Pagi yang cerah, sinar mentari yang hangat dan berada di tengah keluarga yang begitu mencintaimu. Sungguh situasi yang sangat sempurna untuk memulai pagi apalagi ini hari pertamaku berkantor di perusahaan keluarga.
Aku cucu tunggal di keluarga ini karena papa ku adalah putra semata wayang. Bisa dikatakan hidupku bergelimang dengan kemewahan. Kedua orang tua ku meninggal saat aku berusia satu tahun karena kecelakaan.
Praktis sejak bayi aku diasuh oleh Opa dan Oma. Tapi Tuhan kembali mengambil Oma 10 tahun yang lalu saat aku ingin mempersembahkan piala kemenangan olimpiade sains yang diikuti oleh seluruh pelajar di Indonesia.
Kini hanya Opa satu-satunya keluarga yang aku punya. Aku sudah cukup egois dengan meninggalkan Opa sendiri selama 5 tahun di rumah sebesar ini. Opa begitu menyayangiku hingga membiarkan dirinya yang berkorban kesepian seorang diri disini. Aku ingin menebus waktu yang telah aku sia-siakan selama ini. Kembali pada keluarga ini dan mengambil alih kursi kepemimpinan yang sudah seharusnya aku duduki dari 2 tahun yang lalu.
"Non El kok malah melamun. Masakan bibi tidak enak ya?"
Aku menoleh sembari tersenyum. Tangan keriput bibi Minah di pundakku menyadarkan aku dari lamunan.
"Mana tau enak atau tidak bik, El kan belom nyicip" jawab ku bergurau pada wanita sepuh yang sudah mengabdi pada keluarga ini lebih dari 25 tahun.
"Non harus makan yang banyak. Bibi lihat Non lebih kurus dibanding waktu berangkat ke luar negeri dulu. Kata orang di negri tetangga itu enak Non. Eh ini si Non pulang-pulang kurusan"
"El kurus karena gak ada bibik disana" candaku
"Makanya atuh Non. Pulang. Jangan lama-lama ngambeknya disana"
"Ngambek?" aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan bibik.
"Iya. Kata Tuan Besar begitu. Non ngambek karena Tuan Erlan menunda pernikahan sama Non. Ah si Non mah kan masih muda, kenapa buru-buru mau nikah. Lagian kenapa tidak sama Den Rafli. Ini Non malah sukanya sama papanya Den Rafli"
Deg.
Pernikahan? Om Erlan?
"Wait bik. Siapa yang ngambek? Siapa yang mau nikah sama Om Erlan?"
"Ih Non Elea bikin bibik gemas. Ya Non Elea yang ngambek. Kata Tuan Besar pernikahannya cuma ditunda sampai Non Elea lulus kuliah. Tapi Non tidak mau dan malah kabur ke luar negeri. Kasian Tuan Erlan. Selama Non Elea di luar negeri, hampir setiap hari Tuan Erlan kemari. Kadang juga sampai nginap disini dan maunya tidur di kamar Non Elea"
Aku terdiam. Penjelasan bik Minah ini justru semakin membuat kusut pikiranku. Dering ponsel dari dalam tas ku membuyarkan keinginanku bertanya lebih jauh kepada bik Mirna.
"Halo"
"Sudah siap untuk debut mu hari ini El?"
"Hemm"
"Mau aku jemput?"
"Aku sudah bersiap untuk berangkat sama sopir"
"Ok. See you"
Elea bergegas merapikan barangnya.
"Non gak jadi sarapan?"
"Gak keburu bik. Rafli sudah menungguku. Nanti aku pulang larut malam bik. Jadi gak usah masak buat aku. See you bik"
Bik Minah hanya bisa menggelengkan kepala melihat cucu tunggal majikannya itu berjalan dengan tergesa.
….........
Membutuhkan waktu hampir satu jam dijalan untuk Elea sampai di perusahaan.
"Pak Sandi langsung pulang saja. Nanti saya telepon kalo sudah mau pulang. Mungkin jam 8 malam pak"
"Baik Non"
Elea melangkahkan kaki jenjangnya sembari mengamati lingkungan perusahaan yang lumayan mengalami beberapa perubahan.
"El"
Elea membalikkan badan dan menemukan sahabatnya berdiri disana.
"Makin cantik aja sih ibu negara satu ini" seloroh lelaki tampan berbalut jas mahal yang kini berjalan mendekat dan kemudian memeluk Elea erat.
"I miss you so bad"
"Hemmmm"
"Kenapa sekurus ini? Apa disana tidak ada yang jual nasi goreng abang-abang?"
"Ck.. Pagi ini sudah ada 2 orang yang mengatakan aku kurus. Sangat menyebalkan"
"Kalo aja kamu gak nolak dijenguk, aku pastikan gerobak abang tukang bakso pun akan aku bawakan untukmu"
"Jangan gila Raf. Bisa di deportasi sebelum kamu sampai sana"
"Hahaha"
Keduanya tertawa melepas rindu. Elea memang tidak mau dijenguk siapa pun kecuali sang kakek. Kemarin begitu dia sampai tanah kelahirannya, Elea langsung menemani Opa nya dan pagi ini dia langsung bersiap menjalani perannya sebagai CEO baru di perusahaan yang diwariskan oleh Opa Wirya.
