Tahun 2019
“Bagian mana yang kurang menurutmu?” Sang artis itu bertanya.
“Aku pikir semua sudah sesuai, teknik pencahayaan, lokasi, emosi dan penempatan karakter, sudah pas.” Penulis itu menjawab.
Bukunya memang selalu best seller, tapi ini adalah pengalaman pertamanya memasuki dunia perfilman, dia memberi syarat yang cukup berat kepada Produser, jika bukunya ingin difilmkan, maka dia berhak ikut campur dalam proses pembuatan film dan pemilihan pemain.
Kala itu Produser sebenarnya keberatan dengan syarat dari Penulis itu, tapi bukunya begitu bagus dan terjual ribuan eksemplar hanya dalam waktu seminggu, karena begitu banyak penggemarnya.
Tentu membuat Produser merasa kepanasan jika tidak segera memfilmkan ladang uang tersebut. Maka syarat Gadis Penulis itu akhirnya dia penuhi.
“Kau yang meminta Produser dan Sutradara untuk menjadikanku Peran Utama?” Aktor tampan itu bertanya, mereka sedang istirahat dari pengambilan gambar.
“Iya.” Gadis itu menjawab singkat sembari tersenyum, dia sedang berkutik pada artikel tentang teknik pengambilan cahaya pada proses filming, jadi dia tidak terlalu memperhatikan bahwa Aktor tampan itu duduk begitu dekat.
“Kenapa?” Aktor itu bertanya lagi.
“Kenapa apa?” Gadis itu tidak terlalu mendengar apa yang Aktor itu katakan sebenarnya, karena jika sudah fokus, dia tidak bisa melakukan hal lain.
“Kenapa kau memilihku menjadi peran utama?” Aktor itu bertanya dengan santai, tapi entah kenapa pertanyaannya terasa sangat serius di telinga gadis itu, hingga dia akhirnya menutup laptop dan mulai fokus pada pertanyaan Aktor tampan itu.
“Pertama, kau Aktor besar, kedua, kau menjadi besar karena karya, ketiga ….“
“Aku tampan.” Aktor itu memotong perkataannya.
“Tidak, karena wajah dan karaktermu dekat dengan peran utama pada bukuku.”
“Jadi, menurutmu, aku tidak tampan?”
“Maksudku, tidak hanya ketampanan yang menjadi pertimbangannya.” Penulis itu berusaha memberitahu alasan yang benar, bukan yang Aktor itu harapkan.
“Kau sudah tahu gosip tentangku di luar sana?” Aktor itu bertanya lagi.
“Yang mana?”
“Gosip tentangku banyak? tentang itu, yang orang paling banyak percaya, tapi tetap menonton filmku.” Aktor itu enggan menyebutnya, karena jijik.
“Tentang … kau penyuka sesama jenis?” Gadis Penulis itu bertanya dengan hati-hati.
“Kau percaya?”
“Lebih kepada tidak peduli sih, itu urusanmu dan Tuhanmu, aku tidak berhak menghakimi.”
“Ayolah, kasih tahu aku, menurut prespektifmu saja, aku benar-benar ingin tahu.” Aktor itu memaksa.
“Kita tidak sedekat itu, hingga pendapatku penting, bukan?”
“Penting, penting sekali, untukku, penilaianmu yang paling penting.”
“Kita baru bertemu beberapa kali, lalu kau bilang seperti ini? aku jadi tidak percaya dengan gosip itu.”
“Berarti sebelumnya kau percaya dong?” Aktor itu terlihat kecewa.
“Kenapa pendapatku sepertinya penting sekali untukmu?”
Aktor itu terdiam, dia yang tadinya duduk tegak, sekarang bersandar pada bangku istirahat yang tertulis namanya, dia sangat profesional jika sedang bekerja, tidak pernah meninggalkan lokasi syuting ketika istirahat, karena dia tidak ingin terlambat, jadi dia selalu duduk di dekat set pengambilan gambar.
“Hmm, kau tau penyakit mental yang bernama aseksual?” Tiba-tiba Aktor itu masih menyambung obrolannya, padahal Gadis Penulis sudah terpekur lagi dengan artikel tentang teknik pencahayaan filming yang tadi sempat dia tinggalkan.
“Apa itu? Seperti Unsocial? anti sosial?” Gadis itu hanya asal menseragamkan, karena jujur obrolan ini tidak menarik sama sekali.
“Gosip itu benar, aku tidak suka wanita … dan juga lelaki, jadi gosip itu benar tapi tidak lengkap, aku bukan hanya tidak suka wanita, tapi juga tidak suka lelaki, aku tidak memiliki hasrat pada dua jenis kelamin itu.”
Seketika Gadis Penulis tertawa terbahak-bahak, hingga beberapa orang melihat ke arahnya, dia lalu menutup mulut dan mengendalikan rasa yang menggelitik pada hati dan pikirannya, kata-kata itu terasa seperti lelucon tingkat tinggi baginya.
“Kau pikir mungkin ini lucu, tapi untukku, itu penyakit. Kalau kau mau sedikit repot, kau bisa membuktikan ucapanku, di Negara ini, hanya ada 5 orang penderita, karena penyakit ini memang langka dan di dunia, tercatat hanya 30 orang penderitanya. Memang, memang sangat langka, parahnya lagi, tidak seperti HIV yang bisa ditekan penyakitnya, hingga memperpanjang hidup penderita, penyakit mentalku bahkan tidak punya obat semacam itu.”
Penulis itu berhenti tertawa, senyumnya saja berubah menjadi murung, dia merasa pusing, karena dia menertawakan orang yang benar-benar sakit.
