja!" sahut Andreas santai. Dia lalu tertawa kencang saat Cio naik ke atas meja kemudian menari seperti dewi ular. Kalau saja Paman Junio dan Bibi Patricia melihat kelakuan putra semata wayang mereka, Andreas berani menjamin kalau Cio pasti akan langsung di coret dari daftar ahli waris di keluarga mereka. Hahaha.
"Apa aku bergabung saja ya dengan mereka? Kebetulan otakku juga sedang bergejolak setelah tadi melihat ada bajingan yang mengajak calon istriku makan malam bersama!"
"Oliver, jangan mulai!" Andreas kembali menegur. Benar-benar ya anak satu ini.
"Cihhh!"
Walaupun terkesan tak menggubris, Bern sebenarnya sadar ada yang tidak beres dengan hubungan Russel dengan Oliver. Apa mungkin di tiga tahun kepergiannya ada masalah besar yang terjadi di antara mereka? Tapi apa? Dan kenapa juga sejak tadi Oliver seperti sedang menyindir Russel yang mana itu berhubungan dengan adiknya? Russel tidak mungkin merebut Flowrence dari Oliver, kan?
"Mau minum?"
Russel menyodorkan segelas vodka pada Bern. Dia lalu mengangkat gelasnya ke atas. "Cherss?"
"Aku perlu penjelasan darimu, Russel," sahut Bern sebelum menerima vodka pemberian Russel. Dia lalu menempelkan gelas mereka hingga terdengar bunyi berdenting yang cukup nyaring. "Cherrss!"
Di balik kegilaan Cio, Reiden dan juga Oliver, ada ketegangan kuat yang muncul di diri Bern dan Russel. Tapi karena Andreas begitu pintar mencairkan suasana, sampai semua orang tergeletak karena mabuk suasana bisa aman terkendali. Sungguh sekumpulan sepupu yang sangat heboh sekali, bukan? Dan inilah awal kisah Bern akan dimulai.
***
Tak tak tak
"Ibu," ....
Renata menoleh. Dia kemudian tersenyum saat mendapati bocah laki-laki kecil berusia tiga tahun sedang berlari kencang ke arahnya. Bocah kecil itu bernama Justin Goh, putra kesayangannya. Melihat Justin yang berlari semakin kencang, Renata segera berjongkok kemudian merentangkan kedua tangan. Dan ....
"Hap, kau tertangkap, sayang," ucap Renata. Dia membelai rambut Justin kemudian menciumnya penuh sayang. "Kenapa berlarian, hem? Kalau jatuh bagaimana?"
"Ibu, aku tidak mau makan. Tidak mau," jawab Justin sambil menutup mulut. Dia lalu membenamkan wajahnya ke bahu sang ibu ketika melihat bibi pengasuh datang mendekat. Justin tahu kalau wanita itu pasti akan kembali membujuknya seperti tadi.
Jari Renata memberi kode pada pengasuh agar jangan membujuk putranya lagi. Dia lalu mengulurkan tangan, meminta mangkuk yang masih terisi penuh oleh makanan. Seminggu yang lalu Justin tiba-tiba demam tinggi. Dan hal ini menyebabkan nafsu makan anaknya turun drastis. Sebagai seorang ibu, Renata jelas sangat paham akan kesulitan bibi pengasuh yang kepayahan membujuk putranya. Jadi dia memilih untuk menyuapinya sendiri. Walau lelah, tapi Renata suka melakukannya.
Oya, perkenalkan. Namanya Renata Goh, putri tunggal dari pasangan Max dan Nandira Goh. Tiga tahun lalu Renata mengalami kecelakaan mobil yang mana membuatnya hanyut di sungai. Dari kecelakaan itu Renata kehilangan semua ingatannya. Ayah dan ibunya sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk memulihkan ingatan tersebut, tapi hasilnya nihil. Pada akhirnya semua orang menyerah dan memilih untuk tidak lagi mempermasalahkan kondisinya. Apalagi setelah kecelakaan itu terjadi Renata di ketahui sedang hamil. Jadilah pengobatan terpaksa di hentikan karena khawatir akan berdampak pada janin yang ada di dalam perutnya.
