NovelToon NovelToon

Kembalinya Suamiku

1. Disambar Motor

“Aaaaaaaaa…!” Annisa berteriak ketika motor metik hampir saja menabraknya. Bayangan masa SMP seakan terulang kembali.

*Flash back*

“Awassss …!” teriak pengendara motor yang berada di belakang Annisa.

Tanpa menoleh, Annisa langsung bergeser kearah pagar dan menjauh dari aspal untuk menghindari motor itu. Namun nihil. Motor yang ditumpangi tiga orang yang sedang mabuk itu, berhasil menabrak tubuh kecil Annisa. Tubuhnya terhempas beberapa meter dari aspal. Teriakan Annisa berhasil membuat kakak sulungnya yang sedang menonton televisi keluar menghampiri. Ya, kecelakaan itu terjadi tepat di dekat rumahnya.

“Maaf …, “ ucap salah seorang dari pelaku tabrakan itu. Kemudian meninggalkan Annisa yang tengah terduduk di samping aspal tanpa ada niat untuk bertanggung jawab.

*Flash back off*

“Astagfirullah …, Maaf, dik, aku kurang fokus hingga tidak lihat ada orang menyeberang.” kata pengendara motor itu merasa bersalah.

Annisa hanya diam tanpa melihat orang yang hampir menabraknya. Sambil memegang pergelangan tangan, dia berusaha untuk berdiri. Sebenarnya, dia tidak ditabrak sama sekali. Namun karena kaget, dia duduk dan tanpa sengaja tangan kirinya dijadikan sebagai tumpuan untuk menopang tubuhnya, sehingga menjadi fatal bagi dirinya.

“Maaf, dik, kamu tidak apa-apa?” Pemuda itu takut melihat Annisa merintih kesakitan sambil memegang tangan kirinya.

“Iya, aku tidak apa-apa.” Jawabnya dengan nada lemah. Menahan perih.

“Tapi, tangan kamu ..., kayanya parah. Apa tidak sebaiknya ke dokter ya? Kebetulan, kita ada di depan puskesmas,” dia masih khawatir dengan keadaan gadis di depannya.

“Tidak apa-apa, ini memang sudah biasa. Selalu begini kalau aku salah tumpuan. Tapi ini bukan salah kakak” ucap Annisa tanpa melihat pemuda itu.

“Aku, Veri!” dengan senyuman manis, pemuda itu mengulurkan tangannya pada Annisa.

Melihat tangan di depannya, Annisa mulai mengangkat kepala dan menyambut uluran tangan dari Veri.

“Annisa ….,”

“Nama yang bagus. Kamu mau keman?” tanya Veri berusaha mengakrabkan diri pada gadis yang membuat dia bahagia ketika menatapnya. Entah apa yang membuatnya bahagia, yang pasti dia penasaran dengan gadis yang hampir saja ditabraknya.

“Aku ..., mau ke kampus.” Annisa menjawab singkat karena malu-malu. Dia juga was-was karena jam menunjukkan pukul 07.55, itu artinya lima menit lagi dia tidak bisa mengikuti mata kuliah pagi.

“Ya udah. Aku antar ke kampus. Hitung-hitung ... buat ganti waktumu yang tersita gara-gara aku.” Veri menawarkan diri mengantar Annisa.

“Benar, kak?” serunya spontan.

Melihat kelakuan gadis di depannya, Veri mengulum senyum.

Sadar dengan apa yang dilakukannya, Annisa menutup mulut dan tertunduk. “Maaf,” ucap Annisa malu.

“Iya. Ayo naik nanti kamu telat loh.” Veri menyalakan mesin motor.

“Alhamdulillah...!” ucap Annisa ketika masuk di ruang kelas.

“Kamu kenapa, Nis? Tumben telat.” Tanya Sarah ketika melihat sahabatnya yang super duper disiplin, terlambat masuk kelas. Walaupun dosen belum datang.

“Iya, tadi aku ada masalah sedikit di jalan.” jawab Annisa sambil duduk di kursi paling depan, tepat di depan kursi dosen yang merupakan kebiasaannya saat pertama masuk kuliah.

