Ini adalah sebuah cerita kami sekelompok komunitas penjaga bumi dari Universitas Jendral Sudirman Purwokerto. Tugas kami sudah pasti menjaga dan melindungi bumi agar tetap aman dari hal-hal yang dapat merusak didalamnya. Dan sekarang kami sedang membersihkan sungai Kranji yang ada di Desa Kranji Purwokerto, Jawa tengah.
Sungai ini banyak sekali sampah yang tersebar diberbagai area sungai dan sekarang aku akan memperkenalkan kalian pada teman-temanku yang sedang membersihkan sampah sungai.
Yang sedang merekam disana namanya Budi Utomo. Namanya agak unik ya seperti Pahlawan Nasional. Sifatnya pun seperti pahlawan dan sering menggunakan bahasa gaul jika sedang siaran. Ia berasal dari desa Ajibarang tidak jauh dari daerah asalku.
"Hay guys bertemu lagi dengan si Budi sang pahlawan bumi. Ini sekarang kita lagi ada di kali sing bahasa Indonesia ne sungai..... Engko disit aku takon," ucapnya menghentikan siarannya dulu.
"Heh Lam, jeneng e apa yah sungai iki?(heh Lam namanya apa ya sungai ini?)," tanyanya padaku.
Ya namaku Alam Setiawan. Orang sederhana dari Desa Cikakak, lulusan SMA Negeri Wangon yang mendapat beasiswa di Universitas Jenderal Soedirman. Budi adalah teman pertamaku di Kampus.
"Sungai Kranji Bud." sahutku memberi tahu sambil mengambil sampah dan memasukkannya ke kantong kresek.
"Ya Sungai Kranji di Desa Kranji mestinya," Budi melanjutkan tugasnya merekam kembali.
"Hih Frank, cacing. Jangan diambil ya," ucap gadis berambut panjang memohon pada temannya. Dengan perasaan jijik ia melihati cacing yang akan di ambil oleh temannya.
Cewek dengan rambut panjang terurai itu, yang membuat aura cantiknya keluar. Namanya adalah Clara Puspita sering dipanggil Clara. Dia cewek yang tak suka kotor tapi masih ikut bergabung dan hewan paling ditakutinya adalah cacing. Asal dia dari Brebes.
"Frank aja Frank... FRANKY..." Clara berteriak kenceng gara-gara takut dengan hewan melata itu.
Sedangkan bocah yang iseng kepada Clara namanya adalah Frangky Baskoro dan sering dipanggil Frank. Anak orang kaya yang mau ikut kotoran-kotoran bersama kami. Dan ia anak Purwokerto asli. Jahil itu sifat kepribadiannya.
"Heh Frank, ko ya udah tahu si Clara wedi, takut masih wae di weden wedeni tak geplak ko (heh Frank, kamu ya udah tau si Clara takut masih aja kamu takut-takuti tak pukul kamu)," bela teman Clara sambil memarahinya.
Ya teman Clara itu namanya Sinta Permatasari dia satu kota dengannya tapi beda kecamatan. Dan teman setianya si Clara. Cewek pemberani yang sering di kuncir satu ini berbeda sifat dengan si Clara. Ia bahkan tak takut dengan hewan apapun.
"Hi serem. Iya aku buang," ucap si Frank nurut.
"Weh cepetan bersihin malah asyik main," teriak seseorang.
Suara keluar dari atas jembatan. Ya itu adalah senior kami disekolah plus ketua komunitas ini. Namanya Kris Mardiana dan sering dipanggil Abang Kris oleh kami. Ia datang mengecek kegiatan kami sehabis dirinya berbicara dengan ketua RT. Bang Kris orangnya tegas dan sedikit menakutkan. Tapi walau begitu kami selalu menghormatinya dan kadang bercanda dengannya. Lupa aku! Bang Kris ini asalnya dari Yogyakarta serta orang yang mendirikan komunitas penjaga bumi ini ya.
"Iya Bang," sahutku.
"Weh udah. Lanjut na, Bang Kris wis ngomel-ngomel (Weh udah. Lanjutkan Bang Kris sudah marah-marah)," kataku menyuruh teman-teman.
"Iya Lam aku dah selesai sampahnya banyak banget yoh," lapor Franky padaku.
"Nah maka dari itu, kita harus jaga alam yoh Lam," ucap Sinta padaku.
"Bener Sin," kataku mengiyakan.
"Lam tadi si Frank nakal," adu Clara padaku sambil berteriak.
"Tapi tenang udah di geplak sinta," teriaknya memberi tahu.
Budi juga menghentikan siarannya.
"Sampai disini jumpa lagi," ucapnya mengakhiri siarannya.
"Weh....." Suara orang entah darimana mengangetkan kami kembali. Aku dan lainnya menengok ke sumber suara. Terlihat ada dua orang sedang berjalan mendatangi kami. Berhenti dulu lanjut di episode berikutnya nanti.
Ok itulah perkenalan sekilas tentang kami. Dan sekarang cerita awal kami bertemu dan bertaman dan juga penyebab ku masuk ke komunitas ini.
Lets Begins.... (Halah sok Inggris)
...🌿🌿🌿🌿🌿🌿...
'SELAMAT DATANG MAHASISWA BARU DI UNIVERSITAS JENDERAL SUDIRMAN PURWOKERTO TAHUN AJARAN 2022
Soedirman Student Summit 2022 '
Papan nama besar menyambut ku dan seluruh mahasiswa baru di pintu masuk kampus.
Aku berlari dengan cepat untuk mengikuti OSPEK pertama kuliah. Seperti dikatakan diawal aku lulusan SMA N Wangon. Alhamdulillah sekali karena aku pintar aku mendapatkan beasiswa untuk sekolah disini.
Tiba-tiba aku menabrak seseorang teman yang sedang mundur-mundur sambil ng vlog.
"Aduh kepriwe sih (aduh gimana sih?)," omelnya marah padaku.
"Maaf maaf ra sengaja (maaf maaf tak sengaja)," kataku sambil merapatkan kedua tanganku.
"Iya iya lagian buru-buru banget," ucapnya memaafkan ku sambil menurunkan tongsis ya.
"Lah kok disini mbok kumpul ning halaman (lah kok disini kan kumpul di halaman)," aku kaget sadar kalau teman itu juga mahasiswa baru.
"Lah aku kelalen (aku lupa)," celetuknya sambil menepuk dahinya.
"Hayu bareng," ajak ku.
"Iya iya jeneng mu sapa? Kenalan disit (iya iya namamu siapa? Kenalan dulu)," tanyanya menyuruhku berkenalan.
"Jenengku Alam Setiawan celuk wae Alam, (jenengku Alam Setiawan panggil saja Alam)," kataku perkenalkan diri sambil menjabat tangannya.
"Lah jenenge Alam, (lah namanya Alam),". Mahasiswa baru itu terkejut mendengar namaku. "Ra papa kenal na jenengku Budi Utomo, (tak pa kenalkan namaku Budi Utomo)," ucapnya memaafkan ku lalu memperkenalkan dirinya.
Sontak aku juga sedikit tertawa mendengar nama panjangnya.
"Ngapa ngguyu, ana sing salah karo jenengku? (napa ketawa, apa ada yang salah dengan namaku?)," protesnya.
"Oro ora jenengmu unik ya tapi apik koh, (tidak tidak namamu unik ya tapi bagus kok)," jawabku yang masih sedikit tertawa.
"Wis hayu koh. Wis telat mbok, (udah ayolah. Dah telat kan)," ajak si Budi padaku.
Aku dan Budi berlari ke halaman. Untung saja belum dimulai dan masih menunggu sesuatu. Lagipula juga tampak mereka yang sama seperti ku seorang mahasiswa baru masih mengobrol dengan teman disebelahnya.
"Huh untung bae rung keri (huh untung saja belum terlambat)," kataku lega.
"Iya Lam, untung bae. Nyong wis deg degan (iya Lam, untung saja. Aku dah deg-degan)," ucapnya sambil ngos-ngosan.
Aku dan Budi langsung ikut berbaris mengikuti yang lainnya.
"Nungguin apa ya?" tanyaku sedikit heran.
"Katanya lagi nunggu Pak Ganjar," cewek cantik berambut panjang terurai di sebelahku memberi tahu.
"Oalah Pak Gubernur datang toh," kataku mengerti.
Budi melihat kearah cewek itu "Ayu tenan sapa jenenge?(cantik sekali siapa namanya?)," Budi terlihat kagum dengan paras cantik cewek itu hingga menggoda dan bertanya padanya.
"Hush sembarangan takon aran (hush sembarangan tanya nama)," aku menegur Budi dengan senggolan sikuku.
"Tidak apa, namaku Clara Puspita panggil wae Clara. Asalku dari kota Brebes," ucapnya memperkenalkan diri.
"Weh pada karo ku (wih sama kaya ku)," Gadis kuncir satu menimpalinya dari belakang.
"Kamu dari Brebes juga," kata Clara terkejut tak menduganya.
"Iya iya kenalkan jenengku Sinta Permata ora takut karo apapun (iya iya kenalkan namaku Sinta Permata tak takut dengan apapun)," ucapnya memperkenalkan sifatnya yang pemberani sambil menjabat tangan Clara.
"Heh bocah ganteng sing duaan wae sapa jenenge?(heh bocah ganteng yang berduaan saja siapa namanya?)," panggilnya sambil bertanya yang mengarah padaku dan Budi.
"Weh Lam aku di panggil ganteng," kata Budi kegirangan karena panggilannya.
Sambil menjabat tangan Sinta aku memperkenalkan diriku. "Jenengku Alam Setiawan celuk wae Alam (namaku Alam Setiawan panggil saja Alam)," kataku.
"Aku aku Lam," kata Budi padaku tak sabar sambil menyingkirkan diriku.
"Sabar jan (sabar lah)," ucapku sambil geleng-geleng.
"Aku jenengku Budi Utomo, di celuk Budi (aku namaku Budi Utomo, di panggil Budi)," ucapnya tak sabar memperkenalkan diri juga.
Sontak Clara dan Sinta tertawa terbahak-bahak mendengar nama panjangnya.
"Sin namanya lucu ya ," ucap Clara memberi tahu sambil tertawa.
"Heh Bud itu aran dawa mu?(heh Bud itu nama panjang mu?)," tanya Sinta yang juga tertawa terbahak-bahak.
"Lah ngapa pada gemuyu miki si Alam ya gguyu koh kiye maning (lah napa pada ketawa tadi si Alam ya juga ketawa, kok ini lagi)," katanya heran dengan namanya sendiri.
Clara dan Sinta masih saja tertawa sampai terpingkal-pingkal.
Tiba-tiba seseorang mengagetkanku dari belakang Budi sambil tertawa. Entah darimana mana asal cowok itu.
"Lah aran mu kaya pahlawan sekang Surabaya. Keren (lah namamu kaya pahlawan dari Surabaya)," katanya sambil tertawa dan mengacungkan jempolnya.
"Sapa sih ko? melu-melu wae (siapa sih kamu? Ikut-ikutan saja)," tanya Budi sedikit kesal.
"Nyong..? (Aku..?)," ucap mahasiswa tadi menunjuk dirinya.
"Iya," jawab Budi ketus.
"Wis lah nyong kenal na wae namaku Franky Baskoro bocah Purwokerto asli (dah lah aku kenalkan saja namaku Franky Baskoro Anak Purwokerto asli)," ucapnya memperkenalkan dirinya pada kami.
