...༻✪༺...
Seorang gadis dengan seragam putih abu-abu melangkah menyusuri koridor. Keberadaannya selalu berhasil menarik perhatian banyak orang.
Namanya adalah Elena. Cantik, pintar, dan populer di sekolah. Dia semakin dianggap sebagai cewek high class karena berasal dari keluarga konglomerat.
Sudah banyak cowok yang menyatakan cinta pada Elena. Namun tidak ada satu pun yang membuatnya tertarik. Fokus Elena sekarang adalah belajar. Dia tipe gadis yang sangat ambisius. Elena akan melakukan apapun demi mendapatkan apa yang dirinya inginkan.
Dari kejauhan terlihat ada empat orang yang menunggu. Mereka adalah Vino, Andi, Ranti, dan Iyan. Mereka tidak lain adalah teman-teman terdekat Elena. Sama seperti Elena, semua teman-temannya juga berasal dari keluarga kaya raya. Geng pertemanan mereka menempati kelas atas di sekolah. Ditakuti dan paling populer.
"Lihat teman kita yang satu itu. Lagaknya sok banget," cetus Ranti sambil melipat tangan di dada.
"Dia nggak sok. Emang auranya begitu. Mirip sama gue. Elena itu gue, tapi versi cewek," sahut Vino santai. Jika Elena merupakan cewek paling populer di sekolah, maka Vino adalah cowok paling populer di sekolah. Ia memanfaatkan kepopulerannya untuk memacari cewek-cewek cantik di sekolah.
Bukan tanpa alasan Vino memegang lencana playboy. Dia tampan dan dikenal sebagai atlet sekolah. Vino punya kharisma seperti sebuah bunga penghasil madu. Vino tidak perlu berbuat banyak untuk menarik perhatian para cewek. Ia hanya perlu diam dan menikmati para gadis yang datang. Bak binatang lebah yang menginginkan madu darinya. Ya, madu milik Vino.
"Dih! Ngaku-ngaku dia. Ngerjain PR Matematika aja nyerah lo!" timpal Andi. Dia lantas tergelak bersama yangg lain.
"Eh, keahlian gue sama Elena itu emang beda ya. Kalau dia ahli di bidang akademik, gue ahli di bidang olahraga," balas Vino sembari menyentil jidat ketiga temannya secara bergantian.
"Itu bener sih," tanggap Ranti. Sama seperti banyak cewek di sekolah. Dia juga tersihir dengan pesona Vino. Tetapi Ranti enggan menunjukkan ketertarikannya. Mengingat dia sedang berpacaran dengan Andi sekarang.
"Kalian nunggu gue?" tukas Elena yang sudah tiba di hadapan teman-temannya.
"Iyalah! Masa nunggu cangcut doraemon!" sahut Vino. Semua teman-temannya sontak tertawa geli. Tetapi tidak untuk Elena. Matanya mendelik. Sebab gadis itu tahu Vino sedang mengejek siswa yang sering di bulinya di sekolah.
Selain tampan dan tajir, Vino juga diketahui putra dari pemilik sekolah. Dia tidak hanya menggunakan kekuasaannya untuk menarik cewek, tetapi juga menggunakannya untuk menekan siswa yang mudah ditindas.
"Lo masih gangguin Alam?" timpal Elena.
"Alam? Siapa tuh? Gue nggak kenal," jawab Vino seraya merangkul pundak Elena. Meski sangat dekat, hubungan mereka sekarang hanya sebatas teman.
"Bacot! Resleting lo kebuka tuh!" tegur Elena yang berhasil menemukan keanehan di celana Vino.
"Hahaha!" Elena, Andi, Iyan, dan Ranti otomatis tertawa.
"Gila! Jeli banget mata lo, El. Kita dari tadi berdiri bareng dia nggak sadar loh," ujar Iyan. Di tengah-tengah tawanya.
"Anjir!" Vino bergegas memperbaiki celananya. Dia melepas rangkulannya dari Elena.
"Dia habis kasih madunya sama cewek lagi?" tanya Elena pada ketiga temannya selain Vino.
