1. Hari Pernikahan
Seorang wanita mengenakan kebaya putih dan berdiri dengan anggunnya di depan cermin, ia berkali kali memantas dirinya di sana dengan
senyuman yang merekah indah. Aneta seorang pemilik butik kecil di kota yang tidak begitu besar itu sedang merayakan hari bahagianya di mana hari ini adalah hari di mana janji suci itu ia ikrarkan. Dia menikah tepat di hari ulang tahunnya dan itu merupakan hadiah dari kekasihnya Keiji.
Keiji. Atau yang lebih sering disapa Kei itu menyematkan status baru untuk gadis berparas ayu itu di hari ulang tahunnya. Siapa yang tak
senang, siapa yang tak bangga bila ia diistimewakan seperti ini? Tentu saja Aneta merasa dia begitu berharga saat ini terlebih orang tua dan semua anggota keluarganya mendukung hubungannya ini.
Seolah restu bercucuran untuknya pada hari bahagia itu. Tidak ada satupun anggota keluarga yang menentang. Iya, mungkin ini memang karena kebaikan Kei, atau memang ada sesuatu yang lain yang menguntungkan bagi mereka semua.
“Kamu cantik sekali Nak,” kata bu Rahayu dengan tersenyum bahagia menatap pantulan gambar putrinya.
“Iyakah Bu? Aku enggak nyangka kalau aku bakalan ada pada hari ini dengan restu dari kalian semua,” jawab Neta dengan tersenyum manis dan tulus.
Akan tetapi di balik itu semua, tatapan keluarganya berubah, saat tatapan ibu Neta, Rahayu bertemu dengan bibinya Risma bertemu seolah mereka tengah gugup lantaran menyembunyikan sesuatu. Tetapi, siapa yang tahu perkara itu, hanya mereka berdua yang tahu.
Neta, dia sudah tidak mempunyai ayah sejak sekolah SMP. Ayahnya meninggal dala kecelakaan kerja. Mulai saat itulah perekonomian keluarganya tumbang.
Banyak aset yang ibunya jual semata-mata untuk bertahan hidup dan mengibati ibu mertuanya atau nenek Neta dari pihak ayah. Ia keadaan
ekonomi menghimpitnya dan memaksa para wanita itu berjuang mati-matian untuk menyambung hidup.
Pada titik ini Neta tidak tahu siapa yang dipertaruhkan, siapa yang dirugikan ataupun diuntungkan. Dia hanya tahu kalau jodohnya telah datang dan dia harus berbahagia. Lelaki itu seperti dewa di matanya.
Kei, selalu memberikan apa pun yang Neta minta. Bahkan pertemuan mereka pun terbilang cukup singkat, hanya melalui perjodohan atas pilihan sang ibu Rahayu. Neta, belum mengenal lebih dalam siapa itu Kei, bahkan dia saja
masih begitu canggung saat bicara berdua dengan Kei.
Sementara itu di kamar yang lain, Kei tengah berdiri dan menatap ponselnya. Ia mengusapnya lalu mematikannya dan menyimpannya ke dalam koper. Laki-laki yang berjarak usai 5 tahun dari Neta itu terlihat begitu
tenang. Tanpa terlihat ia tengah menyembunyikan sesuatu yang besar. Kei merapikan
rambutnya dan memantas diri.
“Hari ini semua harus berjalan lancar dan sesuai dengan apa yang sudah aku rencanakan. Tidak ada lagi kegagalan, dia tidak boleh tahu sama sekali,” gumam Kei seorang diri dengan tenangnya.
Tidak lama dari itu, pintu kamarnya di ketuk. Kei hapal benar dengan suara si pengetuk pintu yang juga memanggil namanya itu. Iya, itu adalah ibunya Neta, Rahayu.
“Nak Kei, cepat ayo itu penghulu dan saksi sudah siap!” seru bu Rahayu dari balik pintu.
“Iya Bu, Kei datang!” sahut Kei yang kemudian keluar dengan gagahnya.
“Apa Neta sudah selesai dandannya?” tanya Kei pada calon ibu mertuanya itu.
“Iya sudah, kamu jangan khawatir, semua akan berjalan seperti apa yang kita rencanakan,” kata bu Rahayu yang menjawabnya dengan senyuman yang merekah menghiasi bibirnya.
“Bagus, kalau begitu ibu tinggal tunggu saja transferannya masuk malam ini. Tapi setelah jam 8 malam aku mau semuanya sudah pergi dari rumah ini,” kata Kei yang terdengar seperti sedang mengajukan sebuah persyaratan mutlak.
