Malam semakin pekat. Namun tidak dengan gemerlap kota London malam itu. Hingar bingar dunia malam justru baru saja di mulai. Gemerlap lampu warna-warni layaknya pelangi menyorot setiap sudut ruangan yang temaram disalah satu klub terkenal di London. Dentuman musik DJ menggema ke setiap sudut ruangan. Semua orang asyik menari mengikuti iringan musik DJ di lantai dansa. Klub itu mempunyai lima lantai. Lantai 1 dan 2 untuk bar, lantai 3 dan 4 untuk lantai dansa dan lantai 5 paling atas adalah ruangan VIP.
Seorang pria dengan rambut gondrong dengan cepolan di atas, alis tebal, kulit putih, mata sedikit sipit, bibirnya merah sensual dengan hidung yang mancung, mendeskripsikan bahwa pria itu memiliki paras yang begitu sempurna. Brian Arga Putra Dirgantara, 22 tahun, putra seorang konglomerat dari Indonesia yang lahir dan terbiasa hidup di luar negeri. Kehidupannya begitu sempurna. Terlahir dengan wajah tampan dan dengan kekayaan yang luar biasa tanpa harus bekerja keras, sebuah keberuntungan yang luar biasa. Apapun yang ia inginkan pasti akan diwujudkan oleh orang tuanya. Apalagi ia adalah putra terakhir dari keluarga Dirgantara, yang namanya sudah sangat tidak asing ditelinga kalangan para pebisnis dan jajaran konglomerat di Indonesia.
“Ladies! Its show time!” seru Brian sambil mengangkat gelas yang berisi wine. Brian selalu menghabiskan malamnya bersama dengan para gadis. Sesekali Brian bergantian mencium para gadis yang menemaninya malam itu. Wajah tampan Brian juga menjadi santapan untuk bibir merah para gadis. Ia merasa menjadi seorang raja yang mempunyai kuasa, kekayaan dan daya pikat yang luar biasa. Bahkan dengan bebas meniduri gadis manapun yang ia inginkan.
Brian selalu memesan ruang VIP di sana. Ruang VIP yang khusus dan hanya untuk Brian. Ia bahkan rela membayar lebih demi satu ruangan favoritnya di sana. Tidak ada yang berani menyentuh atau bahkan menyewa ruangan itu. Meskipun masih muda, Brian sudah memiliki kekuasaan yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Tampan, kaya dan banyak wanita. Hidupnya selalu dikelilingi oleh banyak wanita. Brian tidak akan pulang sebelum ia mabuk berat sampai tidak sadarkan diri.
“Tuan muda, mari kita pulang.” Salah satu pengawalnya berusaha membangunkan Brian yang sudah terkapar tak berdaya diatas sofa.
“Ahhh… untuk apa pulang. Belum pagi juga, untuk apa pulang.” Ucapnya dengan suaranya yang benar-benar sudah mabuk berat.
“Hei kalian ladies, temani aku malam ini.” Ucapnya lagi sambil menunjuk para gadis bule yang terdiri dari enam orang itu.
“Tidak bisa Tuan muda. Nyonya besar sedang dalam perjalanan kemari.” Ucap si pengawal.
“Masih di udara juga kan? Sudahlah, biarkan aku bersenang-senang. Jangan banyak bicara atau aku pecat!” Brian mengancam sambil menunjuk wajah pengawalnya itu. Si pengawal hanya bisa diam dan menuruti perintah Tuan muda. Akhirnya dengan dibopong pengawalnya, Brian memasuki mobil bersama dengan para gadis yang menemaninya. Tentu saja mereka tidak menolak karena Brian sudah menjadi tamu VIP yang terkenal sangat royal. Apalagi paras tampannya tentu saja dengan mudah memikat hati para wanita. Apapun yang Brian minta pasti mereka lakukan. Brian bahkan mendapat julukan The Rich Brian.