"Lo tahulah kelakuan dia. Korban dia pagi ini kakak kelas loh," jawab Ranti dengan nada berbisik.
"Gila! Pagi-pagi gini udah begituan?" Elena terperangah sambil menatap ke arah Vino. Cowok itu kembali merangkulnya.
"Kenapa? Lo mau juga madu gue?" goda Vino.
"Ish! Jijik gue! Jangan ngomong begituan deh!" sahut Elena seraya melepaskan rangkulan Vino. Cowok tersebut memutar bola mata jengah.
Elena dan Ranti beranjak ke kelas. Keduanya kebetulan berada di kelas yang sama.
...***...
Setibanya di kelas, bel pertanda masuk langsung berbunyi. Elena mendengus lega karena datang tepat waktu.
Tak lama kemudian, guru Bahasa Inggris datang. Dia merupakan guru muda yang cantik. Sering di sapa dengan Miss Vika.
"Good morning, guys." Miss Vika menyapa saat melangkah masuk ke kelas. Seluruh murid lantas juga menjawab dengan bahasa Inggris.
Elena geleng-geleng kepala saat melihat guru yang satu itu. Bagaimana tidak? Miss Vika terbilang guru yang tidak patut dicontoh. Ia sering mengenakan pakaian ketat dan pendek. Hingga lekuk tubuhnya dapat terlihat jelas. Para murid lelaki tentu menyukai Miss Vika.
Elena hanya berusaha menghormati Miss Vika karena wanita itu guru dan lebih tua darinya. Dia juga terpaksa bersikap sopan agar bisa mendapat nilai yang tinggi di pelajaran Bahasa Inggris.
"Gue kalau seharian diajarin sama Miss Vika juga betah."
"Semua cowok betah kali. Sudah cantik, seksi lagi."
Elena dapat mendengar pembicaraan dua cowok di sampingnya. Dia mendelik. Dua cowok itu sontak berhenti bicara.
"Cantik-cantik galak amat," tukas salah satu cowok yang mendapat tatapan tajam dari Elena.
"Lo bisa diam nggak?" timpal Elena. Membuat lawan bicaranya seketika bungkam.
Elena memang disegani banyak cowok. Tetapi tidak untuk teman-teman terdekat atau sekelasnya. Sebab jika sudah akrab dengan gadis itu, maka Elena tidak akan segan blak-blakkan. Itulah yang membuat beberapa cowok yang mendekatinya jadi hilang perasaan. Alias ilfeel.
Tiga jam berlalu. Bunyi bel pertanda istirahat berbunyi. Elena segera merapikan bukunya.
"Halo, Miss."
Elena menoleh saat mendengar suara cowok yang menyapa Miss Vika. Siapa lagi kalau bukan Vino. Dia datang bersama Andi dan Iyan. Vino menyapa Miss Vika sembari berjalan menuju tempat duduk Elena. Dia hanya mengukir senyuman singkat pada wanita itu.
"Eh, Vino. Rapi banget kamu hari ini." Miss Vika membalas sapaan Vino. Dia yang tadinya hendak pergi, urung beranjak.
Vino berhenti dan memutar tubuhnya menghadap Miss Vika. "Makasih, Miss. Aku memang ingin jadi anak teladan akhir-akhir ini," tanggapnya.
"Berlagak kamu ya." Miss Vika terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Dia terlihat mengaitkan rambut ke daun telinga. Lalu melangkah menuju pintu keluar. Sebelum benar-benar beranjak, Miss Vika masih sempat-sempatnya menoleh ke arah Vino sekali lagi.
"Eh, Miss Vika nengok lagi," tegur Vino. Dia tersenyum puas. Sebab Vino merasa kalau Miss Vika tertarik kepadanya.
Plak!
Senyuman di wajah Vino langsung pudar. Karena Elena tiba-tiba menimpuk kepalanya dengan buku tulis. Untung saja buku itu tipis. Jadi Vino tidak merasa terlalu sakit.
"Apaan sih! Sakit anying!" protes Vino seraya melotot pada tersangka yang sudah memukulnya.