“Ohoho, kamu udah enggak sabar ya?” tanya bu Rahayu dengan maksud menggoda.
“Ehem!” kei berdeham dan melonggarkan dasinya, ia juga terlihat merapikan lengan jasnya seraya berkata. “Jangan berusaha untuk melewati batasan bu Rahayu. Dalam hal ini kita bekerja sama. Jadi, saling jaga batasan kita masing-masing.”
Terdengar begitu dingin dan mengerikan apa yang Kei katakan. Bu Rahayu seketika mengatupkan mulutnya dan tertegun menatap punggung pria yang ia nikahkan dengan anaknya itu.
“Oh, aku kita sikapnya akan berubah. Ternyata sama saja seperti saat kita bertemu, dingin dan mengerikan. Apa Neta bisa bertahan dengan
pria seperti itu?” gumam bu Rahayu sendirian.
****
Ijab kabul telah mendapatkan kata sah dari para saksi yang tidak begitu banyak. Acara pernikahan itu berjalan lancar dengan segelintir orang yang datang di apartemen. Ada kejanggalan di sana di mana sama sekali tidak ada kamera yang mengabadikan gambar keduanya.
Bahkan di acara sakral itu, lima belas menit sebelum acara mulai, ponsel Neta terjatuh dari lantai apartemennya saat dipinjam oleh bibinya
Risma. Semuanya seperti bekerja sama supaya Neta sukses memasuki perangkap yang
Kei buat termasuk ibunya.
“Mas, apa kita bisa mengambil foto?” tanya Neta pada Kei yang duduk di kursi pelaminan bersamanya.
“Sudah nanti sajalah, masih banyak tamu. Kita kenalan dulu sama para tamu, aku juga tidak tahu siapa-siapa saja anggota keluargamu. Bibimu sudah mengambil foto kita tadi bukan?” ujar Kei menjawab Neta yang terpaksa
mengurungkan keinginannya untuk berfoto.
“Iya, kamu benar. Masih ada kesempatan lain untuk berfoto.” Neta menimpali namun terlihat raut kekecewaan di wajahnya.
“Ponselku rusak, sekarang mana bisa aku mengabadikan foto kami dan mengirimkannya ke sosial media? Padahal teman-temanku semuanya ingin tahu. Tapi … ibu bilang agar pernikahan ini tertutup saja karena ibu tidak mau banyak yang datang menagih hutangnya setelah ini,” pikir Neta saat Kei melarangnya mengambil foto mereka.
“Kamu kecewa Sayang? Aku tahu kamu kecewa, tapi tidak baik terlalu terbuka di media sosial apa lagi tentang kehidupan pribadi kita. Itu sama
saja dengan menelanjangi diri kita,” papar Kei yang seolah tahu kekecewaan hati
Neta.
“Iya Mas, kamu benar,” sahut Neta menimpali dengan pelan dan setelahnya ia disibukan dengan para karyawan di butiknya yang datang dan memberikan selamat.
Sangat banyak pertanyaan yang muncul di kepala Neta saat ini, semua yang datang dengan cepat pegi begitu saja. Dan itu pun hanya
beberapa orang dan tidak sampai 50 orang. Padahal ia sudah membuat undangan
sampai 150 orang dengan niat akan mengadakan pesta di gedung tetapi Kei mengatakan
tidak usah dan cukup mengacak waktu saja.
“Kenapa sedih?” tanya Kei yang mendekati Neta yang duduk menatap pintu unit apartemennya.
“Temanku belum ada yang datang,” gumamnya.
“Mungkin mereka sedang sibuk. Sudah lumayan tadi yang datang,” kata Kei dengan berusaha menghibur Neta.
“Temanmu juga mana? aku lihat tidak ada yang datang, hanya saudaraku dan saudaramu aja yang datang secara bergantian,” ucap Neta dengan perasaan kecewanya.
Kei terlihat pucat dengan pertanyaan singkat itu. Sebenarnya ada apa semua ini?
Selesai dengan pesta kecil-kecilan itu, baik bu Rahayu maupun Risma dan beberapa saudara Neta membantu pengantin baru itu untuk membersihkan hunian baru yang bila dijual lagi kisaran harganya akan mencapai 22M ke atas. Rumah itu bukan apa-apa bagi Kei yang memang dia banyak mempunyai aset dan juga sumber kekayaan yang begitu banyaknya.
