"Nadine Arzenia Elvanie?" Panggil Pak Deon Elvaro, dia adalah salah satu Dosen yang mengajar di Universitas Bayangkara, tempat ku melanjutkan jalur pendidikan di Kota Metropolitan ini.
"Iya, Pak!" Sahutku.
"Mengapa akhir-akhir ini nilai mu menurun drastis? Ada apa denganmu?" Tanya Pak Deon, dengan memberikan tatapan tajam ke arahku.
Di Universitas ini, aku selalu masuk dalam daftar Mahasiswi terpintar di sini. Akan tetapi, akhir-akhir ini konsentrasi ku mulai pudar karena kabar dari Ayah.
****
"Halo! Assalamu'alaikum, Nak?" kini salam Ayah terdengar dari seberang kota.
"Halo Ayah! Wa'alaikumsalam," aku pun membalas salam dari Ayah.
"Nak, bagaimana kabarmu di sana? Kau baik-baik saja bukan?" tanya Ayah dengan penuh perhatian.
"Alhamdulillah, kabarku di sini baik Ayah! Bagaimana dengan kabar Ayah dan Ibu? Kalian juga baik-baik saja kan?" tanyaku dengan lembut.
"Alhamdulillah, kabar kami juga baik! Nak, bolehkah Ayah mengatakan sesuatu yang penting?" tanya Ayah dengan hati-hati.
Aku yang mendengar kata penting, kini pikiran ku menjadi tidak tenang.
"Tentu saja boleh! Memangnya ada hal penting apa, Yah?" tanyaku dengan rasa penasaran.
"Ayah tidak bisa mengatakannya melalui suara saja, Nak! Ayah ingin, libur semester ini kamu pulang dahulu ya ke rumah? Ayah ingin menyampaikan hal yang sangat penting, tentang masa depan mu nanti." ucap Ayah dengan penuh permohonan.
"Iya Yah, nanti libur semester pasti aku akan pulang! Aku juga sangat merindukan kalian," ucapku dengan penuh kasih sayang.
"Kami juga sangat merindukanmu, Nak! Kami akan selalu menunggu kedatanganmu, untuk pulang kembali ke rumah ini! Rumah ini terasa sepi tanpamu, meskipun ada adikmu Bima. Kami masih merasa kesepian, karena dia selalu sibuk sendiri dengan ekskulnya di Sekolah," ucap ayah, yang kini suaranya terdengar sendu.
"Baik Ayah! Hanya tinggal 2 Minggu saja, aku pasti akan segera pulang dan kita akan berkumpul kembali," ucapku dengan penuh semangat.
"Ya sudah, kamu lanjutkan dahulu tugasmu! Semoga nilai kamu bisa lebih baik lagi ya, Nak?" ucap ayah dengan penuh perhatian.
"Baik Yah, aku tutup dahulu ya? Assalamu'alaikum, Ayah? Salam buat Bunda dan Bima ya?" ucapku sambil berjalan menuju ke Perpustakaan.
"Iya, Nak! Wa'alaikumsalam,"
Kini panggilan suara pun telah terputus.
Sebenarnya aku sendiri bingung, karena Ayah hanya mengatakan aku harus pulang, dan beliau ingin berbicara tentang masa depan ku? Apa maksud dari ucapan Ayah tadi?
****
Sejak saat itulah, konsentrasi belajar ku buyar dan mulai menurun. Karena aku terlalu memikirkan ucapan Ayah, 3 hari yang lalu. Kini semua berdampak buruk pada nilai-nilai ku, yang tiba-tiba menurun.
"Ah, mengapa aku selalu kepikiran dengan ucapan Ayah? Semoga saja apa yang aku pikirkan ini, hanyalah dugaan ku saja!" gumamku sambil meratapi nasibku.
Dengan nilai-nilai ku yang tiba-tiba menurun ini, bagaimana nanti dengan respons Ayah dan Ibu? Pasti mereka kecewa kepadaku.
Karena jalur pendidikan yang ku tempuh saat ini, aku mendapatkannya karena berbagai perjuangan.
Dan saat ini, hanya karena ucapan Ayah yang masih tanda tanya, aku menghancurkan sendiri dengan nilai-nilai di bawah rata-rata.
Ah, seperti frustrasi rasanya, jika memikirkan semua hal secara bersamaan.
"Hey, Nad?" Panggil Anita yang tepat berada di belakangku.
"Ya, Nit! Ada apa?" sahutku.
