Bab 1
Grep !!!
Aura terbangun, kelopak matanya terasa sulit dibuka, seakan ada beban yang menimpa, namun sekuat tenaga dia berusaha melebarkan pandangan saat itu juga.
Merasa ada yang janggal pada dirinya, spontan Aura pun menyibak selimutnya.
Sret !!!
Seketika itu juga, mata Aura terbelalak dengan tubuh yang tiba-tiba menegak.
Lalu, di detik yang sama kucuran airmatanya tidak dapat terbendung bagai air bah yang meluap.
Tidak, ini semua tidak mungkin. Apa yang terjadi? Selama hidupnya, Aura tidak pernah terbangun dalam keadaan seperti ini.
Dan lagi, Aura tidak tahu dimana dia sekarang. Kamar ini terasa asing baginya?!
Sontak gadis itu menoleh kesamping, dimana dia mendengar suara dengkuran halus seseorang yang tengah terlelap disebelahnya.
Bola mata Aura nyaris melompat keluar dari rongganya, tatkala dia sudah menyadari siapa sosok itu. Rayyan. Dia adalah anak dari Asisten Rumah Tangga yang beberapa hari lalu datang untuk membantu Bi Dima di kediamannya.
Astaga ... Aura mengusap air matanya dengan kasar. Dia lantas menyorot dan memindai sekeliling dengan lebih teliti. Sepertinya kini dia memang sedang berada di kamar Rayyan–yang letaknya di Paviliun belakang.
Kini, kepala Aura rasanya sangat nyeri. Dia mencoba mengingat kejadian semalam, namun sulit. Yang dia pikirkan sekarang adalah dirinya sendiri. Dirinya yang sudah dalam keadaan tak berbusana saat terbangun dan dalam kondisi tidak tau apapun mengenai apa yang sebenarnya telah terjadi.
Disaat yang sama, pemuda yang sejak tadi lelap di samping Aura, perlahan mengerjapkan mata berkat cahaya yang masuk lewat kisi-kisi jendela. Indera pendengarannya juga menangkap pergerakan lain dan sayup-sayup isak lirih disana.
"Aura ..."
Suara lelaki itu terdengar berat saat menyadari ada Aura di dalam kamarnya.
Tatapan terkejut terpancar dari bola mata Rayyan, sebab Aura bukan hanya berada di dalam kamarnya, tetapi juga di atas ranjang yang sama dengannya. Belum lagi karena gadis itu tampak terus menangis dengan wajah sembab dan menyelubungi seluruh tubuh dengan selimut.
Rayyan menegak. Namun, sepersekian detik berikutnya dia justru memegang pelipis sebab merasakan pening yang luar biasa menghantam kepalanya.
Aura tidak menggubris panggilan Rayyan. Dia ingin bergerak keluar dari ruangan tanpa kata-kata.
Aura bangkit, memunguti baju-bajunya yang terserak sembarangan di lantai kamar, mengenakannya dengan isak tangis yang berderai.
Aura membelakangi Rayyan dan mencoba berpakaian secara sembunyi-sembunyi dengan menggunakan selimut. Meski kini dia tau jika tubuhnya ini pasti sudah terekspos jelas oleh mata Rayyan–semalam. Entahlah, Aura tak mau membayangkan hal itu, sebab itu hanya akan membuatnya semakin merutuk diri dan akan membenci Rayyan?
Setelah berpakaian lengkap, Aura berderap dan melesat menuju pintu untuk segera berlalu. Hanya saja, suara Rayyan kembali menahan kepergiannya.
"Apa yang terjadi sebenarnya, Ra?"
Aura yang masih menangis dengan bahu berguncang, tidak kunjung berbalik untuk menyahut pertanyaan lelaki itu. Badan Aura mematung, kakinya seperti dipaku disana.
Sampai akhirnya, pemuda itu kembali bersuara untuk menanyakan Aura.
"Ra, apa aku udah berbuat sesuatu hal yang kurang ajar sama kamu?" Rayyan sedang menerka keadaan yang terjadi saat ini.