Kei merupakan pengusaha yang bergerak dalam bidang impor dan ekspor pakaian. Juga dia memiliki beberapa usaha kecil di dalam negri yang jumlahnya sampai tidak bisa dihitung jari. Karena terlalu kaya, Kei pernah sampai melupakan mobilnya sendiri yang terparkir selama beberapa tahun di salah satu bandara internasional negri ini.
“Apa sudah semuanya Bu?” tanya Kei dengan nada ramah pada bu Rahayu yang sedang mengelap meja dan membelakangi Neta yang sedang mencuci piring bersama Risma.
“Sebentar lagi,” jawab bu Rahayu tanpa melihat Kei.
“Bu. Lihat aku. Ini sudah jam berapa?” cetus Kei dengan memelankan suaranya seolah tidak ingin Neta mendengarnya.
“Astaga! Sudah lewat 10 menit,” ucap bu Rahayu dengan menutup mulutnya. Dia begitu terkejut saat tidak menyadari waktu karena terlalu serius membantu membersihkan rumah putrinya.
“Iya, akan aku selesaikan ini,” katanya yang terlihat tergugup karena Kei yang ada di hadapannya dan terlihat seolah membantunya padahal menantunya itu hanya sedang menekannya.
“Tidak usah!” Kei mencekal pergelangan tangan bu Rahayu dan otomatis semua itu terhenti.
“Cepat pergi dari sini, aku tidak punya banyak waktu. Kamu tahu benar betapa sibuknya aku,” ketus Kei yang berbicara dengan sorot mata tajamnya seperti macan kumbang yang akan menerkam.
“Ba-baik, baiklah,” jawab bu Rahayu tergugup dan segera menyudahi pekerjaannya meskipun belum selesai.
“Risma, aku rasa kita harus cepat pulang. Sepertinya kita melupakan sesuatu di rumah. Sepertinya, sepeda motor yang dibelakang belum di masukan karena terburu-buru tadi. Aku baru ingat,” ujar bu Rahayu dengan segera mengajak Risma pergi dari sana.
“Astaga! Mbak, kok bisa teledor begitu? Ayo kalau begitu. Nanti kalau ada maling bagaimana?” timpal Risma yang begitu kompak dengan kakaknya yang pembohong itu.
Demi keuntungan yang besar jumlahnya, keduanya rela bekerja sama dan menjual keluarga mereka kepada Kei si pengusaha kaya. Ada sesuatu yang Kei janjikan untuk keduanya hingga membuat bu Rahayu dan Risma begitu bersemangat ketika sudah membahasnya.
“Oh, ibu mau pulang? Kenapa tidak menginap di sini saja?” tanya Kei yang tentunya hanya berpura-pura dan itu langsung disambut senyuman palsu oleh keduanya.
“Kei, kami juga tidak mau mengganggu pengantin baru, dan kebetulan ibu mertuami ini malah lupa memasukan sepeda motor. Oh, di sana lagi musim maling Kei,” ujar Risma yang juga ikut serta dalam drama tersebut.
“Yah, harus pulang ya? Padahal aku kira kalian mau menginap di sini,” gumam Neta dengan pipinya yang menggembung.
“Tidak bisa Sayang, bagaimana dengan sepeda motor butut ibu yang ibu sayangi itu. Sepeda motor itu punya banyak kenangan dengan ayahmu dulu,” kata bu Rahayu yang seketika membuat Neta luluh.
“Ya sudah, Neta antar sampai mobil ya Bu?” tawar Neta.
“Oh, enggak usah. Enggak usah,” tolak bu Rahayu sambil menggerakkan kelima jarinya tanda menolak.
“Ibu sudah pesan taksi online jadi baik kamu dan suamimu tidak usah mengantar,” kata bu Rahayu yang kemudian mengambil tasnya dan segera menggandeng Risma.
Mereka saling melambai dan pergi. Sementara Kei kemudian beralasan bingkisan untuk ibu mertuanya ketinggalan dan menyusulkan. Tentu saja Neta sangat senang melihat perhatian yang suaminya berikan untuk ibunya.
“Tunggu!” seru Kei memanggil bu Rahayu dan Risma.
“Ada apa? Oh iya, pasti mau memberikan bayaran kami ya?” tanya bu Rahayu yang sudah berbinar cerah matanya ketika membahas soal uang.
“Hemh.” Kei menghela napasnya sambil menggeleng dan menatap remeh ibu mertua serta tantenya. “Ada di dalam kaleng ini, buka saja kalau di rumah nanti.”