"Dicari tuh sama Pak Raga, katanya kamu di suruh ke ruangannya!" ucap Anita, menyampaikan pesan dari Pak Raga.
Raga Hermawan adalah salah satu Dosen Killer di Kampus ini, mungkin karena nilaiku yang anjlok, kini dia memanggil ku.
Tok... Tok... Tok...
"Permisi Pak!" Ucapku dengan sopan.
Kini dia pun melirik ke arahku.
"Ya masuk!" Sahutnya dengan ekspresi wajah datar.
"Silahkan duduk!" ucapnya lagi.
Aku pun mengangguk lalu duduk di kursi yang berseberangan dengan Pak Raga.
"Langsung saja! Kenapa nilai-nilai mu anjlok semua? Apa kau sudah bosan mengikuti mata kuliah di sini?" tanyanya dengan menatap tajam ke arahku.
'Ah, ini yang paling aku tidak suka, berhadapan dengan Dosen Killer sepertinya, pasti hanya akan mendapatkan nilai minus darinya,' batinku.
"Mohon maaf Pak! Saya akhir-akhir ini memang sedang kehilangan fokus, dalam mengikuti mata kuliah ini. Tetapi saya akan berusaha untuk menaikan nilai saya kembali di atas rata-rata," ucapku sesopan mungkin.
"Bagus! Lakukan tugas mu sebaik-baiknya! Kamu di sini adalah salah satu mahasiswi terpintar di Universitas ini, jadi saya minta kamu jangan mencampurkan adukan masalah pribadi dengan mata kuliah di sini! Apa kau mengerti?" ucapnya dengan nada tegas.
"Baik, Pak! Saya mengerti!" ucapku dengan seulas senyum yang dipaksakan.
"Ya sudah, silahkan kembali ke kelas mu! Karena sebentar lagi, mata kuliah saya akan segera di mulai!" ucapnya dengan nada datar.
"Baik, Pak! Kalau begitu, saya permisi!" ucapku dengan sopan, kemudian aku pun keluar dari ruangan Pak Raga.
Jika saja dia bukan Dosen di sini. Sudah ku cabik-cabik dia!
"Huh! Dasar Dosen Killer! Ekspresinya aja kayak gunung es, dingin banget. Semoga saja nanti jodohku bukan laki-laki seperti itu!" gerutuku, sambil berjalan ke arah kelasku.
Tap.. Tap.. Tap..
Kini terdengar suara hentakan kaki menuju ke arah kelasku.
Saat aku mendongakkan kepalaku ke depan, kini terlihat jelas bahwa Pak Raga akan mengajar di kelas ini.
"Baiklah semua! Kali ini saya akan memulai pelajaran Arkeologi, dan kalian harus fokus kepada setiap penjelasan dari saya! Apa kalian mengerti?" ucapnya dengan nada tegas.
"Mengerti, Pak!" ucap para mahasiswa-mahasiswi secara serentak.
Aku yang mendengar suara Pak Raga, kini menjadi sangat malas, dan tidak bersemangat sedikitpun.
Kini ku sandarkan punggungku ke bangku ku, lalu ku pandangi wajah dingin Pak Raga.
Dalam hati aku berkata:
"Jangan sampai aku mendapatkan jodoh seperti Pak Raga, meskipun dia tampan dan manis, akan tetapi sifat dingin dan killernya itu yang paling tidak ku sukai. Amit.. amit deh, jangan sampai!"
Aku pun bergidik saat membayangkan hal itu.
"Nadhine Arzenia Elvanie? cepat sekarang maju ke depan, dan jelaskan kembali tentang apa yang tadi saja katakan!" ucap Pak Raga, dengan nada tegas.
Aku pun membelalakkan mata.
"Hah? Apa? Saya, Pak?" tanyaku dengan wajah terkejut.
"Iya, memang masih ada nama yang sama, seperti dengan nama kamu?" ucapnya lagi, kini dengan tatapan tajam ke arahku.
"Mampus aku! Duh, bagaimana ini? Aku tadi sama sekali tidak memperhatikan yang di sampaikan oleh Pak Raga lagi! Duh, bagaimana sekarang?" gumamku.
"Cepat! Maju ke depan! Kenapa masih diam saja di sana?" gertak Pak Raga.
Aku pun terlonjak kaget, karena suaranya yang memekakkan telinga.
"Sa-saya........"
Tak terasa 4 hari lagi libur semester akan tiba.
