NovelToon NovelToon

Bukan Pengantin Terpilih

BAB 1 Pernikahan

“Kenapa kau pergi begitu saja, kakak?"

Nada berseru pada angin sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Helaan nafas panjang kembali terdengar entah sudah berapa kali.

Sorot kesedihan masih sangat terlihat di wajahnya meski tertutup oleh make up. Gita, kakaknya benar-benar tak bertanggung jawab dan pergi begitu saja. Nada terpaksa harus menggantikan posisi kakaknya agar keluarga tak menanggung malu.

Tubuhnya yang di balut baju pengantin terlihat begitu cantik, namun tanpa sadar setetes air mata itu kembali mengalir membasahi pipinya. Terpaksa menelan kenyataan menikah dengan orang yang tidak ia cintai.

Wajah yang serupa malah membuatnya semakin sakit. Lihatlah bahkan tak ada perbedaan sedikit pun di sana. Ukuran bajunya pun sama. Nada sangat terlihat seperti kakaknya, Gita. Sulit di bedakan.

Hatinya sesak dengan fakta kembarannya kabur di hari pernikahan. Padahal Gita orang yang begitu mengerti dirinya.

Nada menunduk dalam dengan kedua tangan menggenggam erat gaun pengantin putih yang dia kenakan. Tak peduli make up wajahnya akan berantakan. Dia tak mengerti harus senang atau sedih dengan pernikahan yang akan berlangsung beberapa menit lagi.

Rasa bimbang, takut, kecewa, sedih, bercampur aduk mengoyak hati. Dia merasa marah sekaligus sedih karena harus menjadi pengantin pengganti dan menikah dengan orang yang mencintai kakaknya. Takdir memang tidak terduga.

Tok. Tok. Tok.

Nada segera menyeka air mata begitu suara ketukan pintu terdengar, berbalik untuk membuka pintu yang sengaja dia kunci. Dia menghela nafas pelan untuk menenangkan diri. Setelah merasa lebih baik dia membuka pintu dengan senyuman tipis di wajah.

“Kamu sudah siap?”

Nada mengangguk kecil sebagai jawaban dari pertanyaan Ervin, ayahnya. Meski wajah ayahnya terlihat tanpa beban namun Nada tahu ayahnya masih sangat terpukul dengan kepergian tiba-tiba Gita.

“Jangan bilang putri ayah habis menangis?!” Ervin mengusap lembut pipi putrinya yang masih terasa basah bekas air mata. Mata kelamnya menatap sendu wajah Nada. Ada kesedihan yang mendalam di sana.

Nada mengulum senyum, meraih menggenggam tangan Ervin erat. “Aku baik-baik saja, ayah tidak perlu cemas” Ucap Nada dengan lirih “Lihatlah mata ayah juga sembab”

“Ayah menangis bahagia, nak” Kilah Ervin mengulum senyum tulus “akhirnya putri ayah menikah juga”

Mata Nada kembali memanas, air di pelupuk matanya meronta ingin keluar. Ayahnya begitu kuat menerima setiap rasa kehilangan yang datang. Pertama kepergian ibu ketika Nada masih di bangku SMP dan sekarang Gita kembarannya yang pergi begitu saja. Hanya Nada yang Ervin punya sekarang. Pria yang mulai menua itu tampak begitu tegar dan kuat.

“Jangan menangis. Kamu terlihat lebih cantik saat menangis” Ervin menyeka air mata yang mengalir di wajah putrinya lembut. Kemudian menggengam tangan Nada "Maaf, karena kamu harus menanggung semuanya"

Nada menggeleng, "Tidak papa ayah. IIni buan salah ayah. Nada juga terima semua dengan lapang"

Ervin mengulum senyum lalu mengangguk. Kemudia ia melipat tangan bersiap menggandeng putrinya. “Ayo, calon suamimu sudah menunggu”

Nada menatap ayahnya ragu sampai sebuah anggukan kecil ayahnya membuat nada merasa sedikit tenang. Dia menghela nafas pelan lalu menyambut, mengaitkan tangan pada gandengan ayahnya. Detak jantung Nada meningkat ketika pintu utama terbuka membuat riak-riuh tamu undangan bersautan.