Baginya, duduk tepat di depan dosen bisa membuatnya mudah paham dengan materi yang di bawakan. Namun tidak dengan hari ini.

“Oh, Pantesan.” Sarah mengerti dengan alasan sahabatnya.

“Assalamu’alaikum, mohon maaf, bapak masih diluar kota jadi tidak bisa mengisi kuliah hari ini. Tolong hubungi nomor ini 0823******15 untuk menggantikan bapak, serta siapkan infocus untuk kuliah.”

Annisa yang merupakan ketua kelas mendapat sms dari dosen mata kuliah lima menit lalu. Dia menyampaikan pesan itu kepada teman-teman satu kelasnya, seraya mengetik balasan sms dari dosennya.

“Baik pak, terima kasih.” Tulisnya tanpa ada balasan balik dari dosen, namun itu bukan perkara baginya.

Annisa menyampaikan informasi ke teman-temannya.

“Yes...!”

Serentak satu kelas ber-yes ria. Bagaikan terbebas dari kuis dadakan. Namun ada juga yang terlihat kecewa. Kecewanya bukan karena dosennya tidak jadi masuk, namun karena ada dosen lain yang akan masuk dan gagal untuk pulang cepat.

Tanpa membuang-buang waktu, Annisa langsung mengetik pesan untuk dikirimkan kepada dosen pengganti yang akan mengajar Biologi.

“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Mohon maaf mengganggu waktunya, pak! Aku Annisa Salsabilla, mau menyampaikan bahwa ada mata kuliah Ilmu Tanah di ruang A. Sebelumnya aku telah menghubungi pak Agus, namun beliau berhalangan masuk dan mengarahkan untuk menghubungi bapak sebagai dosen pengganti. Terima kasih, pak.”

Annisa langsung mengirimkan pesan itu tanpa memikirkan siapa yang telah dia kirimkan pesan. Baginya, menghubungi orang baru itu sudah biasa semenjak menjadi ketua di kelasnya. Sembari menunggu balasan dari dosen barunya, dia menuju ruang perlengkapan untuk menyiapkan infocus.

“Sar, titip tas ya, aku mau ambil infocus di ruang perlengkapan.” Sambil berlalu menuju pintu kelas.

Sarah mengangkat dua jempolnya.

“Oke.”

Di ruang dosen, Veri tersenyum melihat pesan mahasiswa yang menurutnya sangat sopan. Selama dia menggantikan pamannya, banyak mahasiswa yang menghubunginya lewat pesan namun tidak sesopan pesan yang dia dapat sekarang. Dia langsung mengetik pesan balasan tanpa mengetahui bahwa orang yang mengirimkan pesan padanya adalah Gadis yang hampir ditabraknya tujuh menit lalu.

“Waalaikumsalam. Iya, dik, terima kasih.” Balasnya dengan jawaban singkat ala dosen.

Setelah mengetik pesan balasan, Beri segera menuju ruang A untuk perkenalan lebih dulu.

“Assalamu’alaikum ...” sapa Veri kepada mahasiswa ketika memasuki ruang A.

Mahasiswa di ruang A, menjawab dalam dari dosen barunya dengan serentak.

“Waalaikumsalam ... pak!”

Masuknya Veri di kelas, berhasil membuat mahasiswi melongo. Bagaimana tidak? Dosen yang ada di hadapan mereka bak orang Korea yang kerap menjadi idola mereka setiap hari.

“Assalamu’alaikum ...”

Annisa mengucapkan salam dan langsung masuk tanpa menunggu di persilahkan oleh dosen yang sedang menunduk menyimpan tas di samping kursi. Baginya, itu adalah kebiasaan yang tidak akan pernah menjadi perkara. Setelah meletakkan ponselnya di meja, dia bergerak memasang infocus seperti kebiasaannya sebelumnya. Namun, tangannya berhenti sejenak ketika sang dosen mengangkat kepala dan melihat padanya yang tepat dia juga melihatnya. Dia berusaha mengendalikan diri dan kembali memasang infocus. Setelah itu dia kembali duduk di kursinya.

