Seorang wanita cantik tampak tegang duduk di antara kedua orang tuanya yang memasang wajah serius. Ia tidak pernah melihat wajah papa dan mamanya seserius ini.
"Pa, ma, papa sama mama mau bicara apa?" tanya wanita itu mengawali percakapan.
Pria paruh baya itu terdengar mengenal napas pelan. Sebelum kemudian mengatakan apa yang saat ini ingin di bicarakan pada putri semata wayang nya.
"Geya, papa rasa kau sudah dewasa. Jadi, sudah saatnya kau mencari pendamping hidup, sayang."
"Iya, nak. Apa yang di katakan oleh papa itu benar. Mama juga sudah tidak sabar ingin segera menimang cucu darimu," timpal mamanya.
"Bagaimana jika kau menikah Ethan?"
Geya tersenyum dan merasa jika apa yang kedua orang tuanya bicarakan itu hanya sebuah candaan.
"Apa? Menikah dengan Ethan?" terdengar gelak tawa wanita itu yang membuat papa dan mamanya saling memandang heran.
"Pa, ma, please. Tolong jangan bercanda."
"Papa tidak sedang, Geya! Papa serius. Papa rasa Ethan bisa menjadi suamimu. Selama ini, sedari kecil Ethan yang selalu menjaga, melindungi, bahkan papa lihat dia begitu menyayangimu. Jadi tidak ada salahnya jika kau menikah dengan Ethan," ucap pria paruh baya itu menegaskan.
Geya merasa jika kedua orang tuanya memang benar-benar serius ingin ia menikah dengan Ethan. Ethan sendiri merupakan anak angkat dari orang tuanya. Jadi hubungan ia dengan Ethan saudara angkat.
"Pa, ma. Ethan memang baik, dia menjaga aku, melindungi aku, menyayangi aku, itu semua dia lakukan sebagai balas budi dia karena papa sama mama pun sudah baik sama dia. Bukan berarti dia harus menjadi suami aku dan aku harus menikah dengannya. Aku tidak mau menikah dengannya, pa. Aku bisa mencari pria yang menurut aku pantas buat aku."
"Geya!" sergah pria paruh baya itu ketika putrinya beranjak pergi dari sana.
"Pa, sudah. Biarkan dulu saja," cegah Elin, mamanya Gea.
"Tapi, ma-"
"Kita tidak bisa memaksa Geya juga, pa. Kita berhak memberi dia pilihan. Dan semua keputusan tetap ada di tangan Geya."
Adnan, pria paruh baya itu mengangguk setuju dengan apa yang istrinya katakan barusan. Lebih baik beri ruang Geya untuk berpikir, siapa tahu Geya nanti bisa berubah pikiran dan memberi keputusan sesuai dengan keinginan nya.
Dari balik tembok, seorang pria berdiri dan mendengar jelas apa yang di katakan oleh ketiga orang barusan.
"Den .. " panggilan tepukan di pundak membuat tubuh pria itu terlonjak kaget.
Ia menoleh dan mendapati bi Yayan, pelayan di rumah tersebut.
"Bi Yayan."
"Den Ethan sedang apa di sini?" tanya pelayan tersebut.
Pria yang di panggil dengan nama Ethan tersebut menggeleng.
Bi Yayan melihat ke arah ruang keluarga dimana kedua majikannya sedang duduk di sana.
"Kenapa Den Ethan tidak temui tuan dan nyonya saja langsung? Mereka ada di sana."
"Iya, bi. Ini aku mau temui mereka. Tapi, bi Yayan jangan bilang jika aku barusan berdiri di sini, ya."
Bi Yayan mengangguk. "Baik, Den."
Ethan pun pergi dari hadapan bi Yayan menuju ruang keluarga dimana papa dan mamanya Geya di sana.
"Paman, bibi," sapa Ethan begitu dia datang.
Adnan dan Elin sedikit terkejut dengan kedatangan Ethan yang tiba-tiba.
"Ethan .. "
Ethan menyalami kedua orang yang sudah membesarkannya dari usia lima tahun itu. Kedua orang hebat yang membuat ia merasakan kasih sayang orang tua yang tidak pernah ia dapatkan. Sebelum Adnan dan Elin menjadikan Ethan anak angkatnya, Ethan adalah anak yang tinggal di panti asuhan sejak masih bayi. Dan sekarang tinggal di rumah yang sengaja di belikan oleh Adnan sejak satu tahun lalu.
"Ethan, tumben datang ke sini tidak bilang-bilang," ujar Elin.
"Iya, bibi. Maaf. Tadi aku kebetulan lewat sini dan aku putuskan untuk mampir," jawab Ethan.
"Owh, begitu."
"Iya. Ah ya, aku boleh tanya sesuatu."
"Iya, boleh. Mau tanya apa?" tanya Elin dengan antusias.