"Ko ko pada sekang ngendi? Nyong pengin ngerti (kalian semua dari mana? Aku mau tau)," tanyanya.
"Tambah arane ya (tambah namanya ya)," pintanya pula.
"Nyong sekang Ajibarang jenengku lah wis ngerti mbok (aku dari Ajibarang namaku lah udah tau kan)," ucap Budi yang tak menyebutkan namanya lagi.
"Nek aku sekang Desa Cikakak Kec Wangon aran ku Alam Setiawan (kalau aku dari Desa Cikakak Kec Wangon namaku Alam Setiawan)," kataku memperkenalkan sambil memberi tahu daerah asalku dan juga namaku.
"Aku ngerti desamu sing akeh ketek e mbok? (aku ngerti desamu yang banyak monyetnya kan?)," tebak si Frank padaku.
"Lah terkenal ya desaku," pikirku tak menyangka kalau desaku terkenal.
"Kuwe cah loro ayu sekang ngendi asale? Karo jenenge sapa?(itu berdua yang cantik dari mana asalnya? Sama namanya siapa?)," tanyanya lagi merujuk pada Clara dan Sinta.
"Aku Clara dari Brebes," jawab Clara memperkenalkan diri.
"Aku Sinta, pada tapi beda kecamatan," timpalnya sambil mengangkat tangannya.
"Oh ya ya salam kenal semoga dadi kanca sing apik kita ya (oh ya ya salam kenal semoga bisa jadi teman yang baik kita ya)," ucap Frank pada kami berempat.
"Heh kae apa Pak Gubernur wis teka (heh itu apa pak Gubernur sudah datang)," ucapku memberi tahu teman-teman.
"Gagian baris maning (cepatan baris lagi)," suruh Franky pada kami.
Aku berbaris didepan Budi. Sedangkan Clara dan Sinta dibarisan sampingku dan di depanku si Frank.
Pak Gubernur Banyumas, Ganjar Pranowo ternyata hadir menjadi pembicara pada rangkaian mahasiswa baru.
“Soedirman Student Summit 2022” Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Selasa, 9 Agustus. Bapak Ganjar disambut ribuan mahasiswa baru Unsoed. Hadir juga Rektor bersama para Wakil Rektor, dan juga Bupati Banyumas.
Dihadapan 5.800 mahasiswa baru, Pak Ganjar mengawali penyampaian materi dengan berdialog dengan mahasiswa baru, yang salah satunya adalah mahasiswa dari Papua. Pak Ganjar pun bercerita ketika ia berkunjung saat PON Papua 2022 dan melihat anak anak papua menyanyi. Seketika ganjar mendaulat beberapa mahasiswa asal papua untuk bernyanyi, dan mereka pun kompak bernyanyi daerahnya.
"Lah ana wong Papua toh jauh ya," bisik Budi padaku dari belakang.
"Iya Bud hayu ikut nyanyi hafal mbok," ajak ku menyuruhnya ikut bernyanyi.
"Iyalah," jawabnya.
Aku dan Budi bersama mahasiswa baru lainnya bernyanyi lagu Yamko Rambe Yamko mengikuti anak-anak asal Papua itu.
Setelah bernyanyi sampai selesai Pak Gubernur mulai memasuki penyampaian materinya, Pak Gubernur menyampaikan "Bahwa kondisi pandemi kemarin, menyebabkan terbatasnya dialog tatap muka. Pandemi membuat kelompok rebahan, tetapi bagi yang kreatif tidak akan pernah merasa dirinya tidak bisa sekolah. "Maka Pandemi sudah memaksa kita semua untuk adaptif," ungkap Gubernur. Dalam situasi seperti kemarin muncul inovasi yang luar biasa, salah satunya zoom yang semua orang menggunakannya."
"Syukur pandemi dah ilang," ucap Budi lega dengan suara pelan.
"Iya Alhamdulillah," timpal ku.
Lebih lanjut Bapak Ganjar menyampaikan bahwa diprediksikan oleh McKinsey, Indonesia akan menjadi negara ekonomi terbesar dunia nomor 7 atau 4, bisa di tahun 2030 atau 2045. "Tantangan untuk menuju tahun 2045 itulah maka anda harus menjadi agent of change / menjadi agen modernisasi / menjadi agen pembangunan," jelasnya.
"Beberapa negara sedang mencari sumber energi baru dari luar planet, dan meriset bisakah planet itu diisi oleh umat manusia. Kalian yang mikir, kalian yang riset, dan dosen-dosen di Unsoed inilah yang akan membantu kalian," ujarnya.
Pada pidato Pak Ganjar juga menyampaikan berbagai prestasi yang diraih oleh mahasiswa Unsoed.
Satu jam berlalu akhirnya upacara penyambutan selesai. Acara OSPEK masih berlanjut hingga tiga hari ke depan dan akan ada banyak kegiatan seru pastinya.
Aku dan Budi diajak ke kantin oleh Frank. Clara dan Sinta juga diajak olehnya.
"Weh meng kantin yuh kesel janggleng ngrasa kencot aku (weh ke kantin yuk lama berdiri aku jadi lapar)," ajaknya sambil memegangi perutnya.
"Iya pada aku (iya aku juga)," ucap Budi yang juga lapar."
"Hayu Lam melu,(ayo Lam ikut)," Budi mengajakku dan aku masih berpikir tentang ikut atau tidak.
"Hayu lah tenang nyong sing bayarin (ayo lah tenang aku yang bayarin)," bujuk si Frank padaku.
"Iya iya aku melu (iya iya aku ikut)," ucap ku mengiyakan ajakannya.
Aku terpaksa setuju. Sebenarnya Alhamdulillah dapet makanan gratisan di hari pertama OSPEK.
"Wih wong sugih tengan (wih orang kaya ternyata)," ucap Sinta kaget.
"Aku karo Clara melu ya (aku sama Clara ikut ya)," pintanya sambil mengajak Clara.
"Ya hayu tenang duitku akeh (ya ayo tenang uangku banyak)," jawab si Frank menyetujuinya sambil memamerkan duitnya.
"Aja sombong (jangan sombong)," kataku memperingatinya.
"Iya lah. Dah hayu," ajak si Frank kembali.
Aku dan teman-teman pergi ke kantin bareng-bareng.
...🍀🍀🍀🍀🍀🍀...
Sore harinya di Kos Kosan Cempaka Purwokerto. Ibuku ternyata masih ada di kos-kosan ku. Aku yang baru pulang langsung menyapa ibuku yang lagi bersiap akan pulang.
"Bu urung bali?(Bu belum pulang?)," tanyaku.
"Durung nak, be kiye rep bali (belum nak, ini baru mau pulang)," jawab Ibuku.
"Wis sholat Ashar?(udah sholat Ashar?)," tanyanya.
"Sampun Bu ning kampus (udah Bu di kampus)," jawabku memberi tahu. Aku sepulang dari kampus memang sudah sholat Ashar berjamaah disana.
Ku perkenalkan pada kalian Ibuku yang cantik jelita namanya Sri Fatmawati panggil wae Bu Sri.
"Bu Sri sampun rampung durung (Bu Sri sudah selesai belum)," teriak Bapak Bapak di depan gerbang kos.
"Sampun sampun (udah udah)," sahut Ibuku.
"Wis ya nak mbok kewengen ibu tak balik sit. Jaga awakmu sing sehat-sehat (ya udah nak takut kemalaman ibu pulang dulu ya. Jaga dirimu yang sehat-sehat)," aku memeluk Ibuku sebelum Ibuku pulang.
"Nggih Bu (iya Bu)," ucapku mengiyakan pesan Ibu. Aku penasaran dengan orang yang memanggil Ibu dan bertanya.
"Lah Ibu balik karo sapa?(eh Ibu pulang sama siapa?)," tanyaku.
"Lah kae mbok Kang Badri (lah itu kan Kang Badri)," jawab Ibuku menunjuk orang yang sedang berdiri menunggu ibu di gerbang.
"Apa iya Bu? Lah deneng dudu Bapak,(Apa iya Bu? kok bukan ayah)," protes ku karena ternyata ibu di jemput Kang Badri tetanggaku.
"Bapamu kae sibuk mancing mbuh siki wis balik pa rung (ayahmu itu sibuk mancing entah tak tau sekarang udah pulang atau belum)," jawab Ibuku sedikit kesal.
"Ya wis lah, kae ana wajik kletik ko bagi na meng tanggamu (ya udah, itu wajik kletik kamu bagiin ke tetangga mu)," pesan Ibuku mengingatkan. Lalu aku mengantar Ibuku sampai depan gerbang.
"Nggih Bu. Ati-ati (iya Bu. hati-hati)," aku melambaikan tangan ke ibuku yang sudah naik motor.
Aku kembali ke dalam dan tak sengaja melihat Budi yang sedang memasukkan barang-barang kedalam kamarnya.
"Bud..." panggilku.
Budi menengok kebelakang dan terkejut melihatku. "Lah kowe ngekos ning kene (lah kamu ngkost disini)," jawabnya.
"Iya aku tes jujug Ibuku balik (iya aku habis ngantar Ibuku pulang)," ucapku.
"Ooh.. heh Lam bisa ngrewangi aku ora,(ooh...heh Lam bisa bantu aku nggak)," pinta si Budi padaku.
"Bisa, aku kon ngapa?(bisa, aku harus apa?)," tanyaku balik.
"Hayu ngrewangi pindah na pot gede kue (ayo bantu pindahkan pot besar itu)," pintanya sambil menunjuk ke sebuah pot besar didepannya.
"Lah masa dewekan ra bisa (masa sendiri nggak bisa)," kataku menyindir.
"Abot koh (berat)," keluhnya.
"Ya ya," ucap ku sambil berjalan menghampiri si Budi.
"Kiye apa?(ini apa?)," tanya ku yang sudah sampai di depan pot yang dimaksud si Budi.
"Iya hayu aku hitung tekan telu angkat ya (iya ayo aku hitung sampai tiga angkat ya)," perintahnya yang sudah memegang sisi pot.
"Siji loro telu,(satu dua tiga)," aku dan Budi mulai mengangkat pot besar tersebut.
"Arep digawa ngendi kiye?(mau dibawa kemana ini?)," tanyaku sambil menjujung pot.
"Selah kana Lam (Taruh situ Lam)," suruhnya. Budi mengerakkan kepalanya merujuk ke sebuah pohon kering didepan.
"Kae deket wit alpukat (itu dekat pohon alpukat)," ucapku memastikan dengan menggerakkan kepalaku yang juga merujuk ke pohon alpukat depan kamar Budi itu.
"Iya iya," jawab si Budi manggut-manggut.
"Huh abote (huh beratnya)," kataku lega setelah meletakkan pot tersebut sambil mengelap keringat ku.
"Berat mbok? Ra percaya (berat kan? Tak percaya)," sindir si Budi padaku.
"Iya abot gara-gara akeh lemah e kiye (iya berat gara-gara banyak tanahnya ini)," jawabku.
"Heh Lam apa kiye wit alpukat?(heh Lam apa ini pohon alpukat?)," Budi bertanya tentang pohon yang tampak tandus itu.
"Lah ko ra ngerti. Mbok iya tengok wit-e garing tapi ana buah-e (lah kamu gak tau. Kan iya lihat pohonnya kering tapi ada buahnya)," ucapku menunjukkan ciri pohonnya.
"Aneh deneng (kok aneh)," kata si Budi heran karena baru tahu.
"Lah genah siap-siap tali gari metu ulere (lah memang iya siap-siap nanti tinggal muncul ulatnya)," ucapku menakutinya.