"...."
"Jawab, Ra! Aku gak tau–"
"Bukankah seharusnya kamu yang paling tau mengenai apa yang udah kamu perbuat?" sela Aura tiba-tiba, jawabannya sontak mengejutkan Rayyan dalam posisinya.
"Aku–"
"Kamu tau seharusnya aku gak pernah berada di kamar kamu, kan? Kenapa, Ray? Harusnya aku yang nanya sama kamu, apa yang udah terjadi, bukan sebaliknya!" tukas Aura menohok, tangisnya pecah berhamburan. Perasaannya terasa remuk. Hatinya pun seakan berderak patah. Nyeri dan sakit disaat yang bersamaan.
Haruskah kini Aura menyalahkan Rayyan? Ya, siapa lagi yang paling bersalah disini jika bukan pemuda itu? Sebab Aura sendiri tidak mengerti kenapa keadaannya bisa begini.
"Ra, maafin aku. Aku gak tau apapun. Aku gak mengingat apapun soal semalam, jadi---"
"Aku udah nebak kamu bakal jawab begini." Lagi-lagi Aura memotong ucapan Rayyan. "Jadi ... apapun yang kamu ingat soal semalam, lupakan! Jangan pernah mengungkitnya lagi. Anggap ini semua gak pernah terjadi," katanya menekankan.
Dengan tangan gemetar, Aura menekan knop pintu dan keluar dari kamar berukuran 3x3 meter itu. Aura tau, masalah besar sudah menantinya di luar sana.
Kini, Aura harus menghadapinya. Terutama soal banyaknya pertanyaan yang akan diberikan kepadanya–tanpa mau tau–betapa sakit dan terpukulnya dia saat ini.
Aura ingin meninggalkan kawasan paviliun itu dengan kepala yang tegak dan langkah jenjang seperti biasanya. Tapi, sekali lagi dia harus menahan sesak tatkala merasakan nyeri di pangkal pahanya.
Ini bukan mimpi. Aura sudah ternodai bahkan tidak tau bagaimana kilas balik kejadian yang menyebabkan semua ini terjadi. Bagaimana bisa, dia tidak sadar jika kehormatannya sudah diambil dan terenggut?
Rasanya, Aura ingin bersembunyi di tempat yang tidak dapat ditemukan oleh orang lain. Dia tidak punya muka lagi untuk ditunjukkan pada khalayak. Dia merasa kotor dan tidak berarti lagi.
Aura berjalan dengan pelan, meringis, dia tidak tau seperti apa Rayyan memperlakukannya semalam. Ini benar-benar terasa perih dan membuatnya harus menahan sakit.
Alih-alih memikirkan Jeno–sang calon suami–Aura lebih memikirkan perasaan orang tuanya sekarang.
Bicara soal Jeno, dia adalah anak dari Om Beno dan Tante Jenifer yang dijodohkan kepadanya.
Aura dan Jeno saling mengenal sejak kecil, perilaku Jeno juga baik, itulah yang membuat kedua orangtua mereka sepakat untuk menjodohkan mereka.
Dan hari ini, seharusnya mereka sudah bersama sebagai suami istri, tapi kenapa? Kenapa Aura malah terbangun di kamar Rayyan? Apa yang terjadi?
"Non Aura?"
Itu adalah suara Bi Dima yang menyapa kehadirannya–sebab wanita paruh baya itu memang sedang membersihkan beranda belakang rumah.
Aura memaksakan untuk tersenyum, dia ingin semuanya terlihat baik-baik saja meski sebenarnya dia sadar jika keadaan telah kacau karena dia yang entah kemana semalaman dan justru berakhir bersama Rayyan.
"Bu! Pak! ini Non Aura udah pulang!"
Mendengar seruan Bi Dima, salah seorang dari dalam tampak keluar rumah dengan tergopoh-gopoh. Papa Sky–Ayah Aura–langsung menghampiri putrinya dengan tatapan khawatir.
"Aura?"
"Papa ..."