Ethan menatap kedua orang yang ia panggil dengan sebutan paman dan bibi itu secara bergantian.
"Mm .. Tadi aku tidak sengaja dengar pembicaraan paman dan bibi dengan Geya."
Adnan dan Elin saling memandang untuk beberapa saat.
"Kenapa paman dan bibi meminta Geya untuk menikah dengan aku?"
Adnan dan Elin seketika bergeming. Mereka khawatir jika Ethan akan marah lantaran sudah lancang membuat keputusan tanpa meminta persetujuan Ethan sendiri.
_Bersambung_
Ethan menatap kedua orang yang ia panggil dengan sebutan paman dan bibi itu secara bergantian.
"Mm .. Tadi aku tidak sengaja dengar pembicaraan paman dan bibi dengan Geya."
Adnan dan Elin saling memandang untuk beberapa saat.
"Kenapa paman dan bibi meminta Geya untuk menikah dengan aku?"
Adnan dan Elin seketika bergeming. Mereka khawatir jika Ethan akan marah lantaran sudah lancang membuat keputusan tanpa meminta persetujuan Ethan sendiri.
Menggunakan bahasa matanya, Elin meminta suaminya yang harus menjelaskan pada Ethan.
"Ethan, jadi begini. Kau tahu kan jika Geya adalah anak kami satu-satunya. Dan tentunya kami ingin memberikan yang terbaik untuk Geya. Sekarang Geya sudah dewasa, kami tidak ingin jika anak satu-satunya kami sampai salah memilih pasangan. Oleh karena itu, kami putuskan bagaimana jika Geya menikah denganmu dan kau menikah dengan Geya?"
Ethan terdiam. Jujur, untuk itu dia sama sekali tidak keberatan. Sebab ia sudah sayang sekali terhadap wanita itu.
"Kami bisa berpikiran seperti itu karena kami merasa kau pantas, Ethan. Bibi merasa Geya aman jika bersamamu."
"Iya, Ethan. Kau sendiri bagaimana, apa kau mau menikah dengan Geya? Jika kau keberatan dan menganggap keputusan kami suatu kelancangan, maka kami akan batalkan semua ini."
Ethan masih diam. Ia masih mencoba untuk berpikir matang-matang.
"Bagaimana, Than?" tanya Elin mengharapkan jawaban sesuai keinginan.
Ethan pun mengangguk. "Aku sendiri tidak keberatan paman, bibi. Jika itu yang kalian inginkan, aku siap. Tapi semua kembali lagi pada Geya."
Adnan dan Elin menghela napas lega. Akhirnya Ethan setuju dengan keputusan mereka. Berharap nanti Geya pun bisa mengubah keputusan menjadi setuju.
"Iya, terima kasih, Than. Nanti bibi coba bujuk Geya, siapa tahu Geya juga setuju dengan hal ini."
"Tapi tidak dengan memaksanya paman, bibi. Aku tidak ingin Geya sampai tertekan akan hal ini."
"Baik. Tapi sebisa mungkin kami akan bujuk Geya."
"Iya."
Semburat kebahagiaan tampak jelas di wajah Adnan dan Elin.
***
Malamnya, Geya pergi ke sebuah club dimana orang menganggap tempat itu sebagai tempat melepas penat dan segala permasalahan.
Jujur, Geya sangat marah dengan keinginan kedua orang tuanya yang mengharapkan ia menikah dengan pria saudara angkatnya. Pria yang papa dan mamanya ambil dari panti asuhan yang tidak jelas asal-usul orang tuanya. Tentu saja ia tidak mau. Lagipula, selama pria itu menjadi saudara angkatnya, ia tidak pernah akur. Ia merasa kasih sayang mama dan papanya terbagi.
"Hai .. " sapa seseorang yang datang ke meja tempat dimana ia duduk.
Geya membalasnya dengan senyum kecil.
"Kau baru, ya?" tanya pria itu dan di angguki oleh Geya.
"Iya. Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Geya kemudian.
"Boleh aku ikut duduk?"
Geya mengangguk mempersilahkan pria asing itu duduk di sebelah nya.
"Aku sering datang kesini. Dan aku yakin kau pasti sedang mempunyai masalah."
"Memang ini tempat pelepas masalah kan?"
Pria itu menyunggingkan sebelah sudut bibirnya.
"Beberapa orang berpikir seperti itu, termasuk aku. Tapi sebagian orang lagi berpikir jika tempat ini sebagai hiburan."
Geya melihat ke sekeliling tempat itu. Memang beberapa pengunjung asik berjoged di bawah alunan musik dan lampu kerlap-kerlip khas disko.
"Ah ya, namamu siapa?" tanya pria itu kemudian.
"Geya."
Pria itu mengulurkan tangan nya.
"Aku Bara."
Geya menjabat tangan pria itu untuk cukup lama, sampai akhirnya Geya tersadar dan melepaskan tautan tangannya.