"Apa iya? Wah bahaya nek meng umah ku (Apa iya? Wah bahaya kalau ke rumahku)," Budi kaget mengetahui kalau pohon alpukat banyak ulatnya dan bisa membahayakan dirinya.
"Ra percaya tunggu wae sih pas waktu ne (tak percaya tunggu saja pas waktunya)," kataku memberi tahu si Budi.
"Saiki gari aku sing minta tolong (sekarang aku yang minta tolong)," ucapku.
"Tulung apa?(tolong apa?)," tanya si Budi.
"Ko mesti seneng (kamu pasti senang)," jawabku.
"Kae dirumah ku ana oleh-oleh kang ibuku sekang desa (itu dirumah ku ada oleh-oleh dari ibuku dari desa)," aku memberi tahu tentang makanan yang Ibu berikan padaku.
"Hayu meng umah bantu mangan (ayo ke rumah bantu makan)," ajak ku ke Budi mengingat pesan ibu untuk berbagi makanannya.
"Wih asyik e ," ucapnya senang.
"Seneng mbok (seneng kan)," sindir ku.
Aku dan Budi pergi berjalan ke kamarku.
"Lah kur jarak rong kamar (ternyata hanya berjarak dua kamar)," katanya terkejut mengetahui letak kamarku.
"Lah iya mbe ngeh (lah iya baru sadar)," ucapku baru tersadar jarak antar kami ternyata cukup dekat.
"Hayu mlebu (ayo masuk)," ajak ku.
"Set, jagong sit aku tak jimot wajik kletik e (tunggu, duduk dulu aku mau ambil wajik kletik nya)," ucapku menyuruh Budi menunggu sementara aku mengambil wajik kletik di dapur dan menaruhnya di piring.
"Iya iya. Kamar mu wis rapi Lam (iya iya. Kamar mu sudah rapi ya Lam)," ucapnya kagum dengan kamarku yang berbeda dengannya.
"Iya ibuku sing ngrapik na (iya Ibuku yang merapikannya)," jawabku.
"Lah asyik. Bapak ku bar nganter ku ya langsung balik ra ngrewangi (lah asyik. Ayahku hanya mengantarku lalu langsung balik lagi nggak bantuin)," tuturnya.
"Sabar wae, nah wajik-e (sabar aja, nah wajiknya)," ucapku sambil memberikan makanannya.
"Matursuwun aku cicip ya (makasih aku coba ya)," katanya lalu mengambil sepotong wajik.
"Silahkan. Kurang, esih akeh (silahkan. Kurang, masih banyak)," aku mempersilahkannya.
"Kie panganan kang asalmu?(ini makanan dari daerahmu?)," tanyanya.
"Iya gawea ne Ibuku (iya buatan lbuku)," jawabku.
"Ibumu dagang?" tanyanya lagi.
"Ra, kur asal gawe (tak, hanya asal buat)," jawabku kembali.
"Lah tapi enak," katanya.
"Iya sih. Aku rung jajal soal-e (iya sih. Aku belum coba soalnya)," ucapku yang memang belum sempat mencicipinya.
"Lah piwe sing duwe malah durung manga (lah bagaimana yang punya malah belum makan)," katanya heran denganku. Budi menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Lam lam kebangetan," sindirnya.
"Lah mbok aku mbe balik ya durung jajal (lah kan aku baru pulang ya belum coba)," protes ku.
Lalu aku ikut mengambil sepotong wajik kletik dan memakannya dan ternyata memang enak.
"Wih enak Ibuku pinter gali gawe tengan (wih enak Ibuku pinter ternyata bikinnya)," ucapku kagum dengan wajik kletik buatan ibu.
"Lam kie karo ngopi tali enak (Lam ini kalau sama kopi pasti enak)," ujarnya.
"Iya aku ana kopi (iya aku ada kopi)," jawabku.
"Set tak buatkan sekalian (tunggu aku buatkan sekalian)," kataku lalu beranjak untuk membuatkan kopi di dapur.
"Kesuwun Lam ko memang kanca apik (makasih Lam kamu memang teman baik)," ucapnya.
Aku membuat dua kopi kapal api satu buat ku yang satunya buat si Budi. Kopi sudah jadi aku membawa kopi menggunakan nampan dari rumah.
"Nah batir mangan wis teka (nah teman makan sudah datang)," kataku sambil membawa dua kopi diatas nampan.
Aku dan Budi memulai menyeruput kopi sambil memakan makanan buatan ibuku. Tak terasa kami mengobrol sampai magrib.
"Hayu meng Mesjid (ayo ke Masjid)," ajak ku.
"Hayu tapi aku rep balik sit jimot sarung (ayo tapi aku mau pulang dulu ambil sarung)," ucapnya setuju sambil meminta izinku untuk pulang terlebih dahulu.
"Iya iya," jawabku mengiyakan.
Budi pulang mengambil sarungnya sedangkan aku menunggunya di luar. Kami berdua pergi ke masjid bersama yang tak jauh dari kos kosan.
Sesampainya di masjid, kami menunaikan ibadah sholat Maghrib dan Isya berjamaah. Sekitar pukul 8 malam kami baru pulang dan sampai di kos-kosan.
"Aku disitan ya Lam. Kesuwun panganane. Oh ya nek Ibumu meng ngrene tulung omong na kon gawa maning ya (aku duluan ya Lam. makasih makanannya. Oh ya kalau ibumu kesini bilangin supaya bawa lagi ya)," pamitnya sambil meminta maaf dan meminta ku mengatakan pada Ibuku untuk membawa wajik kletik nya lagi.
"Ok siap aku balik sit ( ok siap aku pulang dulu)," ucapku setuju lalu pamit balik ke kamar.
"Ok lah ngesuk mangkat bareng ya (ok lah besok berangkat bareng ya)," ajak si Budi padaku.
"Siaplah," jawabku sambil mengacungkan jempolku.
Sekarang aku sudah berada dikamar dan bersiap untuk tidur dan sudah membersihkan sisa makanan dan minumannya. Sebelum tidur aku mau telepon dulu ke Ibu ku. Aku mencet nomor Ibuku, ditunggu sebentar telepon sudah tersambung. Aku mulai berbicara dengan Ibuku di telepon.
"Assalamualaikum Bu," sapaku di telepon.
"Waalaikum salam ana apa nak? (Waalaikum salam ada apa nak?)," jawab Ibuku yang langsung bertanya. Ibu ku yang tadinya sudah mau tidur jadi kebangun gara-gara telepon dari ku.
"Ora ana apa-apa. Alam ku rep ngucap na matursuwun sanget wis kesel-kesel gawek na wajik kletik nggo Alam (tidak ada apa-apa. Alam cuma mau bilang makasih sama ibu sudah capek-capek buatin wajik kletik untuk Alam)," ucapku.
"Iya Lam, ibu malah seneng. Kepriwe enak ra gawean ibumu iki?(iya Lam, ibu malah senang. Bagaimana enak tidak buatan ibumu ini?)," tanyanya padaku.
"Wih enak tenan Bu, nyampe kanca ku kurang (wih enak banget Bu, sampai temenku kurang)," jawabku membanggakan Ibuku.
"Iya alah aku kudu gawe maning kiye,(iya alah aku harus bikin lagi ini)," batin Ibuku senang tahu kalau buatannya disukai.
"Ko wis duwe kanca Lam?(kamu udah punya temen lam?)," tanyanya lagi.
"Sampun Bu, cah Ajibarang (udah Bu, Anak Ajibarang)," jawabku.
"Lah cedek, kapan-kapan ajak dolan meng umah ya (lah dekat, kapan-kapan ajak main ke rumah ya)," pinta Ibuku.
"Nggih Bu. Bu, nek Ibu tilik Alam maning aja kelalen gawa wajik kletik maning ya (iya Bu. Bu, kalau Ibu kesini lagi tengok Alam, jangan lupa bawa wajik kletik nya lagi ya)," jawabku sambil menyampaikan pesan si Budi.
"Iya ibu bakal gawa sing akeh karo nggo kanca mu (iya bakal Ibu bawa yang banyak untuk temanmu juga)," ucap Ibu seneng.
"Oh ya miki Kang Badri jujug pit mu tapi kowe ra nang ngumah (oh ya tadi kang Badri ngantar sepedamu tapi kamu ya nggak ada)," ucap Ibuku lagi memberi tahu bahwa sepedaku sudah diantarkan olehnya.
"Iya miki aku nu lagi nang masjid bu, ngomong suwun ya meng Kang Badri,(iya aku tadi lagi di masjid bilangin makasih ya ke Kang Badri)," jawabku sambil menyuruh Ibuku untuk menyampaikan terimakasih kepadanya.
"Iya tak omong na mengko, wis ibu tutup sit, rep turu. Kowe cepet turu aja kewengen (iya tak sampaikan nanti, dah Ibu mau tidur. Kamu cepat tidur jangan kemalaman)," Ibuku mengakhiri percakapannya denganku sambil memberi pesan.
"Nggih Bu, sepisan maning matursuwun. Wassalamu'alaikum (iya Bu sekali lagi makasih. Wassalamu'alaikum)," ucapku mengakhiri pembicaraanku juga.
"Nggih nggih. Waalaikum salam (iya iya. Waalaikum salam)," jawab Ibuku. Ibuku lanjut tidur lagi.
Aku juga membaringkan badanku untuk tidur. Ini hariku, pertamaku masuk kuliah lalu ketemu teman baru ditambah ada yang satu kos dengan ku. Senengnya hatiku. Sekarang aku tinggal tidur menunggu esok datang.
Bersambung.........🍁🍁🍁
Pagi harinya di Purwokerto yang cerah tanpa awan mendung. Aku sudah berada di depan kamar kos-kosan Budi dengan ditemani teman setia ku dari SMA. Teman setia ku itu namanya Onel, sebuah sepeda gunung berwarna hitam putih dengan lonceng disamping sisi setang. Aku membunyikan bel ku untuk memanggil Budi.
"Kring... kring.... kring". Aku membunyikan lonceng sepeda sebanyak tiga kali.
"Bud jere rep bareng (Bud katanya mau bareng)," teriak ku memanggil.
Sesuai kesepakatan tadi malam aku dan Budi akan berangkat bareng ke kampus.
"Iya iya Lam.... enteni dela (iya iya Lam....tunggu sebentar), sahutnya dari dalam kamar.
"Okkkk...," teriakku kembali. Karena aku bosan menunggu Budi yang tak keluar keluar, aku iseng memainkan lonceng sepedaku sambil bernyanyi sedikit.
'Kring Kring Kring ada sepeda.....
Hayu Budi mangkat.....'
'Kring kring bareng Onel
Mangkat jadi semangat'
(Lagunya aneh kan hihihi)
Aku bahkan sampai tertawa sendiri mendengar suaraku.
Tiba-tiba tetangga Budi keluar dari kamarnya dan mendengar ku bernyanyi. Tetangga Budi seorang wanita yang lebih tua dari ku. Dan kebetulan aku mengenalnya. Dia adalah Mba Tari kakak kelasku dua tahun disekolah SMA. Dan Mba Tari juga yang memperkenalkan kos-kosan ini pada ku. Mba Tari bahkan tertawa mendengar ku yang sedang bernyanyi.
"Lam... arep mangkat pa?(Lam... mau berangkat apa?)," panggilnya sambil bertanya padaku.
"Iya Mba, Mba juga?". Seketika aku menghentikan nyanyian ku yang aneh ini dan menanyakan hal yang sama padanya.