“Baik, adik-adik, karena hari ini adalah pertemuan perdana kita ... jadi hari ini kita akan perkenalan saja.” Veri mengungkapkan kalimat yang merupakan obat kebahagiaan bagi semua mahasiswa.

“Namaku, Veri Syaputra Wijaya, adik-adik bisa memanggilku dengan pak Veri. Aku mengajar disini untuk menggantikan pak Agus, dosen kalian sebelumnya. Apa ada yang ingin di tanyakan?” tanya Veri dengan senyum ramah kepada mahasiswa barunya.

“Status, pak?” tanya Rendi yang terbilang sangat rame di kelas

“Umur pak?” tambah Desi antusias

“Status aku dosen, aku juga belum punya istri. Umurku 25 tahun.” Jawabnya santai diikuti senyuman para mahasiswi. Namun tidak dengan Annisa. Dia hanya menyimak apa yang diutarakan Veri tanpa ikut nimbrung.

“Baik, sekarang giliran adik-adik yang perkenalkan diri. Sebelum itu, bapak boleh lihat absen kelasnya?”

Mendengar kalimat Veri, Annisa langsung membuka isi tasnya. Namun tidak mendapatkan absen disana. Dia bingung, padahal dia ingat betul tadi pagi absen itu di tangannya.

“Sar, kamu lihat nggak absen diatas mejaku?” tanya Annisa berbalik kepada Sarah yang duduk tepat di belakangnya.

“Tidak tuh, mungkin kamu lupa bawa kali?”

“Tidak. tadi aku bawa. Bahkan aku sempat baca ketika di jalan.” jawabnya frustasi.

“Kalau kamu bawa, dimana adanya coba? Masa iya di curi? nggak banget deh.” Sarah gemas dengan kelakuan sahabatnya itu.

Melihat ada yang tidak beres di depannya, Veri langsung angkat suara.

“Kenapa? Absennya tidak ada?” tanya Veri yang menatap tepat dimata Annisa. Sementara yang ditatap mulai gugup karena telah melakukan kesalahan walaupun hanya kesalahan kecil.

“Maaf, pak, absennya tidak ada. Padahal tadi pagi aku sudah bawa.” jawab Annisa ragu-ragu.

“Mungkin absennya sudah pulang duluan, gara-gara kamu datang terlambat tadi, Nis.” celetuk Rendi yang diikuti gelak tawa dari teman-teman satu kelasnya.

Mendengar penuturan temannya itu, Annisa mengangkat tangannya di belakang sambil di kepal, menandakan ancaman untuk Rendi.

“Apa sampul absennya warna merah.?” tanya Veri menghentikan drama mahasiswa di depannya.

“Iya, pak.” Jawab Annisa.

“Coba kamu ke ruanganku, ambil absen yang ada diatas meja. Tadi aku lupa berikan karena kamu buru-buru turun dari motor.” ungkap Veri kepada Annisa.

“Baik, pak.”

2. Praktikum

“Coba kamu ke ruanganku, ambil absen yang ada diatas meja. Tadi aku lupa berikan karena kamu buru-buru turun dari motor.” ungkap Veri kepada Annisa.

“Baik, pak.”

Kesibukan yang dilakukan oleh Annisa, tidak membuatnya memikirkan dosen baru yang lagi gempar di fakultasnya. Baginya, melihat orang-orang tampan di Universitasnya itu wajar. Namun berbeda dengan Veri yang tidak bisa tidur setelah pertemuannya dengan Annisa pagi itu. Bagi Veri, Annisa adalah orang yang sopan, Kalem dan disiplin.

Annisa adalah salah satu mahasiswa di salah satu Universitas di Sulawesi Tenggara. Dia masuk di kampus itu dengan bantuan beasiswa bidikmisi, dan lulus pada jalur mandiri. Sehingga membuatnya tenang dikala teman-teman seangkatannya sibuk belajar untuk persiapan tes.

