Namaku Bethari Ambarwati berasal dari keluarga yang sangat biasa-biasa saja bahkan bisa dikatakan di bawah rata-rata. Kehidupan keluarga kami sangat memprihatinkan hingga suatu takdir membuatku mampu sedikit merubah kehidupan keluargaku.
“Assalamualaikum Tar ibu butuh uang tiga puluh lima juta”.
Sebuah kalimat tertulis dilayar ponselku yang kebetulan dari orang yang telah melahirkanku ibu.
Waktu menuju pukul tujuh malam, saat itu aku baru saja pulang kerja dan ingin menikmati makan malam yang ku beli di warung samping kosanku.
Selera makanku tiba-tiba menghilang begitu saja setelah membuka pesan ibu. Nasi bungkus lalapan yang sudah aku bayangkan nikmatnya sepanjang perjalanan tiba-tiba berubah tak menunjukan kenikmatannya. Aku meraih gelas di dapur lantas meneguknya hingga habis tak tersisa untuk sedikit mendinginkan hati dan otakku.
“Permintaan macam apa ini?”. Dadaku bergemuruh naik turun, aku mencoba memeganginya agar lebih tenang.
Aku terduduk di kursi sejenak agar mampu berfikir waras untuk mengambil sikap.
Beberapa menit kemudian ponselku kembali berdering kali ini bukan hanya pesan yang masuk melainkan pesan suara, ingin rasanya aku mengabaikannya tapi sayangya orang yang menghubungiku adalah orang yang paling aku sayang dan aku perjuangkan di dunia ini “ibu”.
“Assalamualaikum bu ada apa?”, jawabku pada ibu yang berada di sebrang sana.
Ibu dan keluargaku tinggal di Jombang Jawa timur. Aku memiliki satu adik laki-laki bernama Saiful Bagus Krisnawan, kini dia sedang berada di bangku SMP. Sedang bapakku sudah meninggal sejak aku masih berusia sembilan tahun. Saat ini aku tinggal di Jakarta merantau bekerja di sana.
“Waalaikumsalam, Tari kamu sudah baca pesan ibu?”. Tanya ibu padaku dengan tergesa-gesa.
“Sudah bu”.
“Lantas bagaimana?”. Ibu kembali bertanya dengan sedikit penegasan.
“Nanti Tari telfon lagi ya bu, Tari baru saja pulang dari kerja ingin bersih-bersih dulu”. Aku menutup telfon ibu dengan nada yang pelan tanpa ingin menyinggung perasaanya sama sekali.
Aku beranjak dari kursi yang ada di ruang tamu kamarku menuju kamar mandi dengan langkah yang gontai.
Sepuluh menit kemudian aku sudah selesai mandi dan berniat untuk kembali makan mengisi perut yang sudah dari siang meronta-ronta ingin meminta haknya. Aku kembali membuka nasi bungkus yang berisi sambal lalapan dengan lauk sederhana.
Ponselku kembali berdering.
“Tar sudah bersih-bersihnya?”.
“Iya bu sudah jadi bagaimana?”.
“Ibu butuh uang Tar sekitar tiga puluh lima juta untuk memperbaiki rumah, sekarang kan musim hujan genting-genting di rumah pada bocor semua, ibu takut rumah kita akan segera ambruk jika tak lekas di perbaiki”. Tutur ibu panjang lebar tanpa jeda.
“Apakah sudah separah itu bu?”. Tanyaku pada ibu mencoba memastikan.
“Iya kamu tidak percaya sama ibu?”.
“Oh tidak bu maaf bukan Tari meragukan ibu hanya saja Tari sudah satu tahun tak pulang jadi tidak mengerti keadaan rumah secara pasti”. Aku mencoba memberikan jawaban pada ibu dengan pelan takut salah ngomong.
“Jadi gimana Tar apa kamu ada uang untuk perbaikan rumah, selain genting ibu juga ingin mengganti keramik di rumah yang sudah retak-retak sekalian di cat ulang rumahnya”.
Aku terdiam sesaat mendengar ucapan ibu dari udara.