"Kalau gue lihat lo embat Miss Vika juga, kualat lo!" timpal Elena.
"Emangnya kenapa? Lagian tadi gue cuman berusaha jadi murid baik. Emangnya menyapa guru itu salah ya?" Vino meminta pendapat dari ketiga temannya yang lain.
"Enggak salah sih, Vin. Tapi tatapan lo sama Miss Vika itu aneh. Nggak salah Elena marah. Gue sama yang lain cuman pengen lo tahu batasan," ucap Ranti.
"Tuh dengerin! Nggak cuman gue yang merasa nggak enak," ungkap Elena ketus.
"Tapi sebagai cowok, gue paham apa yang dirasain Vino." Iyan yang beda pendapat angkat suara. Dia meletakkan siku ke pundak Vino. "Iyakan, Di?" tanyanya. Meminta pendapat orang yang satu-satunya belum bicara. Dia tidak lain adalah Andi.
Sebagai kekasih, Ranti menatap tajam Andi. Seolah memaksa cowok itu sependapat dengannya.
"Di, gue tahu Ranti pacar lo. Tapi kita di sini bicarain tentang naluri seorang cowok. Jujur, lo pasti juga suka sama guru kayak Miss Vika." Vino merangkul pundak Andi.
..._____...
Catatan Author :
Akhirnya guys... Huhu...
Akhirnya aku dapat feel. Kalau boleh curhat, selama satu minggu ini aku kehilangan mood menulis. Aku gak bisa menemukan feel dalam tulisanku. Jujur ya guys, salah satu kesulitan jadi penulis itu adalah tentang feel atau rasa. Kalau feel udah gak ada. Maka itulah yang menjadikan penulis jadi malas up.
Itulah alasanku bikin novel ini. Novel dengan tema remaja begini memang bikin feel aku naik. Aku akan pastikan novel ini rajin up. Aku lagi semangat banget nulis ceritanya. Semoga kalian suka yaa...
Btw ini bakalan lebih dark dibanding seri pertama.
...༻✫༺...
"Sorry ya, Ran. Gue juga--"
"Apa?!" Ranti memotong perkataan Andi. Ternyata sang pacar memiliki pendapat yang sama dengan Vino dan Iyan.
"Gue kurang menarik gitu di mata lo?" timpal Ranti.
"Eak! Perang dunia dimulai," seru Iyan. Dia dan Vino cekikikan bersama. Hanya Elena yang menunjukkan ekspresi tidak nyaman.
"Bukan gitu. Gue cuman--"
"Ya sudah. Janji di rumah gue malam minggu nanti batal!" tegas Ranti. Dia lagi-lagi memotong ucapan Andi.
"Apa?! Batal?! Ayolah, Ran. Jangan begitu dong." Andi sontak memelas. Entah janji apa yang sedang dibicarakannya dengan Ranti. Elena, Vino, dan Iyan bahkan penasaran akan hal itu.
"Ayo kita ke kantin duluan." Ranti menarik tangan Elena. Keduanya berjalan lebih dulu menuju kantin.
Vino menatap Andi penuh selidik. Begitu pun juga Iyan. Keduanya menghentikan Andi yang hampir beranjak karena ingin mengejar Ranti.
"Di! Mending lo kasih tahu kita mengenai janji lo sama Ranti malam minggu nanti," ucap Iyan seraya merangkul pundak Andi.
"Ah, itu privasi gue sama Ranti kali," balas Andi yang enggan memberitahu.
"Idih! Sok-sokan banget nih anak." Vino mendorong kepala Andi. Dia melakukannya bersamaan dengan Iyan.
"Tahu, sama teman sendiri sok-sokan bilang privasi." Iyan ikut menimpali.
Andi tergelak. Dia merasa lucu dengan reaksi yang ditunjukkan kedua temannya.
"Oke, oke. Gue akan kasih tahu kalian. Tapi kalian harus janji bantuin gue bujuk Ranti. Setuju?" Andi membuat kesepakatan.