Tiba-tiba saja Aura memeluk sang Papa dan menangis dalam dekapan cinta pertamanya itu. Aura tau, Papanya tidak akan pernah bertanya kemana dia semalam dan kenapa dia meninggalkan acara pernikahan? Tapi, Papanya selalu menanyakan ...
"Kamu baik-baik aja kan, Sayang?"
Sebenarnya Aura ingin mengatakan yang sejujurnya pada sang Ayah jika dunianya telah runtuh. Hancur lebur. Kesucian yang telah dia jaga selama hidupnya sudah hilang terenggut dan itu karena ulah Rayyan.
Akan tetapi, Aura tidak kuasa mengungkapkannya karena dia sendiri bingung harus memulainya dari mana. Belum lagi karena dia tidak mengingat satu apapun yang terjadi.
Akhirnya, Aura memilih bungkam dan hanya menangis tersengguk-sengguk di pelukan sang Ayah.
"Oke, kita masuk dulu. Papa gak akan maksa kamu cerita kalau kamu gak mau. Yang terpenting sekarang, kamu udah kembali ke rumah. Semuanya akan baik-baik aja. All is well, right?"
Aura mengangguk, saat dia melerai pelukan, dia baru sadar bahwa ada beberapa pasang mata yang juga memandangnya dengan lekat, seolah memang sedang menunggu kepulangannya pagi ini.
"Kak?"
Aura menggeleng pada Rion--adik bungsunya--yang mencoba menanyakan ada apa? Tapi, isyarat yang diberikan Aura itu cukup dimengerti oleh Rion, sehingga dia tidak melanjutkan pertanyaannya.
Disana juga ada Cean–saudara kembarnya–yang menatapnya dengan sorot ingin tahu. Biasanya, Cean selalu bisa memahaminya dan mengerti jika sesuatu telah terjadi padanya.
Dengan perlahan, Aura mengikuti langkah sang Papa yang mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah.
Disaat yang bersamaan, Aura kembali menahan nyeri yang dirasakan, tapi dia tetap berusaha bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
Akan tetapi, tidak ada yang mengenal Aura lebih dekat ketimbang sang Mama–Yara–wanita paruh baya itu memperhatikan pergerakan dan gelagat putrinya yang baru saja pulang setelah menghilang di malam pernikahannya kemarin.
Firasat Mama Yara yang sudah tak enak sejak Aura menghilang, kini semakin yakin jika sesuatu yang tidak beres telah terjadi. Apalagi, sang putri pulang dalam keadaan wajah yang sembab kemudian lanjut menangis di dada bidang Ayahnya.
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah, Papa Sky meminta Aura untuk membersihkan diri dan setelahnya mereka akan berbicara di ruang kerjanya.
Tapi, Mama Yara menggeleng tak setuju dengan usul suaminya. Wanita itu mempunyai pemikiran sendiri. Mama Yara mau bicara dengan Aura secara empat mata di kamar gadis itu, tidak ada Sky dan tidak ada kedua saudara Aura–Cean dan Rion–tidak, kecuali mereka berdua.
Papa Sky memahami maksud sang istri dan akhirnya sepakat untuk mengikuti cara Mama Yara saja. Mungkin Aura memang akan lebih terbuka pada wanita yang melahirkannya itu.
Selesai Aura mandi, Mama Yara sudah duduk di kamar gadis itu. Menunggunya.
"Aura, sini, Sayang ..." Mama Yara menepuk-nepuk sisi tempat tidur yang tengah dia duduki.
Tanpa menanyakan lebih lanjut, gadis itu sendiri yang langsung memulai untuk membuka mulutnya dan menceritakan segalanya, padahal tadinya Aura mau menyimpan aib ini rapat-rapat, dia juga sudah meminta Rayyan melupakan segalanya, kan?
Akan tetapi, sepertinya Aura tak bisa membohongi sang Mama. Mamanya paling tau mengenainya, apalagi sudah jelas-jelas melihatnya menangis saat memasuki rumah tadi.