"Sayang, hei. Lihat Ibu, Nak," bujuk Renata dengan lembut.
Justin mendongak. Dia mengerjapkan mata, lalu menutup mulutnya dengan rapat begitu melihat kalau mangkuk makanan itu sudah berpindah ke tangan ibunya. Dia tetap tidak mau makan.
"Justin tahu tidak kenapa nyamuk itu suka menggigit manusia?"
"Karena dia lapar." Dengan polosnya Justin menjawab.
"Benar sekali. Nyamuk menggigit manusia karena mereka merasa lapar. Kenapa mereka lapar? Karena ibu nyamuk tidak punya tangan untuk menyuapi dan memasak makanan yang enak. Berbeda dengan Justin," ucap Renata dengan sangat sabar mencoba membujuk. "Justin punya bibi pengasuh, Ibu, juga Kakek dan Nenek. Kira-kira Justin mau tidak berubah menjadi nyamuk kemudian menggigit manusia karena merasa lapar?"
Dengan cepat Justin menggelengkan kepala hingga membuat rambutnya yang sedikit gondrong bergoyang kesana kemari. Hal lucu itu membuat para pelayanan terkekeh gemas. Renata yang melihat tingkah lucu putranya pun ikut merasa gemas. Dia lalu menciumnya.
"Kalau Justin tidak mau menjadi seperti nyamuk, berarti Justin apa?"
"Harus makan," jawab Justin seraya menampilkan mimik wajah pasrah. Di dalam kepalanya tengah berkecamuk pemikiran polos akan dirinya yang tiba-tiba berubah menjadi seekor nyamuk karena menolak untuk makan. Justin takut sekali.
"Anak pintar. Sekarang makan ya?"
"Iya, Ibu."
Dari kejauhan terlihat Nandira yang sedang tersenyum memperhatikan interaksi antara anak dan cucunya. Pemandangan hangat tersebut tanpa sadar membuat matanya berkaca-kaca. Nandira teringat akan kesulitan yang di hadapi oleh putrinya yang terpaksa harus melahirkan Justin tanpa sosok seorang suami. Bukan tak bertanggung jawab, hanya saja waktu Renata kembali dari luar negeri, putrinya itu mengalami kecelakaan hebat yang mana membuatnya hilang ingatan. Hal itulah yang menyebabkan Nandira dan Max kesulitan untuk mencari tahu siapa ayah dari bayi tersebut. Namun pada akhirnya mereka sepakat untuk menerima Justin tanpa mempedulikan lagi siapa ayah biologisnya. Biar saja. Karena bagi Max dan Nandira, kebahagiaan Renata dan juga Justin adalah yang paling utama. Mereka juga masa bodo terhadap penilaian orang. Dan pemandangan hangat inilah yang selalu menghiasi hari-hari Nandira sekarang.
"Ibu, apa nyamuk mempunyai ayah?" tanya Justin sambil mengunyah makanan. Dia menggoyangkan kepala ke kanan dan ke kiri sembari menunggu ibunya menjawab.
"Tentu saja nyamuk mempunyai ayah, sayang. Kenapa memangnya," jawab Renata. Dia lalu mencubit gemas pipi putranya yang terlihat semakin gembul.
"Lalu ayahnya Justin mana?"
Deg deg deg
Selalu, selalu seperti ini setiap kali Justin menanyakan tentang keberadaan ayahnya. Dada Renata berdebar kuat, kadang juga terasa sesak. Dia tidak tahu kenapa reaksi seperti ini bisa muncul saat Justin mempertanyakan hal tersebut. Renata bingung.
"Nyamuk punya ayah dan ibu nyamuk, tapi kenapa Justin cuma punya Ibu Renata? Apa Ayah Justin masih menjadi nyamuk?"
"Umm itu ...