Acara penyambutan dan serah terima jabatan dari CEO sementara yaitu Om Hendra kepadaku berjalan lancar. Om Hendra adalah sahabat karib papa dari kecil hingga mereka sama-sama menikah. Kini saatnya aku menunjukkan kepiawaianku dalam memimpin dan mengkoordinasi setiap lini bagian di perusahaan ini. Aku berbincang ringan dengan Om Hendra sejenak.
"Sekali lagi selamat datang dan selamat berjuang"
"Terima kasih Om"
"Om harap tidak lama lagi kamu segera menikah agar bisa membagi beban diperusahaan ini. Bukan Om meremehkanmu, hanya saja ini perusahaan besar dan kamu butuh sosok yang lebih kuat dan kokoh untuk menopangmu El"
"Elea bisa Om. Dan untuk saat ini, Elea belum berpikir untuk menikah"
"Benarkah? Sungguh kasihan berarti dia karena harus menunggu mu lebih lama lagi. Om kira kepulanganmu juga karena telah menerima pinangannya"
"Pinangan siapa?" tanyaku heran
"Kamu tentu paham siapa yang Om maksud"
Aku menggelengkan kepala dengan cepat.
"Dia memang pernah membuatmu terluka El. Tapi percayalah, dia menyesalinya dan terlambat menyadari hatinya tatkala kamu sudah di negri orang. Jangan lagi membencinya. Maafkanlah dia. Beri dia kesempatan"
"Om sepertinya salah paham. Elea tidak paham siapa orang yang Om maksud. Jadi Elea tidak perlu melakukan saran Om yang begitu banyak tadi"
"Kamu cerdas El. Sangat cerdas. Jadi tidak mungkin kamu tidak paham kemana arah pembicaraan Om. Berkat dia yang menawarkan merger 4 tahun yang lalu, perusahaan Opa mu ini bisa diselamatkan. Saat itu goncangan intern perusahaan membuat banyak lini terhambat dan keuangan perusahaan benar-benar sulit. Perusahaan tetap bisa berjalan tapi Om yakin tidak sampai satu tahun pasti tetap tumbang. Tanpa diminta, dia menawarkan merge"
Aku terhenyak. Perusahaan Opa yang begitu besar ini hampir bangkrut? Kenapa aku tidak mengetahuinya bahkan selama satu bulan kemarin aku mempelajari, tak ku temukan sedikitpun ada penurunan apalagi bangkrut.
"Bacalah laporan keuangan yang ada dimejamu. Om sudah menyuruh sekretaris Om untuk meletakkannya disana"
Aku hanya mengangguk. Begitu banyak hal yang tidak aku ketahui selama aku di negri orang. Aku merasa sangat bersalah kepada Opa yang harus melewati ini seorang diri.
"Om harus segera pergi. Tante mu minta ditemani ke rumah sakit. Om yakin kamu bisa bersikap bijak. Beri dia kesempatan"
Setelah mengucapkan itu, Om Hendra berlalu meninggalkan Elea seorang diri di ruang meeting. Saat tengah sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba seseorang membuka pintu. Kedua orang yang sedang bersitatap merasakan kekagetan satu sama lain.
"Maaf saya kira tidak ada orang. HP saya tertinggal"
Lelaki yang tadi berdiri diambang pintu melangkah masuk dan langsung mengambil ponselnya lalu memasukkan ke dalam saku celananya. Menarik kursi di hadapan Elea.
"Apa kabar El?"
"Baik"
Kecanggungan merayapi kedua insan yang telah lama tak bersua.
"Terima kasih sudah membantu perusahaan ini dan menjaga Opa disaat semua itu harusnya saya yang melakukan"
"Saya?"
"Kenapa? Bukankah kita rekan bisnis? Bukankah memang seharusnya begitu saya membahasakan diri dengan anda?"
Lelaki matang nan tampan dihadapan Elea tertegun, tak menyangka akan mendapati sikap Elea yang begitu dingin.
"Maaf El. Maaf untuk masa lalu yang buruk. Maaf sudah menorehkan luka dan sakit dihatimu"
"Terima kasih karena berkat anda, saya bisa menjadi pribadi hari ini. Kalau saja saat itu anda tidak melakukan itu, pasti hari ini saya tetap menjadi perempuan manja yang taunya hanya meminta uang lalu menghamburkannya. Terima kasih Om Erlan"
"Apa kau ingin melewatkan makan siang dan berakhir di rumah sakit?"
"Hemm"
"Elea"
"Ya Raf"
"Ck..."
Rafli berdiri di samping Elea, mengambil alih keyboard dan mouse kemudian mematikan komputer milik Elea. Menumpuk berkas yang berhamburan di atas meja kerja itu lalu menggenggam jemari Elea untuk bangkit.