“Maafkan aku.”
“Hanya dua orang yang tahu penyakitku, pertama, Dokterku, kedua, kamu.” Gadis Penulis itu, berusaha melihat kesungguhan dalam mata Aktor ini, maklum dia seorang Aktor, berakting tentu bukan hal yang sulit untuknya, bahkan sang penulis sempat berpikir, apakah dia sedang dikerjai, lalu tiba-tiba akan ada kamera yang keluar dan mengatakan, ‘kamu kena prankkk’. Tapi tentu saja, ini bukan lelucon.
“Aku tidak pernah merasakan hasrat kepada jenis kelamin apapun, ketika aku remaja, saat pria seusiaku gairahnya menggebu, aku bahkan tidak tahu apa itu rasanya jatuh cinta dengan penuh hasrat seorang ABG dan ketika semakin lama, aku semakin dewasa, bahkan penyakitku semakin parah, dalam otakku, kalian semua sama, laki-laki dan perempuan.
Itu semua karena otakku tidak dapat mengidentifikasi hasrat, akhirnya seluruh tubuhku tumpul, aku tidak tau apa rasanya mimpi basah, aku tidak tahu apa rasanya berdebar saat orang yang kita sukai itu ada di dekat kita dan aku tidak tahu, apa itu rasanya bergairah.”
Gadis Penulis yang tadinya tidak terlalu peduli, menjadi tertarik, ini hal baru dalam hidupnya, seseorang yang tidak mampu merasakan gairah pada jenis kelamin apa pun, itu sebuah ide cerita yang luar biasa, tapi, daripada itu, satu hal yang membuat gadis itu penasaran.
“Ok, lalu kenapa kau cerita ini padaku, seseorang yang baru saja kau kenal?” Gadis itu memberanikan diri bertanya.
“Karena, tadi aku melihatmu membuka sepatu, untuk solat, kita satu agama, tapi aku hampir tidak pernah solat, sama sekali tidak pernah, satu waktu pun, tidak subuh ataupun Isya.”
“Itu juga urusanmu dengan Tuhan, bukan urusanku, bukan itu yang aku tanyakan.”
"Kau tidak dapat poinnya Nona, aku melihatmu saat membuka sepatu hingga kau bertelanjang kaki untuk berwudhu, ketika melihat kakimu, aku jadi tahu, apa itu hasrat remaja, gairah dewasa dan nafsu dunia, aku baru tahu, apa itu rasanya, kepanasan bahkan ketika udara sedingin ini, kakimu, seketika, jauh lebih manjur dari semua obat itu, kakimu seketika membuat diagnose Dokterku menjadi salah dan terapi yang aku lakukan selama hampir 15 tahun ini, sia-sia.”
“Kau Gila!” Gadis itu memundurkan badannya, karena penasaran dia tadi sempat mencondongkan tubuhnya, agar bisa mendengar dengan jelas sang aktor berbicara tadi.
“Aku pikir juga begitu, kau yang membuatku gila.”
“Aku tidak ingin membicarakan hal menjijikan semacam ini lagi.”
“Tapi aku tidak bisa, karena sekarang, aku baru tahu satu hal, ternyata Tuhan tidak menciptakan hanya 2 jenis kelamin, Tuhan menciptakan 3 jenis kelamin, pertama lelaki, Lalu perempuan dan yang terakhir, Syila, kamu. Kamulah jenis kelamin yang membuatku tau apa itu gairah."
Gadis Penulis itu semakin ketakutan, ini hal baru untuknya, bertemu dengan orang yang memiliki sakit mental yang langka, lelaki ini pasti tidak akan melepaskannya begitu saja, karena dia merasa Syila adalah penawar penyakit langkanya, dia pasti mengejar Syila, apa pun yang terjadi.
“Aku harus pergi, maaf.” Syila pergi, kalau bisa dia ingin berlari.
“Aku akan mengejarmu, kemana pun kau pergi, percayalah, aku bukan seorang yang mudah menyerah!” Aktor itu berteriak, Syila akhirnya berlari, tanpa terasa air matanya jatuh, dia merasa telah dilecehkan secara verbal, dia tidak menyangka, Aktor yang dia bela mati-matian untuk menjadi peran utama dalam karyanya, akan mengatakan hal menjijikan seperti tadi. Syila benar-benar kalut, dia merasa menjadi gadis murahan, karena perkataan Aktor itu, dia kalut dan ingin segera pergi, sejauh mungkin.
…
6 Bulan Sebelumnya
Namanya Asyila Sabil, kalian bisa memanggilnya Syila, dia adalah penulis novel hebat, banyak novel best seller tercipta dari tangan dinginnya, orang bilang Syila adalah jenius, tapi Syila hanya gadis sederhana yang memiliki prinsip tinggi dalam hidupnya, dia tidak suka melakukan tindakan curang dan terkesan angkuh apabila itu menyangkut karyanya.
Syila menciptakan novel dengan berbagai genre, mulai dari genre romantis, horor, misteri, science bahkan komedi, hanya padanyalah, kelas pada penulis tidak berlaku, pengkotakan penulis hanya sekedar isu dan keahlian pada satu bidang seperti sebuah kenangan.
Karyanya menjadi primadona, semua pembacanya bukan hanya dari kalangan tua, muda, miskin kaya, sehat, sakit, berpendidikan dan tidak, semua orang mampu dijamah oleh karyanya, untuk itu, berbagai penerbit selalu menjadikannya anak emas.