Pandangan Nada terkunci begitu melihat pria dengan setelan jas hitam berdiri gagah di depan sana. Tentu saja itu Daffa, pria bertubuh tinggi dengan wajah di atas rata-rata, tak lupa ada senyuman manis tercipta. Seketika tubuh Nada menjadi panas dingin. Apa benar senyuman itu untuknya?

“Tenanglah” lirih Ervin sadar putrinya di landa rasa gugup.

Nada mengangguk kecil, mengikuti setiap langkah Ervin membawanya. Tubuhnya membatu begitu sampai di hadapan orang yang akan menjadi suami. Ervin mengulum senyum memberikan tangan putrinya pada Daffa.

“Tolong cintai dan sayangi dia sebagaimana kamu mencintai Gita” Seru Ervin sungguh-sungguh “Ayah percayakan Nada padamu. Jaga dia dengan baik”

Daffa mengulum senyum sambil mengangguk kecil, menarik Nada untuk berdiri di sampingnya. Tanpa sadar Nada menghela nafas berkali-kali karena gugup, memaksa tersenyum ketika sumpah pernikahan berlangsung.

“Silahkan bertukar cincin”

Nada tersentak ketika Daffa meraih tangan. Ia memasangkan cincin di jari manis Nada. Detik berikutnya berganti jadi Nada memasangkan cincin pada jari manis Daffa. Ada sedikit rasa takut ketika matanya tak sengaja bertemu dengan mata Daffa yang menyorotkan rasa tak suka. Lagi-lagi Nada memaksa tersenyum saat suara tepuk tangan memenuhi gedung.

“Cium….Cium….Cium”

Tubuh Nada menegang seketika mendegar sorakan tamu undangan. Astaga apa mereka gila? Nada saja baru dua kali bertemu dengan Daffa. Pertemuan pertama itu pun hanya sekedar saling menyapa saat Gita mengenalkan Daffa padanya dan kedua ya saat ini. Kami tidak sedekat itu sehingga bisa berciuman. Oh ayolah, meski sekarang Daffa suaminya, tetap saja canggung.

Nada tak berkutik ketika Daffa membalikan tubuh menghadap dirinya. Matanya tak berkedip sama sekali ketika Daffa mulai mendekatkan wajah. Tanpa sadar Nada memejamkan mata dengan kedua tangan meremas gaun pengantin dengan kuat.

Cup.

Rasa takut itu seketika mereda ketika Nada merasakan sesuatu yang lembut menyentuh dahinya. Ternyata Daffa mencium di dahi dan bukan di bibir.

“Jangan harap aku akan menciummu, bibirku hanya milik Gita” bisik Daffa dingin tepat di telinga Nada.

Nada cukup tau diri untuk tidak meminta Daffa mencintainya karena ia tahu cinta Daffa masih untuk Gita kembarannya. Meski hati Nada hancur menerima kenyataan bahwa dia menikah dengan laki-laki yang tak mencintainya. Tapi ia juga ingat sejak awal dia hanya sebagai pengganti.

Nada tersenyum miris, meruntuk dalam hati, “Sadarlah Nada kamu hanya pengganti”

Lagi-lagi Nada memaksa tersenyum ketika suara tepuk tangan tamu memenuhi gedung. Mata Nada melirik sang Ayah yang tampak menangis bahagia sambil bertepuk tangan. Dia ingin berlari memeluk ayahnya erat, menangis mengadu bahwa Daffa tak menginginkannya.

Bahkan Nada ragu bisa mempertahankan pernikahannya nanti. Hidup satu atap dengan orang yang jelas-jelas tak ingin dirinya mungkin akan sangat melelahkan. Masih sambil menatap sang ayah setetes air mata itu tanpa sadar lolos membasahi pipi.

...----------------...