Saat ini aku sedang mempersiapkan diri, untuk mengikuti lomba antar provinsi. Aku yang baru kemarin di tunjuk secara mendadak oleh Pak Raga, guru Killer yang paling menyebalkan itu.
"Huft! mengapa harus aku sih? apa Pak Raga memang sengaja, agar aku berpikir keras saat ini, saat dia tahu nilaiku menurun drastis. Ah, sungguh menyebalkan!" gerutuku.
"Ehm! benarkah jika saya menyebalkan?"
Kini aku pun mendengar suara yang sering membuat ku frustrasi sendiri.
Saat aku mendongakkan kepalaku, aku pun melihat Pak Raga sedang berdiri tepat di depanku.
Aku pun hanya tersenyum lebar hingga deretan gigi-gigiku terlihat.
"Hehe, Pak Raga!" ucapku dengan lirih.
Bukannya pergi, kini Pak Raga justru ikut duduk di seberang bangku ku.
"Apa begini cara kamu mempelajari semua mata kuliahmu, saat berada di Perpustakaan?" tanya Pak Raga dengan ekspresi datar.
"Maaf Pak!" ucapku lirih.
Kini aku pun menundukkan kembali kepalaku.
"Ckk! Dasar anak remaja! Jika kau menganggap ku menyebalkan, maka aku menganggap mu mahasiswi yang merepotkan!" ucap Pak Raga, kemudian dia bangkit dari tempat duduknya.
Aku pun terperangah dengan ucapannya.
"Maksudnya apa coba? Menganggap ku mahasiswi merepotkan? Huh! benar-benar sangat menyebalkan!" gumamku, saat ku liat punggungnya yang kini mulai menjauh dari pandanganku.
*****
Ruang Kelas
Setelah dari Perpustakaan, kini aku pun sudah tiba di Kelas.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang, yang selama ini membuatku jatuh hati padanya. Dia adalah Ringgo Restu Wijaya, dia ketua Kelas yang terkenal dengan keramahannya.
"Pengumuman... Pengumuman... hari ini aku ingin memberitahukan kepada semua teman-teman di Kelas ini, bahwa aku Ringgo Restu Wijaya ingin menyatakan cinta kepada Nadhine Arzenia Elvanie. Hay, Nadhine? Maukah kau menerima cintaku?" ucapnya dengan begitu bersemangat.
Aku pun terperangah saat melihat tingkah konyolnya, dalam menyatakan perasaannya kepadaku.
Sungguh! saat ini aku menjadi pusat perhatian semua teman-teman satu Kelas ku.
Kini Ringgo berjalan menghampiriku, lalu bersimpuh di hadapan ku.
"Nadhine maukah kau menjadi kekasih ku? Sudah lama aku memendam perasaan ini kepada mu! Tetapi baru kali ini, aku mempunyai keberanian untuk menyatakan perasaan ku kepadamu. Apa kah kau akan menerima cintaku ini?" ucapnya dengan nada tulus.
"Hah?" hanya satu kata itu yang keluar dari bibir ku saat ini.
"Ayo Nad! Terima saja! daripada nanti kamu nyesel lho," ucap salah satu sahabat Ringgo, yaitu Tirta.
"Apa kau serius?" tanyaku ragu-ragu.
"Duarius! Aku bersungguh-sungguh Nad! Apa kau mau menerima ku?" ucapnya sambil tersenyum ke arahku.
'Ah, senyumannya sangat manis sekali, apalagi dia memiliki lesung pipi di kedua sisinya,'batinku.
Aku pun menganggukkan kepalaku.
"Iya, Ring! Aku mau!" ucapku dengan penuh keyakinan.
Kini terdengar sorakan yang bersahutan, dari teman-teman satu Kelas.
"Horreeee... Yeeey......" ucap mereka serentak.
"Akhirnya pucuk di cinta ulam pun tiba, cieeeee...." Kini Adinda sahabatku, ikut menyoraki ku.
Jujur, aku saat ini juga malu. Karena kami menjadi pusat perhatian semua orang.
"Eh, Ring! Kamu tidak memberikan apa pun kepada Nadhine, sebagai tanda ikatan kalau kalian sudah menjadi sepasang kekasih?" tanya Adinda kepada Ringgo.
"Tentu saja aku memilikinya!" ucap Ringgo, lalu dia pun mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
Kemudian dia pun menunjukkan sebuah kotak kepadaku, saat kotak itu terbuka isinya membuat seisi Kelas, merasa tercengang.
