"Hapus air mata kamu, Anja! Jangan berpikir seolah-olah, Ibu menjerumuskan kamu! Setelah ini, hidupmu akan terjamin dan rumah kita ini selamat tak jadi di sita oleh rentenir!"
"Tapi, Bu. Kenapa harus dengan cara ini? Anja, punya kekasih, Bu."
"Halah! Masa depannya enggak jelas. Dia itu cuma montir kere! Kamu emang mau, dikasih makan mur sama baut!"
_______________
"Arka! Woy!" Mendapat panggilan dari kawannya, pria berusia dua puluh delapan tahun ini pun memberhentikan kendaraan bututnya, hingga terdengar bunyi yang membuat sakit telinga.
Dredekkk!
Suara mesin dimatikan macam batang pohon yang patah.
"Kenapa? Gua buru-buru, nih. Di bengkel A Seng lagi banyak banget kerjaan. Kapan-kapan aja dah, gua nongkrong ama lu, pada!" Pria yang bernama, Arka ini bermaksud menstarter kembali kendaraan roda duanya yang berbunyi nyaring ini.
"Sabar, dong, Bro! Kita bawa berita nih buat, ente!" Salah satu anak muda yang mengenakan kaus dan celana levis belel itu pun mendekati, Arka, ia pun langsung merangkul bahu kawannya ini. Sekilas mereka berdua memberi tatapan miris pada , Arka.
Sebut saja, dia Bimo. Anak kampung Rawa Cetek. Kampung yang sama dimana kekasih hati, Arka tinggal.
"Berita apaan? Cepetan!" Arka terlihat tak sabaran. Ia kembali memutar kunci kontaknya, bersiap untuk kembali menjalankan kendaraannya.
"Janji, jangan nangis entar! Pokoknye, kudu kuat dulu deh tuh hati. Jangan sampe, nanti ente bundir kayak si Predi," ucap Bimo yang nampak serius merangkul bahu, Arka.
"Apaan sih, elu berdua serius banget!" Arka pun menjadi ikut serius karena raut wajah Bimo dan satu kawannya lagi ini, seakan ragu untuk berbicara.
"Cewek lu, si Anja. Barusan nikah," ucap Roni, kawan dari, Arka yang lain.
"Hah!" Arka sontak turun dari motornya.
"Jangan ngarang lu pada! Kagak lucu becanda Lu tau gak!" Arka pun mendorong kening, Bimo dan Roni. Kemudian, ia kembali menaiki kendaraannya yang terkadang mogok itu. Maklum, motor tua. Bahkan, tak ada surat-suratnya. Arka, membelinya murah meriah. Hanya, satu juta lima ratus saja. Tanpa STNK tanpa BPKB.
"Kita serius!" Bimo dan Roni berkata serempak. Mereka tidak terima pagi-pagi sarapan, toyoran kepala. Demi apa mereka menunggu sejak tadi di pinggir jalan. Kawan yang diberi informasi justru tak percaya dengan mereka.
"Nih, kalo kagak percaya!" Bimo, menunjukkan ponsel dengan layar setengah retak itu ke arah, Arka.
Kemudian, pemuda tampan yang berpakaian serba dekil itu lantaran bekerja di bengkel, menekan tanda panah di tengah gambar. Ternyata itu adalah sebuah rekaman video. Dan seketika ...
Arka merasa petir menyambar di depan wajahnya saat ini. Wanita dalam rekaman Vidio amatir yang begitu kentara jelas. Tangannya yang menggenggam ponsel seketika gemetar.
"I–ini? Ini bukan, Anja. Ini, bukan, Anja pacar gua kan!" teriak Arka yang telah mencekal kerah baju Bimo dan juga Roni.
"Lepas, anying! Ngapa lu jadi marah ama kita berdua!" sentak Roni menepis cekalan pada kerah bajunya. Putus sudah kancing yang tadi pagi baru saja ia pasang, mana warnanya belang tak seragam dengan deretan kancing yang lainnya.
"Sabar, Bro. Kan gua udah bilang tadi. Ente kudu nyiapin hati. Kalo masih kagak percaya juga. Gih sono, ente samperin. Sekalian sarapan gratis makan ati, eh prasmanan," ucap Bimo setengah berkelakar.
Dengan bodohnya, Arka menuruti apa kata, Bimo. Ia berlari ke rumah sang kekasih yang mana beberapa saat lalu ia lihat di video tengah memakai kebaya pengantin. Pasangan, yang ia lihat di dalam ponsel Bimo sepertinya baru saja melaksanakan akad nikah.