"Iya, Mba rep mangkat kerja (iya, Kak mau berangkat kerja)," jawabnya.
"Lagi nunggu sapa Lam?(lagi nunggu siapa Lam?)," tanyanya lagi.
"Kanca ku Mba,(temanku Kak)," jawabku.
"Oh, ya wis Mba disitan Lam (oh, ya sudah Kakak duluan Lam)," pamitnya padaku.
"Lam, suara mu lucu," ledek Mba Tari padaku lalu berjalan pergi.
Aku hanya nyengir tipis karena malu.
Kemudian Budi datang menghampiriku sambil mengejek ku juga.
"Lam berisik kaya bocah cilik wae (Lam berisik seperti anak kecil aja)," ejeknya.
"Aku bosen ngenteni ko, kesuwen Bud (aku bosen nungguin kamu, lama Bud)," jawabku.
"Iya iya maaf," ucapnya si Budi minta maaf ke aku.
"Eh kae sapa wong ayu maning sih?(eh itu siapa orang cantik lagi ya?)," tanyanya karena melihat Mba Tari yang sedang berjalan sambil memakai baju kerjanya dan rambut di ikat satu.
"Oh kae, Mba Tari kakak kelasku ning SMA (oh itu, Kak Tari Kakak kelasku di SMA)," jawabku memberi tahu.
"Oh......," si Budi manggut-manggut sambil melihat kearah Mba tari
"Eh ko deneng numpak pit endi motormu?(eh kok kamu naik sepeda mana motormu?)," tanyanya kembali padaku.
"Aku ra duwe motor Bud. Numpak pit wae lagipula cedek (aku nggak punya motor Bud. Naik sepeda saja lagipula dekat)," jawabku yang memang tak memiliki motor. Punya motor ya punya tapi miliknya Bapaku.
"Lah lama," protesnya.
"Iya suwe lama, tapi ramah lingkungan," ucapku yang memang tak pernah menaiki sepeda motor karena penuh polusi.
"Iya yah nek nganggo motor udara ne dadi reged ra resik (iya juga kalau pakai motor udara jadi kotor nggak bersih)," katanya mengerti maksud ku.
"Ya deneng mudeng (ya itu tau)," ucapku.
"Ok lah, aku tak jimot pit sit ning kamarku (ok lah, aku mau ambil sepeda dulu di kamarku)," pamit si Budi lalu masuk ke kamarnya mengambil sepeda miliknya.
"Iya cepet ya," suruhku.
Budi tiba-tiba berbalik dan bertanya padaku tentang Onel karena mendengar aku bernyanyi tadi.
"Et aku rep takon Onel sapa ya?(eh aku mau tanya Onel itu siapa?)," tanyanya.
"Pit ku,(sepedaku)," jawabku.
"Pit koh arane Onel ana-ana wae Lam Lam (sepeda kok namanya Onel ada-ada saja Lam Lam)," balasnya sambil berbalik dan berjalan menuju ke kamarnya disertai gelengan kepalanya heran di setiap langkah.
"Salah ya arane Onel (salah ya kalau namanya Onel)," pikirku sambil menggaruk-garuk kepalaku.
"Gagian ya Bud mbok telat maning (cepetan ya Bud, takut telat lagi)," teriakku. Aku tak mau telat seperti hari pertama OSPEK. Ya ini adalah hari kedua ku mengikuti OSPEK di Universitas Jenderal Soedirman.
Aku dan Budi sudah mulai mengayuh sepeda berangkat ke kampus. Jarak kos-kosan dengan kampus memang cukup dekat pakai motor ya lebih cepat tapi membuat bumi kita kotor. Naik angkutan umum ya lebih cepat lagi. Tapi aku kemarin terpaksa menaiki angkot ke kampus karena si Onel sepedaku belum tiba di kos-kosanku.
Universitas Jenderal Soedirman sesuai namanya didepan pintu masuk universitas akan ada sebuah patung pahlawan Jenderal Sudirman sambil menunggangi kudanya. Dan di patung tersebut terdapat tulisan 'Maju Terus Pantang Mundur Tak Kenal Menyerah' seperti ku yang tak menyerah untuk bisa belajar menempuh pendidikan di sini.
...🪴🪴🪴🪴🪴🪴...
Aku dan Budi sampai di wilayah parkir sepeda ternyata banyak mahasiswa lain yang menggunakan sepeda untuk berangkat ke kampus. Aku dan Budi masih mengayuh sepeda menuju kesana. Saat sampai kebetulan sepada aku dan Budi berjejer dan sedang mengobrol dari atas sepeda. Sedangkan dari arah samping ada dua mahasiswa yang sedang melewati tempat parkir. Dan seperti biasa aku hampir menabrak salah satu mahasiswa tersebut.
"Lam awas," ucapnya memberi tahuku.
Aku kembali melihat jalanku dan hampir saja sepedaku menyenggol tubuh seorang mahasiswa yang juga tak melihat jalan karena sibuk melihati isi kertas yang dibawanya. Untung seorang teman wanitanya memperingatinya.
"Awas Kris.....," teriaknya.
Critittttttt..... Aku mengerem sepeda ku dengan kencang, mahasiswa itu pun terkejut dan marah pada kami berdua. Aku juga merasa lega karena tak jadi menabraknya.
"Huh untung ra kena (huh untung nggak kena)," ucapku lega karena tak jadi menabraknya.
"Iya Lam setitik maning (iya Lam sedikit lagi)," ucap si Budi yang juga merasa lega.
"Kebiasaan apa lam nabrak-nabrak?" tanya si Budi padaku mengingat karena diriku selalu menabrak seseorang.
"Hehehe," aku hanya menggaruk-garuk rambutku.
"Heh kamu bisa bawa sepeda tidak," tegur mahasiswa cowok padaku dengan tatapan mengerikan.
"Hampir saja aku tertabrak," ucapnya sedikit marah.
"Maaf aku meleng," kataku meminta maaf padanya.
"Iya lagi pula sing ditabrak sehat ra lecet (iya lagi pula yang ditabrak gak papa)," timpal si Budi.
"Heh aku itu senior mu bicara yang sopan," katanya agak kesal memberi tahu kami bahwa ia adalah senior disini.
Aku langsung meminta maaf kembali teringat karena dia ternyata senior kami.
"Maaf Kak maaf aku tak sengaja," ucapku minta maaf kembali.
"Maaf maaf Kak, aku tak tahu" ucap Budi juga.
"Udah Kris, ayo kita sudah ditunggu oleh Dosen Ali suruh ke halaman," bela mahasiswa cantik dengan suara lembut dibelakangnya sambil mengajaknya pergi.
"Iya aku lupa," celetuknya.
"Heh kalian berdua ingat jangan seperti ini lagi. Cepat sana ke halaman," Kaka Senior memperingati kami berdua sebelum pergi dan menyuruh kami pergi ke halaman juga.
"Iya iya Kak," jawabku.
"Sekali lagi maaf," ucapku kembali meminta maaf padanya.
Kedua mahasiswa itu pergi meninggalkan kami. Aku dan Budi menuntun sepeda ku menuju parkiran. Sambil memarkirkan sepeda Budi berbicara padaku.
"Heh Lam, kae sapa ya sing karo Kaka senior?(heh Lam, itu siapa ya yang sama Kaka Senior?)," tanyanya sambil menuntun sepedanya.
"Emang kenapa?" tanyaku balik.
"Ayu Lam," jawabnya sambil nyengir.
"Hufh" aku menghela nafas panjang lagi-lagi kata itu yang keluar setelah melihat wanita cantik.
"Mbuh lah Bud (gak tau lah Bud)," kataku seakan menyerah padanya.
"Hayu koh cepetan," suruhku yang sudah memarkirkan si Onel yang sudah dikunci pula.
"Iya iya Lam, aku gembok sepeda ku mbok ada yang nyuri soalnya sepeda anyar," katanya sambil pamer.
"Iyalah," ucapku sambil memutar bola mataku.
Sambil berjalan ke halaman Budi terus mengatakan hal yang tak jelas padaku.
"Heh Lam aku seneng bisa nglanjut na sekolah ning kampus kiye (heh Lam aku senang bisa melanjutkan sekolah di kampus ini)," katanya.
"Iya Bud Alhamdulillah, sekolah e apik, gede luas, jurusan ne ya apik apik (iya Bud Alhamdulillah, sekolahnya bagus, besar, luas, jurusannya ya bagus-bagus)," timpal ku sambil membanggakan kampus ku ini.
"Udu kuwe Lam maksudku bocah wadon-e ayu ayu ning kene (bukan itu Lam maksudku ceweknya cantik-cantik disini)," protes Budi pada ku.
"Lah kowe, matamu iku mencicil nek weruh cewek ayu setitik mripatmu wis ra kedip (lah kamu, matamu itu melotot kalau udah lihat cewek cantik sedikit, matamu juga dah gak kedip)," ucapku kembali memberitahu kebiasaannya.
"Iya sih," katanya pura-pura tak tahu.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku karena aneh bisa memiliki teman seperti itu.
Aku dan Budi sekarang sudah berkumpul berbaris seperti kemarin. Dan sudah bertemu dengan teman-temanku yang lain. Si Frank si Clara dan si Sinta yang sudah datang duluan.
"Hey guys," teriak Budi menyambut teman-teman sambil merangkul si Frank.
"Hei! Selamat pagi!," ucapku menyapa teman-teman juga.
"Halah so gaul kowe Bud.. Bud," sindir si Sinta.
"Ya belih leh, aku kan mau jadi tukang ngvlog ya kudu bisa bahasa gaul (ya seterah lah, aku kan mau jadi vlogger ya harus bisa bahasa gaul)," jawabnya.
"Iya lah, sekarep mu wae (iya lah seterah kamu aja)," ucap si Sinta terpaksa mengiyakannya.
"Kanca kanca ku kira-kira saiki kegiatan ne dewek apa ya?(temen-temen ku kira-kira sekarang kegiatannya kita apa ya?)" tanyaku pada temen-temen.
"Mbuh aku be ra ngerti(aku juga gak tau)," jawab si Sinta.
"Nek ora salah ya kita rep latihan nandur wit dean, soale miki pas aku ngelewati halaman belakang lemah ning kana wis digali kaya siap nggo nandur (kalau gak salah kita mau menanam pohon mungkin, soalnya tadi pas aku lewati halaman belakang tanah di sana kaya sudah digali siap buat nanam)," jawab si Clara tak yakin.
"Ya deleng wae mengko (ya lihat saja nanti)," timpal si Frank.
"Heh kae Pak Dosen wis teka baris baris (heh itu Pak Dosen dah datang baris baris)," ucap si Sinta memberi tahu.
Aku dan lainnya kembali berbaris di bawah terik matahari pagi.
Aku dan Budi agak terkejut melihat seorang senior yang kami temui tadi pagi berdiri di baris samping dosen di depan.
"Heh Bud kae senior miki pa? (heh Bud, itu senior tadi kan?)," tanyaku sambil nyenggol tangannya yang berdiri di sampingku sedangkan mataku terus memandangi Kaka-Kaka senior tadi.
"Lah iya, karo mba sing ayu juga (lah iya sama Kaka yang cantik juga)," jawabnya terkejut setelah melihat ke depan.
Pak Dosen memulai pengumumannya.
"Selamat pagi mahasiswa mahasiswa baru kami “Soedirman Student Summit 2022” yang saya cintai," Pak Dosen menyapa seluruh mahasiswa baru dengan suasana senang.