"Wah, romantis sekali! Emn, tetapi kau ingin dia hanya menjadi kekasihmu atau kau memang sedang melamarnya?" tanya Adinda dengan raut wajah yang penasaran.
"Tentu saja untuk menjadi kekasihku, sekaligus calon istriku nanti setelah kami selesai kuliah. Nanti aku akan melamarnya secara resmi di depan kedua orangtuanya," ucap Ringgo dengan penuh keyakinan.
Aku pun terperangah saat mendengar ucapan Ringgo.
'Apakah dia benar-benar serius dengan ucapannya? Tetapi mengapa firasat ku mengatakan bahwa, tidak lama lagi akan terjadi sesuatu hal yang entah itu apa. Ah, sudahlah! Yang terpenting saat ini aku sangat bahagia! ternyata penantian ku selama ini tidak sia-sia,' gumamku dalam hati.
"Terima kasih, Ring!" ucapku dengan mata yang berbinar-binar.
"Mengapa kamu yang berterimakasih? seharusnya aku yang mengatakan itu kepadamu! Terima kasih karena sudah mau menerima cintaku, aku berjanji kepadamu! Aku tidak akan menyakiti dan mengecewakan kamu, Nadhine! i love you so much !" ucap Ringgo dengan seulas senyum manisnya.
"Iya Ring! I love you more !" balasku dengan penuh kasih sayang.
Lalu Ringgo pun berdiri kembali, sambil menggenggam erat tanganku.
"Baiklah! Kalian semua menjadi saksi cinta kami, jika salah satu dari kami berkhianat, maka dia akan menanggung semua akibatnya sendiri," ucap Ringgo dengan semangat.
"Oke! Saat ini aku sedang sangat bahagia! Jadi, aku traktir kalian makan di kantin sepuasnya!" ucapnya lagi.
Aku yang melihat rona bahagia di wajah Ringgo, kini mulai melupakan keraguan ku tadi.
"Ayo, Yang! Kita ke Kantin yuk!" ucap Ringgo dengan nada lembut.
"Iya Ring, ayo!" ucapku dengan seulas senyum.
"Lho, kok masih panggil nama sih, Yang?" tanyanya dengan raut wajah sendu.
Aku pun menepuk jidat ku.
"Aduh! O.. iya, ya.. aku lupa Yang! hehe, maaf ya?" ucapku, sambil tersenyum lebar hingga menampakkan deretan gigiku.
Ringgo pun dengan gemas mencubit lembut pipiku.
"Ih, kamu ini! sungguh menggemaskan, Sayang! Andai saja kita bisa langsung SAH! sudah ku cium pipi kamu, daripada ku cubit seperti ini," ucapnya dengan penuh kasih sayang.
"Aw! ampun Yang! hehe," ucapku sambil tertawa lirih.
Lalu kami pun berjalan beriringan, dengan tangan yang masih menggenggam satu sama lain.
Saat berjalan ke arah Kantin, kami bertemu dengan Pak Raga.
"Ehm!"
Kini hanya terdengar suara deheman dari bibirnya.
"Kalau pacaran liat tempat, dan ingat! jangan sampai nilai menurun hanya karena fokus berpacaran saja!" sindir Pak Raga.
Aku pun menoleh ke arahnya, lalu berlalu begitu saja.
"Nadhine Arzenia Elvanie?" panggil Pak Raga, saat aku melewatinya.
Aku yang merasa namaku dipanggil, aku pun menoleh ke arahnya.
"Awas kalau sakit, baru saja terbang tinggi lalu di jatuhkan oleh keadaan!" ucap Pak Raga, kemudian berlalu meninggalkan kami.
"Apa maksud ucapan Pak Raga sih, Yang?" tanya Ringgo kepadaku.
Aku yang tidak tahu maksud ucapannya pun hanya mengedikkan bahu.
"Entahlah! Udahlah, biarin saja, Yang!" ucapku lalu berjalan kembali ke arah Kantin.
Meskipun aku terlihat mengabaikan ucapan Pak Raga, akan tetapi dalam hati ku pun bertanya-tanya.
'Apa sebenarnya maksud dari perkataan Pak Raga? mengapa dia mengatakan hal itu kepadaku? Sungguh terdengar sangat ambigu!' batinku.
Akhirnya kami pun tiba di Kantin.
"Yang?" panggil Ringgo.
"Hem, iya Yang......."
Libur semester telah tiba.