Kei berbalik badan dan melangkah. Tetapi, baru babarapa langkah dia kembali lagi. Seperti ingin memberikan peringatan.
“Oh iya, jangan ganggu kami 3 bulan ini. Jangan pernah hubungi atau memintanya untuk ke rumah kalian. Paham?”
“Pa, paham.” Bu Rahayu dan juga Risma mengangguk bersamaan.
“Dasar mata duitan,” hina Kei seraya berlalu pergi.
****
“Bagaimana Kei, apa ibu sudah datang mobilnya?” tanya Neta sembari menata barang-barang itu ke lemari pendingin.
Neta mengenakan pakaian yang sebenarnya bisa dibilang sopan untuk kelas pengantin baru. Dia mengenakan dress selutut dengan tali spagety. Rambutnya ia ikat asal, meski begitu dia terlihat sangat menawan.
Bibirnya yang berwarna pink alami itu seolah memanggil Kei berkali-kali. Lehernya terlihat jenjang dengan hiasan beberapa anak rambut yang menambah kecantikan leher jenjangnya. Kei mengamatinya dari ruang tamu dan tersenyum miring.
“Ibumu telah menjualmu kepadaku. Kita lihat saja katanya kamu ini bibit unggul dan itu akan aku buktikan malam ini,” kata hati Kei.
Ting! Satu buah pesan masuk pada ponsel Kei.
[Ramuan cinta itu ada pada jus jeruk yang berada di meja makan]. Isi pesan dari bu Rahayu.
“Dasar si tua mata duitan,” gumam Kei dengan tersenyum miring dan kembali menyimpan ponselnya.
“Capek?” tanya Kei yang terlihat tengah mencari sesuatu di dalam lemari pendingin.
“Lumayan, haus juga sih,” balas Neta sembari melanjutkan pekerjaannya membersihkan meja makan kali
ini.
“Minum dulu kalau haus Ta, itu ibu buatkan jus. Habisin, mubazir kalau enggak habis,” kata Kei
dengan menyodorkannya.
Neta tersenyum menerimanya dan dalam sekali teguk, habislah jus itu membasahi kerongkongannya. Ia meminumnya hingga tandas dan langsung mencuci gelas tersebut.
“Bagus, memang harus kamu habiskan dan kita lihat bagaimana reaksinya. Bagaimana kamu memuaskan aku Neta,” batin Kei dengan senyum liciknya.
“Apa ada yang bisa aku bantu? Kalau enggak ada aku ke kamar dulu ya, mau bersih-bersih,” kata Kei yang berpamitan dan hanya dibalas senyuman oleh Neta.
Kei memang masuk ke dalam kamar mandi, ia berendam di dalam bathub dengan menghitung waktu. Berkali-kali senyum kelicikan itu lolos dan menghiasi bibirnya. Entah rencana apa yang ada di dalam kepalanya saat ini, yang jelas dalam hal ini Neta lah umpannya.
“Malam pertama ini harus sukses, 2 menit lagi dia akan mencariku dan menyerahkan dirinya dengan gila,” gumam Kei dengan harapan dan bayangan pasti.
Benar saja, selesai Kei menghitung, Neta sudah mengetuk pintu dengan dia yang sudah tidak
memakai baju dan hanya bra saja. “Kak, buka pintunya, aku juga mau mandi, ini panas sekali.”
Kei yang gila itusegera keluar dari bathub tanpa mengenakan apapun. Dia langusng membuka pintu dan visual Neta langsung nampak. Gadis itu napasnya sudah memburu dan sesekali mendesah kecil.
“Kei, bisa bantuaku? Aku tidak tahu kenapa ini, panas sekali, dan ….”
Ucapan Neta terhenti lantaran dia sudah dengan brutal ******* bibir Kei dan memeluknya erat. Menyentuh dari segala arah apa yang bisa disentuh. Menghisap apa yang bisa dia hisap sesuka hatinya malam itu.
Lembut suasana pagi hari, hangat sang Surya menemani. Menerobos masuk ke setiap celah yang ada. Ruangan putih itu, menjadi semburat jingga dengan dua insan yang tengah bergelung mesra.
Neta, dia tersenyum meski dengan matanya yang masih terpejam. Dia bisa merasakan halus lembut tangan pria yang baru kemarin menjadi suaminya itu membelainya. Degup jantung Kei pun seperti alunan simponi yang merdu.
"Sudah pagi ya?" tanya Neta dengan suara seraknya khas bangun tidur.