"Selamat pagi Pak!" seru seluruh mahasiswa baru.
Perkenalkan nama saya Pak Ali, Dosen Fakultas MIPA di kampus ini. Salam kenal semuanya," ucapnya memperkenalkan dirinya pada mahasiswa baru.
"Salam kenal Pak Ali!" seru kami semua kembali.
"Untuk acara kegiatan hari ini adalah kita akan belajar cara tentang bagaimana cara menanam pohon yang baik dan benar. Kalian akan dibimbing dan dilatih oleh kedua senior kita yang juga kebetulan ketua dan wakil ketua UKM Pencinta Alam. Mereka adalah Kaka Kris Mardiana dan Kaka Liliana Putri. Untuk itu saja serangkaian kegiatan hari ini Bapak undur diri dan akan Bapak alihkan pembicaraan ini kepada kedua senior kita."
Pak Ali mundur kembali ke tempat dan diganti kan oleh kedua senior kita. Dosen Ali tadi memberikan informasi menyangkut kegiatan OSPEK hari ini dengan jelas.
"Silahkan Mas Kris dan Mba Lili," ucap pak Ali mempersilahkan mereka berdua.
"Baik Pak, Terimakasih," jawab mereka berdua.
Kedua Kaka Senior maju ke tengah untuk memperkenalkan dirinya.
"Selamat pagi junior junior ku," sapa kak Kris menggunakan speaker.
"Selamat pagi kak!," seru kami semua.
"Apa kalian sehat hari ini?" tanya Mba Lili yang juga menggunakan speaker.
"Sehat Kak," jawab kami kompak.
Di barisan mahasiswa aku dan Budi saling berbisik
"Bud di deleng-deleng mereka berdua cocok ya sing siji ganteng sing sijine ayu (Bud di lihat-lihat mereka berdua cocok ya tang satunya ganteng yang satunya cantik)," bisik ku.
"Iya Lam, tapi Kaka senior sing cowok mandan medeni," kata Budi sambil melihat Kaka Senior yang sedang berdiri di depan.
"Halah kowe, kelihatan ne memang galak medeni tapi mungkin ati ne lemah lembut kaya kapas (Halah kamu, kelihatannya memang galak menakutkan tapi mungkin hatinya lemah lembut seperti kapas)," bantahku pelan.
"Perkenalkan nama Kakak, Kris Mardiana panggil saja Kak Kris. Kakak adalah Ketua Komunitas Pencinta Alam atau Penjaga Bumi sama saja lah," ucapnya memperkenalkan pada kami.
"Dan saya Liliana Putri bisa dipanggil Kak Lili atau Kak Putri dan saya wakil ketua Komunitas Pencinta Alam. Saya bersama Kak Kris akan membimbing dan melatih kalian dalam kegiatan ini," ucapnya juga memperkenalkan diri.
"Baik kita mulai acara kegiatan hari ini silahkan kalian bisa lihat kelompok kalian di grup kampus. Terimakasih," ucap Kak Kris memberi tahu pada kami untuk melihat pembagian kelompok di Group Kampus.
"Saya dan Kak Lili akan menunggu kalian di halaman belakang yang sudah kami siapkan. Terimakasih," tambahnya.
Aku dan lainnya mengecek data kelompok di hp masing-masing.
"Lam kita satu kelompok," ucap si Budi seneng.
"Iya Bud," jawabku mengiyakan setelah tahu bahwa aku sekelompok dengannya.
"Kita juga Lam, "ucap si Frank, si Clara dan si Sinta barengan.
"Alhamdulillah kita dadi sekelompok kan anu wis kenal dadi ra canggung (Alhamdulillah kita jadi satu kelompok kan sudah kenal jadi gak canggung)," kataku lega.
"Iya Lam," timpal si Budi.
Lalu Aku dan temen-temen serta mahasiswa baru lainnya pergi menuju ke halaman belakang yang dimaksud kedua Kaka Senior.
...🌱🌱🌱🌱🌱🌱...
Di Halaman Belakang Kampus.
Aku dan teman-teman dan seluruh mahasiswa baru sudah tiba dihalaman belakang. Di halaman belakang cukup luas tapi ternyata belum banyak ditumbuhi pohon, maka dari itu Komunitas Pencinta Alam dan Komunitas Pencinta Tanaman bekerja sama untuk mengadakan kegiatan penanaman pohon bersama. Aku dan temen-temen sudah memilih tempat untuk melakukan tugasnya. Disitu sudah tersedia alat-alat dan bahan untuk menanam seperti sekop, sarung tangan, penyiraman, bibit, dan tentunya pH meter untuk mengukur tanah. Serta beberapa tanah yang sudah digali pula.
"Di sini saja apa temen-temen?" tanyaku.
"Ya kena Lam (ya boleh Lam)," jawab si Sinta menyetujui.
"Eh wis ana kabeh peralatan ne (eh udah ada semua peralatannya)," ucap si Budi kaget melihat beberapa peralatan menanam sudah ada.
"Iya lengkap," timpal si Frank.
"Wis digali juga tinggal nandur tok," kata si Clara juga.
"Iya," timpal ku.
Tiba-tiba suara dari speaker keluar. Itu adalah suara Kak Kris dan Mba Lili.
"PERHATIAN untuk Mahasiswa Baru. Sekarang kita sudah berada dihalaman belakang dan kalian juga sudah memilih tempat untuk menanam. Kami sudah menyiapkan tempat sesuai dengan kualitas tanah dan kebetulan kualitas tanah di sini cukup bagus. Dan kami juga sudah menggali tanah seminggu sebelumnya tujuannya adalah untuk menghilangkan racun di tanah," jelas Kak Kris memberi tahu kami.
"Ok terimakasih kakak cantik," ucap kak Kris sambil memuji mba lili dengan senyumannya.
Mba Lili juga tersenyum balik menerima pujian darinya.
"Kita disini akan belajar cara menanam pohon yang baik baik dan benar. Pohon yang akan kita tanam adalah pohon hias untuk merindang kan area belakang kampus kita ini. Disitu juga kita sudah siapkan alat bahannya sesuai dengan jumlah kelompok kalian," jelasnya.
Aku dan temen-temen hanya manggut-manggut maksud tapi ora. (Lah kepriwe kuwe maksude?) ya setengah ngerti setengah tidak lah itu maksudnya ya.
"Aku dan Mba Lili juga akan ikut menanam untuk memberi pengarahan pada kalian," ucap Kak Kris memberikan informasi lagi.
Ditempat ku berada.
"Alhamdulillah di warahi (Alhamdulillah di ajari)," ucap si Budi yang sudah ketakutan.
"Iya leh mbok salah mengko malah luput piwe,(iya lah takut salah nanti malah gagal gimana)," timpal si Sinta memberi tahu.
"Bener kuwe (benar itu)," si Clara menimpali omongan si Sinta.
"Ok langsung saja kita mulai menanam dan kebetulan Kaka Senior ternyata bukan kami berdua saja yang akan ikut menanam. Tapi anggota-anggota dari komunitas kami juga ikut membantu.
Kami semua mulai menanam pohon di tanah sudah di lubangi sebelumnya. Kami semua juga sudah memakai sarung tangan. Di depan sana juga banyak Kaka Senior yang ikut menanam pohon. Saat kami sedang menggali tanah, kami memiliki keributan sendiri.
"Langka cacing kan?" tanya si Clara memastikan kalau gak ada cacing.
"Kenapa? Takut sih?" tanya si Sinta balik padanya.
"Iya," jawabnya mangut-mangut.
"Langka dean Clar hayu mulai gali (gak ada Clar, ayo mulai gali)," ucapku supaya si Clara tak takut.
"Iya Lam," jawabnya.
Pas banget si Frank lagi jongkok dan akan memulai menanam didepannya ada cacing. Mengingat si Clara takut sama cacing. Seketika ide jahil terlintas di kepalanya. Si Frank diam-diam mengambil cacing dengan sekopnya terus dilempar ke arah Clara. Kehebohan pun terjadi, si Clara teriak sekencang-kencangnya.
"Ahhhhhh cacingggggg," si Clara teriak kenceng banget sampai orang disekitar melihat ke arahnya.
"Kamu kenapa Clar?" tanya si Sinta.
"Bohong lah katanya ga ada cacing itu apa, caciingg," jawabnya sambil mundur-mundur.
"Kepriwe yah Clar, jenenge lemah ya ana cacinge (bagaimana ya Clar, namanya juga tanah pasti ada cacingnya)," ujarku memberi tahu.
Si Frank ketawa terbahak-bahak melihat si Clara yang ketakutan.
"Awas ko Frank hih buanglah," si Clara mulai kesuh.
"Aja leh nek dibuang engko lemahe ra sehat,(jangan lah nanti kalau dibuang tanahnya gak subur)," bantahnya.
"Nah terus," si Clara masih ketakutan sambil menggerakkan tubuhnya merasa jijik melihat cacing yang menggeliat liat di tanah.
"Kiye ana maning Clar (ini ada lagi Clar)," si Budi ikut-ikutan perlihatkan satu cacing lagi pada si Clara.
"Ih Bud, aja melu-melu (ih Bud, jangan ikut-ikutan)," tegur si Sinta padanya.
"Gyeh Clar cacing e gede mesti lemahe subur iki,(ini Clar cacingnya besar pasti tanahnya subur)," ucapnya sambil memperlihatkan cacing yang sedang menggeliat di sekopnya.
Kelompok kami ribut terus sampai terdengar ke telinga Kak Kris dan Mba Lili.
"Kris di kelompok sana ada apa?" tanyanya.
"Tak tahu Li coba aku cek ya, kamu melanjutkan sendiri dulu," jawab Kak Kris sambil berdiri.
"Baik Kris," ucapnya sambil mengangguk.
Kak Kris melepaskan sarung tangannya dan berjalan kearah tempat aku dan teman-teman berada.
"ADA APA INi? KENAPA KALIAN RIBUT?" tanyanya dengan meninggikan suaranya.
Kami semua seketika langsung menghentikan aktivitasnya.
"Nggak kak cuma ini si Clara takut sama cacing," jawabku.
"Kalian ini, cuma gara-gara cacing bikin keributan heboh ganggu tahu," marahnya.
"Kak maaf aja galak-galak napa?", si Budi bermaksud menyuruh kak Kris supaya berkata halus.
"Kalian bilang Kaka galak," Kak Kris menahan emosinya.
"Huh" Kak Kris menghela nafas terlebih dahulu sebelum berbicara kembali.
"Kaka cuma menegur kalian," ucapnya yang sudah mulai pelan.
"Bagi.... siapa kamu?" Kak Kris berhenti berbicara dan bertanya pada si Clara karena tak tahu namanya.
"Clara Kak," jawabnya cepat.
"Iya bagi Clara kamu lanjutkan saja dan jangan teriak-teriak," ucapnya menasehati.
"Ya Kak maaf," si Clara minta maaf sambil membungkukkan badannya.
"Sudahlah kalian lanjutkan lagi jangan bikin keributan lagi," Kak Kris mengakhiri keributan yang kami buat.
"Iya Kak, sekali lagi kami minta maaf," aku mewakili temen-temen minta maaf padanya.
Kak Kris kembali ke depan sedangkan kami melanjutkan menanam pohonnya kembali.
"Clar kenapa kamu taku cacing?" tanya si Sinta penasaran.
"Cacing kan bentuknya polos, terus uget- uget ning tanah... hih lah pokoke aku jijik wae lah," jawabnya sambil merinding sendiri membayangkan bentuk tubuh cacing.