Pada akhirnya, Aura menyerah sebab cepat atau lambat, serta bagaimana pun dia menyembunyikan kenyataan, fakta ini akan segera diungkap oleh keluarganya.
"Aura enggak ingat apa yang terjadi, Ma. Tapi, Aura merasakan dan yakin kalau sesuatu udah terjadi antara Aura sama Rayyan."
...Bersambung ......
...Visual Aura...
Bab 2
"Jadi ... kamu setuju dengan rencana pernikahan kita, Ra?"
Aura mengangguk atas pertanyaan Jeno, dia sudah pasrah dengan rencana pernikahan yang diatur oleh kedua orangtuanya. Di usianya yang sudah melewati angka 25 tahun. Aura tidak mau banyak memilih, kendati penampilannya sendiri masih layaknya anak kuliahan bahkan remaja SMA.
"Baiklah, tapi ada yang harus kamu tahu sebelum kita menikah, Ra."
"Apa?"
"Aku ... gak sebaik yang kamu dan orang lain kira. Ya, mungkin aku memang gak bisa menjadi diriku sendiri di hadapan keluarga. Tapi, jika kamu memang mau menikah denganku maka kamu berhak tau siapa aku sebenarnya."
Ucapan Jeno membuat Aura tersenyum. Dia menghargai jika pemuda ini mau jujur dan terbuka kepadanya sebelum pernikahan mereka dimulai.
"Memangnya, siapa kamu yang sebenarnya?"
"Aku gak sebaik kelihatannya. Aku masih suka kelayapan." Jeno nyengir. "Aku juga punya pacar, Ra," tambahnya.
Ucapan Jeno yang terakhir, membuat senyum di wajah Aura perlahan surut.
"Hanin. Kami sudah berpacaran selama kurang lebih dua tahun," jelas Jeno seolah menjawab rasa ingin tahu yang muncul di kepala Aura.
"Jadi? Kamu gak akan nerima pernikahan kita?" tebak Aura.
Jeno tersenyum, untuk ukuran tampang memang wajah Jeno cukup tampan. Dia pria campuran, karena Mamanya–Tante Jenifer–adalah wanita berketurunan Prancis-Australia, sedangkan Papanya–Om Beno adalah pria keturunan Jawa-Medan.
"Tentu saja aku gak akan nolak, Ra. Aku udah suka kamu sejak lama," kata Jeno.
Kali ini, jawaban Jeno membuat Aura speechless. Sejak kapan? Pikirnya.
"Jadi ... pacar kamu, gimana?"
"Aku sama Hanin gak pernah serius." Jeno mengedikkan bahu. "Just have fun. Cuma bersenang-senang," imbuhnya.
"Tapi, apa nanti dia gak keberatan? Tiba-tiba kamu menikah sama aku? Aku pikir kamu gak punya pacar, Jeno. Kenapa kamu gak tolak aja tawaran ini? Toh, orangtua kita juga gak pernah memaksakan, kan?"
Jeno menggeleng samar, ada kulumann senyum yang tertahan di bibirnya. "Kan udah aku bilang, aku gak akan nolak karena aku emang udah suka kamu sejak lama, Ra," pungkasnya.
"... soal Hanin, dia akan ngerti karena selama ini kita hanya jalin hubungan berdasarkan suka sama suka, gak pake perasaan," sambung Jeno menjelaskan.
Sejak kesepakatan itu tercetus, Jeno dan Aura akhirnya sepakat untuk menikah. Mereka pun mulai sibuk menyiapkan rencana pernikahan itu.
Dalam jangka waktu satu bulan, perlengkapan nikah telah rampung hampir 90%. WO, catering, tempat, vendor, semua sudah lengkap.
Tidak ada tanda-tanda Jeno akan kembali bersama Hanin. Sepertinya pemuda itu benar-benar serius dengan pernikahannya dengan Aura hingga memutus kontak dengan mantan kekasihnya tersebut, setidaknya itulah yang ada dalam pengamatan Aura terhadap calon suaminya.