Ibuku sudah tidak bekerja lagi sejak aku lulus kuliah, ibu dulu seorang pembantu rumah tangga. Suatu keberuntungan bagiku bisa mendapat beasiswa bidik misi di salah satu universitas negri. Berkat kepandaianku dan tekad yang besar untuk merubah kehidupan keluarga, aku kembali mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan master di london inggris tentu saja dengan bantuan beasiswa LPDP.
Saat ini aku bekerja di salah satu perusahaan besar dan bonafit yang sedang berkembang. Posisiku sebagai analis riset memberikan keuntungan tersendiri untukku. Gajiku cukup besar jika di nikmati sendiri sayangnya aku harus menjadi tulang punggung keluargaku.
Aku masih terdiam belum sempat menjawab pertanyaan ibu. Ibu kembali berucap.
“Oh ya Tar uang untuk spp adikku kenapa belum dikirim? Sekarang sudah lewat dari tanggal sepuluh, kasian adik kamu jika tidak lekas membayar nanti tidak bisa ikut ujian”. Ibu kembali menjelaskan panjang lebar padaku.
Aku memijat pelipisku dengan pelan.
Rasanya ingin menangis saat itu juga tapi aku mencoba untuk menahannya, aku tidak mau terlihat lemah didepan ibu.
“Maaf bu untuk uang spp Saiful aku lupa untuk transfer, besok pagi sebelum berangkat kerja akan aku transfer”.
“Bagaimana dana yang buat renovasi rumah apakah sudah terkumpul?”.
“Maaf bu mohon bersabar dulu ya, uangnya belum ada. Tari masih berusaha untuk mengumpulkannya”.
“Ya sudah kalau begitu, tapi tolong segera usahakan jangan boros-boros hidup di sana”.
“Baik bu”. Aku lekas menutup sambungan telfon tersebut.
Aku kembali menghela nafas panjang dan mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya.
“Dari mana dapat uang sebanyak itu dalam waktu yang dekat”. Ucapku dalam hati dengan menekan-nekan pelipisku yang terasa sangat berat sekali.
Seperti bulan-bulan sebelumnya jika gajian aku akan membagi menjadi beberapa post. Saat ini gajiku sebesar dua belas juta tanpa potongan sama sekali. Untuk ukuran gadis lajang harusnya gaji sebesar itu sudah lebih dari cukup, sayangnya tidak denganku aku merasa masih sangat kurang saja. Entah aku yang kurang bersyukur atau bagaimana?, rasanya gaji sebesar itu hampir tak pernah bersisa.
Bukan hidupku yang boros, kantorku berada di SCBD tapi aku memilih untuk tinggal di Depok bukan tanpa alasan hanya ingin berhemat karena sewa kosa di daerah Depok masih tergolong lebih murah. Aku harus membayar kos sebesar delapan ratus ribu setiap bulannya. Sedangkan jika di dekat tempat kerjaku sewa kosan mencapai satu juta lima ratus ribu.
Aku tak pernah ikut teman-teman makan diluar, bahkan sekedar makan di kantin kantor saja aku tak pernah. Aku menarik diri dari peredaran teman-teman kantor tidak terlalu mengikuti kehidupan mereka. Aku lebih memilih membawa bekal saat kerja, sedangkan di hari senin dan kamis aku membiasakan diri untuk berpuasa selain belajar tirakat juga untuk berhemat.
Dari total keseluruhan gajiku lima juta aku kirimkan pada ibu untuk biaya kehidupan di rumah termasuk biaya makan, listrik dan air, satu juta aku kirimkan untuk biaya sekolah saiful setiap bulannya. Satu juta lagi aku simpan secara tersembunyi khusus untuk persiapan biaya kuliah saiful kelak.
Lima juta hanya untuk jatah operasional rumah saja selama satu bulan, di luar acara kondangan, service sepeda dan tasyakuran.
Kalian tanya apa aku punya tabungan?.
Untuk saat ini aku ada sedikit tabungan, tapi jumlahnya tidak sampai yang ibu minta.
“Ah baiknya aku makan dulu biar bisa berfikir lebih baik setelah ini”.
Aku kembali membuka bungkusan lalapan tadi ingin memakannya, sayangnya nasi bungkusan tersebut sudah dikerumuni semut saat aku menerima telfon dari ibu tadi.