Diawal kuliah, dia harus sabar karena tinggal di rumah keluarga yang super duper ketat dan disiplin. Mulai dari tidak boleh terlambat pulang, harus menyiapkan sarapan pagi dengan makanan lengkap, hingga tidak boleh keluar saat sudah lewat dari jam enam atau saat azan magrib di kumandangkan. Saat bagi mahasiswa baru yang notabennya memiliki setumpuk tugas setiap harinya, dia harus mengelus dada dikala tugas makalah yang di berikan oleh dosen. Bukan dosennya yang selalu memberi tugas makalah yang dia keluhkan. Namun keluarga yang tidak mengizinkannya keluar walaupun itu untuk kerja tugas.

“Asslamu’alaikum ...,” Annisa dan ketua kelas B dan C, tiba di depan ruangan Veri untuk menghadiri panggilan darinya.

“Waalaikumsalam ... masuk.” jawab Veri dari dalam.

Annisa dan yang lainnya masuk dengan ragu-ragu. Ya, namanya juga mahasiswa yang ketemu dosennya, apalagi dosen yang belum terlalu dikenalnya. Saat tiba dalam ruangan, mereka mendapati Veri tengah serius menghadap layar monitor di depannya. Hingga membuat kikuk ketiga ketua kelas itu.

“Maaf, pak, kami dari ketua kelas mahasiswa Geografi.” celetuk Rika, yang dibalas senyuman oleh Veri.

“Oh iya, silahkan duduk!”jawab Veri sambil menutup laptopnya.

“Baik, karena kalian sudah kumpul disini, jadi bapak akan menyampaikan maksud dari adanya kalian disini. Hari sabtu, kita akan adakan praktikum lapangan. Praktikumnya itu dua hari, jadi kita akan bermalam disana.”

“Bermalam, pak!?” spontan Annisa, ketika mendengar kata bermalam

“Iya, kita akan berangkat praktikum sabtu sore, dan akan kembali di hari minggu sore.” jelas Veri yang membuat Annisa gelisah.

Melihat Annisa yang mulai cemas, Rika dan Dila, mengusap punggung Annisa. Mereka paham degan apa yang menjadi pikiran Annisa. Hal itu membuat Veri heran dan penasaran dengan tingkah tiga mahasiswa yang ada di hadapannya.

“Terus, nanti kelompoknya bagaimana pak?” tanya Dila mewakili Annisa dan Rika.

“Nanti kelompoknya kalian yang bagi, dan untuk alat dan bahannya nanti bapak smskan, karena belum ada konfirmasi dari asistennya kalian.”

“Baik, pak.” jawab mereka bersamaan, lalu pamit untuk keluar.

“Sabar ya, Nis, ini adalah ujian mahasiswa. Tapi kami yakin kok, kamu pasti bisa melewati itu semua, masa satu malam saja kamu tidak biasa?”.Rika mencoba menghibur Annisa yang khawatir dengan keadaan malam minggu nanti.

“Ada apa ya dengan gadis itu? kenapa saat aku ngomong akan bermalam, dia kaget begitu. Bukannya mahasiswa itu senang kalau bermalam di puncak, apalagi satu angkatan.” gumam Veri, ketika Annisa, Rika dan Dila telah menghilang dari pintu ruangannya.

Sepanjang malam Annisa tidak bisa tidur. Bayangannya hanya tertuju pada praktikum besok. Dia tidak tau harus bagaimana, tidak ikut praktikum bisa fatal pada nilainya, ikut praktikum berarti dia harus tanggung risiko. Sama halnya dengan Veri yang sedari tadi hanya menggulingkan badan untuk berusaha tidur. Dia memikirkan kegelisahan yang ada di wajah gadis yang berhasil memikat hatinya.

“Tolong setiap ketua kelas, hitung anggotanya.” perintah Veri kepada mahasiswanya ketika berkumpul di lapangan kampus.

“Kelas A, berapa jumlahnya?” sambung Veri

“21 Pak, satu orang tidak ada.” jawab Sarah mengambil alih tugas sahabatnya

“Kelas B dan C lengkap pak.”

“Kelas A, Kenapa tidak lengkap, siapa yang tidak hadir ?” tanya Veri pura-pura tidak tau, padahal dia tau kalau yang tidak ada adalah Annisa, karena sejak dia tiba di lapangan, belum melihat kehadiran Annisa.

“Annisa Salsabila pak.” jawab Sarah.

