Usai percintaan penuh gairah yang membakar ranjang pengantin, Darius dan Kaisar jatuh terlelap. Rasa lelah teramat sangat mendera tubuh mereka, setelah menuntaskan permainan empat babak. Kaisar tak mengenal kata puas. Pengaruh anggur dari tanah Etruria memang dahsyat. Darius sampai kewalahan sebelum tubuh mereka sama-sama terhempas setelah mendaki puncak kenikmatan.
Keesokan harinya, Helios yang lebih dulu bangun dari tidurnya, terhenyak mendapati dua manusia di sampingnya. Darius yang bertelanjang dada, tengah memeluk Kaisar yang tubuhnya tertutup selimut.
Helios menoleh ke lantai dan melihat gaun sutera merah teronggok di atas karpet. Itu pasti gaun Kaisar. Helios menutup mulutnya tak percaya, kini di hadapannya Kaisar juga pasti polos tanpa busana. Selimut menjadi satu-satunya penghalang pandangan.
"Apa yang terjadi?" Helios memijit-mijit pelipisnya. Dia baru ingat tadi malam memasuki kamar pengantin lalu minum anggur. Bukan hanya segelas, tapi bergelas-gelas, sampai akhirnya dia tak mengingat apa-apa lagi.
"Demi Dewa, apa yang sudah kami perbuat? Aku dan Tuan Darius ...." Helios tak mampu melanjutkan kalimatnya.
“Sungguh kami ini binatang, bagaimana bisa meniduri Kaisar secara bersamaan. Dua pria dengan satu wanita?” Pria itu lupa jika dia telah tertidur, dia tumbang setelah mabuk.
Di dalam pikirannya adalah Kaisar tengah dianiaya oleh mereka berdua. Helios sampai membangunkan Darius dan menariknya untuk memohon ampun pada Yang Mulia Kaisar.
"Tuan Darius, bangunlah! Kita telah melakukan sebuah kesalahan!"
Darius mengucek-ucek matanya yang masih terasa pedas. Sepertinya dia baru saja tertidur, tapi suara tangisan Helios bagai anak kecil yang mengusik mimpinya.
"Pelankan suaramu Tuan Helios, kau bisa membangunkan Kaisar," bisik Darius. Dia melihat pria itu sedang berlutut di tepi ranjang.
Terlambat, karena Kaisar mulai menggeliatkan badannya. Darius memberi kode supaya Helios menghadap ke tembok. Buru-buru Helios memutar badannya menghadap ke tembok, membelakangi Kaisar dan Darius.
Rupanya Kaisar juga terganggu oleh tangisan Helios. Darius segera menggeser tubuhnya. Seulas senyum terbit di wajahnya yang tampan mengingat kejadian semalam.
"Hoamm..." Kaisar menguap.
"Di mana aku? Darius, apakah itu kamu?" Kaisar masih malas membuka mata. Kepalanya pusing akibat anggur yang ia minum semalam.
"Hamba, Yang Mulia." Darius membungkukkan tubuh, memberi hormat kepada Kaisar yang sangat ia cintai.
Kaisar terkejut mendengar suara Darius. Jadi ini bukan mimpi. Mata birunya mengerjap indah. Perlahan-lahan dia mengumpulkan ingatan. Sialnya, dia tak dapat mengingat apa pun.
"Apa yang terjadi semalam?" Kaisar melihat Darius kemudian Helios yang membelakanginya. Dua pria itu hanya memakai celana tanpa atasan. Saat itu juga Kaisar baru menyadari tubuhnya yang hanya berbalut selimut. Kaisar menyibak selimut memastikan kembali dirinya yang jelas tanpa busana. "Kita ... melakukannya?" kembali Kaisar bertanya. Wajah wanita itu pucat pasi.
Darius agak bingung dengan pertanyaan Kaisar. Saat ia hendak menjawab. Helios malah menyelanya. "Benar Yang Mulia. Kita telah melakukan malam pertama, Hamba dan Tuan Darius ... ampuni hamba Yang Mulia. Sepertinya semua karena alkohol yang hamba minum." Pria itu berkata tanpa mengubah posisinya.