Seminggu menjelang pernikahan keduanya, Bi Dima–Asisten rumah tangga–membawa serta putranya untuk ikut membantu di kediaman orangtua Aura.
"Saya ... Rayyan, Mbak."
"Jangan panggil mbak. Panggil Aura aja, sama kayak yang lain."
Respon Aura yang ramah membuat Rayyan tersenyum. Pria dengan lesung pipi itu menularkan senyumnya pada Aura yang melihatnya.
"Baiklah, Aura ..."
"Nah, begitu lebih baik. Semoga kamu betah ya disini. Bantuan kamu berarti disini karena kita memang kekurangan tenaga cowok. Adik aku dua-duanya emang cowok sih, tapi mereka sibuk masing-masing," kata Aura panjang lebar.
"Eh, Mas Rayyan udah kenalan sama Non Aura?" Bi Dima tiba-tiba datang dan menginterupsi percakapan antara Rayyan dan Aura.
"Udah, Bi. Ini aku tadi ngeliat Rayyan disini, aku pikir siapa, jadi aku tanya aja sama dia. Ternyata dia putranya Bi Dima, ya?" Aura menjelaskan.
Bi Dima menatap Rayyan dan dibalas pemuda itu dengan senyuman tipis.
"Ng—iya, Non. Ini Mas Rayyan memang putra saya," kata Bi Dima agak kikuk, tapi Rayyan mengangguk-angguk untuk mengiyakan ujaran sang ibu.
"Bi Dima gak pernah bilang kalau punya anak cowok." Aura nyengir pada asisten rumah tangganya itu.
"Saya baru balik dari kampung, Ra." Rayyan menyahut akrab.
"Oh ... oke, deh. Semoga kamu betah disini ya, Ray."
"Lho, memangnya Mas Rayyan mau menginap disini?" tanya Bi Dima yang justru terkejut seolah tidak tahu mengenai hal itu.
"Gak apa-apa ya, Bu? Aku bisa kerja dan bantuin disini, kok."
"Ng— tapi?" Bi Dima menggaruk pelipisnya, tampak ragu.
"Disini kayaknya lagi repot. Mau ada acara ya, Bu?"
"Iya, seminggu lagi pesta pernikahanku. Aku harap, kamu gak keberatan ya bantu-bantu Bi Dima disini." Aura yang menyahut.
Rayyan terkejut dengan jawaban Aura. Tapi, sesaat kemudian dia mengangguk. "Ya, saya akan membantu disini," katanya.
"Aura?"
Saat mereka masih asyik mengobrol, tiba-tiba terdengar suara Papa Sky yang memanggil putrinya.
Aura sontak melihat pada ibu dan anak yang sangat kontras tingginya itu.
"Bi Dima, Rayyan, aku tinggal dulu, ya."
Gadis itu pun berlalu setelah undur diri pada keduanya.
Aura kembali menangis saat mengingat momen-momen dimana pertama kalinya dia menyetujui perjodohan dengan Jeno. Begitupun dengan perkenalan pertamanya dengan Rayyan tempo hari, semua itu seperti film yang sedang diputar dalam tempurung kepalanya.
Mama Yara tidak sampai hati melihat dan mendengar tangisan putrinya. Dia merasa sangat terenyuh. Segala kalimat untuk menyemangati Aura seakan tidak berarti.
Beberapa kali pula Mama Yara mengatakan pada Aura bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi nyatanya Aura tetap sangat terpukul seperti ini.
Tentu saja, Mama Yara memahami bagaimana syoknya Aura saat ini. Apalagi di masa lalu Aura pernah mengalami pelecehan saat masih remaja hingga menyebabkannya trauma selama bertahun-tahun. Apalagi sekarang? Kini Aura justru mengaku telah ternoda dan kehilangan kehormatan.
Mama Yara sendiri, bingung dan nyaris pingsan saat mendengar kenyataan ini. Tapi, sebisa mungkin wanita paruh baya itu mencoba untuk kuat hati agar sang putri tidak merasa semakin terpojok.