"Ye, tu anak mendadak bego!"
"Dia lari, motor di tinggal! Ah, korban patah hati pasti geser otaknya!" Tanpa akhlak Bimo dan Roni yang notabene adalah sahabat dari Arka. Tertawa hingga terpingkal-pingkal.
Brugh!
"Astaghfirullah!" Salah seorang ibu-ibu yang hadir sontak menoleh ketika, terdapat seorang pemuda baru saja menendang kuat salah satu kursi tamu hingga terpental. Pengantin yang mengenakan kebaya cantik pun keluar setalah banyak tamu yang berbisik-bisik.
Sorot mata, Arka terlihat begitu tajam.
Meminta penjelasan pada sosok tinggi semampai yang berdiri di hadapannya saat ini.
"Mas, Arka ...," Anja menutup mulut dengan kedua tangannya. Air mata berderai membasahi kedua pipinya.
Beberapa bulan kemudian.
Anjali!" panggil seorang pria yang menghentikan kendaraan roda duanya tepat di hadapan wanita cantik yang tengah berbadan dua.
Arka, telah mengikhlaskan wanita yang dicintainya ini menikahi pria lain. Sebab, Anja telah menceritakan semua padanya. Bahkan, Arka menyaksikan sendiri bagaimana keadaan yang sebenarnya dalam pernikahan, mantan kekasihnya ini.
Wanita yang mengenakan daster hamil itu pun menoleh ragu-ragu. Siapa lagi yang memanggilnya, kalau bukan Arka Sanjaya. Hanya pria itulah yang memanggilnya dengan nama lengkap, bukan sepenggal saja. Dialah, mantan terindah yang selalu di kenang oleh, Anja.
'Kamu semakin cantik ketika hamil, Anja. Meskipun kau terlihat sedikit kurus dan lusuh. Suamimu itu memang minta di hajar. Sayang aku tak memiliki kuasa apapun untuk itu. Aku hanya bisa meringankan bebanmu sebatas ini.' batin Arka menatap Anja sendu. Ia turut sedih atas apa yang terjadi pada mantan kekasihnya ini.
Anjali mendorong sodoran dari tangan Arka yang mengepal.
"Tolong, Mas. Lain kali, jangan mencegat ku seperti ini lagi. Bagaimana jika kak Norma melihat dan melaporkan kejadian ini pada bang Guntur," tegur, Anja tegas.
Namun, wanita cantik yang nampak lelah ini, tak berani menatap langsung ke wajah Arka. Pria yang bekerja di bengkel Suzuka, di depan rumah makan milik kakak iparnya.
"Mas sudah liat situasi. Aman kok. Lagian cuma mau kasih ini." Arka pun menyerahkan amplop putih dan menyumpalkannya pada kantung kresek yang dibawa oleh, Anja. Sebab, kemarin dirinya baru saja menerima gaji. Cukup lumayan lantaran di tambah dengan uang tips customer dan bonus.
"Untuk beli, susu hamil. Anggap aja itu sedekah dariku. Jadi gak boleh di tolak ya! Kamu kan bisa doain aku biar naik pangkat. Soalnya bos nyalonin aku ke pusat. Mau diangkat jadi kepala montir. Kan enak kerjanya cuma mantau doang. Gak perlu belepotan oli lagi," tutur Arka panjang lebar.
Seperti biasa montir yang mengenakan kaus oblong penuh oli ini akan menceritakan keseharian dari pekerjaannya sambil mencuri waktu untuk sekedar mengobrol dengan mantan terindahnya.
Setidaknya, cerita Arka akan sesekali membuat, Anja tersenyum. Sebab, Arka selalu saja ada bahan lucu yang di ceritakan. Apalagi, gaya bicaranya yang spontan dan ceplas-ceplos.
"Makasi Mas. Semoga ... karirmu cemerlang. Biar kamu bisa cepet ngumpulin uang buat ngelamar perempuan yang baik," doa, Anja terdengar tulus.
Namun, ucapan dari wanita yang berdiri sambil mengusap perut dihadapannya ini, membuat raut wajah Arka muram seketika.
"Doainnya yang lain aja kenapa. Kan kamu tau sendiri. Wanita yang mau aku nikahin udah nikah sama orang lain," sindir Arka membuat, Anja kena mental. Wanita berambut panjang sebahu itu kikuk dan sontak memainkan ujung rambutnya.
...Bersambung...