Kaisar berusaha mengingat. Setelah pertemuan dengan para selir, dia masuk ke kamar pribadinya. Saking gugupnya, dia meminum anggur. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Dia hanya mengingat masuk ke kamar pengantin dan mendapati Helios tengah terbaring di sana.
Selanjutnya, kepalanya terasa pusing sekali. "Demi Dewa! Apa yang terjadi? Aku tidak bisa
mengingat apa pun!" rutuknya kesal.
Karena sakit kepala yang mendera, Kaisar pun memegang pelipisnya. Darius berlutut di hadapan Kaisar yang kini telah bangun dan duduk di pinggir ranjang. Saat wanita itu memegang pelipisnya, selimut yang dikenakan terlepas lalu melorot dari tubuh indahnya. Darius memalingkan muka melihat pemandangan yang tidak diduga tersebut.
Meskipun tadi malam ia sudah menelusuri area nikmat itu dengan bibirnya, tetapi melihat dua bukit indah bergelantungan, gairah Darius kembali bangkit.
Kaisar segera menyadari kalau kini dirinya tak
berbusana. Sontak dia menarik selimut dan menutupi dadanya.
"Ups!" pekiknya kelabakan.
Darius mengulurkan gaun Kaisar yang ia pungut dari atas karpet lantai. Kaisar menunduk saking malunya, hingga Darius berinisiatif memakaikan gaun itu. Kaisar tak menolak. Bahkan saat posisi wajah Darius berada sangat dekat dengan ceruk leher Kaisar, perempuan itu memejamkan matanya.
"Sudah, Yang Mulia."
"Terima kasih," bisik Kaisar.
Wanita itu kemudian beralih pada Helios. "Tuan Helios!"
Merasa dipanggil, pria itu membalikkan badannya
lalu memberi hormat kepada Kaisar. Wajahnya menunjukkan ketakutan. Ternyata hanya Darius yang bisa mengingat semuanya. Bagaimana tubuh indah itu menari dan meliuk-liuk di atas tubuhnya. Jika mengingat kejadian tadi malam, bulu-bulu Darius terasa meremang.
Kaisar hendak membersihkan diri, tapi baru
selangkah kakinya menapak, tubuhnya limbung. Untung Darius segera menangkap tubuh Kaisar. Tanpa diperintah Darius segera membopong tubuh Kaisar memasuki bilik mandi.
Melihat pemandangan itu, Helios semakin merasa bersalah.
"Binatang! Benar-benar keterlaluan kau Helios!" Pria muda itu memukul-mukul kepalanya. "Kalau sampai Kaisar kenapa-napa kau harus terima jika kepalamu dipenggal!"
Helios tidak tahu jika semalam dia muntah-muntah akibat minum anggur terlalu banyak. Darius yang melihat keadaan putra Menteri Attala sangat payah, membuka baju Helios yang sangat kotor tersiram muntahan. Itulah sebabnya mengapa dia tidak memakai baju atasan.
"Ayah, sebaiknya urungkan niatmu membangun
perpustakaan megah untukku. Semua itu tak ada gunanya lagi. Aku benar-benar telah menjadi pria kejam dan tak berperasaan. Aku sangat malu, Ayah!" sungut Helios.
Kali ini ia membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Gerakannya terhenti saat melihat Darius menggandeng Kaisar dari kamar mandi.
"Bersihkan tubuhmu sekarang Tuan Helios,"
titah Kaisar.
Setelah mereka bertiga selesai membersihkan diri, Kaisar mengajak mereka untuk berbicara enam mata.
"Aku minta kalian merahasiakan kejadian tadi
malam." Kaisar sudah lebih segar, wajah cantiknya kembali berseri-seri. Tak bisa dipungkiri pelepasan semalam memberikan ketenangan dalam dirinya. Hormon prolaktin itu nyata membentuk senyuman tipis yang lebih sering
tersungging dari bibir tipisnya.
Kedua pria di hadapan Kaisar menganggukkan kepala, menyanggupi perintah Sang Kaisar
"Aku tidak ingin mematik konflik baru di antara para selir. Atau akan adanya permintaan 2 lawan satu untuk kedua kalinya," ucap Kaisar. Dia tidak menampik tubuhnya yang terasa remuk redam. Jika harus melakukan hal sama lagi, Kaisar akan melayangkan bendera berwarna putih.