Aku yang sudah berjanji kepada Ayah untuk pulang ke Rumah, kini dengan perasaan sedikit was-was akhirnya memutuskan segera beranjak, kemudian melajukan motor matic ku dengan kecepatan sedikit tinggi.
Entah mengapa, perasaan ku saat ini sedang berkecamuk.
Ucapan Ayah masih terngiang di telingaku, apalagi waktu Ayah mengatakan hal penting yang ingin dikatakan oleh Ayah kepada ku.
"Bismillahirrahmanirrahim, semoga tidak akan terjadi apa-apa saat nanti sudah tiba di Rumah," gumamku sambil melajukannya motor matic ku.
Kini aku menempuh perjalanan yang cukup jauh, sekitar 5 jam aku baru tiba di kampung halamanku.
****
"Alhamdulillah, akhirnya sampai juga," ucapku dengan wajah yang lesu, dan seluruh tubuhku terasa lelah sekali.
Lalu aku pun bergegas turun dari motor matic ku.
Tok... Tok... Tok...
"Assalamu'alaikum, Ibu, Ayah?" salamku kepada mereka.
Sayup-sayup terdengar suara langkah kaki dari balik pintu.
*Ceklek*
Kini pintu pun terbuka, dari balik pintu Ayah sudah menantikan kedatangan ku.
"Wa'alaikumsalam, Nak! Ayo masuk! Pasti kamu kelelahan ya? Kenapa tidak naik bus saja, agar kamu bisa sambil bersantai, tidak kelelahan seperti ini," ucap Ayah dengan penuh kasih sayang.
"Tidak apa-apa kok, Yah! Aku hanya ingin berkendara sendiri saja tadi, sudah lama juga aku tidak melakukan perjalanan jauh seperti ini. Ya, meskipun seluruh tubuhku terasa sedikit lelah, hehe.." ucapku sambil menyandarkan tubuhku di kursi ruang tamu.
"Ya sudah! lebih baik kamu istirahat dahulu, kalau sudah berkurang rasa lelahnya. Kamu segera mandi, agar tubuhmu terasa segar kembali," ucap Ayah dengan penuh kasih sayang.
Aku pun menganggukkan kepala.
"Baik Ayah! O, iya.. Ibu kemana, Yah? kok tidak kelihatan?" tanyaku kepada Ayah, karena sejak aku tiba sampai sekarang Ibu pun belum terlihat.
"Oh, Ibumu sedang berbelanja ke Pasar dengan Bima. Katanya dia ingin membeli bahan-bahan, untuk membuatkan makanan kesukaan kamu," jelas Ayah kepada ku.
Aku yang mendengar penjelasan Ayah, hanya mengangguk-anggukan kepalaku.
"Baiklah, Ayah!" ucapku dengan seulas senyum tipis.
"Ya sudah, Ayah mau melanjutkan pekerjaan dahulu ya, Nak? Jangan lupa mandi dan jika lapar makanlah, di meja makan masih ada beberapa lauk untuk makan," ucap Ayah, sambil mengusap lembut puncak kepalaku.
Aku pun tersenyum manis kepada Ayah. Inilah yang aku suka dari beliau, karena beliau masih menganggap ku seperti putri kecilnya.
Ah, siapa yang tidak bahagia, memiliki keluarga yang saling menyayangi satu sama lain.
*****
Saat aku selesai mandi, Ibu menghampiri ku ke kamar. Untuk saling melepas rasa rindu.
"Assalamu'alaikum, putri kesayangan Ibu?" salam Ibu, yang muncul dari balik pintu.
"Wa'alaikumsalam, aaa... Ibu! Aku sangat merindukanmu! I Miss you so much! " ucapku, lalu berhambur ke dalam pelukan Ibu.
"Ibu juga sangat merindukanmu, Sayang! I Miss you more! " balas Ibu, dengan penuh kasih sayang.
"Oh, iya Bu. Bolehkah aku menanyakan sesuatu kepada Ibu?" tanyaku dengan hati-hati.
"Tentu saja boleh, Sayang! Ada apa? mengapa sepertinya penting sekali?" ucap Ibu dengan lembut.
"Emn, sebenarnya apa hal penting yang ingin Ayah katakan kepada ku, Bu?" tanyaku lagi.
Sejenak Ibu pun terdiam.
"Maafkan Ibu, Nak! Ibu tidak bisa mengatakannya sekarang! Nanti saja biarkan Ayah mu yang mengatakannya sendiri," Ucap Ibu, dengan wajah sendu.
Aku pun terdiam sesaat.