"Gampang itu. Masalah membujuk cewek, gue jagonya," sahut Vino percaya diri. Dia dan Iyan mendekati Andi. Ketiganya saling berangkulan. Saat itulah Andi membeberkan janji yang akan dilakukannya bersama Ranti malam minggu nanti.
"Gue sama Ranti sepakat ingin mencoba melakukan itu," bisik Iyan.
"Melakukan apa?" tanya Iyan. Keningnya mengernyit dalam. Berbeda dengan Vino yang tampak tersenyum miring. Lelaki itu sepertinya bisa menduga apa yang dimaksud oleh Andi.
"Gue tahu. Lo sama Ranti mau melakukan..." enggan berkata lewat mulut, Vino memperagakan dengan tangan. Dia terlihat menggunakan bahasa tubuh. Dari pergerakan tangannya, jelas Vino seperti memperagakan proses penyatuan dalam hubungan intim.
"Gila! Jangan, Yan! Nanti lo nggak perawan lagi," cetus Iyan dengan nada cukup lantang. Semua orang-orang di sekitar sontak reflek menatapnya. Alhasil Iyan mendapat geplakan di kepala dari Vino dan Andi.
"Sudah kenceng, salah lagi!" protes Andi.
"Sorry, mulut gue kebab." Iyan tersenyum sambil memegangi tengkuk.
"Kebab?" Andi terheran. Sementara Vino juga tampak bingung. Terlihat jelas dari dahinya yang berkerut.
"Kebablasan," ucap Iyan. Berniat ingin melawak. Namun bukannya tertawa, dia justru membuat kedua temannya malu.
Vino memutar bola mata jengah. Sedangkan Andi menutupi wajahnya sambil geleng-geleng kepala. Mencoba memaklumi Iyan, tetapi rasanya begitu sulit.
"Kita tinggalin aja. Malu-maluin punya teman kayak dia," ajak Vino. Dia dan Andi buru-buru pergi. Iyan yang tak mau ditinggal, segera menyusul mereka.
Di sisi lain, Ranti dan Elena sudah lebih dulu ada di kantin. Keduanya bahkan telah menikmati makan siang.
"Gila! Andi kayaknya benar-benar nggak peduli sama janji di malam minggu," keluh Ranti. Dia tampak melampiaskan kekesalan dengan cara mengobrak-abrik mie ayam.
"Ah! Lo kayak nggak kenal Andi. Sekarang dia pasti lagi curhat sama dua keriwilnya itu. Sama kayak lo ke gue gini kan. Ngomong-ngomong janji apaan yang pengen lo lakuin bareng Andi?" Elena penasaran.
Sebelum bicara, Ranti melihat ke kanan dan kiri. Lalu berbisik ke telinga Elena. Memberitahukan mengenai janji yang akan dilakukannya dengan Andi.
Pupil mata Elena membesar. Dia juga reflek menutupi mulut. "Lo serius?" tanyanya.
"Penasaran aja. Tapi kayaknya nggak bakal kejadian. Lagian gue udah badmood sama Andi. Nyebelin tuh cowok!" ungkap Ranti.
"Bagus deh kalau lo nggak jadi. Nggak baik tahu." Elena mencoba memberi wejangan. Dia berbisik, "Emang lo nggak takut hamil?"
"Kan ada pengaman, El." Ranti balas berbisik.
"Dengar ya. Gue saranin sama lo untuk nggak melakukan itu. Lo kenapa tiba-tiba tertarik melakukan hal begitu sih? Heran gue."
"Itu karena drama korea kesukaan gue. Hehehe..." Ranti mengungkapkan dengan malu-malu.
"Apa hubungannya coba? Emang ada drama korea yang bokep?" tanggap Elena.
"Jadi gini ceritanya. Gue tuh nonton drakor kan. Terus ada adegan ciuman panas di sana. Entah kenapa gue merasa suka aja gitu melihatnya. Sampai rasa penasaran gue berakhir lebih jauh." Ranti bercerita panjang lebar. Dia dan Elena terus bicara dengan nada pelan. Ranti tentu malu jika privasinya didengar oleh semua orang.