Darius membatin. Sesungguhmya hanya dia yang
mendengar bagaimana jeritan Kaisar tadi malam, bagaimana mereka menyatu dalam keindahan rasa yang menggelora sampai terbang ke nirwana. Helios sama sekali tidak ada andil.
Meski begitu Darius tidak mempermasalahkan jika harus menyimpan kenangan manis tadi malam sendirian. Baginya, sudah cukup Kaisar memilih dirinya menjadi orang pertama. Bukan Helios atau selir lainnya.
"Jika ada orang yang menanyakan kejadian tadi
malam, bilang saja aku melarang kau bercerita. Ini perintah!"
"Ba-baik, Yang Mulia." Helios tak menyangka mendapat pengampunan semudah ini. Dia makin yakin di balik sifat tegas Kaisar Alessa, tersimpan jiwa lembut dan pemaaf.
"Darius, aku ingin berkuda hari ini. Bisakah
kau menemaniku?"
"Tentu, Yang Mulia. Hamba akan segera menyiapkan kuda kesayangan Yang Mulia."
Darius segera berlari menuju kandang kuda. Saat
melewati para prajurit yang sedang berlatih, Darius mendekat.
"Kalian boleh beristirahat sekarang. Bukan hanya hari ini, kalian kuberi waktu libur selama dua minggu. Pulanglah! Tengok keluarga kalian! Dua minggu lagi kita akan berlatih lagi!"
Perintah itu disambut para prajurit dengan penuh
sukacita. Bertahun-tahun mereka bertugas di kerajaan dan belum pernah mengunjungi keluarganya. Sekarang ada kesempatan untuk pulang, wajah-wajah itu dipenuhi senyuman dan gelak tawa bahagia.
"Panjang Umur Panglima Darius! Panjang Umur
Panglima Aegis!"
Mereka berteriak-teriak merayakan kemurahan hati Sang Panglima. Kebahagiaan itu menular. Seperti wajah para prajuritnya, wajah Darius juga berseri-seri secerah bumantara pagi itu yang birunya menaungi dataran Aegis.
Helios mengendap-endap keluar dari kamar pengantin, lalu menyelinap masuk ke dalam kamarnya sendiri. Dia menarik napas panjang setelah tadi merasa diadili Kaisar. Helios seperti sedang menjadi saksi sebuah persidangan berat. Saksi yang tidak tahu apa-apa, itulah dirinya sekarang.
Usai berganti pakaian, Helios bermaksud sarapan di ruang makan khusus selir. Hari terlalu siang untuk sarapan. Matahari sudah naik sepenggalah, Helios berharap dia tidak bertemu siapa pun hari ini.
Ternyata harapan itu sia-sia. Begitu memasuki ruang makan, di kursi-kursi kayu yang mengitari meja makan, sudah ada Pangeran Evandor, Pangeran Lucas, juga Pangeran Jerome.
Seolah sedang menunggu mangsa, begitu melihat Helios, ketiga pria gagah itu langsung menatapnya dengan tatapan lapar.
"Akhirnya, si sok paling beruntung keluar juga. Masih hidup kau rupanya Tuan Helios? Kenapa jalanmu miring?" sarkas Pangeran Lucas sambil menatap Helios yang menghentikan langkahnya.
Brak!
Pangeran Jerome memukul meja marmer di hadapannya. Helios terperanjat tak menyangka disambut begitu rupa.
"Duduk!" perintah Pangeran Jerome. Helios
mundur ketakutan. Belum juga dia menarik kursi untuk duduk, tapi rasanya sekarang dia tidak aman. Melihat gelagat tidak baik itu, Helios mengurungkan niatnya untuk sarapan.
"Anda tak dengar perintah Pangeran Jerome?
Duduk lalu ceritakan malam pertamamu bersama Kaisar," titah Pangeran Evandor. Darahnya masih mendidih menerima kenyataan bukan dia yang terpilih untuk menemani Kaisar pada malam pertama. Gagal lagi ia meminum ramuan kuno
pemberian ayahnya.
Jika tadi malam Helios merasakan tatapan membunuh dari tiga pria pesaingnya, sekarang Helios merasa mereka akan membakarnya hidup-hidup. Tak ada pilihan lain, Helios langsung berbalik dan mengambil langkah seribu.