Langkahku terseok menuju dapur mini yang berada di dalam kamar untuk membuat Indomie soto.
..."Slalu ada hal yang tak terduga yang menjadi urusan kita"....
Pagi ini aku berangkat kerja lebih awal karena ingin mengirim uang terlebih dahulu untuk adikku Ipul, aku dulu sering merasakan telat saat bayar sekolah bahkan pernah beberapa kali di tunda untuk tidak mengikuti ujian karena belum mampu melunasi tunggakan uang sekolah. Aku tak mau Ipul merasakan hal yang sama sepertiku.
“Bu uang untuk bayar spp ipul sudah aku kirim sekalian untuk uang sakunya”.
Dalam hitungan menit ibu segera membalas pesan wa ku.
“Trimakasih Tar, bagaimana dengan uang untuk perbaikan genting?”.
Masih saja hal yang sama yang di tanyakan ibu, aku pikir ibu sudah lupa.
“Sabar ya bu, Tari sedang berusaha untuk mengumpulkan uangnya nanti kalau sudah terkumpul akan segera ku kirim”.
“Jangan lama-lama nanti keburu ambruk rumah ibu”.
Sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju kantor, aku melihat struk resi saldo mataku berkaca-kaca karena uang itu masih sangat jauh dari yang ibu minta.
Aku tak membalas pesan ibu biarlah nanti saja saat pulang kerja didiskusikan kembali.
***
Sesampainya di kantor aku lekas menuju ruanganku yang berada di lantai tujuh, jika melihat penampilanku orang tidak akan mengira jika aku bekerja di daerah Kuningan karena memang gaya berpakaian ku yang sangat biasa-biasa saja tak seperti pekerja lainnya.
Lobi kantor hari ini cukup ramai semua pekerja sudah sibuk lalu lalang menuju ruangan masing-masing. Beberapa ada yang menuju cafetaria untuk sarapan terlebih dahulu, beberapa ada yang menunggu temannya, sedangkan sisanya langsung menuju ruang kerja. Aku termasuk dalam golongan yang langsung menuju meja kerjaku.
Dua tahun bekerja di sini tidak membuatku mempunyai cukup banyak teman, aku hanya memiliki beberapa teman saja itupun yang satu divisi denganku. Tak ada teman dekat baik laki-laki maupun perempuan. Bagiku teman dekat di area kerja itu tidak ada hubungan kami hanya sebatas rekan kerja. Tak ada niat untuk membuka diri untuk saling bercerita kehidupan pribadi.
Kami beda kasta hinga saat aku ingin bercerita tentang kehidupanku dan kesulitanku mereka tidak akan paham. Jika dilihat dari segi nominal gaji, rata-rata gaji kami sama untuk ukuran satu divisi. Bedanya dengan gaji yang sama teman-teman kerjaku sudah mampu membeli beberapa aset berharga dan dapat memenuhi kebutuhannya dengan sangat layak.
Sedangkan aku?, aku masih terbelit dalam lingkaran sandwich generation. Semoga Allah mengangkat derajatku dikemudian hari.
Siang itu hujan turun begitu sangat lebatnya, tampak dari kaca ruang kerjaku air mengalir dengan sangat derasnya dari langit. Aku berada di ruangan yang sangat nyaman, meski hujan turun begitu lebatnya tidak ada tetesan air yang jatuh mengenai tubuhku. Tak ada kedinginan yang kurasa kecuali dari faktor Ac dalam ruangan. Aku hanya bisa merasakan indahnya air hujan yang menari-nari di balik kaca.
Aku merenung sejenak mengingat ibu.
Bagaimana keadaan rumah di desa kalau hujan angin seperti ini? Apakah ibu dan ipul bisa merasakan indahnya hujan seperti yang kurasakan? Atau bahkan ibu akan ketakutan jika hujan datang karena kondisi genting yang banyak bocornya.
Aku kembali meraih ponselku membuka pesan wa yang ada dan mengirimkan pesan pada ibu.
“Bu lagi apa sekarang?”.
Tak ada jawaban dari pesan yang aku kirim bahkan hanya centang satu.
