NovelToon NovelToon

Surga Di Pelupuk Mata

Prolog

..."Pasrah tidak sama dengan menyerah....

...Pasrah menurut hakikat Ilahi, yakni berdoa, berusaha, berikhtiar dan berserah diri pada kekuasaan dan kehendak Allah, Tuhan yang Maha Kuasa atas segalanya termasuk menentukan takdir manusia."...

“Aku sangat mencintaimu, Aida.” Pemuda dengan jaket berwarna hitam dengan posisi tengah menduduki sepeda yang dijagangnya itu menyibak rambut gadis cantik bernama Aida. Parasnya yang cantik dapat menghipnotis kaum adam di sekolahnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa Kenzo, kekasih Aida pun menaruh hati kepada gadis tomboi tersebut.

“Aku janji, setelah lulus sekolah aku akan datang ke rumah dan melamar kamu.” Raut wajah Aida terlihat bahagia. Terpancar senyum manis dari bibir merah mudanya. Gadis itu mengindahkan perkataan pacarnya dengan menganggukkan kepala.

Di bawah bentangan kanvas yang berwarna jingga bercampur dengan gumpalan kapas berwarna merah, dua pemuda itu tengah mengumbar mesra. Seakan-akan dunia ini hanya milik mereka berdua. Beberapa menit kemudian, benda pipih berwarna hitam dari saku Aida berdering memecah suasana romantis kala itu. Merasa terganggu, Aida meraba saku roknya dan mengambil benda pipih itu untuk melihat siapa orang yang berani mengganggunya.

Terlihat nama rahim kehidupan yang terpampang jelas tengah menghubunginya, tidak ingin membuat sang bunda menunggu lama, Aida pun menjawab panggilan tersebut. “Iya, Bunda. Ada apa?”

“Pulang dulu gih, Nak. Ada yang mau ketemu sama kamu.” Suara lembut dari seberang sana membuat Aida mengernyitkan keningnya sehingga kedua alisnya yang tebal menyatu.

“Siapa, Bunda?” jawabnya seraya menatap wajah sang kekasih.

“Pulang dulu, Nak. Nanti kamu juga akan mengetahuinya.” Tanpa memberikan waktu untuk Aida menjawab, bunda langsung mematikan telepon itu. Sedangkan Aida masih dengan posisi mulut sedikit ternganga. Bingung memikirkan perkataan yang singkat, namun berhasil membuatnya berpikir keras.

“Kenapa sayang?” Pemuda itu bertanya sesaat setelah melihat wajah Aida yang menatap nanar ke arah depan. Ya, seperti memikirkan sesuatu. Namun, Kenzo tak tahu apa yang tengah dipikirkan pacarnya itu.

“Sayang, kamu bisa 'kan anterin aku pulang? Bunda nyuruh aku buat cepet-cepet pulang.” Aida merengek sembari memeluk erat tubuh Kenzo yang kekar itu. Ya, dua sejoli itu sangatlah cocok. Selain tampang Aida yang cantik, Kenzo pun memiliki paras yang tampan. Ia juga menjadi ketua dari ekstra basket. Tak heran jika Kenzo digandrungi oleh gadis di sekolahan.

Kenzo mengangguk mendengar permintaan Aida. Tak apa, masih ada hari esok untuk bertemu dengannya. Aida yang siap pun langsung naik ke atas sepeda motor Kenzo dan memeluknya dari belakang. Tanpa mereka sadari bahwa hari ini adalah hari terakhir mereka bertemu dan bercumbu mesra.

***

Malam kembali menyapa. Langit tampak kelam dengan pernak-pernik yang menghiasi kanvas berwarna hitam legam. Tak seperti biasanya, rembulan nampak malu-malu untuk menampakkan sinarnya. Begitu pula dengan bintang, tak berkedip seperti malam-malam biasanya.