Ketiga selir tak mau kehilangan Helios. Mereka
bukan hanya sekadar kepo ingin tahu malam pertama di ranjang pengantin, tapi sekaligus ingin bertanya pengalaman Helios memuaskan Sang Kaisar.
Helios yang sudah kadung berjanji merahasiakan
kejadian dua lawan satu semalam, semakin panik. Dalam benaknya Helios membayangkan ketiga selir ini akan menanyakan apakah dia bisa bertahan lama, berapa ronde semalam, apa rahasianya. Pertanyaan itu tak akan bisa ia jawab,
karena dia sendiri pun lupa. Jangan tanya rasanya.
Helios berlari dari ruang makan menuju kamarnya. Percuma, mereka pasti menemukannya. Pria tampan itu menghindar ke perpustakaan, tapi Pangeran Lucas berhasil menemukannya.
Helios lari ke taman, Pangeran Evandor memburunya. Dia buru-buru berlari ke dapur, tapi Pangeran Jerome melihatnya dan berteriak "Dia di dapur!'
Sontak dua pangeran lain juga memburunya ke dapur. Saking terburu-buru Helios menabrak koki yang sedang membawa panci besar, hingga panci itu berguling di lantai menimbulkan suara nyaring.
"Ma-af," bisik Helios sembari mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Koki itu memelototkan mata, tapi begitu menyadari siapa yang berdiri di hadapannya, koki itu berujar "tak mengapa Tuan, Anda butuh berapa banyak panci lagi untuk dijatuhkan?"
Helios terus berlari ke sembarang arah menghindari kejaran ketiga selir yang sekarang menjadi sangat marah itu. Akhirnya dia menemukan tempat yang aman di barak para prajurit yang sedang bersiap-siap untuk pulang ke kampung mereka masing-masing.
"Di mana dia?" Pangeran Evandor mencari-cari dengan ekor matanya.
"Sepertinya dia berlari ke kandang kuda," sahut Pangeran Lucas.
"Baguslah kalau dia pergi ke kandang kuda. Tuan Helios belum sempat sarapan. Sepertinya bagus kalau dia minum susu kuda," jawab Pangeran Jerome.
"Langsung dari pabriknya, hahaha," sambung Pangeran Lucas sambil tertawa penuh ejekan.
Wajah Helios memucat membayangkan bagaimana mereka akan memaksanya untuk mengisap susu kuda langsung dari induknya.
"Huh!" Helios mengusap dahinya yang berkeringat. Setidaknya saat ini posisinya aman dari kejaran tiga pria iri hati itu.
"Demi Kaisar yang baik, apa pun akan kulakukan. Pria sejati harus memegang janji. Jangan harap kalian bisa tahu apa yang terjadi di ranjang pengantin tadi malam. Aku bahkan kewalahan memuaskan Kaisar yang minta lagi dan lagi," gumam Helios menenangkan dirinya sendiri.
Tentu saja dia membual. Helios tak menyadari bahwa sampai detik ini statusnya masih perjaka. Seujung kuku pun Kaisar belum menyentuh kulitnya.
Sementara itu Kaisar sedang asyik berkuda bersama Darius. Mereka berdua berjalan-jalan santai, mengelilingi ladang rumput yang berada di belakang istana. Tempat hijau itu sangat asri dan menyejukkan. Angin sepoi-sepoi menambah suasana menjadi sangat romantis.
Darius dengan setia menuntun kuda yang sedang
dinaiki oleh Kaisar Alessa. Mereka saling diam dengan pikiran masing-masing. Kaisar yang terus berusaha memikirkan kejadian semalam pun penasaran mengapa Darius sampai ada di ranjangnya.
"Apa semalam aku memaksamu?"
"Anda saat itu sedang mabuk."
"Sungguh terkutuk minuman itu."
"Hamba tidak masalah, bahkan jika Yang Mulia
kembali memaksa saya."
Pernyataan Darius sontak membuat Kaisar malu bukan main. Wanita itu mengibaskan tangannya karena merasa panas. Semua terjadi di luar dugaan dan rencananya.