Kelebihan Syila yang lain adalah, dia selalu bersikap adil, dia tidak pernah melakukan kontrak eksklusif hanya dengan 1 penerbit, dia akan berpindah dari satu penerbit ke penerbit lain, katanya, itu untuk berbagi rejeki, supaya penerbit kecil kebanjiran order. Dibanding mulia, orang mengatakan dia cerdas dan tulus dalam waktu bersamaan.
“Syil, ayo dong, jangan terlalu keras lah, lu nggak mau karya lu naik kelas?” Andi managernya yang juga sekaligus sepupunya itu berkata.
“Kalau gue lembek, lu pikir kita bisa makan, ingat karena sikap keras gue, banyak deal yang akhirnya selalu menguntungkan kita.” Syila masih saja sibuk dengan tulisannya.
“Trus mau sampai kapan lu tolak tawaran filming itu? tahun depan mana tahu masih ada yang tertarik film-in karya lu lagi.” Andi masih ngotot.
“Percaya sama sepupu lu yang cerdas ini, ok, tunggu 3 hari lagi, dia pasti hubungin kita.”
“Oh ini yang jelek dari lu Syil, elu tuh terlalu percaya diri.”
“Tapi kepercayaan diri gue itu, selalu nolong cash flow kita kan?” Syila masih saja keras kepala.
“Terserah elu dah Syil, gue sih nggak yakin.” Andi marah dengan tubuh maskulin tapi bergaya feminin, ternyata emansipasi berlaku untuknya juga.
Tidak lama dari perdebatan sengit antara sepupu yang sering satu hati, tapi beda dalam hal pemikiran, Andi selalu terlalu gegabah mengambil keputusan, padahal dia Manager, tidak seharusnya dia menjerumuskan orang yang di manajerinya, tapi Syila bukan wanita yang mudah dibujuk, dia selalu mempunyai pemikirannya sendiri. Tiba-tiba telepon genggam Andi bunyi, ada panggilan masuk.
“Syil, nelpon nih orang, gila, emang lu the best deh.”
[Ya, Sist, gimana?] Andi menjawab telepon dari Asisten Produser yang menawari memfilmkan novel Syila.
[Bapak ngundang Mbak Syila buat membicarakan revisi kontrak kerja sama, bapak bilang semua syarat akan dimasukan ke dalam kontrak, jadi bapak minta Mbak Syila untuk mereview bersama dan kalau memungkinkan, sekalian tanda tangan kontrak.]
[Ok, kapan? biar saya cek dulu jadwal Mbak Syilanya, soalnya dia sibuk minggu ini bertemu dengan beberapa Produser lain.] Andi menjadi lebih pintar dalam keadaan seperti ini.
[Besok pagi ya, bapak ingin bertemu secepatnya.] Asisten itu terdengar terburu-buru dan takut, jelas pihak mereka sudah kalah dalam bernegosiasi dengan Syila, perempuan yang teguh pada apa yang dia pegang.
“Syil! Gila! Gila! Syarat kita diterima, besok kita ketemu bapak, katanya semua syarat lu bakal udah ada di surat perjanjian kontrak, emang elu juara ya.”
“Kan gue udah bilang shay, yaudah, sana keluar, gue mau nulis lagi, berisik tau.”
“Iya Yang Mulia.” Andi keluar kamar Syila dengan jaya seperti Punggawa istana yang tidak membiarkan punggung terlihat oleh Rajanya.
Mereka berdua sedang di apartemen Syila, tempat kerjanya memang di sana, Syila memutuskan untuk membeli sebuah unit apartemen agar bisa bebas menulis tanpa gangguan, sementara keluarganya sudah dia belikan rumah di selatan kota ini.
________________________________
Catatan Penulis :
Aku tidak tahu bahwa sakitnya adalah gerbang menuju kehancuranku, aku tidak tahu bahwa, keinginannya adalah neraka bagiku, aku tidak tahu bahwa, pertemuan kita, akan menjadi sebuah bencana untukku.
“Syil, nelpon nih orang! emang lu the best deh.”
[Ya, Sist, gimana?] Andi menjawab telepon dari Asisten Produser yang menawari memfilmkan novel Syila.
[Bapak ngundang Mbak Syila buat membicarakan revisi kontrak kerja sama, bapak bilang semua syarat akan dimasukan ke dalam kontrak, jadi Bapak minta Mbak Syila untuk mereview bersama dan kalau memungkinkan, sekalian tanda tangan kontrak.]
[Ok, kapan? biar saya cek dulu jadwal Mbak Syilanya, soalnya dia sibuk minggu ini bertemu dengan beberapa Produser lain.] Andi menjadi lebih pintar dalam keadaan seperti ini.
[Besok pagi ya, Bapak ingin bertemu secepatnya.] Asisten itu terdengar terburu-buru dan takut, jelas pihak mereka sudah kalah dalam bernegosiasi dengan Syila, perempuan yang teguh pada apa yang dia pegang.
“Syil! Gila! Gila! Syarat kita diterima, besok kita ketemu bapak, katanya semua syarat lu bakal udah ada di kontrak, emang elu juara, ya.”
“Kan gue udah bilang shay, yaudah, sana keluar, gue mau nulis lagi, berisik tau.”
“Iya Yang Mulia.” Andi keluar dari kamar Syila, mereka berdua sedang di apartemen Syila, tempat kerjanya memang di sana, Syila memutuskan untuk membeli sebuah unit apartemen agar bisa bebas menulis tanpa gangguan, sementara keluarganya sudah dibelikan rumah di selatan kota ini.