Suara knalpot sepeda motor Kenzo terhenti di depan rumah Aida. Gadis itu turun dan pemuda itu dengan sigap melepas helm yang dikenakan Aida. Seperti hari-hari sebelumnya, Kenzo mengecup kening Aida sebelum ia berlalu pergi. “Aku pulang dulu ya, Sayang.” Aida mengangguk dengan senyum simpul yang membuat candu bagi Kenzo. Senyum manis itulah yang membuatnya rindu. Sungguh, apakah ada yang lebih berat dibandingkan merindukan seseorang yang dicintai?

Setelah melambaikan tangan dan sosok Kenzo tak terlihat lagi, Aida masuk ke dalam bangunan tua berwarna hijau dengan pagar hitam yang dikelilingi tumbuhan. Terlihat beberapa pasang sandal berjajar di depan teras rumahnya. Terdengar pula suara canda gurau dari dalam ruangan sepetak itu. Aida melangkah dengan segudang pertanyaan. Ditambah lagi ketika ia mendengar kata perjodohan, dadanya merasa sesak. Siapa yang akan dijodohkan, apakah dia? Dengan siapa?

Mengetahui bahwa putri semata wayangnya telah sampai, bunda langsung menyapanya dengan salam sehingga membuatnya terperanjat. Sumber kebahagiaan itu menggamit lengan Aida dan membawanya duduk di atas sofa empuk berwarna cokelat muda. Masih dengan segudang pertanyaan, Aida hanya bisa menatap ke segala penjuru, mencoba untuk mencari jawaban atas segala pertanyaan yang tengah bersarang di benaknya.

“Perkenalkan ini Aida, putri semata wayang kami. Putri kebanggaan kami.” Sesosok pria paruh baya memecah sejenak keheningan yang menyapa di antara ruang sepetak itu. Tunggu, siapa dua pasangan suami istri yang ada di hadapannya ini? Apakah mereka teman bunda dan ayahnya?

“Cantik ya, pasti Bima suka dengan perjodohan ini.” Telak. Dada Aida seperti dihantam batu beras. Bola matanya membulat sempurna, bibirnya kelu tak bisa berkata sepatah kata pun. Ilahi, apa yang harus Aida lakukan untuk saat ini? Dengan sisa keberanian yang masih melekat pada diri Aida, ia menoleh ke arah bundanya berharap bahwa sosok wanita paruh baya itu bisa menjelaskan bahwa ini hanya gurauan semata. Jika tidak, wanita paruh baya itu akan menggelengkan kepala pertanda bahwa ini semua tidaklah benar. Namun ....

“Kami akan sangat senang dan terhormat jika perjodohan ini benar-benar terjadi, Nyai.” Langit seperti runtuh menimpa badan mungilnya. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, hanya mulutnya yang sedikit ternganga. Air mata Aida tidak berhenti bercucuran. Membeku, bibirnya semakin kelu. Tuhan, ada apa ini? Ada apa dengan dirinya?

“Bun-Bunda?” Suaranya terbata-bata. Wanita paruh baya itu hanya bisa menggenggam telapak tangan Aida seraya mengedipkan mata. Hancur. Harapan dan impian Aida untuk bersanding di pelaminan dengan pria pilihannya kini melebur. Terhempas oleh angin lalu. Kini, semua hanya tinggal angan-angan semata.

Sepanjang percakapan antara orang tuanya dan orang tua calon suaminya, Aida hanya bisa diam. Ia tak kunjung bergeming. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan raut wajahnya yang kesal. Air matanya pun tidak bisa dibendung, mengantri untuk berjatuhan satu per satu. Semakin lama dadanya semakin sesak. Oh Allah, bukan ini yang Aida inginkan. Bukan pria asing yang Aida pinta untuk menjadi suaminya.

***

“In syaa Allah, tidak lama lagi kami akan kembali dan membawa Bima ke sini agar ia bisa melihat sendiri paras cantik dari Aida.” Kedua orang tua Aida hanya bisa mengangguk dan tersenyum lebar. Namun, bertolak belakang dengan Aida, gadis itu masih tidak percaya akan apa yang terjadi hari ini. Seperti mimpi, namun nyata. Ah, entahlah!