Melihat, raut wajah, Anja yang berubah murung, Arka jadi menyesal telah mengungkit luka lama itu. "Ya udah deh, kamu nanti pulangnya hati-hati. Beli juga keperluan kamu pake uang itu ya. Pinter-pinter kamu deh menyembunyikannya. Pokoknya, jangan sampe sakit tipes kamu kambuh lagi!" pesan Arka yang setelahnya berlalu kencang bersama motor legenda miliknya.
'Maafin aku, Anja. Aku gak pernah bisa lupain kamu.' Arka hanya bisa melakukan ini. Ia takkan mampu melihat wanita yang sangat ia jaga dahulu menjadi sengsara. Tapi, sekali lagi kemampuannya terbatas. Dirinya hanya montir biasa. Sementara, Guntur adalah pengusaha terhormat.
Meskipun begitu, ia tak mampu membuat Anjali menjadi wanita terhormat dan terurus.
Lagi-lagi, Anjali hanya bisa menatap punggung pria yang selama ini membantunya bertahan. Ia sempat didera oleh rasa bersalah. Namun, Arka tak pernah menyalahkannya.
"Mas Arka. Kenapa kamu masih aja baik. Kalau begini terus, kapan aku bisa lupain kamu Mas?" desah Anja menatap kepergian Arka yang sudah tak berbekas itu. Ia mengambil amplop yang Arka selipkan di kresek berisi belanjaan itu.
Ya ampun banyak banget!" pekik, Anja, ketika ia telah membuka amplop tersebut!. Beberapa lembar uang ratusan ada di dalamnya. Mungkin sekitar satu juta.
Anja tak tahan, ia yang terharu lantas mengikis air mata yang mengembun di ujung pelupuk mata besarnya yang indah. Meski kelebihannya itu tak mampu membuat sang suami mencintainya.
Guntur lebih sering bermalam di rumah pacarnya. Mengabaikan, sang istri di rumah ibu mertua. Karena memang pernikahannya dengan Anja adalah sebuah paksaan. Sementara, sang kekasih tak mau Guntur tinggalkan. Lumayan, dia punya ban serep bukan.
Senyum itu selalu ia cetak di wajahnya yang pucat karena lapar. Sesuai peraturan ia tak boleh makan sebelum Guntur pulang. Padahal Anja tadi sudah masak banyak sekali. Air liurnya sampai menetes memandangi beberapa menu yang ia masak, namun tak bisa ia cicipi.
Abang pulang juga malam ini. Apa Abang membutuhkan, aku?" tanya, Anja lembut pada sosok Guntur yang tengah ia bantu untuk melepaskan pakaian di dalam kamar mereka.
" Kau bertanya pulak! Pacar, Abang lagi merah, makanya kau yang harus memuaskan Abang malam ini!" seru Guntur kencang. Untung saja, jantung Anja buatan, Tuhan. Kalo buatan pabrik mungkin sudah rusak sejak awal pernikahannya.
"Biasa aja dong, Bang! Kan tinggal jawab aja! Wajar juga aku nanya, daripada nanti salah!" sahut, Anja berusaha tetap melembutkan suaranya.
Entah kenapa hari ini ia mulai berani. Sebelumnya ia hanya akan diam tapi hari ini ia ingin bersuara.
"Berani menjawab rupanya kau sekarang!" Dengan emosi, Guntur pun melayangkan tangannya, hingga sebuah tamparan kencang mendarat di pipi, Anja.
Plak!
Mendapat tamparan keras, membuat dirinya terhuyung dan jatuh ke atas kasur, tangannya mengusap pipi yang panas lalu menyibak rambut yang menutupi wajahnya. Ia pun menoleh dengan tatapan tajam ke arah Guntur.
Anja mengusap perutnya yang reflek langsung kram. Usia kandungannya masih rawan terhadap goncangan. Dua hari lalu, ia baru periksakan ke salah satu klinik bersalin. Namun, karena biaya melahirkannya sampai lima jutaan. Anja, beralih ke puskesmas.
Tapi, dirinya harus meluangkan waktu banyak ketika jatuh tempo untuk cek kehamilan. Di puskesmas dirinya harus mengantri panjang dengan para pasien yang lain.
"Keterlaluan, kamu Bang. Aku ini lagi hamil. Kenapa kamu kasar sekali?" Anja, berkata dengan kedua bibir yang bergetar.
Bekas tamparan di salah satu pipinya masih terasa panas dan perih. Apalagi, hatinya. Tentu saja sakit, sangat sakit.