"Maksudnya?" Elena menuntut penjelasan.
"Karena adegan ciuman itu, gue jadi tertarik pengen nonton bokep. Terus gue tonton deh. Gue juga akhir-akhir ini suka baca novel online dewasa. Ternyata mudah banget di akses," jelas Ranti.
"Jadi karena video bokep lo tertarik nyerahin keperawanan lo sama Andi? Nggak banget sih! Lo mending belajar yang rajin, kalau bokap sama nyokap lo tahu bisa kacau kan?"
"Coba lo nonton bokep sekali, atau coba baca novel online dewasa. Gue jamin lo--"
"Kagak!" Elena lekas menolak.
Bertepatan dengan itu, Vino, Iyan dan Andi datang. Wajah Ranti langsung cemberut.
"Ran, Andi katanya mau bicara empat mata," ujar Vino sembari duduk ke kursi yang ada di hadapan Elena.
"Gue lagi makan," sahut Ranti ketus.
"Ayolah, Ran. Sebentar aja ya," bujuk Andi. Tetapi Ranti masih tak acuh.
"Kata Andi, dia janji bakalan belikan lo apapun pas pulang sekolah nanti," cetus Vino.
"Iya, Vino benar. Gue akan belikan apa yang lo mau pas pulang nanti." Andi membenarkan pernyataan Vino.
"Yang benar? Apa yang gue mau ya? Kalau gue minta dibelikan mobil, lo harus belikan!" Benar saja, pancingan yang dicetuskan Vino langsung mendapat tanggapan dari Ranti.
"Iya deh." Andi tak menampik. Dia dan Ranti segera beranjak dari kantin.
"Kalau berduaan di tempat sepi jangan cipo-kan ya!" ucap Vino. Tepat sebelum Andi dan Ranti benar-benar pergi. Dua sejoli itu tidak menanggapi. Mereka hanya terus melangkah karena ingin cepat-cepat bicara.
"Dih! Kayak sendiri enggak," cibir Elena.
"Emang nggak pernah!" Vino menjeda ucapannya sejenak. Lalu meneruskan, "nggak pernah ketahuan."
"Parah lo!" komentar Iyan.
Elena terlihat geleng-geleng kepala. Berusaha memaklumi bualan Vino. Tetapi cowok itu justru melihat seorang lelaki yang menatap tak suka ke arahnya. Sepertinya dia merasa tak suka dengan candaan Vino yang terdengar arogan dan meremehkan.
"Apa lihat-lihat?!" timpal Vino dengan mata yang menyalang. Cowok yang ditimpalinya langsung tertunduk takut. "Belagu banget!" makinya.
"Apaan sih! Orang dia cuman ngelihatin lo doang," ucap Elena. Dia merasa sikap Vino berlebihan.
"Gue ini bisa bedakan tatapan orang yang suka sama nggak suka," sahut Vino. Dia kembali mempelototi cowok yang telah berhasil mengganggunya. Walau hanya sekedar karena tatapan.
...༻✫༺...
Vino segera mengabaikan cowok yang tadi menarik perhatiannya. Kini dia mengalihkan pandangan ke arah Elena.
"El, lo nggak pengen punya pacar kayak cewek-cewek lain? Belajar aja kerjaannya," tukas Vino. Dia merebut tempe goreng yang nyaris masuk ke mulut Elena. "Thanks. Tahu banget lo kalau gue suka kedelai goreng," ucapnya.
"Tempe kali!" ralat Iyan.
"Hehehe. Ketawa aja terus sampai keselek." Elena tertawa mengejek. Dia mendengus sambil memutar bola mata jengah.
"El, kancing baju lo kebuka tuh," tegur Vino.
Elena langsung memeriksa bajunya. Akan tetapi tidak ada satu pun kancing baju yang terbuka.
"Mau aja lo dikerjain Vino," komentar Iyan. Dia tergelak bersama Vino.
Elena berdecak kesal. Dia menenangkan diri dengan cara meminum minuman segar. Sampai niat untuk balas dendam muncul dalam pikiran Elena. Ia memusatkan atensinya ke arah pintu kantin.