Klek …
Pintu kamar Aura dibuka, ada Cean berdiri disana dengan tampang yang menyiratkan ketidaktahuannya. Tapi, beberapa detik kemudian pemuda itu mulai berujar pelan.
"Ma, Rayyan udah menunggu di bawah."
Mama Yara mengangguk, dia memang meminta Bi Dima untuk memanggil Rayyan dan mereka akan membahas hal terkait masalah yang sudah Aura ceritakan.
Mama Yara kembali melihat pada Aura yang masih menunduk dalam dan terisak-isak.
"Kita bahas ini sekarang ya, Nak. Ayo kita turun dan minta pertanggungjawaban Rayyan."
"Apa?"
Bukan cuma Aura saja yang terkejut dengan pernyataan sang Mama, tetapi Cean yang masih berdiri diambang pintu–juga sama terkejutnya. Otak pemuda itu langsung menstimulasi untuk mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Ma, Aura kenapa sebenarnya? Dan kenapa harus memanggil Rayyan? Terus, apa maksud Mama dengan meminta pertanggungjawaban?" serobot Cean tak tanggung-tanggung.
Mama Yara memberi isyarat dengan gelengan. "Kita bahas nanti. Biar ini menjadi urusan Mama, Papa dan Aura. Sementara ini Mama minta tolong sama kamu dan Rion untuk tenang dulu dan jangan memberikan statement apapun."
Kendati sang Mama sudah berkata demikian, tapi pemikiran Cean sudah kemana-mana dan sulit baginya untuk menahan emosi.
Mama Yara kembali menoleh pada Aura yang tidak bergerak sedikitpun. "Ayo, apa kamu mau masalah ini gak selesai dan berlarut-larut?" tanyanya.
Aura akhirnya mengiyakan ajakan sang Mama untuk turun ke lantai bawah. Dia berusaha untuk menata perasaan dan siap untuk kembali bertatap muka dengan pemuda yang sempat terbangun disisinya pagi tadi.
Bersambung …
...Visual Jeno...
Acara pernikahan itu akan dilangsungkan sebentar lagi. Malam ini, Jeno akan mengucap ikrar suci pernikahan dengan Aura, anak gadis dari sahabat Papanya.
Kendati Aura berumur satu tahun lebih tua daripada Jeno, tapi pemuda itu sudah menyukai Aura sejak mereka remaja. Hanya saja, untuk mendekati Aura, Jeno tidak berani. Sangking dia menghargai gadis itu, membuatnya sulit untuk mengungkapkan perasaan yang takutnya masih labil.
Diusia 25 tahun, siapa yang menyangka jika Jeno akhirnya diberikan lampu hijau untuk menikahi Aura. Doanya selama ini seakan terjawab, Aura seperti dikutuk tidak memiliki kekasih sampai akhirnya Jeno bisa menikahinya tanpa harus berpacaran lebih dulu.
Bukankah ini salah satu penghargaan untuk dirinya?
"Kenapa ijab kabulnya harus malam, Pa? Kenapa gak dari pagi terus lanjut acara resepsi?" Jeno bertanya pada sang Ayah.
"Nenek kamu maunya begitu, malam ini akad di kediaman Aura, besok siang resepsinya di Hotel." Mama Jenifer yang menyahut.
"Nah, udah denger, kan?" celetuk Papa Beno menimpali percakapan anak dan istrinya.
"Iya, deh, iya." Jeno menghela nafas pasrah atas ujaran sang Ayah.
"Dih, yang gak sabar mau menikah." Abel--Kakak Jeno-- datang dengan membawa serta keripik kentang kesukaannya. Dia tengah berbadan dua sekarang, membuatnya terlihat 'berisi'.
"iya, dong. Sebentar lagi aku bakal nikahin Aura. Ternyata doaku dikabulkan Tuhan, Kak."
"Emang kamu pernah berdoa?" cibir Abel.
"Ya pernah, lah!"