Ini, bukan kali pertama, Guntur bertindak kasar padanya. Anja sebenarnya tidak kuat, dan ingin sekali pergi dari rumah yang bagikan neraka dunia ini baginya. Namun, sekali lagi dirinya bagaikan terpasung. Langkahnya laksana terikat rantai yang kuat. Anja, tak bisa pergi kemanapun, ia tak mampu melepaskan dirinya.
Sebab, keluarga suaminya itu akan menuntut hutang yang tidak dibayarkan oleh Siska. Ibu tiri dari Anja.
"Peduli setan, kau hamil! Sudah kukatakan jika itu bukan anakku! Pasti bukan!" hardik, pria dengan rahang penuh bulu. Bisa di katakan sedikit brewok. Memang sih tampan, tapi garang. Temperamental, juga kasar.
"Berhenti mengatakan janin ini bukanlah anakmu, Bang! Kau bahkan tau, diriku ini masihlah perawan, ketika kau menikahiku!" Anja, yang sudah tidak tahan lagi untuk terus menahan emosi dalam dirinya. Kemarahan itu meledak, ketika Guntur sekali lagi menolak mengakui darah daging yang sedang tumbuh dalam rahimnya kini.
"Halah! Kau itu tak berdarah, mana ada perawan! Kau pasti sudah tidur dengan pacarmu yang gembel itu!" Guntur semakin marah, lantaran Anja terus menjawab kata-katanya. Selama ini, wanita berusia dua puluh empat tahun itu hanya bisa diam ketika mendapat sumpah serapah serta cacian dari, Guntur suaminya.
Demi, Tuhan, Bang! Hanya, Abang satu-satunya pria yang menyentuh ku. Aku dan Mas Arka tidak pernah melakukan hal tak senonoh yang selalu kau tuduhkan pada kami!" Anja, telah terisak hebat. Raganya bergetar di pinggiran pembaringan mereka kala malam.
"Jangan bawa-bawa namanya di dalam rumahku, wanita murahan, sialan!" Guntur berteriak seraya membanting gelas berisi teh manis panas ke depan kaki, Anja. Hingga benda tersebut pecah berantakan dengan tumpahan isinya membasahi karpet.
"Jangan keterlaluan, Bang! Kau dan ibumu boleh membeli tubuhku! Tapi tidak dengan harga diri dan nama baikku. Aku, adalah wanita yang suci ketika kau menikahiku! Ingat itu, Bang!"
Plakk!
Sekali lagi, Guntur mendaratkan telapak tangannya yang besar ke sebelah pipi, Anja. Tak cukup sampai di situ. Pria tinggi besar dengan badan atletis itu pun, menarik rambut, Anja hingga kepala wanita itu mendongak.
"Terus saja kau bela diri. Sampai kapanpun, aku tidak akan percaya. Karena itu, jangan pernah berharap perlakuan baik dariku. Selamanya, kau itu hanya sampah! Bukan istriku, mengerti!" teriak, Guntur di depan wajah, Anja. Hingga, ludahnya memenuhi raut muka yang meringis kesakitan itu.
Anja, merasakan sakit di kepala, pipi juga perut bagian bawahnya. Ia sangat takut, kejadian malam ini berefek buruk pada janinnya. Karenanya, kali ini ia tak lagi menjawab apa-apa lagi. Meskipun, ia ingin terus membela dirinya. Percuma juga.
Guntur telah mencap dirinya, sebagai wanita kotor lagi hina.
"Berhenti menangis, dan layani aku!"
"Ayo! Cepat layani aku!"
"Tidak usah menangis!" Guntur menarik kaki Anjali kemudian mengungkung tubuhnya. Namun, Anjali menahan raga kekar Guntur dengan kedua tangannya. Ia tak mau kelakuan suaminya itu menyakiti calon buah hati mereka.
"Kau tau kan, jika pacar Abang itu sedang datang bulan. Nah, kau itu kan sedang hamil. Sehingga, tidak pernah yang namanya keluar darah. Malam pertama saja, kau tidak berdarah." Lagi-lagi Guntur mengungkit malam pertama mereka. Juga, membawa nama selingkuhannya di depan Anja. Makin sakit lah hati seorang Anjali.
"Lakukan apa yang kau mau, Bang. Asal ingat, jika aku ini tengah mengandung anak kita!" Anja rela di jadikan pelampiasan oleh Guntur karena jika ia menolak, ia pasti akan mendapat siksaan lebih kasar dari ini.
...Bersambung ...