“Umi pulang dulu ya, Nak. Nanti kalau ketemu Bima pakai jilbab dan gamis ini ya, pasti kamu akan terlihat semakin cantik, ” ujarnya sembari memberikan tote bag berwarna cokelat kepada Aida. Wanita paruh baya dengan khimar panjang berwarna hitam itu memeluk erat tubuh mungil Aida dan mencium kening gadis lugu itu. Terasa dengan kentara bahwa sosok wanita paruh baya yang dipanggil umi itu menyayanginya dengan tulus.

Tak berselang lama, kedua orang tua dari Bima pun berlalu pergi. Aida menatap bundanya dengan tatapan seperti mengintimidasi. Matanya memerah, ia tergugu. Bibirnya bergetar. Sungguh, ia tak bisa lagi menahan ini semua.

"Aida nggak mau dijodohin sama anaknya orang itu tadi, Bunda." Suaranya tercekat di tenggorokan. Setetes demi tetes air mata Aida membanjiri pipinya. Telapak tangannya mengepal erat. Cukup sudah, ia tak bisa terus menerus berpura-pura tegar.

"Sudahlah Aida, kamu sudah besar, hilangkan sikap kekanak-kanakan kamu itu." Isak tangis terdengar kentara. Walaupun begitu, kedua orang tuanya menghiraukannya. Bagi mereka, apa yang telah terjadi hari ini adalah pilihan terbaik untuk putri semata wayangnya. Memang, setiap orang tua di dunia menginginkan yang terbaik untuk buah hati mereka. Namun, apakah dengan tidak mendengarkan hak suara mereka itu menjadi yang terbaik?

Sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Apa yang terjadi hari ini akan menjadi awal perjalanan dari kisah ini. Beberapa hal terkadang memang harus dibiarkan pergi. Sebab bertahan melawan takdir pun percuma, bila Allah tak berkehendak kita bisa apa?

**Bersambung ....

Pasuruan, 15 Januari 2023**

Prolog

Assalamualaikum, sobat literasi. Yuk mampir ke novel yang baru saja saya unggah dengan tajuk "Surga di Pelupuk Mata", wah gimana ya kelanjutan dari cerita tersebut? Penasaran nggak? Langsung mampir yuk dan jangan lupa buat like, comment, dan share sebanyak-banyaknya ke taman kamu, ya. Terima kasih.

Semoga dapat menghibur, bermanfaat dan bisa diambil hikmahnya.

Jodoh dan Takdir

..."Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka akan diperbanyak kesedihannya. Jika Allah membenci seorang hamba, maka dilapangkan dunia baginya."...

..._Fudhoil bin Iyadh_...

Malam semakin terjaga. Sang dewi malam kini menggantikan semburat jingga yang sempat bertahta. Segala pernak-pernik yang berada di alam semesta mengedip pada sang penghuni bumi. Seolah-olah tengah menyapa.

Di atas sajadah panjang, dengan tubuh yang masih terbalut mukena, Aida tergugu seraya menggigit erat mukena miliknya. Air matanya bercucuran membasahi mukena yang masih dikenakan. Di keheningan malam, hanya terdengar isak pilu Aida yang ditemani oleh suara jangkrik dan serangga kecil.

Aida tak dapat menghentikan hujan, sama seperti tangisannya yang pecah pada malam ini. Kali ini, rembulan menjadi saksi atas kesedihan dan suasana hatinya. Entahlah, padahal malam ini tidak ada gerimis ataupun badai. Namun, cairan bening itu seperti tidak mau berhenti. Ilahi, apakah ini karena perjodohan itu? Apakah perjodohan itu membebani Aida?

Gelap gulita menjadi teman bagi Aida. Tidak ada pelita. Sinar rembulan masuk lewat celah jendela yang memang sengaja tak Aida tutup rapat. Namun, sinar rembulan itulah yang mampu menerangi di setiap celah-celah waktu yang hampa. Seperti hatinya saat ini.

"Aida." Suara ketukan pintu disertai dengan suara lirih dari wanita paruh baya mencairkan suasana.