Akhirnya Brian sampai juga di apartemen. Para gadis itu mengekor masuk ke dalam apartemen. Keenam gadis itu membopong tubuh Brian lalu merebahkannya diatas tempat tidur.
“Ayo kita bermain!” ajak Brian dengan kesadaran yang hanya tinggal beberapa persen saja.
“Apa yang harus kami lakukan Tuan muda?” tanya salah satu dari mereka.
“Kalian berenam, pijit aku! Sampai aku tertidur. Dan ambil uang di laci sesuka hati kalian. Aku hari ini lelah dan sedang tidak ingin bercinta dengan kalian.”
“Tumben sekali Tuan muda tidak ingin bercinta?” mereka saling berbisik.
“Iya ya. Apa kita kurang menarik?”
“Atau mungkin Tuan muda saat datang ke klub sudah menghabiskan waktunya dengan wanita lain ya?”
“Sepertinya begitu. Aku mau uangnya tapi juga ingin merasakan sentuhan Tuan muda.”
“Kita pijit saja dulu dan nanti kita goda. Aku dengar, permainannya sangat gila.”
“Baiklah, kita pijit saja.” Setelah mereka berenam saling berbisik, mereka memutuskan untuk menuruti perintah Brian. Brian sungguh menikmati pijatan mereka. Ada salah satu dari mereka yang dengan sengaja ingin menyentuh bagian sensitifnya namun Brian dengan cekatan mencengkeram tangan salah satu dari mereka.
“GET OUT!” Bentak Brian sambil menepis kasar tangan salah satu gadis itu.
“Bu-bukannya Tuan sangat menyukainya.” Ucapnya dengan tergagap.
“Sudah aku bilang kalau aku tidak ingin bercinta. Keluar sana! Bahkan tanpa uang sepeser pun.”
Gadis itu dengan raut wajah kesal akhirnya keluar dari apartemen Brian.
“Kalian sudah lihat kan? Aku memang pemain tapi aku saat ini sedang tidak ingin bermain. Jadi, kerjakan saja apa yang aku perintahkan. MENGERTI!”
“Mengerti Tuan muda.” Jawab mereka dengan kompak.
“Lanjutkan!” perintah Brian. Dan akhirnya Brian benar-benar tertidur dengan pulas. Para gadis itu pergi setelah mengambil uang yang di tunjukkan oleh Brian.
Keesokan harinya, Brian terbangun dari tidur panjangnya. Kepalanya masih terasa berat. Ia duduk dan mengingat kejadian semalam. Mengingat hal menyebalkan semalam.
“Menyebalkan sekali mereka.” Ucapnya sambil memijat kepalanya. Brian kemudian beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur. Namun, alangkah terkejutnya Brian saat melihat sang Ibu sudah duduk diruang tengah.
“Mam-Mama!”
“Sudah puas tidurnya? Bermain-mainnya juga sudah puas?” ucap Nyonya Dira sembari menyesap secangkir teh ditangannya. Brian tersenyum lebar lalu memberikan pelukan dan kecupan pada sang Mama.
“Morning, Mom. I miss you. Ada apa Mama mendadak kemari? Apakah Mama merindukanku? Merindukan putra Mama yang tampan ini?”
Nyonya Dira menghela nafas kasar. “Entah kenapa semua anak-anakku menjadi narsis seperti Papanya.”
“Gen Papa terlalu kuat, Mah. Oh ya, Papa mana?”
“Itu yang ingin Mama katakan padamu.” Nyonya Dira mulai memasang raut wajah serius.
“Ada apa Mah? Wajah Mama mendadak berubah.” Brian membenarkan posisi duduknya. Menatap serius wajah Mamanya. Nyonya Dira terdiam sejenak. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Dan akhirnya bulir air mata lolos begitu saja.
“Mah, kenapa menangis?” Brian menyeka lembut bulir air mata yang membasahi wajah cantik Nyonya Dira.
“Brian, kita harus menerima kenyataan.”