Senyuman Nada tak pernah luncur ketika tamu berdatangan menyalami, memberi selamat. Sejujurnya dia lelah terus berdiri, belum lagi sepatu high heels yang dia kenakan lumayan tinggi. Daffa yang melihat kegelisahan Nada menoleh hendak membuka suara, namun suara lain menghentikannya.

“Selamat atas pernikahannya, Daffa” Seru Pria seumuran Daffa dengan satu tangan di masukan ke dalam saku celana. Dia tersenyum miring sambil melirik Nada “Ah, bukannya calon istrimu bernama Gita kenapa berubah menjadi Nada”

Pria itu terkikik senang melihat wajah kesal Daffa. Rahang Daffa mengeras dengan kedua tangan mengepal menahan amarah. Perlahan Nada menggenggam tangan Daffa berniat menenangkan dan berhasil. Daffa sedikit melunak menoleh menatap Nada lembut.

“Maaf, anda menghambat tamu lain” Tegur Nada “Tak baik orang terhormat menggangu hanya karena ingin mencela. Terima kasih telah memberi selamat”

Nada tersenyum tipis, ketika pria itu memalingkan muka berjalan cepat menjauh dari sana. Tatapan Nada beralih pada Daffa yang juga menatapnya, repleks Nada melepas gengaman tangan.

“Maaf karena lancang memegang tanganmu” Lirih Nada sambil mengalihkan padangan kembali ke depan “Itu gerakan spontan”

Daffa tak menyahut atau menanggapi, dia hanya terdiam seolah tak terjadi apa-apa.

Suasana canggung semakin mendominasi sampai suara teriakan mengalihkan atensi Nada. Melihat Clara berjalan menghampirinya, Nada spontan menutup wajah dengan kedua tangan, malu. Punya sahabat ko se-bobrok itu. Gak tau kondisi main teriak-teriak aja.

“Nada, selamat atas pernikahannya!”

BAB 2 Pindah Rumah

"Benar? Ayah tidak apa-apa di tinggal sendiri?”

Nada mengulang pertanyaan yang sama, entah untuk keberapa kali dan jawaban Ervin selalu sama. Pria paruh baya itu selalu tersenyum sambil menganggukan kepalanya.

“Ayah tidak sendirian, ada pegawai di rumah” Ervin menyahut lembut “tanggung jawab ayah sudah beralih kepada Daffa. Maka dari itu kamu harus menuruti semua ucapannya”

“Tapi aku tak bisa meninggalkan ayah sendiri” Ucap Nada merengek.

Ervin terkekeh kecil, menyeka air mata yang membasahi pipi putrinya.

“Jarak rumah ayah dan Daffa tidak terlalu jauh” Ucap Ervin “Kamu bisa setiap hari datang mengunjungi ayah. Jangan bersedih”

Nada akhirnya mengangguk kecil, langsung berhambur memeluk ayahnya erat. Padahal dia sering berpisah dengan Ervin karena urusan pekerjaan. Namun kali entah kenapa rasanya begitu berat meninggalkan ayahnya.

Ervin mengusap penuh sayang punggung putrinya yang menangis sesegukan. Ada rasa sedih juga menghujam hatinya, namun dia tak mau terlihat lemah di depan putri yang kini menjadi satu- satunya. Dia harus lebih kuat dan tegar agar putrinya juga tak merasa rapuh.

“Sudah” Ervin menyeka air mata putrinya ketika pelukan itu terlepas “Malu nanti di lihat ibu mertua”

“Aduhhh, kamu kenapa menangis?”

Nah, kan baru juga di omongin. Nia, sang ibu mentua datang bersama Ramon suaminya dan juga Daffa. Nia terlihat cemas langsung menarik memeluk sang menantu.

“Kamu kenapa sayang?” Tanya Nia melepas pelukan menatap sang menantu cemas. Nada menyungging senyum tipis sambil menggeleng kecil.

“Dia hanya tak kuasa meninggalkanku sendiri” Ervin menyahut lembut.