Kaisar bahkan belum tahu bagaimana caranya bicara dengan Tuan Cicero tentang kekeliruan semalam. Seharusnya tidak ada nama Darius
di malam pertama. Hanya Helios yang berhak menerima penghormatan itu, tapi kini Kaisar bahkan tak mampu mengangkat wajahnya. Dia sangat malu.
"Sebaiknya kita kembali." Kaisar yang mati gaya memilih menghentikan pembicaraan. Wanita cantik itu sedang menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia berkata jujur kepada Permaisuri Rhea. Ibunya pasti bisa mengerti dan tidak menyalahkan tindakannya yang ceroboh semalam.
Darius menurut, menarik tari kekang kuda,
memerintahkan kuda itu berbalik tanpa banyak bicara. Baginya kejadian semalam adalah anugerah terindah dalam hidupnya. Darius menyadari jika Kaisar melakukan kesalahan. Kesalahan yang sangat manis. Lagi-lagi bibir Darius mengurai senyuman.
Perkara malam pertama bagi Kaisar pasti sudah
dipikirkan masak-masak sebelumnya. Tuan Cicero pasti telah mengatur semuanya. Jika kemudian Helios tersingkir dan Kaisar memilih dirinya, itu pasti tak luput dari campur tangan para Dewa.
Darius memandangi langit yang sangat cerah,
berterima kasih kepada para dewa yang menggerakkan tangan Kaisar hingga menariknya ke dalam bilik pengantin tadi malam.
Ketika mereka kembali ke istana, bertepatan ketika Darius membantu Kaisar turun dari kudanya, Pangeran Lucas datang. Pria tampan
itu memasang wajah kecut.
"Sepertinya Anda sangat menikmati waktu bersama Tuan Darius, Yang Mulia," cetus Pangeran Lucas. Ada nada kecemburuan yang sulit ditutupi. Pangeran Lucas merasa iri hampir setiap hari Kaisar menghabiskan waktu bersama panglimanya.
"Kali ini izinkan hamba menemani Anda makan
siang, Yang Mulia." Dengan blak-blakan Pangeran Lucas menyampaikan keinginannya. Tak bisa malam, siang pun jadi. Siapa tahu Kaisar berubah
pikiran, usai makan siang mereka lanjutkan dengan bobo siang bareng. Begitulah kira-kira yang ada di benak Pangeran Lucas.
"Tapi aku belum lapar," ujar Kaisar sambil melangkah masuk ke dalam istana. Udara segar yang ia hirup barusan membuat wajahnya kian cerah. Usai menikah, Kaisar terlihat makin cantik.
"Hamba memaksa, Yang Mulia."
Pangeran Lucas tahu kalimatnya itu kurang sopan, tapi ia tak bisa menunda lagi. Baginya sekarang yang terpenting adalah menghabiskan
waktu sebanyak-banyaknya dengan Kaisar. Dia sangat berharap malam kedua menjadi gilirannya. Kalau perlu malam ketiga dan malam-malam selanjutnya.
Kaisar Alessa yang didesak sedemikian rupa jadi
berpikir bahwa Pangeran Lucas juga memiliki hak akan waktunya. Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Kaisar menjawab.
"Baiklah jika kau memaksa."
Kaisar memilih mengiyakannya. Pangeran Lucas mengambutnya dengan senyum cerah. Pria itu segera menggandeng Kaisar dan mengabaikan Darius begitu saja.
Pangeran Lucas mengulurkan tangan sambil membungkuk hormat. Kaisar Alessa menyambut uluran tangan itu. Dia sadar ada hak Pangeran Lucas yang juga ingin menghabiskan waktu bersamanya. Darius memandang datar ke arah Pangeran Lucas yang juga tengah meliriknya. Mereka hanya beradu pandang sesaat, lalu sama-sama memalingkan wajah.
"Kalau saja kau tahu yang terjadi di ranjang pengantin semalam, tubuhmu bisa terbakar, Tuan Lucas," batin Darius sambil menuntun kuda masuk ke dalam kandang.
Kuda betina berbulu putih itu adalah kuda
kesayangan Kaisar, dia tak akan membiarkan orang lain menyentuhnya. Semua pengurus kandang tahu hal itu, jadi mereka membiarkan Panglima Darius menuntun kuda dengan sangat hati-hati hingga memasuki kandang.
"Silakan Yang Mulia," Pangeran Lucas membuka pintu kamarnya.