_Bersambung_
Sudah larut malam, akan tetapi Geya belum juga pulang. Entah kemana perginya wanita itu, yang pasti kedua orang tuanya kini mencemaskan dirinya.
"Pa, sebaiknya kita telepon Ethan saja. Kita minta bantuan Ethan buat cari Geya," usul Elin.
"Iya, ma."
Adnan mengambil ponsel miliknya di kamar, setelah itu kembali ke ruang tamu dimana istrinya berada. Ia mendial nomer Ethan di sana dan menempelkan benda pipih tersebut ke daun telinga.
Tidak berapa lama, sambungan telepon pun terhubung.
"Halo, Than."
"Iya, paman. Ada apa?"
"Than, tolong carikan Geya sekarang. Geya pergi sejak tadi sore dan sekarang belum juga pulang."
Di sebrang telepon Ethan ikut cemas.
"Memangnya Geya tidak bilang mau kemana sebelumnya, paman? Sudah coba di telepon?"
"Itu dia, Than. Sepertinya Geya pergi karena dia marah soal permintaan paman tentang pernikahan kalian."
"Ah ya sudah kalau begitu aku bantu cari Geya ya, paman. Paman dan bibi tidak usah khawatir, aku pasti akan bawa Geya pulang."
"Iya, Than. Terima kasih, ya."
"Sama-sama, paman."
Sambungan telepon pun berakhir.
"Geya .. Geya! Kau pergi kemana, sih?" ucap Ethan di sertai dengan hembusan napas.
Pria itu bergegas turun dari ranjang tempat tidurnya, mengambil switer, lalu beranjak pergi guna mencari wanita itu.
"Bagaimana, pa? Ethan mau kan bantu carikan Geya?" seru Elin yang di selimuti perasaan cemas.
"Iya, ma. Ethan akan cari Geya. Semoga saja Ethan bisa membawa Geya pulang."
"Iya, pa. Semoga Geya baik-baik saja di luaran sana. Mama khawatir sekali."
Adnan mencoba untuk menenangkan sangat istri, meski ia juga sejujurnya sangat khawatir.
Di tempat lain, seorang pria tengah memboyong wanita yang tampak mabuk parah. Pria itu khawatir jika wanita itu kenapa-kenapa.
"Geya, aku antar kau pulang, ya?" tawar pria itu.
"Tidak usah, Bara. Terima kasih. Aku bisa pulang sendiri," tolak wanita itu.
"Kau terlalu banyak minum tadi, kau mabuk parah Geya. Aku khawatir akan terjadi sesuatu buruk jika kau menyetir sendiri."
"Tidak usah perdulikan aku, Bara. Aku bisa sendiri, kau tenang saja, ya. Aku bisa pulang sendiri. Okay?" ujar Geya dengan nada bicara layaknya orang mabuk.
Bara menghela napas. Geya kukuh ingin pulang sendiri. Padahal ia sangat khawatir dengan wanita itu.
"Ya sudah, hati-hati, ya."
"Ok. Terima kasih sudah temani aku dan dengar semua curhatan aku. See you."
"See you too."
Geya melambaikan tangannya dan berjalan menuju mobilnya. Melihat Geya yang jalan sempoyongan saja membuat Bara tidak yakin jika wanita itu bisa pulang sendiri.
Sedetik kemudian Geya nyaris terjatuh lantaran kehilangan keseimbangan tubuh.
"Geya!" seru Bara dan segera menangkap tubuh wanita itu.
"Aku sudah bilang kau sedang mabuk parah, Geya. Sekarang aku antar kau pulang, ya."
Geya malah tertawa tidak jelas. Maklum dia sedang dalam keadaan mabuk.
"Bara, tidak perlu, ya. Aku bisa pulang sendiri. Aku baik-baik saja." Geya tetap saja keras kepala.
"Gey-"
"Sshhtt .. " Geya menempelkan jari telunjuknya tepat di bibir Bara. "I'm okay. Aku bisa pulang sendiri." ucapnya.
Dari kejauhan, Ethan melihat sosok wanita yang saat ini sedang ia cari tengah berduaan dengan seorang pria di depan club. Mereka tampak sedang berpelukan.
"Geya?" Ethan memastikan jika apa yang saat ini ia lihat itu benar atau tidak, dan ternyata setelah jaraknya cukup dekat, itu beneran wanita yang saat ini sedang ia cari.
"Geya? Kenapa dia bisa ada di tempat seperti ini? Siapa pria yang sedang bersamanya?"
Ethan melihat jika Geya sepertinya sedang mabuk. Tidak ingin sesuatu buruk terjadi pada wanita itu, ia bergegas turun dari mobil.
"Geyaaa !!" penggilnya setengah berteriak.
Pemilik nama dan satu orang lainnya itu menoleh. Ethan bergegas menghampiri kedua orang tersebut.
_Bersambung_
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!