"Oh kaya kuwe (oh begitu)," ucap si Sinta mengerti.
"Wis saiki ra usah takut maning, ana aku sing bakal jaga kamu nek cah loro kuwe jahil maning (ya sudah sekarang jangan takut, ada aku yang akan menjagamu kalau dua bocah itu jahil lagi)," tambahnya.
"Iya Sin, makasih" ucap si Clara sambil tersenyum manis.
"Heh Bud, Frank minta maaf karo Clara," si Sinta lalu membentak si Budi dan si Frank supaya minta maaf pada si Clara.
Mereka berdua langsung nurut gara-gara takut sama si Sinta.
"Iya iya maaf ya Clar," ucap si Frank nyesel.
"Iya aku juga maaf ya," ucap si Budi juga.
"Iya aku maafkan tapi jangan ulangi lagi," si Clara akhirnya memaafkan mereka berdua.
"Iya iya," ucap si Budi dan si Frank sambil memberikan tanda peace padanya
"Jahil banget kalian berdua," kata ku sambil menggelengkan kepalaku.
"Wis ra papa cacinge juga nanti melu ke kubur Clar (dah gak papa nanti juga cacingnya ikut ke kubur Clar)," bujuk si Sinta supaya si Clara tak takut kembali.
"Ya wis, saiki dilanjut na. Endi bibit pohon ne? Lemahe dah pas ra kejeron (ya sudah, sekarang dilanjutkan. Mana bibit pohonnya? Tanahnya sudah pas gak kedalaman)," suruhku.
"Pinter pisan sing gali (pintar banget yang menggali)," gumam ku.
Sebelumnya tanah sudah digali sesuai dengan ukuran bola akar ya.
"Ini Lam," si Sinta memberikan bibit pohonnya padaku.
"Makasih Sin," ucapku.
Aku mulai menaruh bibit pohon ke dalam lubang dan diberi tanah kembali sesekali aku mengelap keringatku yang n bercucuran.
"Clar, cacinge ilang mbok wis melu tak kubur ning aku (Clar, cacingnya hilang kan sudah ikut ke kubur olehku)," ucapku memberi tahu si Clara.
"Iya Lam makasih," jawabnya yang malah berterima kasih padaku.
"Nah tinggal penyiraman," ucapku sedikit lega karena sudah hampir selesai
"Frank banyu ne (Frank airnya)," pintaku.
"Ini Lam," si Frank sudah membawa gayung yang berisi air.
"Sor aja langsung akeh setitik setitik (sor, jangan langsung banyak sedikit-sedikit)," suruhku.
"Iya Lam," ucap si Frank nurut.
Si Frank mulai menyiramkan air sedikit demi sedikit pada pohon yang sudah diluruskan oleh ku sebelumnya.
"Alhamdulillah wit e wis ngade (Alhamdulillah pohonnya sudah berdiri)," ucapku lega.
"Iya tinggal ngenteni perkembangannya," timpal si Budi.
"Iya," ucap ku lagi.
"Ok gimana perasaan kalian seneng?" Suara Kak Kris dari depan yang menggunakan speakernya untuk bertanya.
"Senang Kak," jawab seluruh mahasiswa baru.
"Tidak susah kan?," tanyanya lagi.
"Tidak Kak," jawab kami semua kompak.
"Iya Kak," timpal beberapa mahasiswa baru lainnya.
"Baik, Mba Lili akan menjelaskan tentang tujuan kami melakukan penanaman pohon ini." Kak Kris sudah mulai bicara kembali menggunakan speakernya.
"Silahkan Mba Lili," ucapnya sambil memberikan speaker kepadanya.
"Terimakasih Mas ganteng," sekarang giliran Mba Lili yang memuji Kak Kris sambil tersenyum.
Kak Kris juga membalasnya dengan senyuman malu.
(Mengangkat speakernya) "Baiklah, tujuan dari kegiatan ini adalah pertama memberi oksigen untuk bernafas. Daun hijau pada pohon yang melakukan fotosintesis akan sangat bermanfaat bagi manusia," jelasnya.
"Yang kedua membuat lingkungan lebih asri dan segar. Lingkungan yang dikelilingi oleh pohon akan terasa sejuk dan nyaman untuk menenangkan pikiran. Kan banyak tuh tugas kampus yang melelahkan kalian bisa merilekskan diri kalian disini nanti," ucapnya.
Mba Lili menjelaskan semuanya dengan detail.
"Dan juga dapat menjaga kesehatan mental kita ditambah kita bisa mengendalikan suhu. Biasanya kan area yang kekurangan pohon akan cenderung lebih panas. Seperti sekarang iya kan?" jelasnya lagi sambil mengutarakan pertanyaan diakhir kalimat.
"Iya Kak," jawab beberapa mahasiswa baru.
"Bener Kak," jawab beberapa mahasiswa baru lainnya.
"Tapi tenang jika pohon yang kita tanam sudah besar area ini tak akan panas lagi," jelasnya kembali.
"Baik itu adalah beberapa manfaat pentingnya kita menanam pohon," ucap Mba Lili mengakhiri penjelasannya.
"Sekarang sudah mengerti kan?" tanyanya pada kami.
"Sudah Kak!" seru kami semua.
Kak Kris meminta speaker ke Mba Lili mengingat karena masih ada yang kurang menurutnya.
"Maaf Li ada yang kurang," bisiknya memberi tahu.
Mba Lili mengangguk mengerti.
Speaker diambil oleh Kak Kris "Menanam pohon juga dapat mengurangi banjir ya," tambahnya.
"Mengingat jam yang sudah sore kita beberes dan pulang kerumah masing-masing. Terimakasih untuk waktunya hari ini," ucap Kak Kris mengakhiri kegiatan hari ini.
Di tempat kami berada.
"Alhamdulillah wis rampung (Alhamdulillah sudah selesai)," ucap si Budi lega.
"Iya syukur," timpal si Clara yang merasa laga juga.
"Panas e. Balik yuh (gerahnya. Pulang yuk)," keluh si Frank sambil mengelap keringatnya.
"Iya, tapi beres na kiye sit (iya, tapi bereskan ini dulu)," ucapku sebelum kembali untuk pulang dan istirahat.
Aku dan temen-temen sudah selesai membereskan alat menanam pohon sekarang giliran pulang ke rumah dan istirahat. Jangan tinggalkan sampah sebelum pulang. Itulah kegiatan ku hari ini, menanam pohon untuk melindungi bumi.
Bersambung.........🍀🍀🍀
Malam harinya di Kos-Kosan Cempaka.
Jam 20.00 WIB.
Aku dan Budi setelah shalat Isya tidak pulang dulu ke rumah. Kami berdua nongkrong terlebih dahulu di bawah pohon alpukat yang sudah diberikan tempat untuk nongkrong. Aku dan Budi mulai mengobrol tapi sebelum itu harus ada teman yang menemani. Sahabat setia orang ngobrol yang pasti kopi. Aku menyuruh Budi untuk buatkan kopi, gantian sekarang giliran aku yang minta kopi padanya.
"Bud kaya ana sing kurang. Alah iya kopi Bud, kopi (Bud kaya ada yang kurang. Alah iya kopi Bud, kopi)," ujarku sambil menepuk tanganku agar si Budi mengerti maksudku.
"Ko nyuruh nyong gawek na kopi ceritane gentenan kuwe (kamu nyuruh aku buatkan kopi ceritanya gantian gitu)," sindirnya dengan menyeringai tipis padaku.
"Iya Bud, ana kopi mbok?(iya Bud, ada kopi kan?)," ucapku menanyakan kopi padanya.
"Ya ana leh sit tunggu (ya ada lah, nanti tunggu)," jawabnya.
Budi masuk ke dalam kamarnya dan membuatkan kopi untuk kita berdua. Saat Budi membuatkan kopi untuk teman ngobrol. Bu Kos, yang namanya Bu Las kebetulan banget memberikan sepiring gorengan padaku.
"Lam iki Ibu kebetulan gawe gorengan mendoan. Yah nggo batir ngobrol (Lam ini Ibu kebetulan buat gorengan mendo. Yah buat teman ngobrol) ucap Bu Las sambil memberikan sepiring gorengan tempe mendo padaku.
"Alah matur nuwun sanget Bu, ngerti bae Ibu ne iki (aduh makasih banget Bu, tau aja Ibunya ini)," jawabku seneng sambil tersenyum padanya.
"Ya wis Ibu tak balik lagi, nek entek ngomong wae ning warung esih bera (ya udah Ibu mau balik lagi, kalau habis ngomong wae di warung masih banyak)," pamit Bu Las yang berjalan kembali ke warungnya.
Bu Las selain menjalankan bisnis kos-kosan, dia juga berjualan aneka gorengan tak jauh dari tempat tinggalnya yang juga berada di dalam area kos-kosan.
Bu Las kebetulan tadi pulang kerumah dan kebetulan juga melihat ku dengan si Budi yang hendak nongkrong. Jadi, Bu Las kembali ke warungnya untuk mengambil gorengan sepiring dan diberikan kepada kami.
Si Budi sekarang sudah keluar kamar sambil membawa dua gelas kopi. Ia agak terkejut melihat ku yang sedang mencomot satu gorengan dan hendak dimakan.
"Lam kowe olih gorengan sekang ngendi? (Lam kamu dapat gorengan darimana?)," tanyanya terkejut karena mendapati ku sedang memakan selembar tempe mendo.
"Kuwe Bud akeh, Bu Kos sing aweh meng dewek (itu Lam banyak, Bu Kos yang berikan ke kita)," jawabku sambi menunjukkan mataku ke arah sepiring tempe mendo di bangku.
"Alah kebeneran pisan, ana kopi ana gorengan cocok kuwi (Aduh kebetulan sekali, ada kopi ada gorengan cocok itu)," ucapnya senang sambil menaruh dua gelas kopi ke bangku.
Tiba-tiba saat aku dan Budi menyeruput kopi masing-masing, suara motor bobrok berhenti di depan kami.
"Treng eteng eteng eteng.... " suara motor Supra yang sudah bobrok berhenti tepat didepan kami dengan suara yang nyaring.
"Hei Bro," sapanya.
"Kowe (kamu) Frank," ucap si Budi.
Frank kebetulan sudah tahu kalau aku dan Budi satu Kos-Kosan di jalan Sudirman.
"Berisik temen motormu iku, ngebul maning. Polusi ngerti (berisik banget motormu itu, ngebul juga. Polusi tau)," kataku menegur si Frank yang memang motornya membuat bumi kotor.
"Iya iya maaf," ucapnya lalu mematikan mesin motornya.
"Ya kowe jere wong sugih tapi motore bodol (ya kamu katanya orang kaya tapi motornya rusak)," sindir si Budi padanya.
"Lah anane. Aku be nu nyilih motore kakine (lah adanya. Aku juga ini minjem motornya kakek)," jawab si Frank yang terlihat pasrah.
"Walah udu duwe mu (walah bukan punyamu)," ucap si Budi kaget karena menyadari dirinya ternyata salah paham.
"Iya leh duwe ku nu lagi di servis (iya lah punyaku soalnya lagi di servis)," katanya dengan nada sombong.
"Ya wis ngeneh gabung melu ngopi (ya sudah sini gabung ikutan ngopi)," ajak ku padanya.
"Asyiknya," ucap si Frank senang.
Si Frank turun dari motornya dan bergabung bersama kita.
"Lah endi (mana) kopi ne?" tanyanya heran karena melihat hanya ada dua kopi disana.