“Kenyataan apa Mah? Mama ihh, jangan buat aku penasaran begini.”
“Kamu tentu saja tidak akan tahu dan mengerti semua ini. Kamu tidak tahu keadaan bisnis keluarga kita. Karena kamu fokus untuk kuliah dan tentunya bermain-main disini.”
“Mah, aku kuliah beneran kok. Ya, main-main biar nggak boring aja, Mah.” Jawab Brian dengan entengnya.
“Kamu ini masih saja bisa menjawab. Mama serius, Brian.” Kesal Nyonya Dira.
“Aku juga serius, Mah.”
“Brian, kita kembali ke Indonesia sekarang.”
“WHAT? NO! Aku senang di London, Mah.” Brian pun memberikan reaksi penolakan yang cukup keras.
“Tinggal satu semester lagi, Mah. Pokoknya aku tidak mau!” tolak Brian dengan keras.
“BRIAN!” Bentak Nyonya Dira.
“Kita bangkrut! Papa dan Mama tidak bisa melanjutkan kuliahmu disini.”
“Apa? Bangkrut?” Brian benar-benar syok mendengar apa yang dikatakan oleh sang Mama.
“Tidak mungkin, Mah. Masa iya kita bisa bangkrut. Perusahaan raksasa masa iya bangkrut begitu saja.” Brian masih menolak untuk percaya. Baginya mustahil keluarga mereka bangkrut.
“Papa kamu jatuh sakit. Papa ditipu milyaran rupiah, pabrik terbakar dan pinjaman sudah sangat menumpuk. Semua aset sudah menjadi jaminan. Semua hal bisa terjadi, Brian. Papa bahkan syok dan sekarang dirumah sakit. Papa mu ceroboh, Brian.” Jelas Nyonya Dira dengan deraian air matanya. Brian terduduk lemas. Ia menyugar rambut gondrongnya, berusaha untuk tidak percaya dengan ucapan Mamanya.
“Mah tapi aku pintar, aku masih bisa pakai jalur beasiswa. Aku masih tetap ingin di London.” Brian masih ngotot.
“Kamu bisa masuk dengan beasiswa tapi untuk menghidupi mu disini, siapa yang yang akan menanggung biayanya? Papa dan Mama sudah tidak sanggup.”
“Ini tidak masuk akal, Mah. Hyung dan Noona, mereka bisa mengurusnya kan? Kenapa sampai bangkrut? Kak Raja juga punya bisnis, apa tidak bisa membantu? Ini aneh. Masa iya aku mendadak miskin , Mah. Tidak mau, ah.” Bukannya berempati, Brian justru merengek dan menolak nasibnya sebagai pria tampan yang miskin.
“Mom, predikat rich brian ku akan hilang.” Sambungnya lagi yang mulai merasa frustasi. BUG! Nyonya Dira melayangkan tinju ke perut Brian.
“Awww! Sakit, Mom.”
“Apa kamu tidak sedih, hah? Papa dan saudara-saudara kamu sedang berjuang disana. Kamu pikir masalahnya disana saja. Berita kita sudah masuk media.” Ucap Nyonya Dira dengan suara meninggi.
“Sekarang berkemas! Mama tunggu.”
“Aku tidak mau miskin, Mah. Mah, bagaimana reputasiku? Pasti mereka tidak ada yang mau mendekati aku. Belum lagi nanti kalau aku kembali ke Indo. Mereka pasti membullyku.”
“Brian, tidak akan ada yang mengenalmu. Papa sangat menjaga privasi anak-anaknya. Apalagi kamu lebih senang tinggal di luar negeri jadi kamu tidak akan tersekspose. Justru yang pusing Hyung mu. Karena Hyung mu yang menggantikan Papa untuk menghadapi media dan amukan investor.” Nyonya Dira mulai kehabisan kesabaran dengan sikap putra bungsunya. Brian dengan langkah gontai masuk ke dalam kamarnya. Benar-benar bagai mimpi buruk untuk Brian. Semalam, ia masih bisa bersenang-senang dengan para gadis. Tapi saat bangun tidur, semuanya sudah berubah.