…
“Makasih ya Pak, udah diundang lagi ke sini, untung aja hari ini ketemunya, kalau besok mah, kita udah ada jadwal, hari ini rencananya jadwal Syila ke Dokter Gigi, tapi udah kita batalin aja, bisa minggu depanlah.” Andi terdengar bicara omong kosong, karena Syila paling anti ke Dokter Gigi dan mereka tidak punya janji temu dengan siapa pun saat ini.
Syila sedang meeting dengan Pak Ammarhudi Katarjo, dia adalah Bos dari Production House cukup besar di negeri ini, kalau tidak salah ada 3 nama besar yang menguasai ranah perfilman di negeri ini, salah satunya adalah, yang dimiliki oleh Pak Ammarhudi Katarjo ini.
“Baik, Pak Andi, ini kontrak kerjanya, bisa di pelajari dahulu, Mbak Syila mau baca dulu?” Sekertarisnya menyodorkan map transparant yang berisi 2 rangkap draft kontrak kerja, Andi langsung menyodorkannya pada Syila.
“Saya akan mempelajarinya dulu ya Pak, boleh saya meminta waktu 2 hari untuk mengambil keputusan.” Andi langsung menendang kaki Syila, dia merasa Syila sudah keterlaluan. Kenapa harus menunda jika uang sudah di depan mata. Itu yang Andi fikirkan.
“Terlalu lama Syila, kamu sedang menguji kesabaran kami?” Produser itu tertawa dengan menggelegar, walau perkataannya cukup tajam.
“Aku tidak bisa memutuskan kalau dipaksa dan terburu-buru Pak, bukan gayaku.” Syila ikut tertawa terbahak-bahak, bahkan Andi kaget dan merinding, karena Syila tidak seperti biasanya, dia hanya sedang menyamai kedudukan, Syila memang paling tidak mempan diintimidasi.
“Ok, satu hari, saya nggak bisa mundur lagi.” Produser itu berkata.
“Deal, satu hari, besok tepat jam yang sama, aku akan datang ke sini, setelahnya aku akan putuskan terima atau tidak, kalaupun terima, pasti ada beberapa hal yang mungkin aku highlight, apakah itu bisa diterima?”
Produser itu terlihat sangat kesal, tapi dia seperti mempunyai firasat yang baik pada proyek kali ini, mengingat sudah 1 tahun belakangan, tidak ada satu pun proyek yang bisa membuat production housenya menjadi nomor satu.
“Bisa, tentu saja saja, Syila yang tentukan.” Pak Ammar seperti sedang menyindir karena merasa Syila terlalu banyak minta, sebagai penulis yang belum pernah memiliki karya yang difilmkan, tentu permintaannya dianggap keangkuhan.
Setelah itu, Andi dan Syila pamit dengan membawa draft kontrak kerja itu.
“Lu sih keterlaluan Syil, 2 hari, untung aja dia setuju sehari, kalau dia kesel dan tendang kita dari kantornya, gimana?” Andi marah-marah, sekarang mereka sudah di mobil Syila, Syila yang menyetir, karena Andi tidak suka menyetir.
“Itu namanya seni negosiasi Shay, target gue emang sehari, tapi kan kalau gue bilang sehari, mereka pasti nawar, makanya gue set dua kali lipat dari target yang mau gue capai, sama kayak gue nulis, ekspektasi gue, selalu gue bikin double, kalau akhirnnya nggak tercapai, ya pasti seenggaknya gue dapet setengahnya.”
“Syil, gue tau, filosifi lu yang tinggi itu memang dalem, tapi nggak selamanya itu bisa nolong lu, dan please, lain kali, tolong banget, diskusi sama gue, sumpah gue selalu deg-degan setiap diskusi sama lu.”
“Tapi lu seneng kan, selalu deket sepupu lu yang cerdas ini?” Syila meledek.
“Senang kagak, jantungan iya.”
“Tenang, kita berdua kan udah gue asuransiin, jadi nggak masalah kalau sakit jantung doang mah.”
“Eh, sakit jantung deket ke mati kali!” Andi protes dan kesal.
“Mati mah urusan Yang Maha Kuasa Abangku sayang, jadi kita jalanin aja hidup dengan santai.” Syila melepas setirnya dan merentangkan tangan, seolah menghidup udara segar di pantai, dengan kemampuan menyetir yang tinggi, tentu ini tidak membahayakan.
“Pantes ya, Mami lu, Kakak lu, Papi lu pun! nggak ada yang mau dampingin jadi Manager, pasti karena ini nih alesannya, karena lu yang keras kepala, gini nih kalau dari orok udah di jadiin Princess, makanya keras kepala!” Andi ternyata benar-benar marah, tapi Syila tahu, Andi sebenarnya sangat sayang padanya, seperti adik sendiri, walau Ibunya adalah kakak dari papinya Syila. Bukan dari rahim yang sama, tidak membuat Andi ragu untuk selalu menjadi bantalan atau pun tameng bagi Syila.
“Nih, udah sampe, pulang gih, jangan ngayap ya.” Syila mengantar Andi sampai rumahnya.
“Lu tuh yang jangan ngayap, kerjaannya di warung kopi aja berjam-jam.”
“Kalau gue nggak ke warung kopi, nggak ada buku yang bisa lu jual, inspirasi tuh bukan muncul dari tempat tinggi Bang, tapi dari tempat yang jauh ke bawah, serius!” Syila tidak benar-benar ke warung kopi, tapi dia ke kafe kecil di dekat apartemen atau gang-gang perumahan, kafe yang tidak mahal, tapi banyak orang lalu lalang, itu membuat Syila melihat dan menghasilkan ide dari orang-orang itu.