'Ada apa sebenarnya? Mengapa Ibu sangat enggan untuk memberi tahu ku? Apa yang sebenarnya sedang mereka rahasiakan dariku?' gumamku dalam hati.
"Eh, kok malah melamun? Kamu pasti belum makan kan?" tanya Ibu, yang mencoba untuk mengalihkan perhatianku.
Aku pun langsung menggelengkan kepala.
"Belum Bu. Perutku juga sudah sangat lapar, ingin segera di isi dengan masakan Ibu yang paling enak sedunia," ucapku dengan antusias.
"Baiklah! nanti Ibu masakan makanan kesukaan mu, tetapi sekarang kamu makan dengan lauk seadanya dulu ya? soalnya Ibu baru saja tiba dari Pasar," ucap beliau dengan lembut.
Aku pun mengangguk kepalaku dengan semangat.
"Tentu Bu! Tidak masalah! Yang penting nanti saat makan malam, makanan untukku harus ada ya?" ucapku sambil tersenyum lebar.
*****
Makan Malam
"MasyaALLAH! Banyak sekali menu makanan malam ini, Bu? Apa ini tidak terlalu berlebihan? Sayang kan nanti kalau tidak habis!" ucapku, sambil memandangi beberapa makanan, yang telah tersaji di atas meja makan.
"Tidak apa-apa, Sayang! Jika nanti makanannya tidak habis kan bisa di simpan di dalam lemari pendingin, besok tinggal di panasin deh, hehehe..." ucap Ibu, sambil tersenyum ke arahku.
"Sesuai dengan janji Ibu, malam ini Ibu memasak khusus makanan kesukaan kamu!" ucap beliau lagi.
"Tuh kak! Yang baru saja datang, langsung di sambut dengan meriah tuh sama, Ibu!" ucap Bima, sambil melirik ke arahku dengan nada sindirannya.
Aku pun berjalan ke arahnya, lalu mengacak-acak rambutnya.
"Iri bilang, Boss!" ucapku, sambil terus mengusiknya.
"Ih! apaan sih kak? siapa juga yang iri? kan kalau ada kakak, Bima selalu tersisihkan," gerutunya, sambil sedikit memajukan bibirnya.
"Hahahaha...."
Kami pun tertawa bersama saat mendengar ucapan adik kandungku, yang usianya hanya terpaut 4 tahun denganku.
"Sudah, sudah! Tidak baik bertengkar di depan makanan! Lebih baik sekarang kita makan dahulu! sayangkan kalau makanannya di anggurin terus," ucap Ayah, menimpali perdebatan kecil kami.
Itulah kebiasaan ku dengan adikku, Bima.
Setiap kami berdekatan, pasti perdebatan kecil selalu saja terjadi. Akan tetapi, semua itu hanyalah candaan semata. Bukan berarti Ibu dan Ayah selalu membedakan kami, semua ini dilakukan Ibu hanya untuk menyambut setiap kepulangan ku, saat libur semester telah tiba.
Karena aku baru semester 6 saat ini, jadi jalur pendidikan yang aku lalui masih membutuhkan waktu sedikit lama lagi.
"Ya sudah, ayo kita makan dahulu! Kalau kalian mau berdebat, nanti setelah makan kalian lanjutkan lagi di ruang keluarga," ucap Ibu, yang melerai pertikaian kecil antara kami.
"Baik, Bu!" ucap kami secara bersamaan.
Kini suasana saat makan terasa sunyi, hanya suara dentingan alat makan yang saling beradu.
Setelah selesai makan, seperti biasa aku membantu Ibu terlebih dahulu, untuk membersihkan meja dan beberapa alat makan yang kotor.
Dan akhirnya selesai, kami pun melanjutkan rutinitas saat berkumpul di ruang keluarga.
"Bagaimana dengan pendidikan yang kamu jalani, Nak?" tanya Ayah, memulai percakapan kami.
"Emn, InsyaALLAH semua baik-baik saja, Yah. Hanya saja beberapa hari ini, nilai-nilai ku sedikit menurun!" ucapku, sambil menundukkan kepala.
"Apa terjadi masalah? sehingga membuat mu tidak bisa fokus dalam mengikuti pembelajaran di sana?" tanya Ayah dengan lembut.
'Bagaimana mungkin Ayah tidak menyadarinya? Setelah Ayah memberikan kabar yang penting, tapi Ayah tidak mau mengatakannya saat itu!' gumamku dalam hati.
"Ayah.....?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!