“Ini pasti mimpi?” Brian menampar sendiri wajahnya. Dan ia merasakan sakit. Lalu ia mencubit sendiri tangannya dan masih terasa sakit.
“Ya Tuhan, ini mimpi kan? Aku tidak mau miskin. The rich Brian tidak mungkin berubah menjadi the poor Brian. No, no, no! Wajah tampan ku tidak sesuai dengan kemiskinanku.” Brian bermonolg sendiri sambil merengek seperti seorang bocah yang tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya. Ia kemudian membuka lacinya dan laci yang berisi uang benar-benar kosong.
“Wah, mereka benar-benar mengambil semuanya. Sialan! Eh tapi aku juga yang bilang untuk mengambil sesuka hati mereka. Tapi semalam aku masih kaya jadi tidak masalah. Tapi sekarang aku sudah miskin. Aduh, bagaimana ini? Hua… hua… hua… Aku miskin!” Isak tangisnya meratapi nasib dari the rich Brian menjadi the poor Brian.
#Bersambung... Hai-hai sobat readerku. Akhirnya cerita Brian keluar juga. Tetap pantengin terus ya. Dijamin seru banget....
#NOTE : Ceritanya tentu beda dari sebelumnya ya. Karena sengaja dibuat lebih fresh dan lebih seru. Happy Reading....
Brian dengan amat sangat terpaksa segera pergi mandi. Di bawah guyuran shower, ia membayangkan kehidupannya nanti tanpa uang dan kekuasaan seperti apa.
"Akhhh... Aku tidak bisa membayangkan semua ini. Aku tidak mau miskin! Ah, Emmeli! Iya, Emmeli pasti masih mau menerimaku. Dia kan satu-satunya wanitaku yang paling setia. Dia juga pasti mau membantuku." Ucapnya dalam hati. Brian segera menyelesaikan ritual wajib di kamar mandi. Ia bergegas ganti baju sebelum sang Ibu mengajaknya pergi.
"Mah, aku mau menemui temanku dulu." Pamit Brian dengan tergesa-gesa.
"Siapa Brian?" tanya Nyonya Dira dengan sorot mata penuh selidik.
"Just a friend, Mom. Please... for the last time, Mom." Ucap Brian dengan tatapan memohon.
"Oke. Jangan lama-lama."
"Thank you, Mom."
Brian dengan semangat dan penuh harap pergi ke apartemen Emmeli. Saat pintu terbuka, Brian dibuat terpukau melihat Emmeli yang hanya mengenakan bikini yang begitu seksi.
"WoW! You are so sexy..." Brian langsung memeluk dan melu...mat bibir seksi Emmeli penuh dengan gairah. Emmeli pun membalasnya dan tak kalah liar. Kedua tangan Brian mere...mas bongkahan pantat Emmeli tanpa melepaskan pagutan keduanya. Hasrat Emmeli semakin di puncak, ia kemudian melepas satu persatu kancing meja Brian dan melepaskannya dengan kasar. Emmeli melepaskan pagutannya lalu mendorong tubuh Brian ke atas ranjang.
"Kamu harus menerima hukuman, Brian. Semalam kamu melupakan aku."
"Iam sorry, honey. Aku siap menerima hukuman darimu." Ucap Brian.
"Yah, aku sadar! Emmeli lah yang paling tulus. Dia tentu sudah mendengar berita tentangku tapi dia masih menyambut ku. " Ucap Brian dalam hati saat melihat sosok wanita dihadapannya, yang memiliki usia lima tahun lebih muda darinya.
"Kapan kamu menjadikan aku satu-satunya?"