"Aku pikir kita akan makan siang," ujar Kaisar ragu-ragu.
"Makan siang yang tak seperti biasa. Hamba sangat berharap Yang Mulia bisa menikmati apa yang sudah hamba siapkan."
Kaisar melangkah masuk ke kamar Pangeran Lucas. Ranjang yang masih tertata rapi dengan dua bantal bersandar di kepala ranjang. Tirai sutera putih menutup atap ranjang. Di permukaan kasur, ada taburan bunga berwarna-warni. Kaisar menelan ludah, merasa tenggorokannya kering melihat ranjang ini seperti sengaja ditata untuk sesuatu yang sudah bisa ditebak.
Pangeran Lucas memang sudah menyiapkan makan siang istimewa. Bukan di meja makan tempat ia dan selir lain biasa makan bersama Kaisar, tetapi di dalam kamar. Dia meminta koki istana untuk memasak masakan kesukaan Kaisar. Daging rusa panggang nan lezat, dengan banyak sayuran rebus setengah matang dan saus pasta asam manis. Ada juga buah-buahan segar tertata rapi di atas meja.
Pangeran Lucas dibantu Cain sang asisten, menyulap meja di dalam kamar menjadi meja makan mewah dengan hidangan yang tak terlalu banyak, tapi terlihat menggoda selera.
"Silakan duduk, Yang Mulia."
Pangeran Lucas menggeser kursi, membiarkan Kaisar lebih mudah menduduki kursi itu.
Dengan cekatan, Pangeran Lucas juga menata serbet di depan Kaisar.
"Kau tahu tidak perlu melakukan ini sendiri, bukan? Ada banyak pelayan yang bebas kau perintah semaumu."
Kaisar merasa tidak enak dilayani sampai hal sekecil itu.
Tapi Pangeran Lucas melakukan itu dengan hati berbunga-bunga. Dia tidak mau rencana yang sudah ia susun rapi, harus gagal karena konsentrasinya buyar melihat para pelayan mondar-mandir di depannya.
"Baiklah, mari bersulang," ajak Pangeran
Lucas. Kaisar mengangkat gelas emas, lalu bunyi denting nyaring terdengar di dalam ruangan.
"Hari ini hamba juga sudah menyiapkan kejutan yang lain untuk Anda, Yang Mulia."
Pangeran Lucas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna biru. Pria itu membuka kotak itu, dan terlihatlah sebuah kalung betakhtakan batu safir berwarna biru.
"Kalung ini berasal dari tanah Frank, batu safir terbaik ini hamba persembahkan untuk Yang Mulia."
"Lucas, kau terlalu berlebihan," jawab Kaisar seraya memandang batu biru sapheiros yang begitu menawan. Kalung itu pasti akan semakin cantik menghiasi leher jenjang Sang Kaisar.
Batu blue safir itu awalnya berasal dari Yunani. Para pengrajin batu safir di Kerajaan Frank mengubahnya menjadi perhiasan estetik bernilai tinggi. Batu safir ini memiliki makna yang mendalam, yakni simbol keagungan, kejujuran, ketulusan, dan kesetiaan. Batu blue safir ini sering dikaitkan dengan bangsawan dan lambang cinta selama beberapa abad.
Pangeran Lucas berkonsultasi lama dengan ibunya sebelum akhirnya menentukan hadiah istimewa yang ia persembahkan untuk wanitanya yang agung. Kaisar sangat tersanjung dengan kejutan pangeran dari Eropa Barat itu.
"Yang Mulia, bolehkah hamba memasang keindahan blue safir ini di tempat seharusnya?"
Kaisar mengangguk. Hatinya menghangat menerima perlakuan manis Pangeran Lucas.
Dengan berhati-hati, Pangeran Lucas mengalungkan batu indah itu di leher Kaisar. Beberapa kali Pangeran Lucas menahan napas, menyadari betapa indahnya ceruk leher Sang Kaisar. Putra mahkota Kerajaan Frank itu ingin sekali mendaratkan ciuman di leher putih bersih yang berbau wangi itu.
"Terima kasih, Lucas. Aku sangat menghargai pemberianmu."
Sedikit nanar, Pangeran Lucas segera melepaskan tangannya.