Di kafe ini Syila melihatnya untuk pertama kali, lelaki itu, Selebritis besar itu.
Saat itu Syila baru selesai tour ke beberapa daerah untuk presale dan tanda tangan buku cetakan pertama untuk buku ketujuhnya, setelah terbit Syila tidak pernah menunggu lama untuk menulis lagi, kadang dia merasa bahwa serangkaian kegiatan Marketing ini tidak nyaman, terpaksa tersenyum padahal lelah, terpaksa menjelaskan pada sudah puluhan kali dia menjelaskan dan terpaksa seolah perduli, karena Syila orang yang paling cuek dan tidak perduli perasaan orang lain.
Hari itu dimana saat dia bertemu Izraa Erdhana, lelaki tampan yang membuatnya tidak tidur berhari-hari karena serangan ide itu, membuat Syila berhasil menyelesaikan buku dengan judul, 'Pria dalam Naungan Dendam', salah satu judul yang membawa namanya semakin dikenal, setelah 6 bulan menulis judul tersebut, Syila akhirnya menerbitkan buku itu, dan sekali lagi menjadi buku best seller dengan genre Action, Thriller dan Misteri, buku pertama tentang pembunuhan, buku ini menjangkau pembaca pria dan wanita, hingga pangsa pasarnya yang sudah luas, menjadi semakin luas, beberapa adegan pertarungan bahkan membuat Syila harus mendaftarkan diri di tempat Taekwondo untuk melakukan riset, karena untuk tulisan, tentu adegan pertarungan itu cukup sulit kalau tidak terjun langsung, paling tidak, setelah ini dia memiliki kemampuan bela diri yang cukup mumpuni.
Hari ini dia ke kafe ini lagi untuk sekedar minum kopi, dia ingin membaca draft kontrak dengan suasana senyaman mungkin, dia paling tidak bisa melakukan deal asal-asalan, untuk perencanaan hidupnya saja, dia selalu membuat semuanya terkoordinasi dengan baik sesuai bagan struktur yang dia buat. Ya, memang serumit itulah Syila, dibalik pakaiannya yang sederhana itu, terdapat bakat dan kecerdasan yang luar biasa, lebih dari yang manusia miliki pada umumnya.
"Mbak Syila, kemaren ada yang nanyain." Seorang pelayan yang cukup sering bertemu dengannya berkata.
"Juno?" Syila menebak.
"Iya, dia suruh saya cepat-cepat hubungi, kalau Mbak Syila ke sini, saya boleh begitu? " Pelayan ini tahu betul siapa pelanggannya, tentu dia tidak akan membuat pelanggannya tidak nyaman dengan melanggar privasi.
"Suruh aja dateng, nggak apa-apa, tapi selalu tanya aku ya kalau ada hal kayak gini, terima kasih kamu sudah menjaga privasiku."
"Iya Mbak, oh ya, aku boleh minta tanda tangan nggak? novel yang kemaren cetak aku udah beli."
Pelayan wanita itu meminta dengan sopan.
"Boleh, sini bawa bukunya, oh ya satu lagi, aku traktir kamu makan ya, pesan apa pun yang kamu mau, aku yang bayar." Ini salah satu kelebihan Syila, dia tidak pernah lupa berterima kasih dengan pantas, diantara semua sifat kerasnya, hal ini lah yang menjadikannya begitu disayangi penggemar bukunya.
"Makasih Mbak Syila, tapi yang kali ini nggak usah deh, masa tiga kali beli buku, tiga kali ditraktir makan." Pelayan itu pergi mengambil buku Syila dan tidak lama kemudian kembali, Syila menandatanganinya.
"Yakin nggak mau ditraktir?" Syila mencoba untuk membujuk.
"Nggak Mbak, saya beli karena suka dan banyak dapat pelajaran, jadi bukan untuk sok deket sama Mbak." Pelayan itu cukup baik.
"Ok deh, aku kasih tiket nonton aja ya nanti, buku yang ini kan bakal difilmin, aku bakal masukin nama kamu sebagai salah satu undangan di bioskop saat premier filmku, gimana?" Syila terdengar memaksa.
"Mbak ... makasih banyak ya." Pelayan itu menyalami tangan Syila.
"Lebay ah, yaudah telepon si Juna gih, bilang aku ada di sini."
Juna adalah teman SMAnya, satu-satunya teman, tapi Syila juga tahu dia memiliki perasaan yang lebih padanya, tapi Syila selalu memberi batasan yang jelas diantara mereka.
Hanya perlu menunggu 15 menit, Juna sudah sampai di kafe itu, rumahnya memang tidak jauh dari apartemen Syila.
“Syil!”
“Sabar, sabar Bos, kenapa pake teriak-teriak sih!” Juna terlihat marah begitu datang.
“Elu nyebelin banget, telepon nggak diangkat, dateng ke apartemen, lu nggak pernah ada, chat boro-boro di read, ngilang aja kerjaan lu!” Dia mengambil es kopi Syila dan meminumnya, mereka memang terbiasa melakukan hal semacam itu, minum atau makan dalam satu wadah.
“Kan elu tau, kalau gue lagi serius nulis, gue hiatus dari pergaulan, gue bener-bener cuma di kamar atau di kafe, justru gue kasian ama lu, kalau kita ketemuan juga, pasti elu gue cuekin, makanya gue memilih untuk tidak ketemu siapa pun, jangankan elu, Andi, Mami, Papi dan Kakak gue pun, nggak ada yang gue temuin, jadi jangan terlalu mikir yang enggak-enggaklah.” Syila menenangkan sahabatnya yang terkadang lupa bahwa Syila begitu serius menekuni bidang tulis menulis ini.