“Ah mungkin ibu sedang repot”. Gumamku dalam hati lantas kembali melanjutkan pekerjaan.
Seperti biasanya aku akan di sibukkan dengan berbagai macam riset yang dilakukan perusahaan. Kami di tuntut untuk membuat suatu produk pengembangan produk yang diinginkan pasar saat ini. Tak jarang di suatu kesempatan aku dan tim harus turun langsung ke lapangan untuk melihat kondisi pasar sebelum melakukan riset lebih mendalam.
Hampir menuju sore pekerjaan mulai sedikit berkurang, aku kembali membuka pesan rupanya ada panggilan masuk dari ibu dan beberapa pesan masuk di sana. Belum sempat aku membuka pesan ponselku kembali berdering.
Drift...drift...drift....
Getaran ponsel di atas meja membuatku menghentikan jari-jari yang sibuk mengetik keyboard komputer di atas meja. Aku meraih ponsel dan membaca sebuah pesan Wa di sana.
Wajahku mendadak berubah begitu terkejut saat membaca pesan tersebut.
Aku mencoba melakukan panggilan telfon ingin memastikan apakah yang ku baca benar adanya.
“Bu apa benar yang dikatakan paklek jika mbah sakit?”.
“Iya Tar benar mbah sakit, asmanya kabuh sejak tadi pagi selain mbah juga batuk-batuk terus”.
“Lekas bawa ke rumah sakit bu”, jawabku pada ibu.
“Bagaimana bisa ibu membawa mbah ke rumah sakit sedang ibu sudah tidak punya uang sama sekali, uang yang kamu kirim setiap bulannya hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan sebulan saja, belum lagi kemarin ada hajatan tetangga kamu belum mengganti uang itu”.
Aku menghela nafas panjang mencoba menghirup udara sebanyak yang aku bisa, entah mengapa ruangan kerja menjadi begitu pengap dan sesak meski ada Ac.
“Paklek dan pakde bagaimana bu? Apakah mereka semua tidak ada uang?”.
“Tidak ada Yu pakde dan paklek baru saja membayar sekolah anak-anak mereka, lagian mereka mana ada yang peduli dengan mbahmu”.
“Ya sudah bu lekas bawa mbah ke rumah sakit saja dulu, biar Tari kirimkan uang setelah ini”.
“Benarkah nak?”.
“Iya bu, lekas bawa mbah berobat kasian, minta tolong sama paklek atau pakde untuk mengantarkan”.
Ibu lekas menutup sambungan telfonnya, selain ibu dan saiful aku juga harus menanggung mbahku yang turut serta tinggal bersama dengan ibu di rumah peninggalan bapak.
Ya sejak sudah tidak mampu bekerja lagi dan jatuh miskin mbah kembali ke rumah, tidak ada satupun dari anak-anak mereka yang menerima kehadirannya.
Lucunya aku harus menjadi sandwich generation yang menanggung hidupnya, bukan karena bapakku bangkrut atau sudah pensiun, aku menjadi sandwich generation karena mbahku gelar selingkuh dan berfoya-foya saat masa mudanya. Bapak dan ibu harus menutup semua hutang-hutang itu hingga bapak tiada, beberapa hutang yang belum terlunasi masuk menjadi tanggung jawabku.
Dahulu mbahku tergolong orang yang lumayan berada di desa. Karena sebuah perselingkuhan membuat kehidupan mbah berubah drastis.
Tidak kaleng-kaleng menurut beberapa cerita yang aku dengar dari beberapa saudara, mbah membelikan selingkuhannya rumah, membiayai hidupnya hingga membawa jalan-jalan ke beberapa kota yang ada di Indonesia. Selain itu mbah juga memberikan sebagian besar sawahnya pada selingkuhannya itu.
Ujung-ujungnya klasik saat mbah sudah miskin, mbah kembali pulang pada sanak keluarganya, hanya dengan membawa baju dan badan saja sudah di buang selingkuhannya karena tidak punya uang. Badan yang dibawa pulang pun sudah tidak lagi sehat.
Pulang ke rumah memohon-mohon pada anaknya meminta untuk di urus, tentunya dengan membawa agama dan beberapa ayat-ayat bahwa betapa durhakanya seorang anak jika tidak mau mengurus bapaknya.