“Kenapa tidak hadir, atau dia tidak serius mengikuti kuliah Ilmu Tanah? ingat ya, praktikum itu satu sks. Jadi kalau ada yang tidak ikut praktikum berarti dia tidak akan lulus.” jelas Veri kepada mahasiswanya.

“Kurang tau pak, biasanya dia orang yang paling disiplin. Dia tidak pernah sekalipun terlambat apalagi mengabaikan praktikum. Apa boleh aku izin menelponnya pak?” tanya Sarah ragu-ragu, takut dosennya itu akan marah. Padahal inisiatifnya untuk menelpon membuat harapan Veri Muncul kembali.

“Nissa, kamu dimana? kamu ditanyain sama pak Veri, sebentar lagi berangkat.”.celetuk Sarah ketika sambungan telponnya terhubung.

“Aku ... aku ... a ...” dia terbata-bata menjawab telpon dari sahabatnya itu.

Seolah mengerti dengan kegundahan sahabatnya, Sarah langsung mengeluarkan kata-kata bijaknya.

“ Nis, kamu itu sampai kapan sih begitu terus? Ingat kita itu sudah mahasiswa, tidak menutup kemungkinan kita akan sering keluar bahkan bisa satu minggu di luar ruangan. Jadi kamu harus bisa menyesuaikan mulai dari sekarang. Apa dengan menghindari praktikum Ilmu Tanah kamu akan kuat dengan angin malam nantinya?” jelas Sarah panjang lebar yang berhasil didengar oleh Veri.

“Bukan itu, Sar, soalnya jaket aku basah. Aku takut kalau tidak pakai jaket saat di puncak nanti.” jawab Annisa khawatir

“Pokoknya aku nggak mau tau, kamu harus datang. Nanti aku bilang sama pak Veri, untuk menunda keberangkatan. Dan aku akan kecewa jika kamu tidak datang. Assalamu’alaikum.” Sarah langsung memutus sambungan telpon

‘Oh, jadi gadis itu phobia angin malam? Pantas kaget saat tau akan bermalam di puncak.’ Veri membatin

“Maaf, pak, Annisa lagi di jalan, lima menit lagi nyampe. Apa bisa keberangkatan ditunda lima menit kedepan?” tinta Sarah pada Veri

“Iya.” jawab Veri dingin, yang membuat Sarah takut karena telah berbohong. Sarah tidak tau saja kalau tindakannya itu sangat menguntungkan bagi Veri.

Veri mengetahui kalau Sarah telah berbohong, Annisa bukannya di jalan tapi masih dilema antara ikut atau tidak. Namun tindakan Sarah kali ini sangat membuat Veri berterima kasih padanya, tapi ungkapan terima kasih hanya dilontarkan dalam hati. Bakalan berabe seandainya Veri berterima kasih pada Sarah karena sudah membujuk Annisa.

“Maaf pak, aku terlambat.” ungkap Annisa seraya menundukkan kepala, takut kalau Veri akan memarahinya, sehingga dia harus menanggung malu di depan teman-temannya.

Satu lagi kelemahan Annisa, air matanya gampang mengalir jika dimarahi. Jadi bukannya malu karena terlambat tapi dia takut dimarahi hingga menangis di depan teman-temannya

“Huuhhhh! Nisa … Nisa. Gara-gara kamu kita akan kemalaman sampai di puncak.” teriak sebagian teman-teman yang kecewa karena Annisa telah menunda waktu keberangkatan mereka.

Imam Salat

Veri menahan jantungnya agar tidak lompat kegirangan ketika melihat Annisa datang dan berdiri meminta maaf tepat di hadapannya.

“Iya, lain kali jangan diulangi. Silakan bergabung dengan yang lain agar kita langsung berangkat.”ucap Veri seraya menahan senyum.

“Baik, pak, terima kasih.” Annisa mendongkak melempar senyum pada Veri. Baginya itu hal biasa, tapi dia tidak tahu kalau senyumnya barusan membuat Veri tidak bisa tidur malam nanti.

“Baik, karena semua sudah kumpul jadi alangkah baiknya kita berangkat sekarang sebelum magrib tiba.” Veri mengangkat ranselnya.