"Detik ini, honey! Aku sudah berhenti dan hanya kamu." Ucap Brian dengan nafas naik turunnya. Emmeli tersenyum mendengar ucapan Brian. Emmeli mendengar desas-desus berita tentang Brian namun ia masih tidak percaya. Karena ia tahu bagaimana kaya-nya seorang Brian. Apalagi hari ini Brian mendatanginya.
"Pasti Brian sengaja membuat berita itu supaya tidak ada wanita yang mendekatinya lagi. Dan sekarang, akulah pemenangnya. Aku lah yang akan menjadi Nyonya Brian. Aku harus melayaninya." Ucap Emmeli dalam hati.
Emmeli dengan senyum smirk, merangkak naik ke atas tubuh Brian. Bahkan Emmeli dengan sadar melepaskan bra yang masih menutupi gunung kembarnya. Brian tersenyum lebar melihat gundukan kenyal itu. Kedua tangan Brian mulai menyentuh dan meraba lembut gundukan kenyal itu.
"Aku suka ekspresi polos mu ini. Sangat menggemaskan. Bagaimana bisa pria muda sepertimu sudah hebat dalam hal seperti ini?"
"Semua ini karena mu, Emmeli." Tanpa ragu, Brian langsung mere...masnya dengan lembut. Membuat Emmeli mende...sah nikmat sambi menggigit bibir bawahnya.
"Ouchhh...." desah Emmeli. Emmeli menurunkan tubuhnya, membantu Brian untuk menjangkau gunung kembar miliknya. Brian menghisapnya, menggigit ujungnya dan sesekali lidahnya berputar mengelilingi aerolanya. Brian tenggelam dalam hasratnya. Dirinya benar-benar telah terjerumus dalam pergaulan bebas dunia luar.
Setelah Emmeli memakaikan pelindung ke senjata Brian yang sudah sangat tenggang, Emmeli bersiap merangkak naik ke atas tubuh Brian. Namun tiba-tiba suara dering ponsel memecah momen memanas antara keduanya. Padahal keduanya sudah dalam posisi naked.
"Akhh sial!" Brian mengumpat.
"Tolong, ambilkan ponselku Emmeli." Pinta Brian. Emmeli mengangguk turun dari ranjang lalu mengambil ponsel Brian yang ada di atas nakas.
"My lovely Mom." Ucap Emmeli.
"Oh my god! Aku lupa! Mama ada di apartemenku."
"Jadwal kunjungan Mama kamu."
"Yes, honey."
"Baiklah, aku akan menerima panggilan dari Mama kamu. Aku ingin mengenalnya lebih dekat." Ucap Emmeli. Brian hanya mengangguk pasrah.
"Halo, Tante." Sapa Emmeli dengan nada suara yang lembut.
"Halo, ini siapa? Mana Brian?" tanya Nyonya Dira dengan nada kesal.
"Hai Tante, aku Emmeli. Aku teman dekat Brian. Dia sedang ke kamar mandi."
"Astaga! Putra bungsuku ini benar-benar membuatku darah tinggi." Gerutu Nyonya Dira dalam hati.
"Emmeli, tolong katakan pada Brian untuk segera kembali. Kami akan meninggalkan London."
"Ke-kenapa Tante?"
"Emmeli, Papa Brian sakit. Perusahaan collapse. Brian tidak bisa lagi kuliah disini apalagi tinggal disini."
"Apa? Collapse? Jadi, berita yang aku dengar benar?"
"Kamu bisa lihat beberapa cabang di London sudah pindah tangan ke investor. Jika kamu mengenal Brian, kamu pasti tahu itu." Ucap Nyonya Dira dengan suara terdengar sedih. Brian mencoba bangkit dan memeluk Emmeli dari belakang. Namun tiba-tiba Emmeli malah mendorong Brian dan menjauh dari Brian.
Brian mengangkat alisnya, tidak mengerti dengan penolakan Emmeli. Sementara Emmeli hanya memberi kode dengan menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya sendiri. Karena ia ingin menggali semua informasi dari Mamanya Brian.