Renata tergagap. Dia bingung harus menjawab apa. Dan ketika Renata sedang kebingungan, sebuah suara membuatnya bisa menarik nafas lega. Ayahnya, si pahlawan super, muncul sambil menenteng mainan di tangannya.
"Siapa bilang ayah Justin masih menjadi nyamuk? Lihat, ayah Justin ada di sini," ucap Max dengan begitu percaya diri membusungkan dada. Dia kemudian berjongkok sambil memamerkan mainan yang di bawanya. "Ayo anak Ayah Max yang paling tampan, lihat apa yang Ayah bawa."
Justin diam tak bergeming. Dia heran kenapa kakeknya tiba-tiba mengaku sebagai ayahnya.
"Sayang, ayo sana cepat peluk Kakek Max. Jangan lupa katakan terima kasih karena sudah membelikan mainan," ucap Renata membujuk putranya untuk segera menghampiri ayahnya.
"Jadi itu Ayah Max atau Kakek Max, Ibu? Justin jadi bingung," keluh Justin sambil mengerucutkan bibir.
"Sama saja, sayang. Kakek Max dan Ayah Max, kedua-keduanya sangat menyayangi Justin. Jadi jangan bingung lagi ya. Atau jangan-jangan Justin tidak mau ya mengambil mainan itu? Ya sudah, kalau tidak mau Ibu akan meminta bibi pengasuh untuk mengambilnya. Bibi pengasuh, Justin tidak mau mainan ....
Belum juga Renata menyelesaikan perkataannya, Justin sudah lebih dulu berlari ke pelukan kakeknya. Renata tertawa, dia kemudian berdiri.
"Ughh, cucu Kakek Max yang paling tampan. Sudah selesai belum makannya?" tanya Max sembari menciumi pipi gembul cucunya. Dia terkekeh saat Justin menutup mulutnya karena merasa risih.
"Kakek, jangan menciumi terus. Nanti kalau pipi Justin kempes bagaimana?" protes Justin sembari memasang ekpresi kesal di wajahnya.
"Ya kalau kempes tinggal di pompa saja. Beres, kan?" sahut Max jahil.
"Di pompa?"
"Jangan dengarkan apa kata Kakekmu, Justin. Itu tidak benar."
Nandira segera menjewer kupingnya Max yang baru saja mengatakan hal aneh pada cucunya. Dia lalu mendelikkan mata saat suaminya ini ingin melakukan protes.
"Sudah tahu Justin kita sangat pintar, masih saja kau mengatakan hal-hal yang aneh. Kalau dia sampai penasaran lalu diam-diam mencaritahu dan melakukan bagaimana? Apa tidak masuk angin dia jika pipinya benar-benar di pompa? Kau ini!" omel Nandira kesal.
"Ya biarkan saja. Justin ini laki-laki, sayang. Biarkan saja dia merasakan sakit. Itu lumrah kok," sahut Max tak mau kalah. Dia kemudian menangkup wajah montok cucunya. "Justin adalah cucu Kakek yang tidak takut sakit. Justin anak hebat dan juga kuat. Benar, kan?"
"Benar, Kakek. Ibu juga bilang kalau Justin adalah anak yang hebat dan juga kuat. Bahkan Justin jauh lebih hebat dari nyamuk yang suka menggigit orang. Justin anak hebat. Yeyyyy!"
Max, Nandira, Renata, dan juga para pelayan sama-sama tergelak mendengar celotehan Justin yang menyebut dirinya jauh lebih hebat dari nyamuk. Setelah itu mereka semua tertawa riuh saat bocah tiga tahun itu kembali berceloteh mengeluarkan kata-kata yang sangat menggelitik hati.
Justin anak kesayangan Ibu. Teruslah tersenyum seperti ini ya, Nak. Maaf karena sampai sekarang Ibu masih belum tahu siapa Ayahmu. Tapi tenang saja, Ibu janji suatu saat Ibu pasti akan menemukan keberadaan Ayahmu. Ibu berjanji, Nak ....
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!