"Miss Vika!" ujar Elena. Memekik seakan benar-benar melihat dan memanggil Miss Vika.
Vino dan Iyan sontak menoleh ke arah pintu. Namun tidak ada Miss Vika di sana.
"Hahaha!" Kini Elena yang tertawa. Dia merasa lebih lucu karena bukan hanya Vino dan Iyan yang tertipu, tetapi separuh cowok di kantin.
Vino memicingkan mata. Dia mengambil bakso dari mangkuk mie ayam Ranti. Lalu memasukkannya ke mulut Elena yang tengah sibuk tertawa. Cewek tersebut otomatis berhenti tergelak. Elena terpaksa mengunyah bakso yang masuk ke mulutnya. Meskipun begitu, dia tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa bersama Vino dan Iyan.
"Hari ini lo ada latihan basket?" tanya Iyan sembari menatap Vino dengan sudut matanya.
Vino menguap dan menjawab, "Iya. Ada pertandingan antar sekolah minggu depan."
"Kapan?" tanya Elena.
"Katanya hari kamis. Kalian semua harus nonton. Kalau di antara kalian ber-empat sampai nggak kelihatan, awas aja!" ujar Vino.
"Malas gue lihat lo tebar pesona mulu," tukas Elena gamblang.
"Benar banget tuh. Gue setuju sama lo." Iyan sependapat dengan Elena. Mereka bahkan melakukan high five.
"Kalian harus terima kenyataan kalau gue ganteng. Resiko orang ganteng, mau ngelakuin apa aja tetap dibilang tebar pesona," tanggap Vino. Sengaja membuat kedua temannya kesal.
Saat sibuk saling bercanda, seorang cowok berkacamata lewat. Namanya adalah Irfan. Ia tidak sengaja tersandung dan menumpahkan minuman ke arah Elena. Seragam cewek itu sontak basah. Hingga membuat pakaiannya tembus pandang. Memperlihatkan tanktop dan warna bra Elena. Gadis tersebut reflek menutupi dadanya.
"Ma-maaf. Maaf banget. Aku nggak sengaja," ungkap Irfan. Dia gelagapan sendiri. Bingung harus berbuat apa.
Vino yang melihat keadaan Elena, sigap melepas seragam. Lalu memberikannya untuk Elena. "Nih pakai buat sementara! Pergi beli seragam baru ke koperasi sekolah gih!" ujarnya.
Elena menerima seragam yang disodorkan Vino. Dia segera memakainya. Jujur saja, Elena sangat malu. Kini semua orang tahu warna bra yang dikenakannya hari itu. Beruntung dia punya teman yang langsung memahaminya seperti Vino.
Setelah mengurus Elena, barulah Vino berurusan dengan Irfan.
"Mata lo itu berguna nggak sih?! Ada empat lagi!" timpal Vino.
"Sudahlah, Vin. Lagian gue tinggal beli seragam, masalahnya langsung kelar." Elena mencoba menghentikan kemarahan Vino.
"Ngga bagi gue, El!" sahut Vino sambil menendang kursi. Lalu duduk ke atas meja. Dia duduk menghadap Irfan.
"Vin!" Elena sekali lagi mencoba menghentikan. Namun Vino tetap keras kepala. Atensi lelaki itu terus tertuju pada Irfan.
"Sekarang lepasin seragam lo!" perintah Vino.
"Tapi..."
"Sudah turutin aja. Lo nggak tahu betapa seramnya Vino kalau hilang kendali," ucap Iyan.
Irfan tak punya pilihan lain. Dia menuruti perintah Vino. Yaitu melepas seragamnya.
"Nggak usah! Gue sudah maafin lo kok." Elena sigap menghentikan Irfan. Tepat sebelum cowok itu melepas seragamnya.
"Lo sok suci banget, El! Gue melakukan ini karena mau belain lo tahu nggak!" timpal Vino. Dia jadi kesal pada Elena. Cowok itu bergegas pergi bersama Iyan.
...***...