Semenit kemudian, terdengar suara keryitan pintu pertanda bahwa pintu telah terbuka. Aida mengelas jejak air matanya, gadis itu menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang terbungkus mukena.

"Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." Suara itu? Suara serak dari rahim kehidupan selalu berhasil membuat hatinya sedikit lebih tenang.

"Masih ingat dengan kata-kata itu?" Aida mengangguk lesu. Kedua matanya sembab akibat terlalu lama menangis. Telapak tangan selembut sutera itu membelai lembut puncak kepala Aida, tak tega rasanya melihat sang buah hati terus-menerus bersedih seperti ini.

"Bunda, Aida tidak mau dijodohkan sama santri pilihan Ayah sama Bunda." Aida terus merengek. Mencoba untuk membujuk bundanya agar perjodohan ini tidak benar-benar terjadi.

"Kenapa, Nak?" Aida masih belum bergeming. Gadis itu memilih untuk diam.

"Apakah seseorang bisa jatuh cinta walaupun tidak pernah jumpa?" tanyanya. "Aida tidak mencintai santri itu, Bunda. Ketemu saja Aida tidak pernah." Imbuhnya dengan suara tercekat.

Bunda Aida hanya bisa tersenyum simpul. Ia bingung harus bagaimana lagi caranya untuk membujuk Aida agar ia mau dijodohkan dengan santri pilihan mereka.

"Aida sudah punya pacar Bunda, Aida cinta sama dia." Gadis bermata bulat itu terus-menerus merengek. Sedetik kemudian, ia bangun dari pangkuan bundanya. Ia duduk seraya menatap dalam manik indah sang sumber kebahagiaan. Mencari celah agar ia berhasil membujuk sang ibunda.

"Apa yang menjadi takdirmu pasti akan mencari jalannya sendiri untuk menemukanmu. Jodoh itu rahasia Ilahi--"

"Tapi ... apakah pantas seorang santri menikah dengan Aida? Aida bukan ahli qur'an, Bunda."Aida memangkas perkataan sang ibunda dengan sangat cepat.

"Tidak harus menjadi ahli qur'an dulu untuk menjadi istri seorang gus." Bunda Aida menjawab setiap pertanyaan putrinya secepat kilat.

"Jodoh itu cerminan diri sendiri--"

"Jodoh terbaik adalah jodoh yang berasal dari lauhul mahfudz." Seperti tak ingin memberi kesempatan untuk Aida berbicara, sang ibunda selalu memangkas perkataannya secepat kilat.

Kembali. Telapak tangan yang mulai keriput itu mengusap pelan pipi kemerahan Aida. Menghapus jejak air mata putri semata wayangnya. Di dunia ini tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka hidup sengsara. Semua orang tua di dunia pasti menginginkan anak mereka hidup bahagia. Bahkan, mereka tak ingin sedikitpun diberi imbalan atas kerja keras mereka. Cukup dengan senyum simpul yang terbit dari bibir manis anaknya, itu lebih dari kata cukup.

"Nduk."Tanpa terasa setetes demi tetes mulai berjatuhan dari pelupuk mata bunda Aida.

"Mau ya, Nduk?" Aida mencoba untuk merenungkan pertanyaan dari sang ibunda. Namun, beberapa menit kemudian dengan berat hati Aida menganggukkan kepala pelan. Isak pilu itu kembali terdengar. Namun, dengan telapak tangannya, Aida menutup mulutnya rapat-rapat mencoba menyembunyikan isak pilu itu agar tidak sampai terdengar oleh sang ayah. Aida berhambur ke pelukan hangat rahim kehidupannya. Sontak, tangis itu pecah dalam dekapan wanita yang telah mengandung ia selama sembilan bulan.

"Hamasah ya, Nduk. Bismillah." Rasanya berat sekali untuk menerima semua kenyataan ini. Seperti mimpi, namun nyata. Ya Rabb, jika ini yang terbaik untuk Aida, maka berikanlah ia keikhlasan agar Aida bisa menerima semua ini dengan lapang dada.