“Syil, gue cuma khawatir, elu tuh kebiasaan deh.”
“Kalau udah tau kebiasaan, kenapa mesti kaget sih?” Syila kesal, karena Juna berlebihan, sikapnya melebihi kekasih, padahal mereka cuma sahabat, ini yang membuat Syila malas punya kekasih, karena sahabat saja sudah berlebihan begini, apalagi sudah jadi kekasih, selain alasan besar lainnya yang sudah menghantui hidup Syila belasan tahun.
“Ok, yaudah, sekarang bisa kan kita ketemu dan ngobrol.
“Bisa, duduk, pesen kopi sendiri gih, jangan abisin punya gue.” Syila protes kopinya terminum cukup banyak oleh sahabatnya ini.
“Syil, proyek film gol?” Juna bertanya setelah kopinya sudah di meja dan tentu saja amarahnya meredam.
“Ini gue lagi baca pasal per pasal, jadi lu kalau mau ngomong yang nggak penting, mening out deh.”
“Mau gue bantuin nggak?” Juna adalah seorang lulusan hukum, banyak hal tentang perjanjian kerja, dibantu olehnya, karena Syila sendiri, jurusan Psikologi.
“Kan draft awal udah lu baca, ini gue cuma mau cek soal syarat yang gue kasih ke mereka, harusnya mereka udah masukin semua.”
“Lu yakin Syil?” Juna bertanya.
“Soal?”
“Lu kan pasti akan menulis judul baru lagi, mengingat judul ini sudah selesai cetak, lalu akan di filmkan. Biasanya setelah itu, elu akan mulai dengan judul baru, kalau akhirnya harus sibuk dengan ikut menggarap film, apa itu nggak berat Syil?”
“Trus, gue harus serahin bayi gue ke tangan orang yang nggak gue kenal gitu? mening nggak gue kasih tuh bayi gue.” Syila selalu menyebut karya-karyanya adalah bayi-bayinya, sedang dia adalah Ibu dari ke semua bayi tersebut.
“Jadi elu akan cuti nulis dan memutuskan ikut menggarap film ini?” Juna bertanya.
“Menurut lu, gue bisa gitu, nggak nulis?”
“Ya, terus?”
“Gue akan tetep nulis, di sela-sela waktu pembuatan film, walau nanti agak telat untuk launching buku terbaru, paling nggak, gue tetap bisa nulis plus ikut proses pembuatan film.” Syila punya target sendiri, setiap selesai launching buku pertama, dia akan beri jeda 6 bulan untuk launching buku selanjutnya, jadi setahun, ada 2 buku yang Syila terbitkan, di penerbit yang berbeda, kecuali buku bersambung.
“Jadi, kapan ketemu nyokap, bokap?”Juna bertanya dengan ragu.
“Jun, kok balik ke situ lagi sih? Kan lu tahu, gue tidak akan pergi sejauh itu, ini tentang hubungan kita Jun.”
“Paling enggak, temuin orang tua gue dulu, mereka cuma ingin ketemu sama lu Syil.”
“Sebagai apa Jun? anak angkat?” Syila tertawa, tapi itu bukan lelucon bagi Juna.
“Sebagai seseorang yang membuat anaknya, nggak bisa pergi kemana pun, selain tetap bertahan dan menunggu.”
“Jun .... “ Syila menatap dengan mata khawatir, dia takut bahwa perkataan Juna bisa saja menjadi beban untuknya, sejahat itu kah dia?
_________________________________
Catatan Penulis :
Hatiku milikku, begitupun denganmu
Jiwa tentu saja milik sang pencipta
Tapi jika takdir tak terelakan
Apakah cinta bisa dipaksa?
Entahlah.
“Jadi, kapan ketemu nyokap, bokap?”Juna bertanya dengan ragu.
“Jun, kok balik ke situ lagi sih? Kan lu tahu, gue tidak akan pergi sejauh itu, ini tentang hubungan kita Jun.”
“Paling enggak, temuin orang tua gue dulu, mereka cuma ingin ketemu sama lu Syil.”
“Sebagai apa Jun? anak angkat?” Syila tertawa, tapi itu bukan lelucon bagi Juna.
“Sebagai seseorang yang membuat anaknya, nggak bisa pergi kemana pun, selain tetap bertahan dan menunggu.”
“Jun .... “ Syila menatap dengan mata khawatir, dia takut bahwa perkataan Juna bisa saja menjadi beban untuknya, sejahat itu kah dia?
“Gue kasih waktu ya, gue bakal cuma tungguin lu setahun ini, kalau lu masih aja nggak bisa kasih jawaban, YA, gue terpaksa melupakan janji gue, untuk menunggu lu.”
Syila bukannya tidak memberi jawaban, Syila selalu menolak, tapi tidak tegas, ketidaktegasan ini dianggap sebagai celah oleh Juna, dia merasa Syila ragu atas penolakannya itu.
Ini kesalahan Syila karena terlalu sayang pada Juna, rasa sayangnya itu sebagai keluarga, karena sepanjang SMA sampai sekarang, Juna adalah seseorang yang selalu ada di masa sulit dan senang, sejak Syila memutuskan menjadi penulis, ditolak banyak penerbit, sampai seperti sekarang ini, Juna tidak pernah meninggalkannya sama sekali, Juna juga terkadang menjadi seseorang yang menolong secara diam-diam.
“Jun, gue fokus ke kontrak dulu ya, sorry.” Syila memelas, Juna hanya terdiam dengan wajah kecewa, cintanya tidak pernah dianggap serius oleh Syila.