“Kamu tidak usah khawatir, nak” Kali ini Ramon yang menyahut “Papa akan sering berkunjung menemani ayahmu bermain catur”

Ervin mengangguk sambil mengusap bahu putrinya yang masih sesegukan karena menangis.

“Sudah jangan menangis” Nia terkekeh kecil melirik Daffa di sampingnya yang sedang berdiri sambil bersilang dada “Lihat suamimu sudah berdiri bosan ingin segera istirahat”

Daffa memberengut lucu pada Ibunya, namun tatapannya berubah dingin saat matanya bertemu dengan Nada. Buru-buru Nada memalingkan muka menghindari tatapan yang begitu menusuk ke hati.

...****************...

“Mama tidak ingin menginap?”

Nada merengek pada sang ibu mentua agar mau menginap, tangannya menggegam erat tangan Nia seolah tak ingin di tinggalkan. Nia terkekeh menoleh sekilas pada sang suami lalu mendekat membisik pada Nada.

“Mama takut mengganggu acara malam pertama kalian”

Wajah Nada memerah seketika karena malu. Nia tersenyum memeluk Nada sekilas. “Mama akan menginap lain kali saja ya”

Nada menyungging senyum sambil mengangguk. Pandangannya teralih ketika Ramon mengusap puncak kepalanya lembut sambil tersenyum. Diam-diam Nada merasa terharu dengan sikap keluarga Daffayang sangat baik dan menerima Nada sebagai menantu.

Ramon menepuk pundak putranya “Jaga dia baik-baik. Papa dan mama pamit pulang”

Hanya sebuah anggukan yang di berikan Daffa sebagai tanggapan. Sementara Nada hanya bisa menatap sendu punggung kedua mentuanya yang perlahan menjauh. Menyisakan dirinya dan Daffa di dalam rumah mewah yang cukup luas.

“Kau bisa tidur di kamar yang berada di sana”

Seruan dingin Daffa membuat Nada terkesiap. Matanya mengikuti arah telunjuk Daffa. Paham dengan letak kamarnya, Nada pun mengangguk cepat. Tak ada lagi percakapan antara keduanya, Daffa sudah lebih dulu berjalan menuju kamarnya di lantai dua.

Sungguh, rasanya Nada ingin menyumpahi Daffa dengan segala sumpah serapah. Tega sekali membiarkan Nada menyeret koper dengan baju pengantin yang begitu ribet. Nada mendengus, satu tanganya melipat gaun dan satunya lagi menyeret koper.

Mana ia harus menaiki tangga. Miris sekali, nasib seorang pengantin baru ini. Susah payah ia menaiki tangga hingga sampai di depan kamar miliknya. Tepat di samping kamar Daffa.

...****************...

Daffa melonggarkan dasi, merebahkan diri di kasur empuknya. Mata sayunya menatap lurus langit-langit kamar –ah lebih tepatnya benda bulat yang melingkar di jarinya. Seharusnya ini jadi hari bahagia untuknya, namun hatinya malah semakin berduka.

Kepergian Gita secara mendadak benar-benar membuat lobang hitam dalam hati, merasa kecewa dan marah. Daffa menghembuskan nafas, mengusap wajahnya kasar.

Wajah Nada ketika menangis terlintas begitu saja di pikiran. Sungguh, dia tak kuasa melihat Nada bersedih mengingat wajahnya begitu mirip dengan Gita.

“Sial. Kenapa mereka begitu mirip?”

Bahkan dia hampir saja mencium bibir Nada tadi setelah sumpah pernikahan. Untungnya dia masih sadar bahwa bukan Gita yang dia nikahi. Daffa mendengus kasar sambil mengubah posisinya menjadi duduk. Matanya bergerak melirik jam dinding yang menunjukan pukul 10.35 malam. Sudah malam ternyata.