"Iya, hari ini kita mau ke mana?" Kei bertanya sembari mengusap-usap lembut pipi Neta seolah itu adalah mainan favoritnya.
"Aku mau ke Thailand," jawab Neta pelan.
"Em, oke. Tapi kamu siap-siap dulu sana, perempuan itu 'kan lama dandannya," ucap Kei dengan mengusuk pelan pucuk kepala Neta.
"Oke," ujar Neta yang kemudian segera beranjak dari tempat tidurnya dengan tubuh yang begitu polos menggoda.
Iya, keduanya belum berpakaian setelah subuh tadi kembali memainkan perannya masing-masing. Mereka melakukan penyatuan dan pelepasan. Hingga, secara bersamaan keduanya melengkuh menyemburkan cairan putih kental.
Neta bangkit, berdiri dan memakai handuk yang tadi mereka gunakan bersama. Meski sudah melakukannya, tetapi Neta tetap saja merasa malu bila harus tampil polos di hadapan suaminya. Walaupun, semalam justru dialah yang bertingkah liar.
Semalaman, Neta memimpin permainan. Dia seperti tidak terpuaskan meski malam itu adalah malam pertamanya yang seharusnya ia merasakan sakit yang di **** ***** tersebut. Tetapi, tidak sama sekali.
Barulah, saat dia hendak melangkah sedikit lebar, dia merasakan sensasi aneh. Ada pedih dan juga nyeri. Rasa yang tidak nyaman yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Auh!" Neta memegangi daerah intimnya dengan meringis kesakitan. "Ini aneh, semalam tidak terasa sakit begini."
"Kenapa? Sakit?" tanya Kei dengan wajah polosnya.
"Perih," keluh Neta dengan ekspresi wajahnya yang menunjukkan kesakitan.
"Maaf ya, aku terlalu bersemangat tadi malam. Apa kita perlu pergi ke rumah sakit?"
Neta menggeleng menatap manik sang suami yang seolah begitu mencintainya. Kei memang terlihat seolah menjadi pria yang sempurna dari paras dan hati. Dia pandai mengambil hati orang lain dan memanipulasi.
"Tidak usah, dari yang aku baca, sakit seperti ini tidak lama kok Mas," jawab Neta dengan tersenyum manis. "Aku ke kamar mandi dulu ya?" pamitnya.
"Yakin bisa? Apa mau aku gendong?" tanya Kei seolah dia adalah pria terbaik di muka bumi ini.
"Tidak usah," tolak Neta dengan halusnya sembari berlalu menuju ke kamar mandi.
Setelah Neta benar-benar menghilang di balik pintu, Kei tersenyum licik. Tatapannya menyiratkan banyak hal misterius yang ia sembunyikan. Bukan tatapan tulus, ataupun mendamba seorang suami kepada istrinya.
Di saat Neta berada di kamar mandi, Kei dengan segera mengeluarkan ponsel yang sebelumnya ia simpan. Bergegas ia turun dari ranjang dan keluar meninggalkan kamar. Ia menuju ke ruang kerja yang memang di desain supaya kedap suara.
Entah apa yang dia lakukan, yang jelas dia merahasiakan sesuatu dari istrinya. Neta yang mendengar suara pintu terbuka pun hanya acuh saja. Dia pikir suaminya keluar untuk mencari minum di dapur.
Sedangkan di dalam ruang kerjanya, Kei tengah berbincang serius dengan seseorang. Beberapa kali ia berusaha untuk merayunya. Namun, nampaknya usahanya itu sia-sia. Hingga membuatnya gusar.
"Okey! Aku pulang sekarang juga, kalau sampai Bisnisku ini gagal maka kamu akan kuceraikan!" sentaknya terbawa emosi.
Tak berselang lama, sosok wanita lawan bicara itu pun mengalah. Hingga Kei kembali mengeluarkan senyuman liciknya. Kei, bukanlah lelaki singel seperti apa yang Neta ketahui.
Kei sudah mempunyai seorang istri tanpa ada anak diantara mereka. Sudah 4 tahun menikah dan melakukan berbagai macam usaha untuk mendapatkan keturunan, tetap saja Tuhan tidak mempercayainya. Di sisi lain, ada neneknya yang menekannya agar segera memiliki penerus.
Iya, semua ini ia lakukan hanya demi harta dan tahta. Akan tetapi Kei juga tidak mau kehilangan Salma, istri pertamanya yang menjadi penyokong finansial baginya. Memang rumit, langkah yang Kei ambil ini.