"Abis ini doain aku nyusul ya. Aku mau deketin Grey," kata Sheila yang ikut menimpali. Dia adalah anak bungsu alias adik Abel dan Jeno. Sheila memang sudah menyukai Grey Orion Lazuardi–adik Aura–sejak lama.
"Dih, kamu kuliah dulu yang bener!" sahut Abel dan Jeno kompak.
Mereka yang ada di ruangan itu sontak tertawa mendengar percakapan ketiga saudara itu.
Tawa mereka terjeda karena kedatangan wanita sepuh yang dihormati semuanya. Sang Nenek sudah datang dan memasuki ruangan tempat mereka berkumpul.
"Kamu udah siap, Jen?" tanya Bu Rosita pada Cucu laki-lakinya itu.
"Udah, Nek," jawab Jeno.
"Ya udah. Ayo kita berangkat mengantar calon pengantin," ujar Bu Rosita dengan raut bahagianya.
Segala bayangan tentang kejadian semalam, berpendar dalam ingatan Jeno. Harusnya hari ini dia dan Aura sudah menyandang status sebagai suami-istri. Sayang seribu sayang, gadis itu justru menghilang semalam. Bahkan sampai keluarga besar Jeno memutuskan untuk pulang di waktu yang sudah sangat larut, tidak ada tanda-tanda Aura telah kembali. Sepertinya, Aura tak akan pulang semalaman.
Mereka semua sudah menghubungi Aura, tapi ternyata ponsel gadis itu tertinggal di dalam kamar. Aura menghilang saat berniat didandani oleh MUA yang sudah menunggunya di kamar khusus berhias–begitulah kabar yang Jeno dengar.
"Kenapa Aura gak menolak pernikahan ini dari awal? Kenapa pakai acara kabur-kaburan dan menghilang di malam pengantinnya? Apa dia gak mikir, tindakannya ini membuat keluarga kita jadi malu!"
Bu Rosita sudah mengomel sepagi ini, tentu saja masih membahas masalah kemarin yang menyangkut pokok utama gagalnya acara akad yang akan Jeno ikrarkan.
"Sabar, Ma." Papa Beno berusaha menenangkan ibunya. Dia pun melirik pada sang putra yang tampak uring-uringan karena gagal menikah semalam. "Bukan cuma keluarga kita yang malu, keluarga besar Sky juga pasti malu karena hal ini. Kita gak pernah tau alasan Aura menghilang tiba-tiba tadi malam, jadi kita harus menanyakannya nanti," lanjutnya kemudian.
Jeno diujung ruangan masih tampak diam, dia bahkan tak tidur semalaman, memikirkan Aura yang melarikan diri dari acara sakral mereka. Ya, itulah pemikiran Jeno, termasuk semua keluarganya.
"Apa kurangnya cucuku? Kenapa malah ditinggalkan di malam pernikahan?" Bu Rosita kembali berang.
"... untung saja tempat akad dan resepsi dipisah dan yang hadir disana cuma kerabat saja semalam. Jika kejadian ini terjadi di Hotel dimana para tamu dan relasi sudah berdatangan, pasti keluarga kita lebih malu lagi."
Wanita tua itu mengembuskan nafas kasar.
"Hah! Bagaimana ini? Siang nanti resepsi di Hotel. Tidak mungkin acara itu dibatalkan. Semua pasti sudah bersiap untuk acara pernikahan Jeno dan Aura. Banyak relasi bisnis yang rela datang dari luar kota, bahkan luar negeri. Jika pengantinnya tidak ada. Mau bilang apa?"
"Udahlah, Ma. Kita bisa tetap ke sana nanti dan menyambut tamunya. Anggap saja Jeno dan Aura benar-benar sudah melaksanakan akad semalam. Nanti kita lakukan akad ulang jika Aura sudah kembali," kata Mama Jenifer mencoba memberi usul dan jalan keluar.
Mendengar pernyataan menantunya, Bu Rosita justru terbelalak.
"Maksud kamu apa? Jeno dan Aura akan tetap dinikahkan dilain waktu, begitu? Tidak! Mama tidak sudi. Dengan kejadian Aura yang melarikan diri seperti ini, itu sama saja dia tidak menerima pernikahannya dengan Jeno," tukas Bu Rosita tajam.