***

Bau embun pagi yang berkecamuk dengan tanah begitu kentara. Udara segar di pagi hari menyapa kulit wajahnya. Sang fajar masih malu-malu untuk menampakkan sinarnya. Kicauan burung terdengar di mana-mana. Bahkan, tak sedikit ayam yang berlomba-lomba dalam menyuarakan suaranya. Membangunkan penghuni bumi untuk bersiap menjalankan aktivitas seperti biasanya.

Gadis yang mengenakan satu set piyama dipadukan dengan blazer rajut oversize nampak berjalan menyusuri sepinya jalan. Pagi ini tak seramai biasanya. Tidak ada kendaraan yang lalu lalang, bahkan udara masih sejuk tak tercemar asap knalpot.

Nanti siang Bima dan keluarganya akan main ke rumah. Jangan pergi kemana-mana ya, Nduk.

Gadis itu duduk termenung memikirkan perkataan sang ibunda. Apakah benar hari ini ia akan bertemu dengan santri itu? Apakah dia sama seperti yang teman-teman Aida katakan? Ya Rabb, rasanya ia ingin menghilang dari bumi saja. Sungguh.

"Astagfirullah Azim." Suara klakson membuat lamunan itu buyar. Hanya berjarak lima centi saja, mungkin Aida akan tertabrak.

Dari dalam mobil, keluar sesosok pemuda dengan sarung hitam dipadukan dengan kemeja putih. "Afwan, Ukhti. Apakah kamu baik-baik saja? Apakah ada yang terluka?" Atensi Aida fokus pada paras tampan pria itu. Tidak ada tanggapan. Oh Allah, apakah Engkau dapat mendengar detak jantung ini? Mengapa berdetak begitu kencang?

"Oh ... iya sa--saya baik-baik saja." Semakin lama suara itu semakin melemah.

"Baiklah kalau begitu. Maaf saya harus pergi, assalamualaikum." Tanpa memperkenalkan diri, pria itu meninggalkan Aida dengan segudang pertanyaan yang bersarang di benaknya.

Aida terus menatap mobil berwarna silver yang melaju dengan kecepatan tinggi hingga mobil itu tak terlihat lagi. Dari saku celana piyamanya, benda pipih berwarna hitam itu berdering. Tanpa menunggu waktu lama, Aida meraba gawai miliknya dan segera mengangkat panggilan yang ternyata dari sang ibunda.

"Assalamualaikum, Aida. Kamu di mana, Nduk?" Suara yang selama ini menjadi penyemangat hidupnya terdengar seperti gelisah, khawatir. Entahlah, semua itu tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata.

"Waalaikumus salam, Bunda. Aida tadi habis joging. Kenapa, ya?"

"Pulanglah, Nduk. Ada seseorang yang beberapa menit lalu sudah menunggu kehadiranmu." Aida mengernyitkan dahinya sehingga membuat kedua alisnya menyatu. Seseorang? Siapa yang telah menunggunya?

"Aida ... Aida!" Suara terakhir terdengar begitu melengking membuat Aida tersadar dari lamunan singkatnya.

"I--iya, Bunda. Sebentar lagi Aida akan sampai di rumah." Suaranya terbata-bata. Ia takut bercampur bingung. Ah, sudahlah. Tidak ada gunanya, semua ini hanya membuat kepalanya terasa pecah.

Aida mematikan teleponnya setelah mengucap salam. Kemudian gawai itu kembali disimpan pada saku celana piyamanya. Gadis itu mempercepat langkahnya. Disisi lain, seorang pria telah menunggu kehadiran Aida. Tak pernah bertemu bahkan bertegur sapa, pertama kalinya pria itu memberanikan diri untuk menghadap kedua orang tua Aida secara langsung, berniat untuk meminta gadis lugu itu dari ayahnya. Tanpa ia sadari bahwa ia telah bertemu dalam ketidaksengajaan.

Bersambung ....

Senin, 15 Januari 2023

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!