"Kita makan siang. Aku tau banyak pekerjaan yang harus kamu selesaikan dan aku hanya minta waktu mu sebentar untuk makan siang. Kita makan di cafetaria karyawan di bawah" putus Rafli.
"Hemm"
"Tinggal di luar negri membuatmu irit bicara?"
"Mungkin"
Rafli menghela napas dengan kasar. Sahabatnya itu sejak mereka bertemu kembali untuk pertama kali setelah lima tahun berpisah kenapa malah seperti ini. Ada sekat yang sengaja dibangun Elea. Ada jarak yang teramat nyata dibentangkan oleh sahabat dari masa SMP nya itu.
"Mulai gila kamu Raf? Senyum-senyum sendiri?"
"Hahaha aku hanya tiba-tiba ingat bagaimana pertama kali kita memjadi teman setelah bermusuhan selama satu semester"
Mereka berdua bernostalgia sembari menuju cafetaria di lantai 3.
"Kita berdua selalu berebut menjadi yang pertama dan semua guru selalu menghampiriku dan mengatakan untuk mengalah padamu" kenang Rafli.
"Dan kau justru semakin berusaha untuk menunjukkan kalo kau lebih hebat dari aku. Akhirnya kepala sekolah memintaku untuk mengalah. Menyebalkan"
"Nyatanya kamu juga sama keras kepalanya denganku"
Elea mengangguk kemudian tersenyum. Cantik. Sangat cantik. Andai Rafli tak mengenal Elea dari masa sekolah dan andai dia tidak harus bersaing dengan papanya sendiri, sudah pasti saat ini juga Rafli akan menyatakan cinta pada Elea. Tanpa sadar Rafli mengusap lembut surai hitam legam milik Elea, membenarkan poni yang sedikit menutupi ekor mata gadis itu.
"Jadi.. beritahu aku sekarang, apa yang membuatmu menjaga jarak denganku?"
"Ak..aku.."
"El, tatap aku. Kalo kamu tidak nyaman dengan keberadaanku dan papa di kantor ini, paling cepat minggu depan kami tidak akan berkantor disini. Apa memori itu masih teramat melukai mu?"
"Aku hanya belum terbiasa Raf. Sudahlah. Ayo kita makan. Tunjukkan dimana cafetarianya, aku sudah lapar"
"Pulang denganku nanti. Kita harus bicara. Aku tidak mau kehilangan kamu lagi, sahabatku"
Rafli memeluk erat tubuh Elea. Bagi Rafli, Elea bukan hanya sahabat, tapi keluarganya. Semoga saja papanya bisa meluluhkan hati batu gadis ini.
"Kita mau berpelukan seperti ini terus dan membiarkan karyawan bergosip dan kita dipecat?" canda Elea.
"Hahaha ayo"
Rafli tak melepas sedetik pun genggamannya pada jemeri lentik Elea hingga mereka sampai di cafetaria. Memesan menu gado-gado kesukaan Elea.
Tak berapa lama pesenan mereka datang tapi kenapa yang datang hanya seporsi gado-gado.
"Kita tadi pesen dua loh mbak, bukan satu" canda Rafli kepada pelayan. Rafli memang sering makan siang disana jadi dia sudah sangat akrab dengan pelayan di cafetaria disana.
"Iya mas, ini gado-gadonya buat mas Rafli lalu ini ayam bakar madunya untuk ibu Elea"
"Tapi tadi saya juga pesan gado-gado mbak" kata Elea
"Emmm itu bu Elea, tadi bapak bilang pesanan ibu diganti ayam bakar madu saja karena ibu belum sarapan dari pagi dan seharian hanya minum air putih"
"Bapak?" tanya Rafli dan Elea serempak kebingungan.
"Iya. Pak Erlan yang pesan lewat interkom tadi"
"Oh oke mbak. Makasih ya" ucap Rafli.
"Aku tukar gado-gado kamu" ucap Elea dengan cepat dan langsung memindahkan piring Rafli kehadapannya.
Rafli hanya bisa senyum-senyum. Cara sang papa benar-benar seperti ABG. Kenapa papanya tidak ikut turun dan makan bersama mereka dari pada mengganti pesanan seperti ini.
Rafli membagi nasinya menjadi dua lalu memindahkan sebagian ke piring Elea.
"Dari pagi kamu belum sarapan. Sayur saja tidak baik untuk perutmu" ucap Rafli segera sebelum menerima protes dari Elea.
"Sejak kapan makan gado-gado pakai nasi?" jawab Elea ketus.
"Sejak papa yang pesan" jawab Rafli enteng.
"Uhuk.. uhuk.."
"Ya ampun El, gitu aja sampai keselek, ini minum dulu" ujar Rafli mengangsurkan segelas air putih hangat untuk Elea.
"Kok hangat?" tanya Elea setelah meneguk beberapa kali.
"Lah kan kamu yang pesen tadi. Kalo aku pesen lemon tea, jadi gak mungkin ketuker sama punyaku. Jangan-jangan papa juga yang pesen. Hahaha"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!