“Mandi, mungkin akan sedikit mendinginkan kepala”

Daffa berseru sambil beranjak pergi ke kamar mandi, dia berdiri di depan cermin menatap pantulan dirinya lama. Beradai-andai Gita masih ada bersamanya. Jika Gita yang dia nikahi ini akan sangat menyenangkan. Menggosok gigi bersama sambil saling lirik, atau sesekali bernyanyi gila karena terlalu bahagia, kemudian melewati malam indah bersama.

Daffa mengepal tangan mengingat fakta Gita kabur di hari pernikahan. Ia menunduk dalam lalu meninju cermin sampai pecah.

Tak peduli dengan tanganya yang berdarah. Ia menyalakan shower, membiarkan air membasahi tubuhnya.

Selesai mandi Daffa keluar dengan wajah lebih segar. Dia memakai celana kain selutut dengan tangan bergerak mengeringkan rambut yang basah. Di lemparnya asal handuk kecil di kepala karena merasa rambut sudah cukup kering, tangannya bergerak meraih kaos hitam berlengan pendek dan memakainya.

Dia meraih laptop berniat memeriksa laporan kantor. Waktu terus berjalan dengan Daffa yang terhanyut dalam tugas kantor. Mungkin sudah satu jam dia berkutat dengan layar computer sambil sesekali memijat pangkal hidungnya karena pusing. Saham kantor sedikit menurun dan Daffa sebagai CEO punya tanggung jawab penuh.

Prang.

Brukk.

Suara gaduh membuat Daffa hampir terjungkal dari kursi karena kaget. Dia terdiam sebentar memastikan dia tidak salah dengar, tapi suara gaduh itu semakin terdengar keras. Ia seketika teringat pada Nada. Takut terjadi hal yang buruk pada Nada.

Daffa bangkit dari duduk berjalan keluar kamar untuk memeriksa. Hal pertama yang dia lihat adalah suasana ruang tamu yang gelap. Mungkin Nada sengaja mematikan, pikirnya.

Pletuk.

Pletuk.

“Aaaaa”

Suara gaduh bersamaan dengan teriakan Nada membuat Daffa panik seketika. Dia berlari menuruni tangga terburu-buru ke arah sumber suara. Nafas Daffa tercekat melihat bayangan orang seperti memegang tongkat. Matanya waspada melihat sekitar dengan tangan meraih pas bunga untuk berjaga-jaga. Dia berjalan mengendap sambil tangan meraba tembok mencari tombol lampu.

Terang.

Lampu menyala memperlihatkan sosok berhelm yang menoleh menatap Daffa. Orang itu tampak terkejut dengan mematung di tempat. Daffa menghela nafas, lalu berjalan mendekat meletakan pas bunga di atas pantry dengan keras.

“Apa yang kau lakukan?!”

BAB 3 Menggoda?

Nada duduk di kursi depan pantry sambil menunduk dalam, matanya hampir saja mengeluarkan air mata karena takut.

Krukkk. Krukkk. Krukkk.

Spontan tangan Nada bergerak melingkar di perut ketika suara khas perut lapar berbunyi nyaring. Dia mengigit bibir bawahnya begitu Daffa menoleh memandangnya.

“Kau seorang dokter bedah, sudah pasti otakmu encer” Celetuk Daffa dengan tangan bergerak cekatan memasukan bahan masakan ke wajan. Ia melirik Nada sekilas, “Tapi masak saja tidak bisa”

Benar, orang yang Daffa pergoki menggunakan helm adalah Nada yang takut akan percikan minyak ketika menggoreng telur. Dia lapar belum makan sejak siang dan sialnya dia tak bisa memasak. Seumur-umur dia tak pernah bersentuhan dengan wajan, hanya mengandalkan ayah dan makanan cepat saji.

“Dokter bedah berhubungan dengan pisau bedah, bukan wajan dan kompor!” Nada menyahut sarkas.

“Saya seorang direktur, berhubungan dengan kertas dan komputer tapi bisa memasak”

Nada mendengus, pintar sekali Tuan Daffa membalikan ucapan. Astaga, dia hanya ingin makan bukan berdebat. Sejak awal memang harusnya dia memesan makanan cepat saji. Nada bangkit dari duduk berniat mengambil handphone untuk memesan makanan, namun dengan gerakan cepat Daffa memegang tanganya.