Sayangnya semua anak-anaknya sudah tidak peduli dengan hal itu, kecuali ibuku.
Sedang saat ini ibuku sediri juga sudah tidak bekerja.
Bagaimana aku menjalani hidup ini?
Empat hari berlalu sejak mbah di bawa ke rumah sakit, sedikit ada perubahan kesehatan mbah, asma mbah mulai berkurang bahkan berangsur menghilang. Sayangnya tidak dengan penyakit yang lain. Mbah di diagnosa dokter menderita struk karena faktor gaya hidup tempo dulu selain itu usia mbah juga yang memang sudah sepuh.
Drift...draft...draft....
Hari ini hari minggu, aku sengaja bangun lebih siang dari biasanya ingin menikmati hari liburku, meski tidak ada niat untuk jalan-jalan menghirup udara segar di luar.
Aku meraih ponsel yang berada di atas nakas kamarku. Masih dengan orang yang sama menghubungiku untuk kesekian kalinya setiap hari tanpa jeda, entah itu merupakan wujud rasa khawatir atau apa aku terkadang tidak bisa mengartikannya.
“Assalamualaikum bu ada apa?”.
“Wassalamu'alaikum Tar, kamu di mana?”.
“Aku masih di kamar buk”.
“Loh tidak masuk kerja?”.
“Hari ini kan hari libur bu”.
“Bukannya kamu lembur kalau hari minggu?”.
“Aku ijin libur bu tidak ikut lembur dulu”.
“Kenapa harus libur jika ada kesempatan untuk lembur? Kan sayang sekali. Bukannya kalau masuk di hari libur itu gajinya naik tiga kali lipat dari hari biasanya ya?. Mumpung masih muda harusnya kamu jangan malas-malas dong biar lekas bisa benerin genting rumah ibu. Biaya rumah sakit mbah juga kurang Tar.”.
“Aku tidak mengambil lembur ingin istirahat sebentar bu, lelah sekali setiap hari pulang malam”. Tuturku dengan nada memelas.
“Bu untuk sementara waktu fokus dulu saja ya pada kesehatan mbah, doain Tari bisa dapat rezeki lebih biar masalah genting lekas terselesaikan”.
“Makanya kamu yang rajin kerjanya, ibu harus minta ke siapa lagi kalau tidak ke kamu nak?, ibu sudah tidak kuat untuk kerja lagian kalau ibu kerja siapa yang akan merawat mbahmu”.
“Iya bu Tari mengerti, ibu jangan capek-capek ya”.
“Oh ya Tar satu lagi, ibu minta untuk saat ini kamu jangan dulu berfikir untuk menikah dulu ya nak, adikmu masih perlu biaya yang cukup besar untuk sekolah selain itu mbah juga sekarang sakit jadi ibu butuh dana lebih besar dari biasanya”.
“Jika kamu menikah siapa lagi yang akan membantu ibu untuk menyekolahkan adikmu serta membiayai pengobatan mbah, kamu tau sendirikan bagaimana sikap saudara-saudara ibu”.
Perkataan ibu sedikit mengusik ketenangan hatiku, aku harus mengubur dalam-dalam keinginan untuk lekas berkeluarga membina rumah tangga seperi orang pada umumnya.
Saat ini usiaku menginjak tiga puluh tahun, meski sampai pada usia tersebut aku belum pernah sama sekali mengenal pacaran atau menjalin hubungan dengan orang, tapi apa salahnya jika aku ingin lekas menikah seperti teman-temanku pada umumnya.
“Ya Allah sampai kapan aku harus seperti ini?”
Meskipun aku tinggal di kota metropolitan yang tidak terlalu mempermasalahkan usia saat menikah, tapi sebagai wanita normal pada umumnya aku ingin menikah dengan usia yang tidak terlalu tua.
Beberapa kali aku mencintai teman atau rekan kerjaku, beberapa kali pula aku harus mengubur impian untuk bersanding dengan salah satu di anatar mereka. Aku tak cukup punya kepercayaan diri ketika berdekatan dengan mereka.
Ah sudahlah nikmati saja yang ada saat ini, mungkin ini bagian wujud dari berbakti dan membalas budi pada orang tua.