"Tak perlu kau beri tau memang terserah aku. Karena kau adakah istriku, kau milikku. Semua yang kau miliki adalah kepunyaan ku termasuk ini!"
"Akh, sakit!" Guntur memberi remasan kasar pada buah kembar Anja yang sedikit kencang. Karena memang wanita hamil seperti itu.
Karena itulah, Guntur selalu bergelora pada istri cantiknya ini. Meskipun ucapan Guntur, terus melukai hati Anjali. Namun, wanita berhidung mancung, dengan kulit seputih susu, serta ris mata yang kecoklatan. Belum lagi bibirnya juga penuh dan berbentuk.
Tubuh Anja juga bagus. Tidak terlalu kurus tapi juga tidak terlalu gemuk. Bisa dikatakan sintal. Bahkan, Anja memiliki buah dada yang seperti batok kelapa. Sungguh, mendekati sempurna sebagai seorang wanita. Namun, kedua mata dan juga hati seorang Guntur telah tertutupi oleh kebencian. Meskipun wanita di hadapannya ini nikmat dan memberi kebahagiaan padanya, tetap saja ia akan menyiksa dan menghinanya.
Kebencian yang tak mendasar sama sekali. Menuduh, seorang Anja yang sejak dulu tidak pernah ikut pergaulan macam-macam. Apalagi, sampai *** bebas. Arka Sadewa, selalu menjaga kehormatan kekasihnya itu. Memegang tangannya pun tak pernah jika, Anja tidak mengijinkannya.
"Sampai hati, kau, Bang. Aku ini istrimu. Kenapa, selalu saja kau jadikan pelampiasan. Aku kurang apa, dibandingkan pacarmu?" Anja masih bersuara parau. Sisa tangisnya masih ada. Ia tak bisa menerima begitu saja. Dirinya bukan pelacuur, yang hanya digunakan ketika Guntur butuh pelampiasan.
"Istri?"
"Cih!"
"Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah menganggap kau itu istriku. Faham!" Guntur menghardik, wanita yang dalam keadaan hamil itu. Tanpa perasaan, ia menarik penutup bagian bawah, Anja. Karena, daster yang wanita keturunan Pakistan itu kenakan telah ia angkat hingga menutupi wajah, Anja.
Selalu begitu.
Guntur, akan menyetubuhi tanpa memandang wajah istrinya. Ia tak ingin jika air mata dan wajah polos Anja mengubah perasaan dinginnya.
"Biarkan, wajah ku ini terlihat, Bang. Aku tidak bisa bernapas," pinta, Anja dengan nada memohon. Ia tak ingin diberi tindakan lebih kasar lagi oleh Guntur suaminya. Karena hanya memikirkan nasib bayi yang ada di dalam kandungannya.
Anja, tidak ingin perempuan buruk Guntur berakibat fatal terhadap calon bayi mereka. Karena dirinya berharap kelahiran dari bayinya kelak akan membuktikan bahwa apa yang selama ini Guntur tuduhan kepadanya adalah salah besar.
"Aku tidak akan mau melihat wajahmu! Wanita menjijikkan! Aku sudah membayar tubuhmu jadi terserah mau ku apakah!" hardik Guntur tak puas hati.
Wanita berkulit putih dengan bentuk wajah oval itu hanya dapat menggigit bibirnya. Ketika, lagi-lagi, Guntur menutupi wajahnya dengan masker.
'Sebegitu, bencinya kau padaku, Bang. Padahal, malam itu aku berdarah tapi sedikit. Kenapa kau juga tak mau percaya. Aku menyesal telah membuang tissue sebelum menunjukkannya padamu. Ku pikir, itu semua tidak ada arti apapun!' Anja masih terus bergumam seiring hentakan yang diberikan oleh, Guntur. Pria itu begitu hebat ketika mencampurinya.
Satu, yang Anja takutkan adalah.
Kandungannya.
Terlihat, wanita yang nasibnya sungguh menyedihkan ini. Beberapa kali, menahan pinggul dan perut rata, Guntur agar tidak terlalu menekan perutnya yang mulai membuncit itu.
Sekitar beberapa menit memompa dirinya, tibalah, pria bertubuh kekar itu melolong nikmat. Guntur, menyusupkan kepalanya di ceruk leher, istrinya yang sangat baik ini. Namun, kebaikan dan ketulusan, Anja tak pernah mampu membuka mata dan hatinya.
Anja, terlihat memberi remasan kepada rambut ikal suaminya ini. Di saat inilah, momen di mana ia dapat memeluk Guntur. Ketika, pria itu telah mencapai puncak dari pelampiasan geloranya.