“Mau kemana?” Tanya Daffa dengan aura dinginnya. “Saya sudah cape-cape memasak dan kau malah ingin pergi. Kau tidak tau caranya menghargai?!”

Perkataan sesingkat itu kenapa begitu menohok hati, padahal Nada sudah biasa di maki professor di rumah sakit. Seketika hatinya terasa ngilu bersama air mata membendung di pelupuk mata.

Sementara Daffa dengan tanpa merasa bersalah menyodorkan sepiring spageti yang baru saja di buatnya.

“Makanlah” Daffa berseru sangat lirih nyaris tak terdengar.

“Terima kasih” Nada mendongak menatap Daffa sekilas, lalu bergerak meraih garpu bersiap untuk makan.

Daffa mengangguk pelan, duduk di depan Nada. Dia tersenyum ngeri melihat Nada makan dengan begitu lahap, seperti orang yang belum makan selama sebulan. Berbeda sekali dengan Gita kembarannya yang pandai memasak. Bersikap anggun meski sedang makan, sekali lagi Daffa di tampar kenyataan bahwa bukan Gita yang duduk di depannya melainkan Nada.

Suara bangku bergeser terdengar ketika Daffa bangkit dari duduk. Untuk apa dia lama-lama berdiam diri di sana menatap orang yang tak pernah dia inginkan pikirnya.

Nada mendongak, memaksa menelan makanan di mulut “Kau tidak makan?”

“Saya tidak lapar”Sahut Daffa dingin lalu berjalan begitu saja meninggalkan Nada.

Nada mengedik bahu tak peduli, kembali melahap spageti yang baru setengahnya dia makan.

“Padahal ini enak sekali” Nada berguman sumringah dengan mulut penuh mie.

Nada terbatuk kala melihat Daffa sudah berdiri di hadapanya sambil bersilang tangan di dada. Kapan dia berbalik? Nada menepuk dada dengan tangan satunya bergerak meraih segelas air. Lama-lama dia bisa mati karena sport jantung.

“Kenapa berbalik?” Tanya Nada begitu batuknya mereda.

“Kau berusaha menggoda saya?” Bukannya menjawab Daffa malah balik bertanya.

Dahi Nada mengerut dalam tak mengerti, sampai dia mengikuti sorot mata Daffa. Mata Nada membulat sempura, segera menarik bathrobe yang sedikit tersingkap menampilkan bagian dada. Astaga, dia merasa sangat malu sekarang, wajahnya saja sudah merah padam.

“Kenapa memakai bathrobe?" Daffa mendecih "Lebih cerdiklah jika ingin menggoda!”

Nada mengepal tangan mendongkak tak terima. “Aku tidak berniat menggoda! Siapa juga yang ingin menggoda pria dingin sepertimu!”

Nada menunduk dalam menahan isakan. Dia kesal sekarang. Dia lelah, lapar, marah semua bercampur aduk. Sejak tadi dia menahan agar tidak menangis, menyeret koper ke kamar sendirian, jatuh tersandung gaun, belum lagi sulitnya melepas gaun dan koper yang dia bawa berisi pakaian tidur sexy.

“T-tak ada pakaian yang bisa aku pakai” Lirih Nada susah payah karena tangisannya.

Daffa berdecak pergi meninggalkan Nada begitu saja. Tangisan Nada semakin deras, dia menangkup wajahnya dengan kedua tangan dan terisak. Miris sekali dirinya.

“A-ayah aku i-ingin pulang” Nada berguman di tengah isakannya, menyeka air mata lalu menegak minum.

Dia bangkit kembali ke kamar ingin menghubungi pak Amir untuk menjemput. Namun baru saja lima langkah suara lain menghentikan langkahnya.