Pangeran Lucas berharap dengan semua yang telah dia berikan, dia akan mendapatkan balasan. Setidaknya Kaisar mau memilihnya sebagai penghangat ranjang malam ini.
"Jadi kapan kita bisa menikmati menu utamanya?" tanya Kaisar saat melihat Pangeran Lucas masih terbengong-bengong di hadapannya.
"Ah, iya. Sekarang. Mari kita makan, Yang
Mulia."
Mereka pun menikmati makan siang tanpa banyak kata. Kaisar mengakhiri sendok terakhir lalu mengusap bibirnya dengan sapu tangan di atas meja.
Pangeran Lucas merasa ini saat yang tepat untuk mengungkapkan keinginannya.
"Setelah menyantap makanan ini lezat sekali, sepertinya Anda mengantuk. Bagaimana kalau Yang Mulia menghabiskan waktu hingga bermalam di sini?" tawarnya penuh harap.
Kaisar Alessa bukan tidak paham dengan gelagat yang diperlihatkan Pangeran Lucas. Tapi organ intimnya masih terasa ngilu akibat pertempuran nikmat dengan Darius semalam.
"Sepertinya lain kali aku akan datang ke kamar ini. Tidak sekarang, Lucas. Aku ingin malam kita nanti menjadi malam indah yang tak terlupakan. Kamu paham maksudku?"
Pangeran Lucas mengangguk tanda mengerti. Meskipun raut kecewa itu jelas terlihat pada wajah tampannya, setidaknya janji Kaisar cukup menyejukkan hati. Dia rela menunggu malam indah itu.
Kaisar melangkah pergi dari kamar Pangeran Lucas yang langsung melompat ke atas ranjang dan berjingkrak-jingkrak bagai anak kecil bermain di atas trampolin.
"Cain! Kau pasti tak akan percaya yang
kudengar barusan! Kaisar pasti memilih aku untuk yang kedua. Aku sangat bahagia, Cain!" Pangeran Lucas berteriak-teriak hingga pengawal pribadinya itu menggeleng-gelengkan kepalanya.Tentu saja ia juga senang dengan kabar tuannya akan segera mendapatkan jatah belah duren.
Seperti biasa, Kaisar memberikan kecupan selamat malam sebelum tidur pada semua selir membuat para pria itu makin mendamba. Pangeran Lucas yang paling antusias menerima ciuman selamat malam itu. Dia tetap menyodorkan wajahnya meskipun Kaisar beralih mendekati Pangeran Jerome.
Lelaki tegap itu kini sudah mulai bisa menguasai diri. Dia melatih kesabaran hari demi hari. Meskipun sampai sekarang tidak ada perlakuan istimewa yang diterima Pangeran Jerome dari Kaisar, diam-diam Pangeran Jerome justru bersyukur karena menurutnya, jika dirinya menjadi pilihan terakhir Kaisar untuk melabuhkan hasrat, justru hal itu akan semakin menguntungkan. Bukankah ada pepatah, ‘simpan yang terbaik untuk yang paling akhir’?
“Selamat malam, selamat beristirahat, Yang Mulia. Semoga Anda tidak lupa letak kamar hamba yang paling ujung. Kapan pun Yang Mulia ingin memasukinya, hamba harap Anda tidak menundanya,” cetus Pangeran Evandor menatap Kaisar dengan pandangan memohon. Laki-laki gagah itu hampir gila, karena setiap malam harus menahan diri untuk tidak menyentuh wanita lain.
Saking penasaran, Pangeran Evandor mencicipi sedikit ramuan kuno pemberian ayahnya. Hasilnya, setiap malam dia harus berolahraga di kamarnya, supaya tidak memasuki kamar pelayan. Bagi pangeran Evandor, ini adalah pengorbanan besar untuk wanita yang ia cintai. Dia rela melakukan itu.
“Tapi jangan terus menunda, rasanya kepalaku mau pecah membayangkan yang iya-iya,” batinnya jujur.
Setelah semua selir menerima kecupan selamat malam, mereka segera memasuki kamarnya masing-masing. Kaisar tidak langsung tidur. Wanita itu segera masuk ke ruang kerja untuk bertemu dengan Tuan Cicero dan Permaisuri Rhea yang sudah menunggunya sedari tadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!