"Ya sabar leh dadak gawe (bikin)," jawabku sambil menyeruput kopi milikku.
"Set aku gawe siji maning, (tunggu aku buatkan satu lagi)," suruh si Budi sambil beranjak dari duduknya.
Si Budi kembali lagi membuatkan kopi untuk si Frank.
Kita bertiga sudah kumpul kembali dan mulai bercakap mengenai asal muasal nama kita bertiga ini. Bangku lebar dibawah pohon alpukat yang sangat luas disana kita bertiga duduk. Ditambah dengan kopi dan sepiring gorengan pelengkap ngobrol. Candaan malam siap dimulai.
Cerita diawali dengan asal muasal nama si Budi.
"Bud aku arep takon kowe deneng bisa di arani Budi Utomo kuwe kang ngendi? (Bud aku mau tanya kamu kok bisa di namai Budi Utomo itu darimana?)," tanyaku yang memang penasaran dari awal.
"Iya Bud ceritakan nyong penasaran sama jenengmu (namamu) kok bisa arane (namanya) Budi Utomo," timpal si Frank yang juga penasaran sambil mengambil selebar tempe mendo yang hendak dimakan.
"Ya wis tak ceritakan," jawab si Budi menyetujuinya.
"Kaya kiye dulu Ibuku pas hamil aku katanya, Ibu ku itu seneng (suka) nglihatin gambar pahlawan Budi Utomo. Kebetulan banget Ibuku itu wong (orang) Surabaya, karo (sambil) pandangi gambarnya Ibuku sok gumam 'Nak kowe nek lair kudu kaya bapak Budi Utomo ya' ('Nak kamu kalau lahir harus punya sifat kaya Pak Budi Utomo ya'). Lah kebetulan Ibuku nglahirna ku pas tanggal 10 November kaya hari pahlawan. Dah lah Ibuku jadi namai aku Budi Utomo sing simpel karo kon punya sifat kaya pahlawan aslinya. Kaya kuwe ceritane" jelasnya mengakhiri ceritanya sendiri.
"Oh begitu toh, gara-gara Ibumu ngefans sama Bapak Budi Utomo dadi aran mu melu melu begitu," ucap si Frank menyimpulkan sambil mangut-mangut.
"Iya," jawab si Budi sambil menyeruput kopinya.
"Ibumu bener-bener ati pahlawan, ngidam be gambar pahlawan, ngelahirin mu ya butuh perjuangan kaya pahlawan, hebat Ibumu Bud," ucapku sambil membanggakan Ibunya Budi.
"Lah ko piwe Lam, deneng aran mu Alam kaya Semesta wae?(lah kamu gimana Lam, kenapa namamu Alam seperti semesta saja?)," tanya si Budi yang mulai penasaran dengan namaku.
Sekarang giliran aku yang cerita tentang sejarah namaku.
"Ya gara-gara Ibuku pada (sama) kaya ko (kamu) Bud," jawabku sambil menyeruput kopi ku sebelum memulai cerita.
"Ibumu ngefans karo Alam Mbah Dukun dadi melu jenenge Alam kaya kuwe?(Ibumu ngefans sama Alam Mbah Dukun jadi ikut namanya Alam gitu?)," tebak si Frank asal.
Sontak aku hampir saja tersedak kopi ku sendiri "Udu kaya kuwe frank (bukan seperti itu Frank)," ucapku menyangkal tebakannya. Si Budi juga sedikit tertawa mendengar tebakan asalnya itu.
"Dasar si Frank doyan ngasal, ngeringokna disit mulane (dasar si Frank suka asal, dengerin dulu makanya)," omel si Budi padanya.
"Iya iya aku salah, terus piwe (gimana) sebenere Lam?" ucap si Frank sadar terus bertanya kembali.
"Jadi, ceritanya Ibuku itu pas wektu hamil aku Ibuku itu suka main ke sawah karo (sambil) nunggoni (temani) Bapaku macul (nyangkul)," aku memulai ceritaku.
"Lah Ibuku iku suka ngomong 'Anakku semoga nek lair doyan nglestarikna alam, kon seger dihirup kaya saiki, duwe kanca ya kudu setia kawan ya,' (Anakku semoga kalau lahir suka melestarikan alam, supaya seger kata sekarang, punya teman ya harus setia ya') kata Ibuku dulu. Terus Bapaku jawab 'Ya wis nek lair arane Alam Setiawan wae sing artinya Cinta Alam dan Setia Kawan.' ('Ya dah kalau lahir namanya Alam Setiawan saja yang artinya Cinta alam dan Setia Kawan')," jelasku.
"Ibu semaur 'Apik arane, sepakat ya arane kuwi nek anak kita lair, ya Pak,' ('Bagus namanya, sepakat ya namanya itu kalau anak kita lahir') omong Ibuku. Nah makanya saiki aku lahir karo nama Alam Setiawan. Begitu cerita sejarah aran ku," aku mengakhiri ceritaku dengan cerita yang detail di setiap bagian.
"Wah aku baru tau Alam Setiawan ada singkatannya. Apik kuwi Bapak mu pinter gali namai yah," sekarang giliran si Budi yang memuji orang tuaku.
"Iya mantes awakmu sifate apik jaga alam banget iki toh penyebabe," timpal si Frank yang sudah memperhatikanku dari awal bertemu.
"Ya. Apik mbok (Bagus kan)," ucapku membanggakan diriku ini.
"Iya lah iya, kanca (temen) ku yang setia, semoga benar setia kawan ya," jawab si Budi menimpali ucapanku sambil mengangkat alisnya diakhir kata.
"Mesti leh (pasti lah)," jawabku mengiyakan.
Si Frank malah asyik ngopi dan makan gorengan sambil manggut-manggut mendengar ceritaku dan Budi. memang sesekali dirinya menimpali setiap cerita sambil mengunyah gorengan.
"Dah jangan makan mulu siki giliran mu, ngapa namamu Franky kaya wong luar, padahal jere APA?" suruh si Budi kepadanya sambil bertanya tentang kisah namanya juga.
"Bud maksud mu APA kuwi (itu) apa ya?," tanyaku yang rada-rada bingung dengan pertanyaan si Budi.
"Maksude Budi itu, Anak Purwokerto Asli disingkat ya APA," jawab si Frank menjelaskan.
"Alah dadi mumet (aduh jadi pusing)," ucapku yang masih belum mengerti.
"Gak sah mumet mumet dengarkan ceritaku saja," suruhnya padaku.
"Aku kuwi sebenerne ada campuran karo (sama) darah Papua. Masalahe Bapak ku iku asalnya dari Papua. Ya aku juga APA (Anak Papua Asli)," jelasnya diawal cerita.
Aku hanya mendengarkan cerita si Frank sambil mengangguk rambutku karena agak sedikit bingung dengan singkatan 'APA' itu.
"Makanya nyong (aku) namanya Franky Baskoro, Franky dari nama mburi (belakang) Bapakku sing wong Papua terus Baskoro dari jeneng (nama) mburi Ibuku sing wong Purwokerto. Alhamdulillah saiki wong tua ku semua tinggal di Purwokerto. Begitu," jelasnya lagi.
"Oh mantes kowe mandan ireng rai ne,(pantas kamu sedikit hitam mukanya)," canda si Budi padanya.
Sontak aku yang tadi hanya termenung seketika tertawa mendengar perkataan si Budi.
"Sembarangan ireng kaya awakmu putih Bud Bud,(sembarangan hitam kaya kamu putih saja Bud Bud)," sangkalnya sambil menepuk pundak si Budi.
Si Budi hanya terkekeh mendengarnya sedangkan aku hanya ikut-ikutan tertawa walau masih sedikit tak mengerti.
"Gyeh aku sebenare sedikit gak mudeng (maksud) tapi ya di pikir-pikir kowe memang rada ireng mungkin gara-gara keturunan bapakmu sing wong Papua ya," ucapku menyimpulkan.
"Lah Lam ikut-ikutan ngatain aku ireng (item). Ireng ireng kaya gini banyak duite lan senyumku ini manis toh," jawabnya menyombongkan dirinya sendiri.
"Hue hue hue," seketika aku dan si Budi mual-mual mendengar ucapannya yang pede itu.
"Nyong malah dadi (jadi) enek ngelihatnya," kata si Budi yang merasa jijik dengan ucapannya.
"Iya manis darimana ini baru item item manis, kopi," sambil menyeruput kopiku.
"Seger maning (lagi) hehehe," ucapku lagi sambil tertawa.
Si Budi dan si Frank ikut tertawa terbahak-bahak. Kita bertiga jadi tertawa bersama memenuhi suasana malam.
"Jam pira iki ngesuk esih ana jadwal maning mbok?(jam berapa sekarang besok masih ada jadwal lagi kan?)," tanyaku yang terkejut karena melihat hari makin larut saja.
"Lah masih awal baru jam 9 nanti dulu lah," jawab si Budi yang menghasut ku untuk tidak mengakhiri candaan ini
"Tapi kopine entong mbok (kopinya habis kan)," ucapku.
"Lah Lam habis ya bikin lagi, kopi banyak koh" kata si Frank membujuk ku.
"Sini aku siap buat, nanti ngelanjut ngobrol lagi. Ada yang mau ku ceritakan pada kalian," si Budi unjuk tangan sambil memunguti gelas kopi dan ganti yang baru. Si Budi sudah seperti pelayan saja hehehe.
...🍃🍃🍃🍃🍃🍃...
Lanjut Cerita....
Kopi ada, gorengan tinggal separo nanggung kan. Lanjut ngobrol lagi. Mata juga masih seger gara-gara kopi. Lengkap sudah kan.
Si Budi sudah kembali membawa tiga cangkir kopi menggunakan nampan. Si Budi duduk kembali dan langsung mulai pembicaraan.
"Nyong rep takon Mas Kris seneng apa karo Mba Lili? (aku mau tanya Mas Kris naksir apa sama Mba Lili?)," tanyanya seketika yang membuat aku dan si Frank terkejut.
"Alah ko olih gosip kang ngendi Bud?(aduh kamu dapat gosip darimana Bud?)," jawabku tidak percaya.
"Udu gosip, menurutku tok. Perhatikna mau pas kita nandur wit, nyong ngelihat Mas Kris karo Mba Lili pada mesem-mesem dewek. Mas Kris bahkan ra ketok galak pas deketnya Mba Lili," jelasnya mendeskripsikan keadaan.
"Iya yah jangan-jangan ada apa-apa ini," timpalku menebak.
Si Frank yang dari tadi diam mulai berbicara "Tapi nyong gak setuju," ucapnya mengutarakan pendapat yang berbeda.
"Ngapa (kenapa) sih Frank?" tanyaku penasaran dengan jawabannya.
"Nyong sebenere mandan (sedikit) naksir karo Mba Lili," jawabnya sambil mesem-mesem sendiri.
Aku dan Budi yang sedang meminum kopi masing-masing sontak langsung tersedak mendengar pengakuan itu.
"Uhuk uhuk uhuk," aku dan Budi batuk bersamaan.
"Lah ngapa keselek salah pa kalau nyong suka?" tanyanya karena meragukan ku dan si Budi.
"Gak salah sih cuma nyong rasa kaget," jawabku.
"Gyeh Frank aku takut nek Mba Lili kuwe ra nerima ko," ucap si Budi meremehkannya.
"Iya nek ditolak aja sedih ya. Ikhlas na," timpal ku yang malah ikut ikutan meledeknya.