"Apakah itu benar Tante? Aku tidak menyangka jika semua ini akan terjadi."
"Ya, aku harap saat ini kamu bisa menguatkan dan menemani Brian di posisi terendahnya. Dia sangat butuh dukungan. Aku harap kamu tidak meninggalkannya. Dan cepat minta Brian kembali. Papanya juga sedang kritis."
"Baiklah, Tante. Aku turut prihatin atas semua ini, Tante. Aku akan meminta Brian untuk pulang. Aku tutup telponnya." Emmeli lalu mengakhiri panggilannya.
Emmeli dengan kesal melempar ponsel Brian di atas kasur. Ia lalu menyambar kimono berbahan sutra untuk menutupi kembali tubuhnya.
"Honey, kenapa kamu mendorongku?" tanya Brian seraya mendekat ke arah Emmeli.
"Shut up! You are disgusting!" ucap Emmeli dengan suara meninggi. Ia kemudian melemparkan semua pakaian Brian ke lantai.
"Cepat pakai bajumu dan pergi! GET OUT!"
"Why are you angry? Aku salah apa? Did my mom say something that hurt your feelings?" tanya Brian sambil memakai kembali pakaiannya.
"NO! Bukan karena ucapan Mama kamu tapi karena aku yang tidak siap miskin."
"Oh, jadi Mama sudah menceritakannya. "
"Iya. And I can't live poor. Moreover, having to accompany you with conditions like this. You think, I satisfy you is free? You are wrong!"
Brian mendecih. "Aku pikir kamu beda."
"Hhh... Kita sama-sama brengsek Brian. Tidak usah merasa paling tersakiti atau menderita. Sebaiknya cepat pergi! Masih banyak pria yang mau tidur denganku dan yang pasti menguntungkan juga untukku."
"****!" Ucap Brian seraya berlalu meninggalkan kamar Emmeli. Pantang bagi Brian untuk memohon dan mengemis pada seorang wanita. Sekalipun jatuh miskin, harga diri harus tetap di junjung tinggi.
"Awas saja, Emmeli! Berani-beraninya menolakku yang sedang on fire. Sial! Brengsek! Aku tidak mau miskin! I hate poor!" Brian merutuk dalam hati sambil mengacak rambutnya frustasi, selama dalam perjalanan menuju apartemen miliknya.
"Aku pastikan ini semua hanya mimpi. Dan akan aku beli lagi kekuasaanku." Gumamnya dengan penuh keyakinan.
#Bersambung.....
"Bagaimana? Apa Emmeli mau menerimamu?" tanya Nyonya Dira ketika melihat wajah kusut putra bungsunya yang baru saja tiba di apartemen. Brian hanya mendengus kesal sambil menggeleng.
"Sudah, Mama duga! Kita tidak ada waktu lagi. Sekarang bereskan semua pakaianmu dan pergi."
"Mom… setidaknya berikan aku waktu untuk istirahat, Mom. Ini terlalu mendadak."
"Tidak bisa Brian. Apartemen ini sudah terjual."
"What?" mata Brian membulat sempurna.
"Iya dan sudah beberapa hari yang lalu. Besok penghuni barunya akan segera menempatinya. Sayang, kita harus belajar menerima kenyataan."
"Mom, tolong tampar aku! Ini pasti mimpi."
"Oke baiklah! Mama akan menamparmu. " Dengan senang hati Nyonya Dira mendaratkan sebuah tamparan keras pada kedua pipi wajah Brian. PLAK! PLAK!
"Awww... Sakit, Mom!" rintih Brian sambil mengelus kedua sisi wajahnya.
"Makanya, kamu jangan aneh-aneh. Kamu harus sadar, Brian. Roda kehidupan terus berputar. Sekarang, cepat bereskan semuanya."
"Iya-iya." Ucap Brian pasrah. Dengan langkah gontai, ia menuju ke kamarnya dan membereskan semua pakaiannya.