“Kali ini gue serius Syil.” Juna meminum kopinya lalu pergi. Syila pura-pura tidak mendengar dan tetap fokus pada pekerjaannya, setelah Juna pergi, dia menghembuskan nafas, dia ingin bertanya pada Andi atau keluarganya, tapi mereka pasti suruh Syila untuk menerima Juna, karena menurut keluarga Syila, Juna adalah Calon Menantu terbaik.
Di tengah kegalauan ini, Syila melihat sesosok yang dia kenal, sebenarnya hanya dia yang kenal, sosok itu tentu tidak benar-benar mengenalnya. Ya, dia adalah Izraa Erdhana, artis yang menjadi inspirasi atas buku best sellernya dan sekarang, lelaki itu menjadi incaran Syila, untuk menjadi peran utama dalam film dari buku tersebut, tujuan Syila memang bertemu dengannya, tapi tidak seperti Juna yang memakai cara kasar untuk bisa bertemu Syila, yaitu memaksa salah satu pegawai menjadi informan, Syila lebih cerdas, dia datang satu minggu penuh ke kafe tersebut dan mencatat pola dari jadwal kedatangan Izraa, ternyata Izraa orang yang sangat struktural, dia selalu datang pada hari minggu jam 8 malam, hari rabu jam 10 pagi dan hari jumat jam 11 malam, kafe ini memang buka 24 jam.
Karena itulah, di waktu-waktu tersebut, Syila datang dan melihat incarannya. Tidak, Syila tidak naksir lelaki itu, sama sekali tidak. Dia fokus pada wajah, karakter dan kemampuan actingnya saja, dia sangat memuja cara Izraa mendalami karakter, ditambah, Syila memang membuat buku ini sembari memvisualisasikan karakter utamanya sebagai Izraa, memasukkan gesture, sikap dan prilaku Izraa yang ditangkap netranya saat bertemu diam-diam, tepatnya bertemu dalam diam, pura-pura menulis, padahal memperhatikan Izraa, itulah bagusnya Syila, selalu tepat memilih karekter, tidak heran dia disebut bertangan dingin.
Saat melihatnya, Syila sibuk membayangkan adegan peradegan dari film yang akan dibuat, sungguh lelaki ini benar-benar masuk kategori lelaki yang sempurna di mata Syila, tentu sempurna sebagai tokoh dari karyanya.
“Mbak Syila, ini kue baru, kata Ibu, dicobain aja, nggak usah review di sosmed, cuma buat tester.” Seorang pelayang memberi Syila cookies coklat.
“Oh, ok, terima kasih ya.” Syila lalu memakannya, enak sekali, saat Syila makan, matanya dan mata Izraa berpandangan secara tak sengaja, cara mereka menyupa mirip sekali, Syila kaget dan tersedak, sementara Izraa terlihat tenang, mungkin karena dia seorang Artis, sehingga dia bisa mengendalikan sikapnya.
Syila langsung minum air mineral di dalam gelas yang memang dia minta tadi, membereskan semua barangnya, lalu pergi begitu saja, dia berharap semoga lelaki itu tidak memperhatikannya.
Syila masuk ke mobil, dari kaca kafe dia mencoba melihat Izraa, memastikan bahwa dirinya tidak terlalu terlihat gugup, tapi ternyata Syila salah, Izraa masih memperhatikannya, memperhatikan mobil Syila tepatnya.
“Mati gue! Keliatan nggak sih gue merhatiin dia? Nggak bisa ke kafe ini lagi dong, ah, sudahlah.” Syila akhirnya pulang ke apartemennya.
...
Kontrak sudah ditanda tangani dua hari lalu, tapi Produser terlihat marah, karena Syila mengajukan nama yang akan menjadi peran utama, saat ini mereka sedang meeting.
“Aku kan bilang, untuk pemeran wanita terserah, mau casting silahkan, mau pilih silahkan, tapi untuk pemeran pria, tidak boleh yang lain, harus, kudu, mesti, wajib, Izraa Erdhana, titik.” Lagi-lagi Syila keras kepala.
“Syil, kamu boleh deh masukin nama tu orang, tapi casting Syil, lihat dulu beberapa orang yang kami ajukan, jangan main sikat aja.” Bos Ammar terlihat kesal.
“Ya silahkan, lakukan pada pemeran lain, tapi tidak pada peran utama, harus Izraa Erdhana.” Syila mengatakan dengan tenang, sementara Andi sudah menunduk saja, dia terintimidasi saat tadi Bos Ammar sempat membanting skrip, sementara Syila sama sekali tidak bergeming, mentalnya cukup kuat.
“Syil, bukan apa-apa ya, saya tahu actingnya bagus, wajahnya tampan, tubuhnya juga pas, tapi kamu tahukan gosip itu? film kamu bakal anjlok! Kita bakal gulung tikar, ingat saya menginvestasikan dana yang tidak sedikit pada film ini.” Bos Ammar mulai masuk ke ranah profesional.
“Pada pasal pertama jelas, Syila ikut memilih pemeran dalam film ini, jangan melanggar kontrak dong Bos, Syila nggak akan mundur untuk yang ini, diantara semua pemain, Syila cuma ikut campur untuk yang satu ini, yang lain Bos pilih sendiri, Syila janji.”
“Syil! Masalahnya, itu gosip udah ancurin namanya yang lagi gemilang, kita tuh kayak ambil kotoran di tempat sampah, trus mau dibersihin juga percuma, kotoran tetaplah kotoran, bakal tetap bau walau dibersihkan dengan cara apa pun!” sebuah korelasi yang cukup kasar untuk Syila.