“Iya, pak.” jawab seluruh mahasiswa antusias.

Semua mahasiswa berbondong-bondong untuk menuju tempat praktikum. Tempat praktikumnya adalah puncak Amarilis yang merupakan salah satu kawasan hutan lindung yang ada di kota Kendari. Untuk mencapai puncak, mereka harus berjalan kaki selama kurang lebih tiga jam.

Yang berjalan paling depan adalah asisten dosen, kemudian disusul oleh mahasiswa lainnya. Biasanya, mahasiswa yang paling depan adalah mahasiswa yang sangat bersemangat dengan perjalanan itu, dan yang tidak semangat pasti paling belakang. Seperti yang terjadi saat ini. Annisa yang tidak punya semangat ikut praktikum berada di barisan paling belakang, tepatnya didepan Veri. Ya, sebagai penanggung jawab, Veri berada di barisan paling belakang untuk memastikan mahasiswanya baik-baik saja. Apalagi malam akan tiba sebelum mereka tiba di puncak.

Tepat pukul 18.17, mereka istrahat untuk melaksanakan Salat magrib . Mereka mencari tempat yang sedikit datar untuk memaksakan Salat magrib secara berjamaah. Kecuali yang lagi halangan bagi perempuan dan yang non muslim, mereka diminta untuk menjaga barang. Setelah semua sudah siap dengan posisi masing-masing, Veri maju untuk menjadi imam Salat.

Lantunan ayat suci yang dilantunkan oleh Veri, mampu menyihir siapa saja yang mendengarnya. Tidak terkecuali Annisa. Dia mengagumi kemampuan Veri melantunkan ayat suci.

“Pak, bisa kita singgah ambil air untuk keperluan diatas?” tanya seorang asisten melalui telpon kepada Veri. Mereka telah sampai di pertengahan bukit yang memiliki air dan sering digunakan oleh para pengunjung ketika mendaki.

“Iya silakan! Tapi perhatikan adik-adikmu yang lain.” jawab Veri.

“Yang lain bisa istirahat dulu sembari menunggu Hasan dan teman-teman yang lain kembali.” perintah Veri kepada mahasiswanya.

Annisa sudah mulai gelisah, angin malam sudah berhasil menusuk dalam rongga dadanya. Sejak tadi dia menggosok-gosokkan telapak tangannya serta sesekali memeluk tubuh sendiri karena dia tidak pakai jaket. Ingin rasanya dia berlari didepan untuk memeluk Sarah sahabatnya, namun apa daya mahasiswa dilarang saling melambung. Hal ini sengaja Veri perintahkan agar perjalanan tetap teratur. Namun tindakan itu justru menyiksa Annisa yang butuh pelukan sahabatnya, untuk sekedar mendapatkan kehangatan.

Melihat Annisa yang mulai kedinginan, Veri spontan membuka jaket dan memberikan padanya.

“Sudah tahu kita akan bermalam, kenapa tidak pakai jaket? ini pakai jaket bapak, nanti kamu masuk angin” ucap Veri seraya mengulurkan jaketnya pada Annisa.

“Jaketku basah, pak. Tadi pagi aku cuci dan belum kering sampai saat aku berangkat.” jawab Annisa jujur.

“Ya sudah, kamu pakai saja jaket bapak.”

Annisa langsung menyambar jaket Veri tanpa ada niat sedikit pun untuk menolak, baginya yang terpenting sekarang adalah melindungi tubuhnya dari embusan angin malam yang sangat menusuk kulit.

“Terima kasih, pak.” ucapnya penuh kegirangan.

Melihat Annisa yang bahagia ketika diberi jaket, Veri merasa sangat senang.

“Diharapkan kepada seluruh mahasiswa untuk bersiap Salat isya!” pengumuman yang di umumkan oleh Hasan, asisten Veri berhasil menghentikan semua aktivitas mahasiswa yang sedang menikmati indahnya malam.

Seperti Salat magrib sebelumnya, Veri kembali menjadi imam untuk memimpin Salat isya. Pada rakaat kedua dia membaca surah Ar-rahman sebagai surah pilihannya. Lantunan suara yang merdu tidak membuat makmumnya kelelahan dalam berdiri, malah mereka makin khusyuk. Mendengar bacaan ayat suci dari Veri, Annisa kembali merasakan debaran aneh di dadanya.