Dia dan Salma dulu dijodohkan, tidak ada perasaan apa-apa diantara mereka. Hingga, lambat laun Salma benar-benar mencintai Kei. Tetapi, nasib baik tidak berpihak padanya di mana Kei justru menghianatinya demi memperoleh penerus.
Neta, dia adalah wanita yang Kei pilih sebagai ibu dari anaknya setelah ia tahu bagaimana kepribadian wanita itu. Iya, Kei memang bejat. Tetapi dia tidak mau salah memilih wanita untuk menjadi pengasuh dari penerusnya.
Semua ini Kei rencanakan sendiri. Sama sekali tidak ada anggota keluarga yang tahu. Rencananya adalah akan menceraikan Neta tepat setelah anaknya berumur lebih dari 2 tahun lepas dari masa menyusu. semuanya sudah Kei perhitungkan.
"Aku tidak benar-benar akan melakukan itu Salma, bagiku kamu itu berharga lebih dari wanita bodoh ini. Aku menikahinya semata-mata supaya kita memiliki keturunan." Kei membatin setelah mematikan panggilan tersebut.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Sebaiknya kita tunda saja ya? Aku tidak tega melihatmu begitu. Untuk berjalan saja kelihatan susah," ucap Kei saat Neta selesai mengeringkan rambutnya.
"Iya, tidak apa-apa. Maaf ya, gara-gara aku rencana kita gagal," ucap Neta tulus dari dalam hatinya. tatapannya teduh meminta maaf.
"Tidak apa-apa, bukan salahmu," ucap Kei dengan lembutnya pada Neta hingga membuatnya luluh.
Apapun itu bila Kei yang berucap selalu membuatnya tunduk. Di mata Neta, Kei tetaplah sosok yang sempurna.
"Mau makan?" tanya Neta pada Kei yang sedang duduk santai sambil membaca pesan di ponselnya.
"Iya boleh, siapkan saja," jawab Kei sembari beranjak dari duduknya. Ia menuju ke ruang kerjanya.
Neta sama sekali tidak merasakan kecurigaan. Dia memasak dengan sepenuh hati membuatkan masakan kesukaan suaminya yang ia ketahui dari sang ibu. Semua yang ia ketahui tentang Kei hanyalah berasal dari ibunya.
Semua ini yang bermula dari perjodohan dan Neta sama sekali buta. Dia hanya tahu apa-apa tentang Kei dari catatan yang ibunya berikan. Tiga kali pertemuan, dengan sikap Kei yang tampil sempurna di matanya.
"Mungkin dia suka bila kutambahkan seledri," ucap Neta seorang diri saat membuat mi goreng.
Kei keluar dari ruang kerjanya sudah dengan menenteng kopernya dan hal itu cukup membuat Neta terkejut. "Mas, kok bawa koper? Kamu mau ke mana?"
"Ada urusan, ini penting tidak bisa ditunda. Aku tidak tahu, ini begitu mendadak. Tentang kerjaan."
"Mas, ini lagi masa bulan madu kita. Masa iya kamu mau pergi?" tanya Neta dengan tatapan kecewanya.
"Ta, ini urusan penting. Bagaimana? Sama pentingnya denganmu. Kalau aku tidak mengurusnya, kita bisa rugi banyak," ucap Kei yang memang sangat tepat bila beralasan.
"Jika yang kuajak bicara seperti ini adalah Salma, sudha pasti wanita itu akan marah besar. Dia akan melempar apa saja yang bisa ia lempar. Tetapi Neta, dia hanya diam saja, aku tahu tatapan matanya itu menyiratkan banyak tanya. Tetapi dia memilih diam. Dalam perbadaan ini kamulah pemenangnya Neta, aku menyukai kesabaranmu. Oh tidak, apa aku juga mulai mencintainya?" batin Kei mulai bertanya-tanya akan perasaannya sendiri.
"Tega sekali kamu Mas, seharusnya ini masih hari bahagia kita. Tapi kamu malah pergi seperti ini. Aku juga tidak yakin bila ini soal pekerjaan. Aku merasa dibohongi."
Keiji melangkah Pergi dna Neta hanya bisa membiarkannya. Ia justru mengulurkan tangannya meminta tangan sang suami untuk ia cium. Satu hal kecil sederhana yang perlahan menggetarkan hati Keiji.
"Salma sama sekali tidka peduli dengan sikap hormay seperti ini. Tetapi wanita yang kumanfaatkan ini, Dia snagat menghargaiku dan menjunjung tinggi aku di sini," batin Kei seraya melangkah pergi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!