Setelah semuanya siap, Brian segera menuju bandara bersama Nyonya Dira.
“Mom, kita naik kelas ekonomi?” tanya Brian saat baru saja kakinya melangkah ke dalam awak pesawat.
“Iya. Kalau kamu mau, naik saja ke kelas bisnis, itu kalau kamu mau di lempar.” Ketus Nyonya Dira. Ada penyesalan di sudut hati Nyonya Dira melihat sikap Brian yang saat ini tidak bisa menerima kenyataan. Penyesalan karena terlalu manja mendidik putra bungsunya itu. Namun nasi sudah menjadi bubur. Brian mau tidak mau harus terbiasa dengan keadaan ini.
“Galak banget, Mama.” Gerutu Brian. Dengan wajah cemberut Brian terpaksa menurut. Sepanjang perjalanan menuju Indonesia, Brian terbayang dengan kenangan masa kecilnya yang begitu membahagiakan. Semua kebutuhannya terpenuhi. Mau pergi dan beli apapun bisa. Belum lagi teman-temannya di London mendadak menjauhinya karena dirinya bukan the rich Brian lagi melainkan the poor Brian.
“Malang sekali nasibku ini. Sebaiknya aku tidur dan semoga saat bangun, aku sudah berada di apartemen mewahku, London. Ini pasti mimpi!” Ucapnya dalam hati.
Setelah 17 jam lebih berlalu, akhirnya Brian tiba juga di tanah air. Raut wajahnya kembali murung saat mendapati takdir barunya menjadi si miskin. Nyonya Dira hanya bisa menggeleng melihat sikap putra bungsunya itu.
“Mom, yakin ini mobilnya?” lagi, Brian protes karena hanya sebuah mobil Kijang Kapsul 97 yang menjemputnya.
“Iya, Brian.”
“Oh No! Alphard, roll Royce, Lamborghini, Ranger rover, Rubicon ku dan juga yang lain mana Mom? Kasta kita benar-benar turun, Mom?”
“Brian, belajarlah menerima kenyataan. Masih bagus juga mobilnya. Ini saja kita menyewanya.”
“Oh my god! Mom, ini parah sekali.”
“Jangan banyak bicara, atau mau Mama pukul lagi?” Nyonya Dira mengancam sambil mengepalkan tangannya di depan wajah Brian. Brian langsung menciut melihat kepalan tangan Mamanya. Karena Mamanya saat muda memegang sabuk hitam.
Dengan amat sangat terpaksa Brian naik mobil yang sangat jauh dari ekspetasinya. Brian yang terbiasa tinggal di luar negeri dan terbiasa dengan udara yang sejuk bahkan dingin, tentu saja merasa kepanasan selama di dalam mobil. Apalagi mobil itu tanpa AC jadi semua jendela harus terbuka. Beberapa kali Brian dibuat terbatuk karena debu yang masuk.
“Aku bisa gila kalau seperti ini. Wajah ku bisa kusam. Polusi udara disini sangat parah.” Gerutunya dalam hati sambil sesekali menyeka wajahnya dengan tisu. Nyonya Dira hanya bisa memijat keningnya melihat tingkah putranya yang benar-benar mirip dengan suaminya.
“Pah, Pah, kenapa semua anak-anakmu ini pada sok jijik dan sok bersih begini dan ditambah narsis pula.” Gumam Nyonya Dira dalam hati.
Mobil kemudian mengarah menuju rumah sakit tempat Tuan Keenan dirawat.
“Mah, kok kesini? Bukannya kerumah.”
“Saudara-saudara kamu didalam sana dan Papa juga dirawat. Papa berpesan pada Mama kalau harus mengajakmu ke rumah sakit langsung saat kamu tiba di Indonesia. Jangan cerewet dan banyak protes, mengerti?”
“Iya Mom.” Brian mengangguk pasrah dan mengikuti langkah kaki Nyonya Dira menuju ruangan tempat suaminya dirawat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!