Setelah melaksanakan Salat isya secara berjamaah, mereka bersiap untuk makan malam bersama. Mereka membuka bekal masing-masing yang telah disiapkan dari rumah maupun dari kos masing-masing. Usai memanjakan perut dengan bekal seadanya, mereka memulai aktivitas masing-masing.

Ada yang menyanyi, foto-foto, bahkan ada yang berlaga sebagai seorang Komedian handal. Kecuali Annisa, dia memilih duduk di dekat perapian untuk menghangatkan badan. Namun perapian tidak mampu menghangatkan tubuhnya.

Sarah yang baru selesai berberes dalam tenda, menghampiri sahabatnya yang menyendiri.

“Bagaimana perasaanmu, kamu tidak rasa masuk angin kan?” Sarah merangkul bahu sahabatnya.

“nggak tau, kayanya sedikit mual deh, soalnya tadi terlambat pakai jaket.” ucap Annisa dengan nada lemah.

“Yang penting tidak sampai muntah-muntah seperti dulu, kan?” Sarah paham betul dengan tabiat sahabatnya satu ini.

Sejak kecil Annisa tidak pernah keluar malam hingga dia lulus SMA, bahkan di awal kuliahnya tidak pernah berada di luar saat malam hari. Namun saat memasuki semester dua, dia tinggal di sebuah asrama. Malam itu, mereka di minta untuk menghadiri dialog publik di sebuah hotel yang ada di kota Kendari. Annisa diminta menghadiri kegiatan itu bersama dengan teman-temannya.

Saat hendak keluar dari hotel, bersamaan dengan wakil rektor tiganya dia mulai merasakan mual. Namun dia berusaha melawan rasa mualnya. Saat sampai di parkiran motor, dia mulai muntah hingga tidak ada isi perutnya yang tersisa. Dari situlah dia anti dengan angin malam.

“Iya sih, Sar… tapi perasaanku tidak enak.”

“Sarah. Nyanyi yuk!” ajak Anto yang merupakan kekasih Sarah.

Sarah dan Anto mulai menjalin hubungan asmara sejak masuk semester dua. Maka tidak heran jika Sarah harus berbagi waktu antara kekasih dan sahabat. Sarah menyayangi kekasih dan juga sahabatnya.

“Nis, gabung yuk. Masa menyendiri mulu dari tadi.” ajak Anto lagi pada Annisa.

“Iya, Nis, daripada kamu terus memikirkan penyakitmu yang aneh itu, mending ikutan nyanyi. Siapa tau bisa hilang rasa pusing di kepalamu itu.” celetuk Sarah menimpali.

“Nggak deh, kalian aja. Nanti aku dengarin kalian nyanyi aja.

“Okelah. Tapi kamu nda apa-apa kan?” Sarah masih ragu meninggalkan sahabatnya, walaupun jaraknya hanya sekitar enam meter dari tempatnya bernyanyi.

“Iya, aku baik-baik saja kok, kamu kesana gih. Ntar Anto ngambek lagi kayak anak kucing ditinggal maknya. Ha ha hah”, Dia mengangkat jari tanda bergurau kepada Anto yang memandangnya dengan tatapan silet.

“Baiklah.” Sarah berdiri dan meninggalkannya di perapian.

Sepeninggal Sarah dan Anto, dia mulai memeluk badan dan sesekali mengusap muka. Rasa pusingnya semakin menjadi, ditambah lagi dengan perutnya yang ingin mengeluarkan segala isi didalamnya. Tidak ingin mengganggu teman-temannya, dia menjauh untuk mengeluarkan isi perutnya sudah ada di tenggorokan. Annisa tidak menyadari kalau disitu ada Veri yang sedang menelpon.

“Uwek uwek uwek.” Dia muntah dan sesekali mengaduh kesakitan pada perutnya. Iya, setiap kali muntah, dia selalu sakit bagian perutnya.

“Uwek uwek. hiks hiks..” Dia mulai menangis.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!