"Halah kata kanca malah gak dukung piye sih. Nyong balik lah kalau begitu," ucapnya marah pada ku dan si Budi sambil beranjak untuk pulang.
"Lah aja kesuh kita hanya canda tok," membujuk si Budi padanya.
"Dah duduk lagi gak usah kesuh. Lihat aja nanti," ucapku yang ikut membujuknya.
"Iya masa Mba Lili gak ngelihat rupaku sing ganteng ini, mesti kesemsem apalagi ditambah senyumanku iki," timpalnya yang membuat kita berdua merasa jijik kembali padanya ditambah dengan membuat senyuman di akhir kata.
"Hih hih pede temen," ucap aku dan si Budi berbarengan.
"Ya belih leh," katanya.
"Lah nyong sih mau pas lagi nandur wit weruh cah bule awake putih banget kaya glepung (aku sih tadi pas lagi nanam pohon lihat bule tubuhnya putih seperti tepung aci)," ucapku memberi tahu pada mereka apa yang baru saja ku lihat tadi pagi.
"Alah kudu kenalan ini," pikir si Budi sambil senyum-senyum.
"Bud wong bule gak doyan cah ndeso kaya mu," canda si Frank sambil mengejeknya.
"Aja (jangan) Bud orangnya jorokan masa sampah aja gak di guang malah di biarkan, malah jadi aku yang buang ke tempatnya" ucapku melarangnya karena tadi sore melihatnya membuang tisu bekas lap keringatnya tak dibuang dan si tinggalkan begitu saja.
"Ya biarlah di berita juga akeh (banyak)," bantahnya.
"Tapi ra teyeng (bisa) jaga kebersihan kamu mau sih," ucap si Frank yang juga menghalangi untuk menyukai bocah bule itu
"Ya jor na nyong sing bakal nglatih kon jaga kebersihan (ya biarkan bakal aku latih supaya bisa jaga kebersihan)," ucapnya tetep kuat pendirian tidak goyah samasekali.
"Dasar ngeyel," ucap si Frank kesal.
"Heh cah sebenarnya itu mah tergantung nasib," ucapku memberi tahu bahwa jodoh itu tergantung nasib diatas.
"Bener Lam bener itu," kata si Budi membenarkan perkataan ku.
...🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂...
Jam 21.30 sudah berlalu tapi kami bertiga masih ada saja bahan omongan yang di bicarakan. Sampai Bu Las pulang kami masih saja nongkrong.
"Bu, sampun tutup pa? (Bu, udah tutup apa?)," tanyaku yang melihat Bu Las yang kembali dengan menenteng keranjang dagangannya.
"Nggih, kowe pada rung rampung gali ngobrol? (iya, kalian semua belum selesai ngobrolnya)," jawabnya berbalik tanya pada kami.
"Urung esih asyik Bu e (belum masih asyik Bu)," jawab si Budi mewakili.
Bu Las menghampiri kami bertiga dan memberikan sekotak makanannya. "Oh.. Yah martabak lewihan," Bu kos kembali memberikan makanannya pada kami.
"Alah gak usah Bu, tapi sering-sering lah hehehe," ucap si Budi yang menerima martabak Bu Kos.
"Dasar kowe, malah ngelunjak," ucap Bu Las geregetan sampai ingin memukul si Budi. Si Budi seketika tersenyum padanya yang membuat dirinya tak jadi memukul.
"Yah habisin" suruhnya menekankan perkataannya karena greget dengan tingkah si Budi.
"Nggih Bu matursuwun (iya Bu makasih)," ucap kami bertiga senang.
"Ya wis Ibu tak balik, aja kewengen (ya sudah Ibu mau pulang, jangan kemalaman)," pamit Bu las sambil berpesan pada kami bertiga.
"Iya Bu siap," jawab kami bertiga sambil memberikan hormat padanya.
Bu Las berjalan pergi meninggalkan kami bertiga untuk pulang ke rumahnya.
"Matur nuwun (terimakasih)," teriakku mengucapkan terimakasih kembali padanya.
Kita bertiga akhirnya tambah semangat untuk ngobrol kembali.
Sekarang aku yang memulai percakapan di candaan malam ini.
"Kalian niat e mau masuk jurusan apa? Nyong tah wingi daftarnya jurusan MIPA," tanyaku karena penasaran dengan jurusan yang diambil oleh kedua temanku ini.
"Pada Lam aku juga," jawab si Budi menimpali.
"Lah samaan lagi, kita bertiga jodoh berteman apa ya?" ujar si Frank yang merasa nasib kita memang dipertemukan.
"Iya si Clara karo (sama) Sinta masuk jurusan apa katanya?" tanyaku yang juga penasaran dengan kedua teman cewek ku.
"Kae cah loro mbuh aku ra ngerti durung takon (itu anak dua tak tau aku belum tanya)," jawab si Frank tak tahu.
"Ternyata murid sing (yang) masuk Unsoed banyak yah," pikir si Budi tiba-tiba.
"Iya sampe wong (orang) luar juga ada," timpalku.
"Ya contoh e bocah bule tadi pagi sing putih," ucapku menambahkan.
"Sekolah hebat ya, gak disangka kita pada bisa sekolah di sana," kata si Frank sambil membanggakan kampus Unsoed.
"Iya bersyukur banget nyong," timpalku lagi.
"Oh ya Bud kata Ibuku aku kon (supaya) ngajak kalian dolan (main) ke rumahku kapan-kapan," ucapku menyampaikan pesan Ibuku padanya.
"Ibumu ngomong kaya kuwi (begitu), jadi gak sabar. Kapan ya?" katanya seneng sambil memikirkan waktu yang pas untuk berkunjung ke rumahku.
"Paling nek (kalau) liburan, aku melu (ikut) ya," usul si Frank menjawab sambil unjuk diri untuk ikut berkunjung ke rumahku.
"Iya ya, tapi ya gak tau engko (nanti)," jawabku.
"Kira-kira ngesuk (besok) kita kegiatan ne ap ya?" aku mengubah topik pembicaraan.
"Mbuh deleng wae sesuk (gak tau lihat saja besok)," jawab si Budi.
"Jam berapa saiki (sekarang)?" tanyaku yang ingat waktu.
"Lah gak kerasa mau jam sewelas (sebelas)," jawab si Budi melihat jam di tangannya.
"Udahan pa dah malem," usulku untuk mengakhiri candaan malam ini.
"Iya lah, dah malem juga. Ya wis aku tak balik (pulang) ya," jawab si Frank sambil berpamitan pulang.
"Nanti dulu sebelum balik aku rep takon (tanya), kowe apa gak wedi (takut) pake motor bodol begitu?", ucapku menghentikan si Frank yang sudah akan menyalakan mesin motornya.
"Wedi karo (takut sama) apa Lam?" tanyanya.
"Polisi leh, kalau kedikep (ketangkap) gimana?," jawabku sambil bertanya lagi.
"Tenang wae aku gak jog (lewat) Prapatan aku lewat e dalan (jalan) setapak," jawabnya kembali.
"Ooo oh ya syukur," ucapku lega.
"Dasar e iki motor cok digawa kaki ku ngalas, (dasarnya ini motor sering di bawa kekek ku ke hutan)," jelasnya lagi.
"Oh kaya kuwe (begitu)," ucapku mengerti.
"Heh nanti malem Minggu main yuh meng (ke) Alun-Alun Pwt," usul si Frank tiba-tiba pada kita berdua
"Ya kena aku rung tau ngambah (ya boleh aku belum pernah ke sana)," jawabku menyetujui.
"Asyik kuwi mesti akeh wong ayu (asyik itu pasti banyak orang cantik)," timpal si Budi seneng.
"Arep (mau) cari jodoh pa?" tanya si Frank padanya.
"Ya mbok menawa ana sing gelem (ya kan kalau ada yang mau)," jawabnya.
"Iya lah Bud," jawabku mengiyakan perkataannya.
"Janji ya, tak samperin mengko (nanti) kalau gak dateng," ucap si Frank memberikan janji pada aku dan si Budi.
"Iya iya," jawab kita berdua menurut sambil mangut-mangut.
"Wis bali sana mbok (takut) kemalaman besok masih ana OSPEK lagi mbok (kan)," suruhku padanya karena hari semakin malam saja.
"Ya dah aku balik. Suwun (makasih) ya ," pamitnya lagi.
"Iya," jawabku dan si Budi berbarengan.
Si Frank mulai menyalakan motor bobroknya yang berisik.
"Treng eteng eteng eteng.....," si Frank menyalakan mesin motornya.
"Dah.... ngesuk maning (besok lagi)," ucapnya sambil mengangkat tangan lalu meluncur ke jalan.
Si Frank pergi dan hanya meninggalkan bekas asap knalpot yang lebat. Sampai aku dan Budi terbatuk-batuk.
"Jan si Frank motore polusi temen (ih si Frank motornya polisi banget)," ucapku heran.
"Iya Lam ngebul kabeh, berisiki tanggane pula (iya lam ngebul semua, bikin berisik tetangga)," timpalnya.
"Deleng rasa martabak iki bisa-bisa berubah rasa dadi rasa knalpot kie (lihat rasa martabak ini bisa-bisa berubah jadi rasa knalpot ini)," canda si Budi lagi.
"Iya Bud hehehe. Wis lah balik dah..(iya Bud hehehe. Dah lah pulang dadah)," pamit ku setelah tertawa sambil mengangkat tanganku.
"Heh Lam deneng balik kiye sapa sing ngrewangi nyong (heh Lam kok pulang ini siapa yang bantuin aku)," ucapnya terkejut karena melihatku sudah pergi berjalan. Si Budi jadi bingung sendiri sekarang.
"Lah aku wis ngantuk, atis dasar e (lah aku sudah ngantuk, dingin juga)," teriakku.
Aku memberikan alasan yang memang diriku sudah ngantuk dan suasana malam yang tampak dingin. Aku juga menaikan sarung yang ku kenakan keatas agar menutupi seluruh tubuhku.
"Jere setia kawan lah iki apa?(katanya setia kawan lah ini apa?)," omelnya sambil berteriak padaku.
"Setia kawanku prei disit, kesuwun Bud. Maaf (setia kawan ku libur dulu, makasih Bud. Maaf)," jawabku yang juga berteriak supaya terdengar olehnya.
"Halah dasar," omelnya lagi mulai kesal.
Si Budi terpaksa membereskan sisa-sisa makanan dan minuman sendirian. Karena jam yang sudah larut, ia jadi merinding sendiri karena suasana sudah berubah sepi. Angin malam juga menyambar dirinya yang sedang membereskan bangku tongkrongan sendirian.
"Hih deneng merinding (hih kok merinding)," gumamnya. Ia dengan cepat membersihkan sisa makanannya lalu langsung masuk kedalam.
Sedangkan aku sekarang sudah berada dikamar ku dan hendak pergi ke kamar mandi untuk bersih-bersih.
"Waregee (Kenyang nyaa)," ucapku sambil berjalan kearah kamar mandi dengan memegangi perutku.
Aku pergi ke kamar mandi bersih-bersih terus tidur. Waktu menunjukkan pukul 23.15 aku mulai tidur untuk hari esok.
Malam yang indah dan mengenyangkan bukan. Candaan malam bersama teman tersayang maksudnya terdekat. Asyiknya tertawa bersama riang tak tertandingi. Ini yang dinamakan perut kenyang hati bahagia.
Bersambung..........🍃🍃🍃
Notice : Ini hanya sekedar selingan cerita ✌️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!