“Doakan Tari dapat jodoh yang baik ya bu”. Jawabku pada ibu setelah cukup lama melamun tak menghiraukan ibu.
“Kalau kamu menikah Tar pasti kamu akan sibuk dengan keluargamu sendiri, kamu akan ibuk dengan keperluan suami dan anak-anakmu”.
“Doakan Tari dapat suami sholeh yang kaya raya ya bu”.
Ibu yang berada di sebrang sana hanya tertawa saja.
“Mau cari di mana Tar orang yang kayak gitu?”.
Sebenarnya ibu orang yang biak, hanya saja keadaan yang membuatnya harus bergantung sepenuhnya padaku. Aku tidak bisa menyalahkan ibu, bagaimanapun juga aku tidak akan tega melihat ibu menjadi ART atau buruh tani di sawah orang, sedangkan aku sekarang sudah memiliki gaji yang cukup. Meskipun dari total keseluruhan gaji yang aku terima setiap bulannya tidak lebih dari dua puluh persen yang bisa kunikmati sendiri.
***
Rumah Ibu
Sore itu mbah sudah di perkenankan untuk pulang ke rumah, tidak ada anak yang menjemput mbah sama sekali. Ibu pulang membawa mbah di bantu dengan Ipul dengan menyewa kendaraan tetangga rumah beserta sopirnya.
Biaya rumah sakit selama empat hari di rawat sebesar dua belas juta, semua biaya sepenuhnya aku yang membayar. Tidak ada aset mbah yang dapat di jual untuk saat ini. Hampir seluruh aset yang mbah miliki sudah di atas namakan wanita simpanannya yang konon bernama Jumik.
Sebenarnya mbah masih memiliki beberapa bidang tanah pekarangan dan sawah, hanya saja semua itu harus lewat persetujuan anak-anak mereka yang lain terlebih dahulu ketika ingin menjual aset tersebut.
Sesampainya di rumah ibu dan Ipul mengalami sedikit kesulitan ketika harus memindahkan mbah dan membawanya ke kamar, maklum tenaga wanita tidak terlalu kuat untuk mengangkat tubuh seorang pria,sedangkan ipul memang dia laki-laki tapi masih bisa di katakan anak-anak usianya masih lima belas tahun tubuhnya belum tumbuh dengan sempurna, badannya masih kecil dan sangat kerempeng mungkin karena kita hidup dengan asupan gizi yang tak cukup dulunya.
“Cak cak bantu aku memindahkan bapak”. Panggil ibu pada salah satu kakak tertuanya, yang kebetulan rumah kami bersebelahan.
“Mau di pindah di mana?”. Ucap pakde yang taj beranjak dari tempat duduknya.
“Ya di bawa ke kamar dong cak, masak dibiarkan begitu saja di atas kursi roda”.
“Dari dulu kerjaannya merepotkan orang saja oran tua itu”. Ucap pakde dengan kesal,
“Hus jangan begitu cak, kasian bapak sudah sepuh sudah menjadi kewajiban kita untuk merawat bapak”.
“Merawat? Aku dari kecil tidak pernah di rawat sama bapak, bapak meninggalkan kita untuk bersenang-senang dengan dunianya sendiri”.
“Sudahlah cak yang berlalu biarlah berlalu, sekarang ayo kita sama-sama rawat bapak”.
Pakde bergegas menuju rumahku tanpa berbicara lagi, dengan penuh keterpaksaan pakde mengangkat mbah dan memindahkan ke dalam kamar. Selanjutnya pakde lekas pergi meninggalkan kamar tanpa bosa-basi sedikitpun.
Beberapa hari berlalu sejak mbah pulang ke rumah. Benar apa yang di katakan ibu beberapa waktu yang lalu jika pengeluaran akan membengkak beberapa kali dari biasanya. Aku harus memberikan uang lebih pada ibu untuk biaya diapres dan bubur untuk konsumsi mbah, aku juga harus membayar setiap kali mbah kontrol ke rumah sakit berikut uang transportasinya.
Sejenak aku memegang kepalaku yang mulai terasa berat.
Kalian tau apa aku masih punya tabungan saat ini?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!