"Tapi, Ma–"
"Gak ada tapi-tapian, pernikahan mereka gak akan pernah terjadi sampai kapanpun. Aura sudah menginjak-injak harga diri keluarga besar kita!"
"Cukup!" Jeno yang diam sejak tadi, kini angkat suara sambil menegakkan diri. "Kalian semua cuma mikir soal malu! Gak ada satupun yang mikirin gimana perasaan aku!" sengitnya sambil berlalu pergi.
"Jeno!"
"Jeno!"
Pemuda itu tidak menghiraukan lagi panggilan dari Nenek dan kedua orangtuanya, dia pergi dengan rasa dongkol luar biasa.
...***...
Di lain sisi, tepatnya di kediaman keluarga Aura. Gadis itu duduk diapit kedua orangtuanya.
Dikiri ada sang Oma, dan di kanan ada kedua adik lelakinya–Cean dan Rion.
Aura menundukkan kepala karena kini tepat diseberangnya ada Rayyan yang seakan sedang menghadiri sidang di tengah-tengah keluarga besarnya.
"Saya sudah mendengar semuanya dari Aura," kata Papa Sky memulai pembicaraannya.
Rayyan yang sejak tadi menunduk kini mengangkat wajah demi menatap pria paruh baya yang berkarisma itu.
Tidak ada kata yang keluar dari bibir Rayyan–seolah dia memang sengaja menunggu agar Papa Sky berujar lebih lanjut terkait pembahasan mengenai dia dengan Aura.
"Saya ingin mendengar dari kamu, kenapa kamu melakukan itu pada putri saya?"
Rayyan mengehela nafas singkat sebelum akhirnya bersuara.
"Jika saya diizinkan untuk jujur, maka jawabannya adalah saya juga tidak tau kenapa saya dan Aura bisa berakhir di kamar yang sama–"
"Breng sek!" Rupanya itu sahutan dari Cean yang berada diujung sana, dia mendengkus, ada kilatan geram di kedua bola matanya, dia tak terima saudari kembarnya dilecehkan seperti ini oleh pemuda bernama Rayyan yang baru menghuni Paviliun keluarganya seminggu belakangan.
Semua yang ada disana sontak mengalihkan tatapan pada Cean, tapi Mama Yara memberi isyarat pada putranya untuk tetap diam dan mendengarkan perundingan ini sampai benar-benar menemukan titik terang.
"Saya tau jawaban saya memang terdengar seperti pria breng sek. Saya tidak menyangkal hal itu. Tapi, meski saya tidak sadar apa yang sebenarnya terjadi, saya siap untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang sudah terlanjur saya lakukan," kata Rayyan gentle.
"Tanggung jawab apa yang bisa kamu berikan?" Papa Sky kembali terfokus pada Rayyan.
"Saya siap menikahi Aura sebagai bentuk pertanggungjawaban saya. Itupun jika saya diizinkan."
Mendengar itu, Aura sontak menggeleng kuat dalam posisinya. Dia tidak mau menikah dengan lelaki asing seperti Rayyan kendati mereka sudah sempat berkenalan singkat tempo hari.
"Aku enggak mau, Pa, Ma," lirih Aura.
Semua mata kini tertuju pada gadis itu.
Oma Indri mulai angkat suara sekarang. "Aura, jika Rayyan siap menikahi kamu, itu lebih baik, Sayang. Dia mau bertanggung jawab …" bujuknya. Oma Indri memahami kondisi Aura sekarang, belum tentu ada pemuda yang mau menerima keadaan Aura apa-adanya setelah semua ini terjadi.
"Aku gak mau, Oma. Aku gak mau!" pekik Aura histeris.
Aura pun bangkit dari duduknya, kemudian melesat pergi diiringi dengan isakan yang sangat mengiris hati semua keluarga besarnya.
Bersambung …
...Visual Rayyan...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!