“Ini kau bisa pakai kemeja saya dulu” Daffa menyelampirkan kemeja biru toksa di bahu Nada “Jangan pulang, ayahmu bisa khawatir. Saya akan menyuruh asisten saya untuk mengambil bajumu besok”

Nada masih memantung di tempat meski Daffa sudah berlalu meninggalkanya. Ia meraih kemeja di pundaknya lalu menatapnya lama. Kepribadian Daffa sulit di tebak pikirnya.

...----------------...

Tringg.

Suara alarm mengalun nyaring di ruang persegi yang di dominasi warna abu. Seseorang nampak terganggu dengan suara itu, meski malas satu tanganya menyelinap keluar dari selimut, meraih handphone yang menjadi sumber alarm.

Mata Daffa terbuka sepenuhnya begitu melihat jam yang tertera di layar handphone.

Pukul 07.30, dia terlambat ke kantor. Ada rapat penting yang harus dia hadiri. Daffa menyibak selimut, berlari ke kamar mandi dengan terburu-buru.

Hanya 5 menit waktu untuknya bersiap, ia sudah berpakaian rapi dengan jas sambil menenteng tas laptopnya.

“Ah, kau sudah bangun? Aku baru saja ingin membangunkanmu” Nada mengoceh sambil tersenyum ceria.

Daffa mengernyit, cepat sekali suasana hati gadis itu membaik. Sejak kemarin dia hanya menangis bahkan berniat pulang. Tapi sekarang dia begitu ceria dengan senyuman- ah bahkan sangat mirip dengan Gita.

Daffa menarik kursi meja makan, wajahnya berubah cengo ketika melihat makanan gosong di sana.

“Maaf, hanya ini yang bisa aku buat” Nada berseru kaku “aku sudah menonton youtube sejak pagi, tapi tadi ada yang menelponku jadi makanannya gosong”

“Saya akan makan di kantor” Daffa bangkit dari duduk beranjak pergi, namun melihat wajah murung Nada dia jadi merasa sangat bersalah. Daffa menghela nafas pelan menunjuk segelas susu putih hangat “Ini untukku?”

Nada mendongak mengangguk semangat sebagai jawaban. Tanpa banyak bicara Daffa langsung menegak habis susunya, lalu beranjak dari duduk untuk berlalu.

“Saya berangkat” Pamit Daffa tanpa mau memandang wajah Nada.

“Tunggu” Cegah Nada buru-buru berjalan menghampiri Daffa yang sudah berdiri di depan pintu.

“Ada apa?”

“Itu…” Ucapan Nada tertahan nampak ragu-ragu untuk melanjutkan.

“Cepat katakan ada apa?”

Nada tercekat dengan cepat dia membenarkan kancing kemeja Daffa yang tak beraturan, memang tidak terlihat karena tertutup dasi. Tapi Nada tahu Daffa merasa tak nyaman dengan kemejanya karena tadi terus menerus membenarkan dasi.

“Kancing kemejanya tak sesuai” Nada berseru lembut lalu menyunggingkan senyum “sudah, kau bisa berangkat sekarang”

Daffa berdehem pelan sambil menegakkan tubuh “aku pergi”

“Iya, hati-hati”

Daffa mengusap wajahnya kasar begitu pintu utama tertutup. Dia sungguh bisa gila, melihat Nada membuatnya terus teringat pada Gita. Astaga, apa dia mampu bertahan dengan Nada?

Hembusan nafas berat itu lagi-lagi terdengar.

Daffa meraih kunci di saku celana, mengarahkannya pada mobil hitam di depannya. Seharusnya setiap detik yang dia lewati terasa berharga, tapi kenapa kini dia merasa hampa.

Dia masuk duduk di bangku kemudi, matanya terkunci ketika tak sengaja melihat sebuah foto yang tergantung. Foto dirinya dan Gita, Daffa menarik paksa sampai gantungan foto itu terlepas. Dia gengam erat sambil menuduk dalam pada setir mobil.

"Kenapa kamu meninggalkan aku tepat di hari pernikahan, Git?" Daffa memukul setir frustasi "Kenapa!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!