“Syila jaminannya, kalau film ini bermasalah, Syila akan kembalikan semua dana yang sudah kalian transfer, termasuk membayar pinaltinya, tapi jika film ini sukses, kalian harus membayarku 2 kali lipat, bagaimana? Mau gambling?” Syila yang keras kepala ini memang tidak ada tandingannya, Produser kawakan ditantangin.
“Kamu beneran bikin kepala saya pusing Syil, kamu udah pasti kalah deh, kita promosiin aja, pasti akan banyak yang hujat, banyak yang negativ, akhirnya nggak ada yang mau nonton.”
“Bapak lupa, saya punya fans fanatik, mereka bisa menjadi penyebar berita yang handal, tanpa diminta, percaya saya Pak, saya pasti menang, deal? Perlu buat kontraknya? Saya akan langsung tanda tangani.” Syila mengulurkan tangan, dia mempunyai percaya diri yang sangat tinggi, bahkan seperti melesat ke atas langit.
“Bikinin surat kontrak terpisah, kita tanda tangan sekarang juga.” Bos Ammar mengatakannya dengan cukup dingin, dia yakin Syila pasti kalah, dan proyek ini yang tadinnya dianggap proyek besar, sepertinya akan menjadi kehancuran dari Perusahaannya, tapi terlalu memalukan kalau dia membatalkan kontrak ini, karena sudah ada berita dari tim humas mereka yang menyebarkan bahwa Syila dan Perusahaannya sudah bekerja sama, hal ini disebar sebagai upaya untuk membuat proyek mereka lancar, tapi sekarang malah terasa seperti kalah sebelum bertarung, Penulis ini benar-benar membuat perusahaan seseorang terancam bangkrut, sementara dia hanya senyum-senyum saja karena merasa menang.
Bos Ammar keluar, sementara Asisten Produser sedang menyiapkan draft yang akan langsung diprint di tempat, Syila menunggu dengan tenang.
“Bos, nggak pernah loh selunak ini, cuma sama Mbak Syila dia bisa ngalah terus.” Asisten itu memuji atau sedang menyindir Syila tidak perduli.
“Emang penulis mana yang biasanya kalah sama Bos?” Andi iseng bertanya.
“Semua buku yang dijadiin film, kalah sama syarat Bos.” Asisten itu memberi informasi yang cukup mencengangkan, Syila berfikir, pantas saja rekor film mereka biasa saja, semua penulisnya diikat.
“Bisa jadi, aku karmanya.” Syila tertawa, yang lain juga.
Setelah kontrak selesai ditanda tangani mereka berdua, selaku pihak Perusahaan dan juga Syila, Andi dan Syila pamit pulang.
“Syil, nongkrong di tempat makan sini dulu yuk, mayan cuci mata.” Andi mengajak sepupunya untuk makan di sini, karena ini Production House pasti banyak Artis yang datang dan tidak sedikit yang makan di tempat ini juga.
“Ok, tapi sekalian nulis ya.” Yang Syila perdulikan memang hanya menulis.
Tidak lama kemudian mereka sampai di tempat makan gedung ini, lumayan besar, ada areal untuk karyawan, ada areal yang bebas untuk pengunjung, areal karyawan lebih tertutup, mereka memilih menu yang cukup aman, nasi goreng dan kopi hitam.
“Syil, liat deh, Artis baru.” Andi menyenggol kaki Syila, otomatis Syila menengok, Artis yang dimaksud Andi adalah wanita berumur 30 tahunan, namanya berkibar tahun ini, walau dia memulai karir dari umul belasan, tapi karir perfilmannya hanya datar saja, terakhir dia main film layar lebar, yang sedikit vulgar, lalu film itu membawa namanya semakin dikenal.
“Gila, kasar banget Syil, dia lempar gitu aja tuh tasnya ke asistennya, beda banget kalo di TV.” Andi mengoceh, Syila sempat kesal karena sedang menulis.
“Bukan Artis baru, tapi baru terkenal, wah bagus tuh buat jadi peran utama, gue mau minta Bos casting dia ah.”
“Eh gila! cewek begitu lu mau jadiin peran utama, udah tau kelakukannya begitu, lu nggak takut, kalau dia susah diajak kerjasama?” Andi protes.
“Kenapa susah?” Syila pura-pura tidak tahu.
“Ya, gitu deh, pantas aja baru setahun ini dia sukses, padahal dari umur belasan mulai karir, kelakuannya begitu, kebayang nggak kalau dia bakal gede kepala kayak apa kalau ikut syuting film kita.”
“Itu dia, biasanya orang kayak gitu, tingkat munafiknya tinggi dan dia akan bisa menjadi sebaik apapun, yang kadang orang susah lakuin karena nggak masuk akal, tapi karena sifat munafik itu, dia bisa memerankannya dengan lebih baik, dibanding yang baik hatinya.” Teori yang Syila yakini, tapi sebenarnya mungkin saja tidak benar.
“Au ah, serah lu.” Andi melanjutkan makan mereka.
“Syil, Juna kemaren dateng ke rumah Mami lu, gue sempet nguping sih.” Andi memang terkadang menginap beberapa hari di rumah Syila.
“Ngapain dia!” Syila kaget.
“Kayaknya bermaksud ngelamar lu deh.”
“Wah, Juna!!!” Syila kesal dia akan memarahi Juna karena sudah melakukan sesuatu yang keterlaluan.
___________________________________
Catatan Penulis :
Memaksa cintaku, sama saja, mencekikku dengan kalung emas yang dihiasi berlian, walau mewah, tapi rasanya sesak sekali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!