Waktu pulang telah tiba. Elena pulang selalu dijemput oleh sopir. Namun kali ini sopirnya yang bernama Anton tersebut tidak kunjung ada kabar.
Semua teman Elena sudah pulang. Kecuali Vino yang kebetulan ada jadwal latihan basket.
Ponsel Elena berdering. Dia mendapat telepon dari sang sopir. Anton mengatakan bahwa mobilnya mogok di jalan. Ia menyarankan Elena untuk ikut teman atau menggunakan transportasi umum.
"Ah, gue minta anterin Vino aja. Sekalian meluruskan masalah di kantin tadi." Elena segera berjalan menuju lapangan indoor. Sesampainya di sana, dia melihat ada banyak siswi yang menonton. Mereka juga tak berhenti memusatkan perhatian pada Vino yang tampak mempesona. Tubuh cowok itu terlihat mengkilap karena keringat.
"Malas banget gue lihatnya," keluh Elena. Dia sengaja duduk di kursi paling pojok.
Vino menyadari kehadiran Elena sejak gadis itu datang. Dia sengaja mengabaikan karena masih merasa kesal.
Ketika melakukan istirahat singkat, Elena bergegas menghampiri Vino. Namun cowok tersebut terlanjur masuk ke ruang loker.
"Kenapa dia yang marah sih? Bukannya dia yang salah? Kalau bukan karena minta di antarin pulang, gue nggak bakal begini!" gerutu Elena. Dia terpaksa menunggu Vino di depan ruang loker.
Satu per satu teman-teman Vino pulang. Namun Vino tidak kunjung keluar seperti yang lain.
"Raka!" Elena memanggil seseorang yang dikenalnya. Dia segera menanyakan keberadaan Vino.
"Gue nggak tahu. Tadi katanya ke toilet sih. Tapi pas gue mau pergi, dia belum balik," jelas Raka.
"Oh gitu. Thanks," tanggap Elena. Dia menatap pintu ruang loker atau juga dikenal sebagai ruang ganti. Karena sudah tidak ada orang selain Vino, Elena memberanikan diri untuk masuk.
"Vin?" panggil Elena. Dia mengedarkan pandangan ke kiri dan kanan. Elena berjalan menuju toilet. Lalu membuka pintunya.
Elena berhasil melihat Vino ada di sana. Cowok itu tidak sendiri. Ada seorang cewek bersamanya. Apa yang mereka lakukan membuat Elena kaget bukan kepalang.
Bagaimana tidak? Cewek yang bersama Vino tampak duduk berlutut. Sedangkan Vino berdiri tegak di hadapannya. Elena sukses memergoki cewek itu memainkan mulut ke bagian tubuh pribadi Vino. Cowok tersebut terlihat bergegas mengenakan celana saat melihat Elena mendadak datang.
Elena reflek berbalik badan. Apa yang dilihatnya tentu bukanlah hal wajar.
"Anjir! Lo ngapain ke sini, El?!" timpal Vino. Sedangkan cewek bernama Tias yang bersamanya terlihat gelagapan. Dia merasa sangat malu.
"Ya cari lo lah! Gue minta anterin pulang!" sahut Elena.
"Tumben pengen ikut gue? Sopir lo mana?" tanya Vino sambil mencuci kedua tangan di wastafel.
"Dia nggak bisa jemput gue hari ini. Teman-teman yang lain juga sudah pulang duluan," ungkap Elena.
"Gue pergi dulu ya, Vin... Bye..." Tias angkat suara. Dia bergegas pergi meninggalkan toilet.
"Dia pacar lo?" tanya Elena.
"Bukan," jawab Vino.
"Terus kalian kenapa melakukan..." Elena tidak kuasa mengakhiri kalimatnya.
"Lo pikir cewek yang gue kasih madu itu semuanya pacar? Enggaklah, El!" bantah Vino. Dia berjalan melewati Elena. "Ayo!" ajaknya bersikap seolah tidak ada yang terjadi.
Elena tercengang. Dia memang tahu hidup Vino terbilang bebas. Tetapi Elena baru tahu bahwa Vino sering melakukan hubungan tanpa status seliar itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!