Sementara, Anja sejak menikah. Tak pernah sekalipun, merasakan yang namanya nikmat bercinta. Sebab, Guntur selalu membuat tanggung dirinya. Pria itu, benar-benar menyiksanya lahir dan juga batin. Perlakuannya yang kasar selalu membuat penyatuan mereka berakhir menyakitkan bagi Anja.
Karena, Guntur sengaja tak ingin membuat Anja bahagia dengan pernikahan paksa mereka. Pernikahan, yang tidak sedikitpun di landasi rasa cinta. Pernikahan, yang hanya di dasari oleh sebab pelunasan hutang semata.
Bodoh memang.
Anja, tak ingin melihat ibu dan adik tirinya sengsara lantaran tidak memiliki rumah. Maka, ia merelakan kebahagiannya. Dengan menjadi wanita pelunas hutang. Meskipun, Anja tak sedikit pun tau. Untuk apa kala itu sang ibu berhutang. Karena, ketika sang ayah sakit, Anja tau jika biaya pengobatan ayah telah di lunasi oleh kantor dan juga dana dari jaminan sosial yang ayah siapkan.
"Jangan mengambil kesempatan, aku tidak akan pernah memberikan kenikmatan padamu. Main saja sana sendiri!" Guntur, melempar segitiga penutup area pribadi, Anja. Tepat, di wajah wanita yang basah karena air matanya sendiri itu.
Tanpa ucapan terimakasih, apalagi sekedar kecupan di kening. Guntur, berlalu begitu saja. Meninggalkan tubuh setengah telanjang, Anja yang terkulai lemah.
Sekilas, Guntur menatap tubuh polos tanpa cacat dan cela itu. Dimana ia terbaring lamah diatas kasur. Sejengkal pun tak ada yang kurang dari tubuh Anjali. Tapi, Guntur pantang memujinya.
Guntur di jodohkan dengan Anja, di saat dirinya baru saja melamar sang kekasih. Di karenakan, Sari, ibu tirinya Anja, memiliki hutang dengan Mega. Sebab, wanita yang melahirkannya adalah seorang rentenir.
[ Daripada keluarganya tidak bisa membayar hutang, lebih baik anaknya ku jadikan menantu. Dengan begitu aku akan mendapat pembantu gratis.]
[ Lalu bagaimana dengan, kekasih ku, Ma? Aku baru saja melamarnya! ]
[ Tidak gimana-gimana. Kalian masih tetap bisa berhubungan. Tapi, kau tidak bisa menikahi dua wanita. Nanti, usaha Mamamu ini bisa bangkrut. Faham! ]
Entah ideologi apa yang di gunakan sang mama. Guntur pun tak bisa mengelak karena perusahan tempat itu meraup untung besar pun milik keluarga sang mama.
Sejak saat itulah, Guntur memilih untuk melakukan hubungan di luar nikah dengan sang kekasih yang bernama Marisa ini. Meskipun awalnya tidak mau, Marisa akhirnya menurut ketimbang Guntur memutuskan hubungan mereka.
"Cantik."
"Cih!"
"Persetan!"
" Aku akan membenci mu sampai mati!"
Sumpah serapah yang Guntur keluarkan masih dapat didengar oleh Anja tentu saja. Karena wanita itu masih dalam keadaan sadar. Hanya saja harganya lemas bagaikan tanpa tulang.
Guntur keluar setelah ia kembali mengenakan pakaiannya. Ia punya kamar sendiri untuk tidur. Karena ia bahkan tak mau satu tempat tidur dengan istrinya sendiri.
Kau menikmati ku, Bang. Tapi kau selalu menghujatku. Sebenarnya apa salah Anja! Bahkan anak ini pun tak mau kau akui. Bagaimana nasibnya nanti. Ibu, kenapa kau buat nasib Anja seperti ini. Kenapa kau baktiku dengan racun yang pahit sekali.
"Apa kau membuat Anja menangis lagi, Gun?" tanya Santoso saat ia melihat sang anak menutup pintu kamar Anja dengan kasar.
"Bukan urusanmu, Pa! Apa kau ingin agar aku mengatakan pada mama kalau kau peduli pada menantu lacur itu," ancam Guntur menatap tajam ke arah pria yang menyandang predikat ayah kandungnya itu. Namun tak sedikit pun terlihat rasa hormat dari raut wajahnya.
Bahkan putraku sendiri memandangku hina.
...Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!